KESEPADANAN DAN PERGESERAN DALAM TEKS
TERJEMAHAN BAHASA ANGKOLA DALAM
BAHASA INDONESIA
DISERTASI
Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa
Angkola ke Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, D. T. M&H, (C. T. M), SpA (K)
Di Medan, Sumatera Utara
Rosmawaty Harahap
068107007
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KESEPADANAN DAN PERGESERAN DALAM TEKS TERJEMAHAN FIKSI HALILIAN DARI BAHASA ANGKOLA KE BAHASA INDONESIA
ABSTRAK ROSMAWATY
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola-Indonesia. Secara teoretis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi peneliti bahasa dan budaya, karena dalam teks terdapat kekhasan bahasa dan budaya yang dapat digunakan sebagai pembanding teori gramatika universal. Dan sebagai pengajar, kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk melakukan kajian teks terjemahan. Bagi para mahasiswa Jurusan Bahasa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan kajian terhadap bentuk lingual yang dimiliki budaya tertentu. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang pentingnya memahami dan melestarikan budaya melalui bahasa terutama bagi generasi penerus supaya nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tidak sampai luntur. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah apakah keunikan atau kekhasan bahasa daerah tersebut memiliki kewibawaan bagi generasi selanjutnya.
Data penelitian terdiri tiga teks fiksi terjemahan dalam bahasa angkola yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu; teks 1) NPR pertama sekali memang dalam bentuk lengkap/penuh, yang terdiri atas 521 klausa, 2) teks BNH terdiri atas 206 klausa, 3) teks Bittot Van De Longas terdiri atas 46,76%, teks BNH kepadatan klausa 18,49% dan teks BVD kepadatan klausa 34%.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text-based theory dan translator-based theory) di satu sisi dan di sisi lain form-translator-based translation dan meaning-based translation yang diterapkan secara manasuka, parsial, atau simultan mengingat hakekat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu terapan dan kompleksitas fenomena penerjemahan itu sendiri.
Pergeseran terjadi akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya antara bahasa sumber dan bahasa target. Dalam pemadaman ketiga teks sumber terjadi secara bersamaan penyesuaian berupa pergeseran dari suatu sistem linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke dalam sistem linguistik dan sistem sosio-kultural yang lain (Indonesia). Fenomena penyesuaian berwujud (1) pergeseran mikro (micro shift) dan (2) pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro muncul sebagai pergeseran vertikal yang mengarah ke atas di mana unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih tinggi rank-nya dalam bahasa target dan sebaliknya pergeseran yang mengarah ke bawah, unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih rendah rank-nya dalam bahasa serta pergeseran horizontal atau pergeseran intrasistem (intta system shift) yang berwujud realisasi padanan yang berbeda dari suatu unit bahasa sumber dalam bahasa target dalam rank yang sama. Pergeseran makro terjadi dalam kawasan ranah teks yang melibatkan semua variabel tekstur, konteks (situasi dan sosio-budaya), dan gaya dan muncul dipermukaan sebagai pergeseran semantik dan pragmatik. Pergeseran semantik yang muncul berupa perluasan, penyempitan dan penyimpangan makna leksikal berupa pergeseran sudut pandang, atau perspektif. Pergeseran pragmatik yang terjadi pada dasarnya menyangkut pergeseran kohesi (hubungan kohesi intrakalimat atau hubungan lokal) dan koherensi (hubungan kohesif antarkalimat atau hubungan global) yang bersifat tekstual seperti misalnya acuan (references), elipsis.
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...vi
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR ISTILAH...xi
DAFTAR LAMPIRAN...1-141
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...11.2 Fokus Penelitian...11
1.3 Tujuan Penelitian ...13
1.4 Manfaat Penelitian ...13
1.5 Asumsi Penelitian ...15
1.6 Klarifikasi Istilah ...16
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ...21
2.1.1. Pengantar...21
2.1.2. Penelitian Terjemahan yang Pernah Dilakukan...21
dan Kebudayaan dalam Kerangka Kajian Terjemahan...
25
2.1.3.1 Bahasa...
28
2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola...
35
2.1.3.3 Terjemahan sebagai Objek Peninjauan Beberapa
Bidang
Ilmu... 40
2.1.3.4 Hakekat Terjemahan... 47
2.1.3.5 Jenis-Jenis Terjemahan... 52
2.1.3.5.1 Terjemahan Menurut Ragam Bahasa... 54
2.1.3.5.2 Terjemahan Menurut Bentuk Teks... 55
2.1.3.5.3 Terjemahan Menurut Hierarki Bahasa... 56
2.1.3.5.4 Terjemahan Menurut Tingkat Isi...
67
2.1.4 Teknik Terjemahan...
2.1.4.1 Terjemahan Harfiah...
71
2.1.4.2 Substitusi...
72
2.1.4.3 Terjemahan Bebas...
74
2.1.4.4 Parafrase...
75
2.1.5 Makna Teks Terjemahan...
83
2.1.6 Kesepadanan ...87
2.1.7 Pergeseran (Shifs) dalam Terjemahan...
92
2.2 Landasan Teori...
94
2.2.1 Pergeseran...
94
2.2.1.1 Pergeseran Komponen Semantik...
2.2.1.2 Pergeseran Komponen Pragmatik...
101
2.2.2 Bahasa Konteks dan
Teks...103
2.2.3 Teori dan Fungsi Bahasa...
112
2.2.4 Konstruksi Analisis Kesepadanan dan Pergeseran...
115
2.2.5 Defenisi Operasional...
119.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan, Rencana, dan Kerangka Model Penelitian...
120
3.2 Data Penelitian dan Sumber Data Penelitian………..
124
3.2.1 Data
Penelitian……….……….……...124
3.2.2 Sumber Data Penelitian………...
3.3 Analisis Data………...
128
3.3.1 Prosedur Penelitian………...
128
3.3.2 Teknik Pengumpulan
Data……….130
3.3.3 Teknik Analisis
Data...131
3.3.4 Keabsahan Data Penelitian...
136
3.3.5 Teknik
Penyajian...138
BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
4.1 Analisisis Tipe Kesepadanan dari Teks Sumber keTeks Terjemahan
4.1.1 Kesepadan Ideal ...
140
4.1.1.1 Kesepadanan Referensial...
144
4.1.1.2 Kesepadanan Konotatif...
4.1.1.3 Kesepadanan Pragmatik...
148
4.1.2 Terjemahan Sepadan tetapi Bentuknya Tidak Korespondensi...
149
4.1.3 Terjemahan Sepadan tetapi Maknanya Tidak
Berkorespondensi..150
4.2 Analisis Pergeseran TeksTerjemahan...152
4.2.1 Analisis Mikro...153
4.2.1.1 Pergeseran Unit dalam Tataran
Gramatikal...153
4.2.1.2 Pergeseran Unit
Kata...159
4.2.1.3 Pergeseran Unit
Frasa...166
4.2.1.3.1 Frasa –
Kata...167
4.2.1.3.2 Frasa –
Klausa...168
4.2.1.4 Pergeseran
4.2.1.5 Pergeseran
Kelas...178
4.2.2 Analisis Pergeseran
Makro...186
4.2.2.1 Pergeseran Komponen Pragmatik...
187
4.2.2.2 Pergeseran Komponen
Semantik...191
4.3 Analisis Keterkaitan Konteks Situasi dan Budaya dalam Teks
Terjemahan...195
4.3.1 Konteks Situasi Teks-Teks
Terjemahan...195
4.3.1.1 Analisis Field Teks
Terjemahan...196
4.3.1.2 Analisis Pelibat/Tenor dalam Teks
Halilian...199
4.3.1.3 Analisis Mode dalam Teks Halilian...
4.4 Konteks Budaya Teks Halilian...
216
4.4.1 Genre Teks...
217
4.4.1.1 Struktur Semantik Genre Teks...
218
4.4.1.1.1 Pemberian Label Linier Teks...
219
4.4.1.1.2 Label Linier pada Teks BNH...
219
4.4.1.1.3 Label Linier pada
BVD... 220
4.4.1.1.4 Label Linier pada
NPR... 221
4.4.1.1.5 Hubungan Konjungsi pada Teks
Halilian... 224
4.4.1.1.7 Hubungan Leksikal dalam Teks
Halilian...226
4.5 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya
BAB V TEMUAN HASIL PENELITIAN
5.1
Temuan...2
45
5.1.1 Kesepadanan yang Diperoleh dalam Proses Padanan yang Terdapat
dalam Teks Sumber dan Teks
Terjemahan... 245
5.1.2 Jenis Pergeseran yang
Terjadi... 246
5.1.3 Keterkaitan Konteks Situasi dan Konteks
Budaya... 247
5.1.4 Faktor Terjadinya
Pergeseran... 249
5.2 Pembahasan...
250
5.2.1 Kesepadanan yang Diperoleh dalam Proses Padanan yang
Terdapat dalam Teks Terjemahan...
