• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERJEMAHAN BERANOTASI DARI BAHASA INGGRIS KE BAHASA INDONESIA BUKU WHAT DO MUSLIMS BELIEVE? TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERJEMAHAN BERANOTASI DARI BAHASA INGGRIS KE BAHASA INDONESIA BUKU WHAT DO MUSLIMS BELIEVE? TUGAS AKHIR"

Copied!
218
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU WHAT DO MUSLIMS BELIEVE?

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar

Magister Humaniora

oleh: S E L A N I NPM 670503024X Program Studi Linguistik

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

pukul 15.00 WIB dengan susunan tim penguji sebagai berikut.

1. Dr. Muhammad Luthfi ... (Ketua Penguji/Anggota)

2. Prof. Dr. Rahayu S. Hidayat ………

(Pembimbing/Anggota)

3. Dr. Susilastuti Sunarya ... (Panitera/Anggota)

Disahkan di Jakarta, tanggal ………...oleh: Ketua Departemen Linguistik Dekan

Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Budaya

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

_________________________ ______________________

M. Umar Muslim, Ph. D. Dr. Bambang Wibawarta

(3)

Depok, 23 Juli 2008 Penulis,

S e l a n i

(4)

menganugerahkan kekuatan pada saya sehingga dapat menyelesaikan terjemahan beranotasi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi pada Jurusan Linguistik Penerjemahan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan oleh kelemahan dan kekurangan yang ada pada diri saya sendiri. Namun, saya berharap terjemahan ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan terjemahan beranotasi ini. Secara khusus ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Rahayu S. Hidayat sebagai pembimbing penulisan tugas akhir ini yang telah dengan sabar, teliti, dan penuh tanggung jawab membimbing dan mengarahkan penulis menyelesaikan terjemahan beranotasi ini.

2. Bapak Dr. Muhammad Luthfi dan Ibu Dr. Susilastuti Sunarya yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk perbaikan tugas akhir ini.

3. Bapak Dr. FX Rahyono selaku pembimbing akademis yang telah memberikan motivasi untuk segera menyelesikan tugas akhir ini. 4. Bapak M. Umar Muslim, Ph.D dan Ibu Wiwin Triwinarti, M.A, selaku

(5)

Program Studi Linguistik.

6. Para karyawan di Sekretariat Departemen Linguistik dan di Perpustakaan FIB yang telah dengan sabar melayani kami.

7. Bapak Drs. Margani M. Muchtar, M. Sc. selaku Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta yang telah memberi kesempatan dan beasiswa kepada saya untuk mengikuti program S2 di Universitas Indonesia. 8. Bapak Drs. Ratiyono M. Si, selaku kepala Subdis Tenaga

Kependidikan Dinas Dikmenti DKI Jakarta dan staffnya yang telah mengarahkan dan melayani kami dalam pengurusan biaya pendidikan selama menuntut ilmu di Universitas Indonesia.

9. Bapak Drs. H. Halidin Mukmin selaku Kepala Sekolah SMAN 9 Jakarta yang telah memberikan waktu pada saya untuk mengikuti pendidikan di Universitas Indonesia.

10.Rekan-rekan guru dan karyawan SMAN 9 Jakarta atas kerja sama dan pengertiannya selama penulis bekerja di lembaga ini.

11.Bapak Hananto yang telah membantu menyunting terjemahan dan sekaligus sebagai teman diskusi selama menyelesaikan tugas akhir ini. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh anggota keluarga atas doa dan dukungannya selama ini, khususnya pada istriku tercinta, Nunuk Isnadhiyah, yang selalu memberi semangat dan dukungan untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. Khusus kepada almarhum dan almarhumah Bapak dan Ibu saya selalu mendoakan semoga diterima segala amal

(6)

Jakarta, 23 Juli 2008

(7)

LEMBAR PENGESAHAN………...i

LEMBAR PERNYATAAN……….ii

PRAKATA……….………….iii

DAFTAR ISI………. .………vi

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM………viii

ABSTRAK………. .………ix

ABSTRACT………x

PEDOMAN TRANSLITERASI……….xi

BAB 1 : PENDAHULUAN………..……1

1.1Latar Belakang………...…………..…………1

1.2Alasan Pemilihan Teks………..……...4

1.3Teks Sumber……… ..5

1.3.1 Penulis …….………...….6

1.3.2 Pembaca Sasaran ….………7

1.3.3 Ringkasan……….8

1.4Pembaca Sasaran Tsa………..……… 11

1.5Metodologi Penerjemahan……… 11

1.6Sumber Rujukan………14

BAB 2 : KERANGKA TEORI………. 17

2.1 Penerjemahan Teks Keagamaan………....17

2.2.Teori Skopos ………19

(8)