250
5.2.2 Jenis Pergeseran...
5.2.3 Keterkaitan Konteks Situasi dan Konteks Budaya...
261
5.2.3.1 Konteks Situasi pada Teks-Teks Terjemahan...
261
5.2.3.2 Konteks Budaya pada Teks Halilian...
265
5.2.4 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pergeseran...
270
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan... ...,...
274
6.2 Saran...
276
DAFTAR
KESEPADANAN DAN PERGESERAN DALAM TEKS TERJEMAHAN FIKSI HALILIAN DARI BAHASA ANGKOLA KE BAHASA INDONESIA
ABSTRAK ROSMAWATY
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola-Indonesia. Secara teoretis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi peneliti bahasa dan budaya, karena dalam teks terdapat kekhasan bahasa dan budaya yang dapat digunakan sebagai pembanding teori gramatika universal. Dan sebagai pengajar, kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk melakukan kajian teks terjemahan. Bagi para mahasiswa Jurusan Bahasa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan kajian terhadap bentuk lingual yang dimiliki budaya tertentu. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang pentingnya memahami dan melestarikan budaya melalui bahasa terutama bagi generasi penerus supaya nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tidak sampai luntur. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah apakah keunikan atau kekhasan bahasa daerah tersebut memiliki kewibawaan bagi generasi selanjutnya.
Data penelitian terdiri tiga teks fiksi terjemahan dalam bahasa angkola yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu; teks 1) NPR pertama sekali memang dalam bentuk lengkap/penuh, yang terdiri atas 521 klausa, 2) teks BNH terdiri atas 206 klausa, 3) teks Bittot Van De Longas terdiri atas 46,76%, teks BNH kepadatan klausa 18,49% dan teks BVD kepadatan klausa 34%.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text-based theory dan translator-based theory) di satu sisi dan di sisi lain form-translator-based translation dan meaning-based translation yang diterapkan secara manasuka, parsial, atau simultan mengingat hakekat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu terapan dan kompleksitas fenomena penerjemahan itu sendiri.
Pergeseran terjadi akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya antara bahasa sumber dan bahasa target. Dalam pemadaman ketiga teks sumber terjadi secara bersamaan penyesuaian berupa pergeseran dari suatu sistem linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke dalam sistem linguistik dan sistem sosio-kultural yang lain (Indonesia). Fenomena penyesuaian berwujud (1) pergeseran mikro (micro shift) dan (2) pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro muncul sebagai pergeseran vertikal yang mengarah ke atas di mana unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih tinggi rank-nya dalam bahasa target dan sebaliknya pergeseran yang mengarah ke bawah, unit bahasa sumber disubsitusi dengan unit yang lebih rendah rank-nya dalam bahasa serta pergeseran horizontal atau pergeseran intrasistem (intta system shift) yang berwujud realisasi padanan yang berbeda dari suatu unit bahasa sumber dalam bahasa target dalam rank yang sama. Pergeseran makro terjadi dalam kawasan ranah teks yang melibatkan semua variabel tekstur, konteks (situasi dan sosio-budaya), dan gaya dan muncul dipermukaan sebagai pergeseran semantik dan pragmatik. Pergeseran semantik yang muncul berupa perluasan, penyempitan dan penyimpangan makna leksikal berupa pergeseran sudut pandang, atau perspektif. Pergeseran pragmatik yang terjadi pada dasarnya menyangkut pergeseran kohesi (hubungan kohesi intrakalimat atau hubungan lokal) dan koherensi (hubungan kohesif antarkalimat atau hubungan global) yang bersifat tekstual seperti misalnya acuan (references), elipsis.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumatera Utara memiliki sejumlah bahasa daerah yang tetap dimanfaatkan
oleh masing-masing penuturnya terutama sebagai sumber daya komunikasi dan
pengungkap kebudayaan. Sibarani, (2004:38) mengamati bahwa fungsi bahasa
secara mikro dan makro. Fungsinya mikro lebih khusus untuk kebutuhan setiap
manusia yaitu lebih menyangkut kebutuhan individu atau kepentingan pribadi.
Fungsi makro bahwa fungsi bahasa secara lebih luas memenuhi kebutuhan sosial
dengan melampaui kepentingan pribadi. Bahasa merupakan suatu sistem bunyi
yang bersifat arbitner dan bermakna yang digunakan sebagai sarana komunikasi
anggota masyarakat, yaitu dalam kontak sosial. Ini berarti dalam bahasa terdapat
dua unsur yang penting yaitu lambang bunyi dan makna. Saussure (1966:16)
dalam Sibarani, (2004:36) menyebutkan bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang
mengekspresikan ide-ide. Kumpulan lambang bunyi atau tanda akan mempunyai
makna apabila lambang-lambang tersebut mempunyai fungsi, yaitu fungsi
komunikatif dan fungsi ekspresif. Fungsi komunikatif adalah fungsi bahasa
sebagai media dalam mentransfer ide yang ada dalam pikiran penutur. Ide tersebut
dapat dipahami melalui makna verbal, sedangkan fungsi ekspresif bahasa dipakai
Sibarani, (2004:39) juga mengatakan hal senada bahwa bahasa adalah sebagai
alat komunikasi, berupa simbol verbal yang didasarkan pada alat intelektual yang
paling fleksibel dan paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia.
Dengan kata lain, bahasa mewakili dan mengalirkan pikiran manusia dalam
ekspresi kata-kata yang mempunyai makna dan mendeskripsikan budaya
masyarakat pemakai bahasa, dan melalui bahasanya kita dapat memahami budaya
pemakai bahasa itu.
Bahasa yang menjalankan fungsinya untuk memaparkan,
mempertukarkan, dan merangkai pengalaman sesuai dengan konteks. Menurut
Saragih (2006 : 23), konteks adalah aspek-aspek internal teks dan segala sesuatu
yang secara eksternal melingkupi teks. Saragih juga mengatakan bahwa bahasa
merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan bahasa
merupakan teks yang berkonstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan
konteks sosial.
Dalam fungsinya sebagai pemelihara budaya di Angkola, bahasa Angkola
dipakai untuk mendokumentasikan budaya, termasuk mendokumentasikan
legenda yang berbentuk cerita rakyat. Cerita rakyat adalah salah satu produk
bahasa yang mempunyai fungsi komunikatif dan ekspresif. Penuturan cerita
rakyat mempunyai pesan lewat bentuk verbal cerita. Pesan tersebut bisanya
pendukungnya. Salah satu dari cerita itu adalah teks Halilian. Teks ini
menceritakan gambaran sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Gambaran
sosial dalam teks Halilian ini lahir sebagai hasil kepekaan jiwa pengarang untuk
mengungkapkan imajinasinya. Secara intrinsik, ketika fiksi teks terjemahan
Halilian ini memiliki genre yang sama, yaitu prosa naratif yang dibangun oleh
elemen struktur tema dan latar belakang budaya Angkola. Hardjana (1991:71)
mengatakan bahwa sastra tidak akan lahir jika terjadi kekosongan sosial, karena
imajinasi seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat.
Bahasa layaknya sebuah napas bagi manusia, bahasa memiliki fungsi
primer yaitu sebagai alat interaksi sosial di dalam masyarakat karena bahasa tidak
dapat dipisahkan dari semua kegiatan. Jika tidak memiliki bahasa, kita dapat
kehilangan kemanusiaan kita sebagai manusia. Oleh karena itu bahasa adalah
sarana bagi masyarakat penggunanya untuk dapat saling berkomunikasi. Jika ada
bahasa tentu ada masyarakat penggunanya. Manusia dalam menggunakan bahasa
dilatarbelakangi maksud dan tujuan tertentu. Salah satu cuplikan dari teks itu
bahwa bahasa menjalankan fungsinya adalah data ini.
Teks I: “Jadi botima da! Sattabi sappulu noli, sappulu noli marsattabi, maradop koum sisolkot sasudena, nasolkot bope na rangrang, maradopkon kahanggi, mora, bope anakboru, lalu pisangraut, na adong di luat Angkola, di pangarattoan, na di jakarta sanga di Amsterdam, na di Surabaya, ro hami tu adopon munu, artina nakkinani giot patandahon hami na ro sian Silangge, salikometer sian Sipirok dalan tu Tarutung.
kahanggi, mora, bope anakboru, dan pisang raut yang ada di daerah Angkola dan di kota seberang yang susah maupun yang senang yang berada di perantauan yang di Jakarta maupun di Amsterdam, Surabaya, kami datang kehadapan kamu adalah memperkenalkan bahwa kami dai Silangge satu kilo meter dari Tarutung.”
Teks II: “Bo, Songon na laman roha ni anakboru on”, ning roha ni si Sakkot, Kehe ia tudapur. Ma diida ia indahan jeges tutupi dohot sange. Ikkayuna na bulung botik na disattanan mardongan rimbang dohot torung na poso. Sambalna lasiak tuktuk mardonangan harasak na marbola dua-duanna.”
Terjemahannya: “Kok diam anakboru kita ini, dalam hati si Sakkot sambil pergi ke dapur. Di dapur sudah ada nasi di tutup tudung saji, sayurnya daun ubi yang di santan dengan rimbang dan terong dan sambal tuktuk”.
Teks III: “Ho pe ttong Amang”, ning ia muse mengadop si sakkot, “holong rohamu di parmaenkon, sahata sa oloan hamu, songon gulang-gulang ni siala sappagul, rap tu ginjang rap tu toru, sanga songon pege sangkarippang hamu boanon tu Batangtoru, sapanimbung rap tu ginjang sapa ngambe rap tutoru. Mula lalu hamu tu kualo Batang Muar, rohamu diakkang namborumu na matua bulung i. Sahali sattumtum hamu, mangalului na suada. Songon i ma da Amang da, dohot parmaen. Na pola ginjang be hata sidohonan.”
Terjemahannya: “Ayahnya mengatakan kepada si sakkot sayang kamu kepada menantuku seia sekata seperti pepatah mengatakan harus bersama ke atas dan bersama juga ke bawah, jangan seperti pohon jahe. Kalau kamu sampai ke batang muar, kau harus sayang kepada namboru yang sudah sendiri. Seia sekata kamu dalam menghadapi kehidupan, dalam keadaan susah dan senang. Itulah nasihatku kepadamu anakku dan menantuku.”
Teks di atas menggambarkan nasehat tentang kehidupan dan
bermasyarakat. Dalam teks Halilian ini terdapat gambaran kehidupan sosial
yang mempunyai relevansi dengan keadaan dewasa ini. Pelibatan dua bahasa di
atas sangat kompleks apabila tidak dilakukan penerjemahan, karena pada
kota sudah banyak yang tidak mengetahui bahasa daerahnya karena itu perlu
dilakukan terjemahan sebagai pemahaman mengenai kenyataan dalam masyarakat
Angkola. Bukan mengurangi fiksi yang berbahasa Angkola tetapi memperkaya
kebudayaan masyarakat Angkola melalui teks terjemahan dan melihat kesepadan
dan pergeserannya.
Secara linguistik, sosiolinguistik, atau semantik contoh di atas telah
menggambarkan sistem dari bahasa Angkola ke bahasa Indonesia. Penguasaan
terhadap sistem dua bahasa tersebut merupakan prasyarat utama dan langkah
pertama ke proses pengalihan pesan dari teks sumber dan kebahasa sasaran.
Apabila kita perhatikan data yaitu “holong rohamu di parmaenkon, sahata sa
oloan hamu, songon gulang-gulang ni siala sappagul, rap tu ginjang rap tu
toru. Terjemahannya, Sayang kau sama menantuku ini, seia sekata kamu
seperti songon gulang-gulang ni siala sappagul, rap tu ginjang rap tu
toru.(pepatah)
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Angkola tersebut menjalankan
fungsinya sesuai maksud dan tujuan. Karena bahasa dalam fungsional dipandang
sebagai alat interaksi sosial antarmanusia, dengan tujuan utama mengadakan
hubungan komunikatif antara pembicara dan pendengar. Dan sejalan dengan
perjalanan manusia yang berdinamika yang di dalamnya manusia hidup tidak
komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan bahasa Indonesia menjadi suatu
kebutuhan utama. Adanya tuntutan akan pengalihan informasi dan alih ilmu
pengetahuan dan juga menjadikan kemampuan dan kegiatan penerjemahan
sesuatu yang sangat penting. Walaupun secara Nasional, jaminan hak hidup dan
berkembang bahasa daerah tersebut dimuat dalam UUD 1945, khususnya pada
pasal 32 ayat 2, hasil Amandemen ke-3, tentang Pendidikan Nasional yang
berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya Nasional”. Bersamaan dengan itu, arah kebijakan bahasa daerah
dinyatakan dalam Politik Bahasa Nasional (Alwasilah, 2001:30).
Masyarakat Angkola tetap memberdayakan bahasa daerahnya, agar tetap
eksis, sehingga eksistensi bahasa daerak tidak hilang. Untuk itu, penutur bahasa
daerah yang bersangkutan harus memiliki rasa kebahasaan yang tinggi terhadap
bahasanya. Rasa kebahasaan itu terlihat dari upaya yang dilakukan untuk tetap
melestarikan bahasa daerah sebagaimana yang dikemukan oleh Alwasilah
(2001:157) bahwa “Rakyat harus memelihara bahasanya sehingga bahasa itu akan
dihormati dan dipelihara negara”. Karena tanpa bahasa, masyarakat tidak dapat
berkomunikasi.
Seiring dengan era globalisasi yang bercirikan keterbukaan akses
terhadap informasi, rasa ingin tahu dunia luar akan Indonesia dengan segala aspek
teks (karya ilmiah maupun sastra) dari bahasa daerah ke Indonesia. Berangkat
rasa ingin tahu dan keinginan memperkenalkan budaya lokal, berbagai karya tulis
terutama karya sastra berbahasa Angkola dan berbahasa Indonesia. Secara
budaya karya-karya terjemahan tersebut dapat menjadi sumbangan pada
paradaban dunia. Dengan demikian dalam rangka pengenalan dan apresiasi lintas
budaya, penerjemahan karya-karya sastra semakin diperlukan.
Dalam perkembangannya kegiatan penerjemahan dari bahasa daerah dan
bahasa Indonesia banyak dilakukan oleh orang Indonesia yang tertarik dengan
budaya setempat. Seperti yang telah dilakukan oleh Lubis, (2009) dengan
desertasi “Penerjemahan Teks Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa
Inggeris”.
Pada hakekatnya bahasa mempunyai fungsi sosial yang oleh Saragih
(2006 :35) dikatakan dengan “metafungsi”. Makna fungsi itu sendiri kurang lebih
sama dengan pengertian penggunaan. Jadi fungsi bahasa dalam masyarakat sama
bagaimana masyarakat mengerjakan aktivitasnya dengan menggunakan bahasa.
dalam interaksi, pemakai bahasa mengorganisasikan pengalamannya. Dengan
fungsi bahasa ini sekaligus berfungsi memiliki tiga fungsi, yaitu memaparkan,
mempertukarkan, dan merangkai pengalaman secara teknis masing-masing.
Bertitik tolak dari apa yang dikatakan bahwa fungsi bahasa dalam
pengalaman maka cuplikan dari teks data pada teks I dan II, dapat
menggambarkan bagian dari tiga fungsi bahasa tersebut dan makna ungkapan
yang bercetak tebal menggambarkan konteks budaya Angkola seperti: Anak boru
dalam teks I itu berbeda dengan anak boru pada teks II. Anak boru pada teks I
merupakan bagian dari dalihan na tolu sedangkan anak boru pada teks II memiliki
padanan makna “perempuan”. Anak boru pada teks I kalau diterjemahkan akan
terjadi pergeseran. Pergeseran tersebut merupakan pergeseran komponen
pragmatik. Dari persfektif pragmatik, makna suatu ungkapan (kalimat) dapat
beragam sesuai dengan tujuan atau maksud di balik ungkapan tersebut dan
kondisi yang melatari tindak komunikasi tersebut. Oleh karena itu , berbeda
dengan makna linguistik yang dapat dipahami melalui hubungan gramatikal
dalam suatu teks, makna pragmatik hanya dapat dianalisis dengan mengacu pada
konteks budaya/ atau linguistik dari teks tersebut.