ITU?... 37

BAB 4 : TEKS SUMBER: WHAT DO MUSLIMS BELIEVE?... 109

BAB 5 : ANOTASI………... 171

5.1 Nama dan Penyebutan……… .171

5.2 Istilah ………..179

5.3 Struktur Kalimat ……….190

BAB 6 : PENUTUP………192

GLOSARIUM………... .197

(9)

BSu = Bahasa Sumber TSu = Teks Sumber TSa = Teks Sasaran hlm. = halaman Par. = Paragraf

(10)

dan Kebudayaan No. 158 tahun 1987 No. 0543 b/U/87 dengan sedikit modifikasi pada sistem penulisan sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

alif Tidak dilambangkan Tidak

dilambangkan ba b be ta t te sa s es jim j Je ha h ha kha kh ka dan ha dal d De zal z zet ra r er zai z zet sin s es

(11)

dad d de

ta t te

za z zet

‘ain ….’… koma terbalik di

atas gain g ge fa f ef qaf q ki kaf k ka lam l el mim m em nun n en wau w we ha h ha hamzah ..’.. apostrof ya y ye

(12)

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah a a

Kasrah i i

dammah u u

2) Vokal Rangkap

Tanda dan Huruf Nama Gabungan huruf Nama

Fathah dan ya ai a dan i

Fathah dan wau

(13)

pertanggungjawaban atas padanan tertentu yang dipilih oleh penerjemah dalam mengatasi berbagai masalah penerjemahan. Teks sumber yang dipilih adalah buku bahasa Inggris yang berjudul What do Muslims Believe? Kegiatan ini dilakukan dalam dua langkah, yakni menerjemahkan dan memberi anotasi pada hasil terjemahan. Anotasi adalah pertanggungjawaban penerjemah atas padanan yang dipilih. Dalam anotasi, penerjemah menjelaskan masalah-masalah yang ditemukan selama proses penerjemahan dan solusi yang diberikan dalam mengatasi masalah itu, dengan disertai alasan yang logis. Masalah penerjemahan pada penerjemahan ini dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni: nama, istilah, dan kalimat. Metode dan prosedur penerjemahan digunakan untuk memecahkan masalah tersebut dan untuk menemukan padanan pada bahasa sasaran. Metode komunikatif dan semantis digunakan untuk mendapatkan terjemahan yang akurat, alami, dan berterima bagi pembaca teks sasaran. Saya menemukan bahwa metode, prosedur, dan teknik penerjemahan sangat membantu penerjemah bekerja lebih akurat.

(14)

responsibility for the choice equivalents in order to solve various translation problems. The source text was an English book entitled ‘What do Muslims Believe?’. The activities are carried out into two ways; translating and giving annotation on the translation. Annotation is the translator’s responsibility for the equivalent words and/or terms chosen. In annotation, the translator explains the problems found during the translation process and the solutions to the problems supported by logical reasons. The problems are classified into three categories: names, terms, and sentences. The translation methods and procedures are used to solve those problems and to find the equivalents in the target language. Communicative and semantic methods are applied in order to get an accurate, natural and accepted translation for the target text readers. I find that all of the translation methods, procedures, and techniques help the translator work more accurately.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:1183), penerjemahan didefinisikan sebagai ”proses, cara, perbuatan menerjemahkan; pengalihbahasaan”. Sementara itu, Nida dan Taber (1974:12) mengatakan bahwa penerjemahan adalah ”pengungkapan kembali pesan dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) dengan menggunakan padanan yang terdekat dan wajar, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya”. Senada dengan Nida dan Taber, Newmark (1988: 5) menyatakan, ”penerjemahan merupakan pengalihan makna dari satu bahasa ke bahasa lain sebagaimana yang dimaksud oleh penulis teks”. Jadi, penerjemahan merupakan suatu proses atau upaya untuk mengungkapkan kembali makna, pesan, atau amanat yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya dengan padanan yang terdekat dan wajar sehingga teks sasaran (TSa) dapat dipahami oleh pembacanya.

Selanjutnya, dalam konsep kesepadanan dinamis Nida dan Taber (1974:22) menggambarkan (dalam diagram) penerjemahan sebagai suatu tindak komunikasi. Penerjemah berada di antara dua bahasa. Ia menjadi penerima dalam bahasa sumber (BSu) dan kemudian menjadi pengirim dalam bahasa sasaran (BSa). Menurut Machali (2000:6), dalam proses komunikasi penerjemah melakukan komunikasi baru melalui hasil komunikasi yang sudah ada (yaitu dalam bentuk teks). Dalam komunikasi baru itu, penerjemah melakukan upaya membangun jembatan makna

(16)

antara produsen TSu dan pembaca TSa. Hal ini juga diungkapkan oleh Hatim dan Mason (1992:223) yang menyatakan bahwa “penerjemah berdiri di pusat proses komunikasi yang dinamis, sebagai mediator antara pembuat TSu dan penerima TSa yang diciptakannya. Dengan demikian, tugas penerjemah adalah memahami pesan yang disampaikan penulis TSu dan menyampaikan kembali pesan itu kepada khalayak pembaca sasaran dalam bahasa sasaran.