Linguistik Sistemik fungsional (LSF) adalah salah satu aliran kajian
bahasa fungsional yang mengkaji makna teks. Aliran ini mengembangkan sebuah
teori bahasa dengan memandang bahasa sebagai suatu proses sosial. Dengan kata
lain, aliran tersebut mencari cara-cara bahasa yang digunakan manusia tersusun
dalam konteks yang berbeda (konteks situasi dan konteks budaya). Di samping
konteks situasi, sebuah teks juga dibangun oleh konteks budaya. Karena itu dalam
dilakukan dengan mempertimbangkan konteks budaya dan konteks situasi.
Kontek budaya mengacu pada nilai yang dianut oleh sekelompok orang
(masyarakat). Halliday (1992:63) mengatakan “Setiap konteks situasi yang
sebenarnya, susunan medan tertentu, pelibat dan sarana yang telah membentuk
teks itu bukanlah suatu kumpulan ciri yang acak, melainkan suatu keutuhan
sebagai suatu paket yang secara khas bergandengan dalam suatu budaya.
Terjemahan yang merupakan pengungkapan sebuah makna yang
dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan
memperhatikan pesan atau makna ditransperkan. Dapat dikatakan bahwa
terjemahan memiliki kontibusi ganda pada seseorang, yaitu dalam membentuk
IPTEK dan juga perkembangan. Penerjemahan muncul tidak saja sebagai
pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar) tetapi juga
pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh
terjemahan adalah pengertian: (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber
ke bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusan
atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur
keaslianny. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak
saja dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya.
Konsekuensinya adalah penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat
Menerjemahkan sebuah naskah sumber atau mencarikan padanannya di
dalam bahasa sasaran tidaklah semudah apa yang sering diperkirakan orang.
Penerjemahan yang benar-benar identik dengan keterangan, pesan, atau gagasan,
yang ditulis oleh pengarang asli bukanlah pekerjaan yang mudah. Contoh
seperti: “kahanggi, anak boru, mora, pisang raut, dan gulang-gulang ni siala
sappagul, rap tu ginjang rap tu toru, sanga songon pege sangkarippang, kalau
diterjemahkan akan terjadi pergeseran. Walaupun secara teoretis kesepadanan
bisa dicapai akibat adanya sifat universal bahasa dan konvergensi budaya tetapi
fakta menunjukkan bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang
memiliki budaya sering amat berbeda dengan budaya penutur bahasa lain
(sumber) sehingga sulit menemukan padanan leksikal.
Diharapkan terjemahan sebagai medium komunikasi mampu
mempertahankan unsur budaya dalam menterjemahkan bahasa
Angkola-Indonesia. Karena terjemahan adalah; ada pengalihan informasi, alih ilmu
pengetahuan, dan pengenalan budaya. Oleh sebab itulah, dirasa perlu mengadakan
kajian “Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Bahasa
Angkola-Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, teks terjemahan fiksi yang terdapat pada cerita
Halilian perlu dikaji dengan memandang bahwa teks “Halilian” terkandung
Angkola yang telah berubah dari waktu ke waktu oleh desakan budaya dan bahasa
luar, terutama penggunaan bahasa Indonesia, dan didukung oleh kemajuan
teknologi dan pasca-modernisasi diduga telah menyebabkan pergeseran makna
dan nilai yang terdapat dalam teks terjemahan “Halilian”.
Jangkauan permasalahan penelitian adalah pada tataran linguistik mikro,
yaitu tata bahasa leksikal atau leksikogramatika (lexico-grammar), dan tataran
linguistik makro yaitu semantik-wacana (discourse – semantics). Analisis tema
dalam teks, kesepadan, konteks situasi dan konteks budaya dari teks untuk
melihat terjadinya pergeseran..
Dalam upaya mempertahankan keberadaan bahasa Angkola dirasa perlu
untuk melakukan “Kajian Kesepadanan, dan Pergeseran Makna dalam Teks
Terjemahan Bahasa Angkola – Indonesia).
1.2 Fokus Penelitian
Lingkup penelitian ini dibatasi pada terjemahan teks cerita rakyat atau
folklor Angkola ke dalam bahasa Indonesia yaitu teks Hallian, sebagai salah satu
teks budaya Angkola yang dijadikan sebagai objek penelitian, yang terfokus pada
“ Kesepadanan, dan Pergeseran Makna dalam Terjemahan Fiksi Halilian dari
Bahasa Angkola ke Indonesia.
Secara khusus, ruang lingkup kajian terjemahan ini adalah (1)
makna ungkapan (kata) yang berkonteks budaya Angkola yang tercermin dalam
teks Bahasa Angkola dan mengkaji kecenderungan pemadanannya ke dalam
bahasa Indonesia. (2) kajian terjemahan ini berusaha melihat terjadinya
pergeseran menentukan dan menganalisis konteks situasi dan konteks budaya,
yang terdapat dalam teks bahasa Angkola sehingga terjawab dalam konteks apa
terjadi pergeseran, (3) faktor apa yang menyebabkan pergeseran dan
menganalisis secara deskriptif kualitatif pergeseran (shift) yang terjadi dalam
pengalihan makna, pada tingkat mikro dan makro.
Menurut Saragih (2006 : 43) satu teks membawa makna konteks budaya
karena itu makna budaya tersebut mengaitkan linguistik dengan unsur sosial dan
kebudayaan. “ Berdasarkan pendapat itu maka” teks dalam terjemahan ini untuk
mendekripsikan konteks situasi menggunakan kerangka kerja LSF, yang terdiri
atas tiga komponen utama, yaitu Field, Tenor, dan Mode. Berdasarkan latar
belakang tersebut dirumuskan masalah dalam penelitian penerjemahan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah tipe kesepadanan yang diperoleh dalam proses padanan yang
terdapat dalam teks sumber dan teks terjemahan ?
2. Jenis pergeseran apakah yang terdapat pada teks terjemahan?
3. Bagaimanakah keterkaitan konteks situasi dan konteks budaya pada teks?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian adalah menyumbangkan karya ilmiah pada
linguistik mikro maupun makro, dengan melihat teks Angkola sebagai bagian dari
kekhasan dan keunikan bahasa dan budaya masyarakat Angkola. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan;
1. mendeskripsikan tipe padanan yang terdapat dalam teks target;
2. mendeskripsikan jenis pergeseran (shifts) pada teks Halilian ke dalam
bahasa Indonesia
3. mendeskripsikan keterkaitan konteks situasi dan konteks budaya, dalam
pergeseran makna;
4. mendeskripsikan fakor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoretis temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pemerhati bahasa dan budaya karena di dalam teks terdapat kekhasan bahasa dan
budaya yang dapat digunakan sebagai pembanding teori gramatika universal. Bagi
para linguis dan pengajar bahasa, kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan rujukan tambahan maupun sebagai bahan perbandingan lebih lanjut untuk
Bahasa dapat pula memanfaatkan tulisan ini untuk memperluas pandangan
kelinguistikan mereka terutama untuk melakukan kajian terhadap keragaman
bentuk lingual yang dimiliki budaya tertentu (etnosemantik), makna, fungsinya
dalam masyarakat serta dinamika penggunaan bahasa daerah yang merupakan
bagian dari budaya mereka sendiri dari sudut pandang bahasa yang digunakan
(languange in use dalam LSF).
Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi tentang pentingnya memahami dan melestarikan budaya melalui
bahasa terutama bagi generasi penerus supaya nilai-nilai yang terkandung dalam
bahasa tidak sampai luntur. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah
apakah keunikan atau kekhasan bahasa daerah tersebut masih memiliki
kewibawaan bagi generasi selanjutnya. Juga diharapkan temuan penelitian ini
dapat memberikan masukan bagi Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, dalam
hal mengantisipasi pergeseran makna lingual dalam teks terjemahan.
Adapun manfaat dari kajian ini adalah;
1. diperolehnya gambaran kesepadanan dalam teks;
3. terjemahan yang merupakan pengalihan informasi, dapat memberikan
sumbangan atau akses terhadap informasi;
3. sebagai salah satu antisipasi dalam menghadapi ancaman dari bahasa
4. diperolehnya gambaran pergeseran yang terdapat pada tek terjemahan, dan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadiya pergeseran.
1.5 Asumsi Penelitian
Bahasa adalah instrumen utama manusia dalam mengintegrasikan dirinya
baik secara internal maupun eksternal sebagai individu yang berfungsi dan
partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia (Mc Glynn, 2000:171).
Oleh karenanya kajian tentang bahasa harus selalu menempatkan kajian itu dalam
hubungannya dengan kehidupan manusia (Kridalaksana, 1998:2)
Kajian dalam penelitian ini bersumber pada buku Halilian bahasa Angkola
yang sudah dimodifikasi. Teks ini diasumsikan bahwa dapat digunakan untuk
menambah wawasan dalam bahasa Angkola dan tingkat keberterimaannya sangat
tinggi dimasyarakat. Walaupun Penerjemah tidak berlatar belakang bidang
kebahasaan karena itu struktur kalimat menjadi rendah tetapi tingkat keakuratan
pesanannya mudah dipahami. Saragih (2006:25) juga menegasakan bahwa, teks
adalah bahasa yang berfungsi yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam
konteks situasi. Teks pada dasarnya adalah suatu produk penggunaan bahasa yang
berdasarkan fungsinya dapat dipahami sama seperti bahasa itu sendiri yakni
sebagai sarana untuk tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan
mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya. Oleh karena itu, kajian
terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan fungsional..
Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada besarnya
perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara teoretis
penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat di samping adanya perbedaan
sistem dan struktur juga semantik serta kebudayaan yang melatarbelakanginya,
kegiatan penerjemahan sampai batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara
mencari dan menemukan padanan di dalam bahasa serta konvergensi
kebudayaan-kebudayaan di dunia (Hoed,1992:80). Oleh karena itu pengalihan makna dalam
penerjemahan etnografik ditentukan oleh sejauh mana konsep-konsep budaya
dalam teks sumber diketahui atau dimiliki (shared) atau tidak dalam bahasa
target.
1.6 Klarifikasi Istilah
Penelitian ini adalah “Kajian Teks terjemahan Bahasa Angkola” (Suatu
kajian tentang Kesepadanan, Fungsi Bahasa dan Pergeseran dalam Terjemahan
Bahasa Indonesia – Angkola. Untuk tidak terjadi kesalahpahaman tentang
istilah-istilah pada penelitian ini maka makna setiap kata perlu diklarifikasi.
1. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan oleh penutur
2. Bahasa Batak Angkola adalah bahasa bahasa yang digunakan oleh
masyarakat etnis Angkola-Sipirok
3. Budaya Angkola, memiliki ciri seperti; falsafah dasar “Dalihan Na
Tolu” sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini tetap
dipedomani. Di lihat dari segi falsafah Dalihan Na Tolu,hubungan
kekeluargaan etnik Angkola dibagi kepada; 1. Mora yaitu pihak
keluarga pemberi bora. Mora ini mendapat posisi didahulukan,
karena pihak mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi
yang sangat dihormati, di samping Raja-raja maupun Pemangku Adat,
2. kahanggi, yaitu keluarga yang mempunyai hajatan atau horja adat,
termasuk di dalamnya Suhut selaku tuan rumah, dan 3. Anak Boru
yaitu, pihak keluarga pemberian boru (pangalehenan boru). Di dalam
peelaksanaan sesuatu pekerjaan adat, masing-masing unsur “Dalihan
Na Tolu” tersebut masih mempunyai teman sekelompok (sajugukan)
seperti Mora dengan Mora Ni Mora (bisaa disebut dengan Hula
dengan Kahanggi/ Suhut dengan Pareban.
4. Penerjemahan merupakan proses pengalihan makna teks sumber ke
dalam teks sasaran pada dua bahasa yang berbeda.
5. Ada dua pengertian terjemahan, pertama terjemahan sebagai proses
terjemahan. Kedua terjemahan hanya sebagai hasil dari kegiatan
manusia. Hasil itu disebut teks terjemahan.
6. Proses terjemahan adalah transpormasi teks dari suatu bahasa lain
tanpa mengubah isi teks asli
7. Padanan suatu bentuk dalam bahasa target dilihat dari segi semantik
sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber.
8. Pergeseran adalah perubahan bentuk dan makna bahasa sumber ke
dalam bahasa target, Pergeseran dalam terjemahan ada dua jenis, yaitu
level shift adalah yang muncul di permukaan dalam bentuk item
bahasa sumber pada level linguistik memiliki padanan dalam level
yang berbeda ( misalnya tatarangrammar berpadanan dengan leksikal,
dan category shift, suatu istilahgenerik yang mengacu pada pergeseran
yang mencakup empat kategori, yakni (a) pergeseran struktural yang
menyangkut perubahan gramatikal antara struktur teks sumber dan
teks target, (b) pergeseran kelas bila item bahasa sumber dipadankan
dengan item bahasa target yang memiliki kelas gramatikal yang
berbeda, verba diterjemahkan dengan nomina, (c) pergeseran unit unit
yang menyangkut perubahan rank, dan (d) pergeseran intra –sistem
yang terjadi bila secara konstituen memiliki perbedaan (misalnya tata
dalam bahasa target, bentuk tunggal (singular) bahasa sumber menjadi
ja.mak (plural) dalam bahasa target.
9. Pergeseran Mikro (Micro Shifts) adalah bisa berujud dari pergeseran
partikel yang mengarah ke atas atau ke bawah dan pergeseran
horizontal. Pergeseran vertikal yang mengarah ke atas terjadi bila unit
bahasa sumber disubstitusi dengan unit yang lebih tinggi rank-nya
dalam bahasa target. Pergeseran horizontal identik dengan konsep
intra system sifts.
10.Pergeseran Makro (Makro Shifts) bergerak dalam kawasan ranah teks yang melibatkan tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain pada tataran sintaksis (seperti komponen semantik, tekstual, prakmatik dan retorik). 11.Istilah teks dan konteks tidak dapat dipisahkan. Konteks adalah segala
sesuatu di luar yang diujarkan dan yang tertulis, termasuk aspek non
verbal sehingga dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan di mana
teks itu ada atau diujarkan
12.Istilah fungsi bahasa sama dengan kegunaan bahasa, satu unit bahasa
sebagai semiotik sosial adalah bahasa berfungsi di dalam konteks
sosial. Fungsi bahasa berarti mengupas penggunaan bahasa itu sendiri.
Fungsi bahasa pada teks terjemahan yang dipengaruhi eksternal bahasa
Haliliday. Hasan dan Amrin. Teks dibatasi sebagai unit bahasa yang
fungsional dalam konteks sosial.
13.Konteks sosial mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis
atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa
pemakaian bahasa atau interaksi sosial.
14.Konteks situasi terdiri atas; apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor),
yang membicarakan sesuatu bahasan, dan bagaimana (mode),
pembicaraan dilakukan.
15.Konteks Budaya; dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk
mencapai suatu tujuan.
16.Makna teks terjemahan dalam penelitian ini adalah makna yang
muncul dalam teks. Oleh sebab itu, konsep makna dari teks terjemahan
dimulai dengan makna teks dalam konteksnya, yaitu konteks situasi
dan konteks budaya . Makna teks dibagi tiga fase, yaiu makna ide,
makna antarpelibat, dan makna tekstual (Halliday dalam Amrin,
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengantar
Kajian pustaka yang terdiri dari pencermatan terhadap penelitian atau
kajan terjemahan yang pernah dilakukan untuk memberikan fakta-fakta empiris
tentang masalah terjemahan dan telaah teoretik terhadap teori dan konsep-konsep
tentang terjemahan untuk mendapatkan acuan dasar membangun landasan teori
penelitian.
2.1.2 Penelitian Terjemahan yang Pernah Dilakukan
Tinjauan hasil terjemahan tentang penelitian yang pernah dilakukan ini
merupakan dasar peneliti untuk mendudukkan kajian penelitian terhadap
penelitian kajian yang peneliti kaji. Ada beberapa hasil penelitian yang dapat
dikumpulkan untuk dijadikan bahan teoritik.
Soemarno (1988) dalam desertasinya meneliti hubungan antara belajar
dalam bidang penerjemahan, jenis kelamin, kemampuan berbahasa Inggeris
dengan tipe-tipe kesilapan terjemahan dari bahasa Inggeris ke dalam bahasa
Indonesia. Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa lama belajar dalam
yang dibuat oleh para mahasiswa. Kontribusinya lebih banyak bersifat praktis
bagi pengajaran penerjemahan, sedangkan kontribusi hasil penelitian Hoed lebih
bersifat teoritis. Penelitian Hoed merupakan model kajian terpadu antara
pendekatan sastra, linguistik dan terjemahan yang sekaligus membuktikan adanya
benang merah yang menghubungkan dan menembus sekat-sekat bidang keilmuan
serta mengindikasikan kesalingbermaknaan pemahaman bidang ilmu tertentu
terhadap pengkajian suatu masalah kebahasaan yang lebih holistik.
Secara teoretis penelitian ini telah mengungkapkan bahwa dalam
penerjemahan yang memberikan prioritas kepada usaha mempertahankan
keutuhan pesan teks sumber pada hasil terjemahan memang lazim menjauhi
perwujudan kesejajaran bentuk antara bentuk bahasa sumber dan bentuk bahasa
target. Walaupun demikian, belum diungkapkan bahwa dalam proses
penerjemahan, pemadanan teks sumber tidak saja membawa implikasi pergeseran
bentuk tetapi juga pergeseran makna (meluas, menyempit atau hilangnya
informasi.
Ida Bagus Putra Yadnya desertasinya yang berjudul, Pemadanan Makna
Berkonteks Budaya: Sebuah Kajian Terjemahan Indonesia-Ingeris (2004), yang
mengkaji representasi makna berkontek budaya sebagai konsekuensi dari strategi
Pendekatan linguistik dalam studi terjemahan juga pernah dilakukan
Yadnya dan Resen (1986). Topik tersebut yaitu studi kasus terjemahannya adalah
pergeseran formal frasa benda dalam terjemahan Ingeris-Indonesia. Jangkauan
masalah dalam penelitian terbatas pada mengidentifikasi seberapa jauh terjadi
kesejajaran bentuk penerjemahan frasa benda bahasa Ingeris ke dalam bahasa
Indonesia dan sejauh mana terjadi pergeseran formal tau alih bentuk berwujud
alih unit, struktur, dan kelas pengisi elemen struktur dalam penerjemahan.
Temuan dan analisis data pergeseran formal yang disajikan menunjukkan
terjadinya peristiwa pergeseran unit, struktur, dan kelas.
Sembiring (1995) dalam artikel yang berjudul “Masalah Penerjemahan
Hubungan Kekerabatan dalam Alkitab dalam Bahasa Karo”, menegaskan bahwa
di samping memberi prioritas pada arti yang mendukung teks sumber (Alkitab)
dan bukan pada bentuk dari bahasa sumber, penerjemah juga peka terhadap
kebudayaan penerima dan sejauh mungkin haruslah wajar.
Puspani (2003) mengungkapkan dalam tesisnya tesisnya yang berjudul
“The Semantic Features of The Terms Related to Balinese Culture in the Novel
Sukreni Gadis Bali and Their Translation in The Rape of Sukreni” (Kajian
Terjemahan). Kajiannya berhasil mengidentifikasikan terms yang berhubungan
(2) fenomena historis; (3) upacara agama Hindu Bali; (4) sistem sapaan serta
bagaimana terms tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Lubis, (2009) mengkaji kasus penerjemahan etnografik dengan melakukan
studi kasus penerjemahan teks mangupa dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa
Inggris. Dalam penelitian Lubis, mengidentifikasi (1) perbedaan kelinguistikan
dalam bahasa sumber dan bahasa target, (2) mengidentifikasi masalah
kelinguistikan yang muncul dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa
target.(3) perbedaan budaya yang ada dalam bahasa sumber dan bahasa target. (4)
masalah budaya apa yang muncul dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa
target. ( 5) dampak teknik penerjemahan yang digunakan terhadap kualitas
terjemahan dalam hal keakuratan (accuracy), keterbacaan (readabbility) dan
(keberterimaan (acceptability). Masalah menarik lainnya adalah bagaimana wujud
dan kecenderungan pola-pola perpadanan makna berkonteks budaya dan
pergeserannya.
Persamaan kajian penelitian yang telah dilakukan Lubis, dan Puspani
dengan kajian penelitian “Kajian Teks Bahasa Angkola – Indonesia” terletak
pada substansi pokok yakni sama-sama mengangkat masalah penerjemahan.
Muara perbedaan dari kajian Lubis, dan Puspani dengan kajian penulis
terletak pada kontribusinya berdasarkan paradigma yang dibangun (melihat
(semantik). Penulis menyakini hasil kajian Puspani memberikan kontribusi yang
berarti pada pengayaan analisis semantik dan menunjukkan pada kasus-kasus
terjemahan seberapa jauh kontribusi semantik dalam menentukan tingkat
kesepadanan pesan dari suatu bahasa sumber dalam bahasa target. Walaupun
terdapat persamaan dalam menilai pentingnya peran semantik dalam
penerjemahan tetapi berdasarkan perspektif yang melihat penerjemahan sekaligus
sebagai produk dan proses (LSF) serta memandang teori semantik sebagai sarana
maka kontribusi hasil kajian penulis lebih condong pada teori terjemahan
dibandingkan dengan teori semantik dan pada praktek penerjemah dan mengkaji
teks sebagai produk dengan kerangka kerja Haliday dan Saragih 2006
(Angkola-Indonesia).
2.1.3 Kajian Pustaka yang Berkaitan dengan Bahasa dan Kebudayaan dalam
Kerangka Kajian Terjemahan
Untuk menentukan paradigma terhadap bahasa dan budaya serta
keterkaitan penerjemahan perlu dilakukan kajian terhadap pustaka yang
berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena
penerjemahan.
Penelitian terfokus: 1) bagaimanakah tipe kesepadanan yang diperoleh
dalam konteks apakah terjadi pergeseran makna (shifts) teks terjemahan, 3)
Bagaimanakah tautan konteks situasi dan konteks budaya pada teks, dan 4)
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran. Dalam hal mengkaji
masalah-masalah tersebut maka diperlukan kerangka teori.
Teori terjemahan selalu bertumpu pada asumsi tertentu tentang penggunaan bahasa. Asumsi ini dikelompokkan dalam dua kategori, yakni (1) instrumental dan (2) hermeneutik. Teori terjemahan yang menganut konsep instrumental memandang bahasa sebagai komunikasi untuk mengekspresikan pikiran dan makna, yang didasarkan atas acuan terhadap realitas empiris atau yang berasal dari konteks ( pada dasarnya konteks ini tidak hanya linguistik tetapi juga mencakup situasi pragmatik).
Teori terjemahan yang menganut konsep hermeneutik memandang
bahasa sebagai interpretasi, pertalian pikiran dan makna di mana makna
membentuk realitas dan dinyatakan sesuai dengan situasi sosial dan budaya.
Konsep instrumental tentang bahasa mengarah pada teori terjemahan yang
mengutamakan pengkomunikasian meminimalkan dan kadang-kadang
mengesampingkan masalah fungsi di balik komunikasi. Konsep hermeneutik
terhadap bahasa mengarah pada teori terjemahan yang mengutamakan
interprestasi nilai-nilai kreatif (Venuti, 2000:5-6).
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa
kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan
kata-kata yang kita tuliskan juga merupakan simbol dari kata-kata-kata-kata yang kita tulis.
Hermeneutik secara etimologis adalah berasal dari bahasa Yunani
Hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’ dan kata benda Hermeneia secara harfiah
dapat diartikan sebagai ‘penafsir’ atau ‘intepretasi’
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Seperti halnya
terhadap diri kita, kalau kita berpikir melalui bahasa, kita berbicara melalui
bahasa, dan kita menulis juga dengan bahasa, bahkan kita berkomunikasi dengan
seni yang lain juga menggunakan bahasa. Sebagai contoh patung dan lain-lain,
juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa.
Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita salah
paham dan salah tafsir apabila kita tidak menyimak hasil pembicaraan orang lain.
Karena arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak fakta: siapa
yang berbicara, keadaan dan waktu, tempat semua ini dapat mewarnai arti sebuah
peristiwa bahasa.
Konsekuensinya kajian terjemahan bahasa Angkola ke dalam bahasa
Indonesia ( Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian
dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia) dan harus pula mempertimbangkan
prinsip-prinsip pragmatik di samping semantik (untuk menangani makna
pergeseran (shifts) makro yang mencakup komponen tekstual yang membangun
kohesi dan koherensi teks. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa analisis
pergeseran pragmatik dalam terjemahan hanya bisa dilakukan dengan
mempertimbangkan konteks situasi dan budaya.
Budaya dalam bahasa target untuk bisa menunjukkan bidang-bidang
pergeseran yang mungkin terjadi tatkala penerjemah mencoba memadankan
makna. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam kajian makna dengan
pendekatan semantik dan pragmatik harus berjalan bersama. Dalam kajian ini
pendekatan semantik mengungkap hubungan antar simbol dengan konsep dan
benda atau hal yang diacu oleh makna tersebut sedangkan pragmatik mengungkap
makna dengan memperhatikan konteks situasi yang berkaitan dengan pemakaian
unsur lingual pengungkap makna tersebut.
2.1.3.1 Bahasa
Bahasa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya para
penuturnya. Perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa terlihat jelas pada
kosa katanya. Kosakata adalah wadah konsep yang terdapat dalam budaya.
Sebagai contoh; Segala sesuatu yang bertalian dengan perkawinan ”Horas tondi
madingin sayur matua bulung” dalam bahasa Indonesia tidak terdapat padanan
mencerminkan kekhasannya budaya penuturnya yang belum tentu dimiliki oleh
bahasa lain.
Proses penerjemahan melibatkan dua bahasa dan di dalam bahasa-bahasa
tersebut terkandung berbagai makna. Oleh karena itu sebelum sampai pada tahap
pengkajian masalah penulis memandang perlu untuk menentukan paradigma
terhadap bahasa dan budaya serta keterkaitan penerjemahan dengan keduanya.
Untuk menentukan paradigma tersebut perlu dilakukan kajian terhadap pustaka
yang berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena
penerjemahan.
Bahasa di dalam masyarakat adalah wujud untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Saragih (2006:1) menegaskan, untuk memenuhi kebutuhan manusia
dalam berbagai kegiatan sebagai anggota masyarakat dan bahasa yang didasarkan
pada kegunaan, penggunaan, fungsi bahasa bagi manusia atau unsur lain di luar
teks yang diucapkan dapat dikatakan dengan pendelatan fungsional. Berdasarkan
ini maka kajian terjemahan bahasa Angkola ini memakai pendekatan fungsional.
Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan simbol merupakan salah satu
komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran,
perasaan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari
adalah bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir”.
Karena budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan sistem simbol merupakan salah satu
dari komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran,
perasaan dan perbuatan.
Di dalam tulisan ini kata budaya, bukan kebudayaan dipakai sebagai
padanan bahasa Inggris culture tetapi budaya di sini diartikan sebagai mengacu
pada seperangkat praktik, kode, dan nilai yang menandai suatu kelompok
(Morgan, 1999:495). Defenisi ini sesuai dengan pengertian budaya menurut Farr
dan Ball dalam Tampubolon (2005:45), yang mengatakan bahwa budaya adalah
sistem pengetahuan yang dipunyai bersama oleh kelompok orang, yang berkaitan
dengan perilaku dan yang dipakai (oleh mereka) untuk menafsirkan pengalaman.
Tampubolon (2005) menjelaskan lebih lanjut budaya terdiri atas “Apa saja yang
perlu diketahui atau dipercayai (oleh seseorang) agar ia dapat bertingkah laku
dengan cara yang berterima oleh para anggota (masyarakat)”.
Defenisi budaya seperti yang dikutip di atas menyiratkan bahwa budaya
itu berkaitan dengan cara hidup (ways of living). Karena cara hidup itu
membawahkan cara berkomunikasi (ways of communicating), dapat dikatakan
bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu
Fishman (1985:99) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya
bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2)
sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari
budaya bahasa merupakan pengejawantahan perilaku manusia. Misalnya upacara,
ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua
yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa
karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya
tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan
menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item
leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis.
Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk
berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai idiologi dan pandangan hidup
(way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus
menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu
dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa target. Hubungan bahasa dan budaya begitu dekat
sehingga dalam penerjemahan kedua aspek tersebut harus dipertimbangkan.
Penerjemah harus menangani teks bahasa sumber sedemikian rupa sehingga versi
Newmark (1988:94) mendefenisikan kebudayaan sebagai ”They way of
life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular
language as its means of expression”. Konsep budaya tersebut mengandung
kata-kata kunci “way of life peculiar to community”, dan “particular language”
sebagai inti suatu budaya dan sekaligus ciri pembeda dengan budaya lain. Dari
defenisi tersebut dapat dimengerti bahwa budaya merupakan keseluruhan konteks
di mana manusia berada berfikir dan berinteraksi satu sama lainnya dan sekaligus
menjadi perekat suatu komunitas. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan
sekaligus merupakan sarana membangun dan mengekspresikan budaya sehingga
perbedaan budaya berarti perbedaan bahasa.
Secara spesifik Newmark membedakan ciri bahasa ke dalam tiga kategori;
(1) bahasa bersifat universal, contohnya, kata-kata yang berupa artefak seperti
meja, atau cermin, kata-kata ini tidak akan menimbulkan masalah karena semua
budaya memiliki bahasa yang mampu mengekpresikan konsep-konsep tersebut.
(2) bahasa bersifat kultural, contoh dalam kosakata bahasa Angkola seperti
“marhusip, suhut, dan pisangraut penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia akan
menimbulkan permasalahan yang cukup rumit akibat kesenjangan pemahaman
konsep. (3) bahasa bersifat personal.
Selanjutnya newmark (1988:95- 103 dalam Yadnnya desertasi 2004)
termasuk flora, fauna, angin lembah, gunung, (2) material culture culture atau
artefak seperti makanan, pakaian, perumahan dan kota, (3) social culture
termasuk kerja(work) dan waktu luang (leisure), (4) organisations, customs,
activities, procedures, concepts, yang bersifat politik dan aministratif, religius,
dan artistik dan (5) gesture dan hubits.
Kebudayaan terungkap dalam bentuk kebudayaan eksplisit yang berwujud
artefak yang diproduksi masyarakat seperti pakaian, makanan, teknologi, dan lain
lain. Memahami budaya lain tidaklah mudah karena budaya itu secara langsung
dapat diamati. Langkah pemahaman suatu kebudayaan dapat dilakukan dengan
memahami terlebih dahulu konsep kebudayaan, kosmologi, pandangan hidup dan
nilai budaya karena ketiga inti tersebut akan teraktualisasi dalam perilaku manusia
pendukungnya.
Cerminan budaya dalam bahasa tidak hanya terbatas pada tingkatan kosa
kata saja tetapi juga terdapat pada tingkat yang lebih luas lagi seperti pada aspek
retorika. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang (orang yang satu
berbeda dengan orang yang lain), begitu juga kebudayaan. Pernyataan ini sesuai
dengan defenisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1888: 94 dalam Yadnya
Putra) yaitu, “The way of life and its manifestation that are peculiar to a comunity
terkandung pengertian bahwa masing-masing gayub bahasa (language group)
memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya.
Sebagaimana diungkapkan dalam subpembicaraan asumsi dasar di muka,
Sibarani, (2004:46) mengatakan bahasa adalah alat intelektual yang paling
fleksibel dan paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Dan Sibarani,
juga menegaskan, melihat bahasa sebagai instrumen utama manusia dalam
mengintegrasikan dirinya baik secara eksternal maupun internal sebagai invidu
yang berfungsi dan partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia.
Dalam konteks budaya bahasa (termasuk produk penggunaannya seperti karya
sastra atau teks non-sastra lainnya) tidak saja bisa dipandang sebagai sarana
komunikasi individu atau kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan,
pendapat, harapan, kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada
individu atau kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber
daya unutk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas
dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan
pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya. Berangkat dari paradigma ini
maka studi tentang bahasa tidak hanya terbatas pada penelitian mikro yang
dilakukan secara intrinsik semata-mata untuk kepentingan bahasa itu sendiri tetapi
juga bersifat makro secara ekstrinsik untuk mengungkapkan apa yang berada di
2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola
Budaya berkaitan dengan cara hidup (way of living). Karena cara hidup
itu membawakan cara berkomunikasi (way of comunication), dan dapat dikatakan
bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu
bertutur. Dapat dikatakan bahwa budaya mengatur penggunaan bahasa.
Tampubolon, (2005:45) mengatakan bahwa budaya berkaitan dengan aturan yang
harus diikuti oleh para anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, dan karena
itu ia bersifat normatif, budaya menentukan standar perilaku.
Pandangan tradisonal suku Batak yaitu berkisar angka tiga. Pertama, alam
semesta ini dilihat sebagai yang terdiri atas tiga bahagian yang disebut banua na
tolu, banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah) dan banua toru
(banua bawah). Menurut Sihombing dalam Tampubolon, (2005:46), ketiga dunia
itu sederejat, yang berbeda adalah jenis penghuniya. Kedua dalam masyarakat
Batak kesatuan sosial diibaratkan sebagai bonang na tolu (benang yang terdiri
atas lilin) yang masing-masing mewarnai, putih dan hitam, yang mungkin sekali
melambangkan tiga unsur utama di dalam masyarakat Batak Angkola. Ketiga
yang paling penting dalam falsafah orang batak Angkola karena ia tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari adalah azas dalihan na tolu (tungku yang
menanak nasi. Apabila diamati betapa pentingnya perlambang batu ketika kita
melihat menanak beras. (Beras adalah makanan pokok suku Batak maupun suku
Jawa) sebagai lambang kehidupan. Agar kehidupan berlangsung terus , belanga
tempat menanak beras itu harus seimbang, dan ini dapat terlaksana dan
dipertahankan tiga syarat dipenuhi. Tiga batu di dalam masyarakat Angkola yaitu
dongan sabatuha.
Kebudayaan Masyarakat Angkola-Sipirok dalam banyak hal mempunyai
persamaan dengan kebudayaan masyarakat Padang Bolak dan Masyarakat
Mandailing.
Adat istiadat tersebut tidak banyak berbeda, demikian juga bahasanya.
Masyarakat Angkola–Sipirok merupakan masyarakat agraris yang hidupnya
tergantung kepada pertanian, sawah, dan perkebunan yang ditanami dengan karet,
kopi, kulit manis, dan lain-lain.
Masyarakat Angkola – Sipirok adalah masyarakat yang sejak dahulu kala
mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten
Tapanuli Selatan. Wilayah Angkola terdiri atas tiga bagian, yaitu; 1) Angkola Jae
(Angkola Hilir), 2) Angkola Julu (Angkola Hulu), 3) Angkola Dolok(Angkola
Pegunungan).
Pada saat ini wilayah Angkola atas sepuluh wilayah kecamatan. Sepuluh
Batang Toru, 3) Kecamatan Padang Sidempuan Barat, 4) Kecamatan Padang
Sidempuan Timur, 5) Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, 6) Kecamatan
Padang Sidempuan Utara, 7) Kecamatan Sipirok, 8) Kecamatan Saipar Dolok
Hole, 9) Kecamatan Padang Bolak, dan 10) Kecamatan Dolok. Wilayah
masyarakat Angkola-Sipirok berdampingan dengan wilayah Padang Bolak
(Padang Lawas) dan Wilayah Mandailing.
Masing-masing kelompok etnik (suku bangsa) yang merupakan bagian
integral dari bangsa Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Oleh karena itu,
dalam kehidupan bangsa Indonesia terdapat mosaik kebudayaan etnik sebagai aset
kultur yang tidak ternilai harganya. Karena itu, bahasa-bahasa daerah itu tetap
dipelihara keberadaannya, baik secara Internasional maupun secara Nasional.
Secara Internasional, adanya jaminan hak asasi bahasa untuk tetap bertahan dan
mengembangkan diri. Untuk itu, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari
sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (Alwasilah, 2001:1). Dalam konteks
mayarakat Indonesia, umumnya Bahasa Ibu mereka adalah bahasa daerah/lokal
(vernacular).
Menurut Bahri, Samsul dalam Www.harian.global.com bahwa, Jauh
sebelum penjajahan Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada
penduduk yang mendiami Wilayah Angkola, yang diperkirakan 9000 tahun
pecahan atau yang memisahkan diri dari etnik lain). Terbukti dengan adanya
kerajaan-kerajaan di sekitar Sabungan/Padangsidimpuan, Batunadua,
Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya,
Batarawisnu, Mandalasena dan lain-lain.
Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti:
- Falsafah dasar “Dalihan Na Tolu”, sebagai tatanan/pandangan hidup sampai
saat ini telah dipedomani,
- Adat Istiadat Budaya,
- Pakaian Adat dengan Tenunan sendiri,
- Bahasa dengan Aksara. Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya
Bisaa, Andung, Bura atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola ni
Hata. Sedangkan Aksara Angkola yang jika dibaca menurut ejaan Latin
adalah A, HA, NA. RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA, BA, LA, NGA,
KA, CA, NYA, GA, YA (Konsonan Ina ni Surat). Dilengkapi dengan
simbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal E, I, O, dan U serta
Simbol Pembatas disebut Pangolat menandakan huruf mati, misalnya NGA
menjadi NG, dll. Bentuk huruf/abjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara
etnik lainnya.
- Mempunyai Kesenian dan Alatnya serta Ornamen khas.
Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata
pelajaran di SD dan SMP/sederajat di seluruh Tapnanuli Selatan, baik pelajaran
Tata Bahasa (Impola Ni Hata), Bahan Bacaan (Turi-turian), dan lain-lain yang
dipergunakan adalah versi Angkola.
Dari segi garis keturunan yang menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat
Angkola ditandai dengan Marga/Clan yang dominan seperti Harahap, Siregar,
Pane dengan rumpun marganya, seluruhnya mendiami ketiga order distrik
tersebut.
Dilihat dari segi Falsafah Balihan Na Tolu, hubungan kekeluargaan Etnik
Angkola dibagi kepada: 1) Mora, yaitu pihak keluarga pemberi boru. Mora ini
mendapat posisi didahulukan, karena pihak Mora dalam hubungan kekeluargaan
memiliki posisi yang sangat dihormati, disamping raja-raja maupun Pemangku
Adat; 2) Kahanggi, yaitu keluarga yang mempunyai hajatan atau Horja Adat,
termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah; 3) Anak Boru, yaitu pihak
keluarga pemberi Boru (pangalehenan Boru). Di dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan adat, masing-masing unsur Dalihan Na Tolu tersebut masih mempunyai
teman kelompok (sajuguan) seperti Mora dengan Mora ni Mora (bisaa juga
disebut Hula Dongan, Kahanggi/Suhut dengan Pareban, (saudara/keluarga
sepengambilan), dan Anak Boru bersama Anak Borunya yaitu Pisang Raut yang
Dari segi garis keturunan menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat
Angkola ditandai dengan marga yang dominan seperti Harahap, Siregar, pane
dengan rumpun marganya.
Dalam sejarah mencatat bahwa sebelum Indonesia merdeka, wilayah
pemeintahan di Tapanuli Selatan dahulunya bernama Afdeling dipinpin seorang
Residen dengan pusat pemerintahan di Padang Sidempuan, membawahi 3 order
Afdeling dan masing-masing dipimpin oleh Controlleur, seterusnya membawahi
Order Distrik yang dpimpin oleh Asisten Demang. Order Afdeling di bawah
Afdeling, antara lain Angola dan Sipirok berpusat di Sidempuan, Order Afdeling
Padang Lawas di Sibuhuan, dan Order Afdeling Mandailing di Kota Nopan.
2.1.3.3 Terjemahan Sebagai Objek Peninjauan Beberapa Bidang Ilmu
Terjemahan sebagai transformasi antarbahasa merupakan gejala yang
menyita perhatian para pakar beberapa bidang ilmu: psikologi, etnografi, ilmu
sastra, ilmu bahasa dan lain-lain. Terjemahan merupakan masalah substansial bagi
pakar psikologi karena keistimewaan peranan orientasi, pemahaman,
pengetahuan, penerjemah dalam proses penerjemahan. Sedangkan bagi pakar
etnografi, terjemahan adalah objek yang menarik untuk pengamatan di bidang
yang disebut “semantik etnografis”, yang mencakup masalah luas sehubungan
tentang dunia sekitar. Lain halnya dengan ilmu sastra. Bagi ahli sastra, masalah
terjemahan adalah masalah keunggulan artistik penerjemah, kemampuannya
menyampaikan ragam sastra individual pengarang dan mempertahankan citra
dasar dan isikarya sastra yang diterjemahkan atau dapat disebut dengan
belles-letters seorang estitikus yang mengenal dan mempelajari ilmu keindahan. Hanya
saja, terjemahan ragam sastra tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi berkaitan
dengan terjemahan ragam bahasa lainnya dalam kaidah-kaidah universal
Arti terjemahan bagi ilmu bahasa merupakan sumber data-data yang
sangat menarik bagi ilmu linguistik, terutama sekali bagi linguistik perbandingan
(contrastive linguistics). Bentuk hubungan timbal balik (korelasi) antara linguistik
terjemahan dan linguistik perbandingan terletak pada kepentingan-kepentingan
dan tujuan masing-masing pihak. Namun, bersamaan dengan itu, kita melihat
adanya persamaan antara kepentingan-kepentingan perbandingan bahasa dengan
tujuan linguistik terjemahan, karena teori terjemahan mengkaji hubungan-
hubungan antar bahasa. justru karena keterkaitan dengan kajiannya sendiri inilah,
maka linguistik terjemahan pun mempuyai fungsi yag bisa dijadikan arahan
linguodidaktis, yakni pengajaran bahasa asing lewat terjemahan dengan tujuan, di
antaranya, untuk mengatasi interferensi dan menggalakkan semantisasi kontrastif.
Teori terjemahan adalah bagian integral dari linguistik perbandingan. Hal