Sementara itu, Hoed (2006:29) menambahkan bahwa “penerjemah tidak saja berada di antara dua bahasa, tetapi juga dua kebudayaan, yakni kebudayaan masyarakat BSu dan kebudayaan masyarakat BSa”. Bahasa yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat itu. Namun, bahasa juga merupakan salah satu alat yang dapat mengungkapkan unsur kebudayaan secara keseluruhan dari masyarakat, yang meliputi sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, teknologi, religi (agama, kepercayaan, dan hal-hal yang gaib), kesenian, dan bahasa sendiri. Oleh karena itu, bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Implikasi dari kenyataan ini adalah bahwa, dalam menerjemahkan bukan hanya memperhatikan perbedaan kaidah antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, tetapi juga perbedaan budaya yang melatari kedua bahasa itu.

Dalam praktik penerjemahan, pemahaman penerjemah terhadap teks sumber merupakan faktor yang sangat menentukan. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap teks sumber, penerjemah tidak akan dapat mengungkapkan kembali pesan TSu ke dalam TSa sesuai dengan maksud penulis TSu. Oleh karena itu, Larson (1989: 520—551), memberikan pedoman berupa langkah (prosedur) yang dapat

(17)

ditempuh penerjemah dalam praktik penerjemahan. Menurut dia, langkah pertama adalah memahami TSu. Caranya yakni dengan membaca teks sumber secara keseluruhan, dan jika perlu dilakukan berkali-kali sampai penerjemah benar-benar memahami isi teks itu. Langkah berikutnya adalah analisis. Analisis harus dilakukan secara menyeluruh, yakni tidak terbatas pada aspek bahasa yang meliputi hubungan tekstual antara unit-unit dalam teks itu, tetapi juga aspek nonbahasa, seperti waktu dan tempat, jenis teks, pembaca teks, tujuan penulisan, dan informasi tentang pengarang. Dalam hal ini Newmark (1988:22) mengatakan, “teks harus dipahami pada tingkat referensial”. Penerjemah harus memahami topik teks, tujuan teks, dan pandangan tertentu penulis tentang teks sumber.

Setelah memperoleh pemahaman TSu secara komprehensif, barulah penerjemah mulai mengalihkan atau mengungkapkan kembali pesan TSu itu ke dalam BSa. Pertama-tama dilakukan dalam pikiran, kemudian membuat draf pertama. Perbaikan draf pertama menjadi draf kedua, draf kedua dicek kembali dan seterusnya sampai diperoleh terjemahan yang baik. Terjemahan yang baik menurut Larson(1989: 532) adalah terjemahan yang memenuhi unsur ketepatan (accuracy), kejelasan (clarity) dan kewajaran (naturalness). Padanan yang dipilih tepat, disampaikan dengan cara yang mudah dipahami, dan sesuai dengan kaidah yang berlaku bagi masyarakat pembaca sasaran. Untuk memperoleh terjemahan yang memenuhi ketiga unsur di atas, para ahli penerjemahan menyarankan agar penerjemah memilih metode, prosedur, dan teknik penerjemahan yang tepat sesuai dengan tujuan, pembaca sasaran, dan jenis teks yang kita terjemahkan.

(18)

Dalam tugas akhir ini, saya mencoba menerapkan metode, prosedur, dan teknik yang saya pilih untuk menerjemahkan sebuah teks yang saya ambil dari buku yang berjudul What Do Muslims Believe?, sebuah buku teks keagamaan yang menggunakan laras ilmiah populer. Metode, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam penerjemahan yang saya lakukan dijelaskan pada bab 2 tugas akhir ini.

Pada penerjemahan ini saya juga membuat anotasinya. Anotasi dibuat untuk menjelaskan langkah yang diambil penerjemah dalam mengatasi masalah penerjemahan yang muncul selama proses penerjemahan. Oleh karena itu, anotasi pada tugas akhir ini berisi penjelasan masalah penerjemahan yang muncul, komponen makna yang mengantar ke pemahaman, teknik penerjemahan dan padanan yang dipilih, serta referensi yang membantu pemadanan. Anotasi disajikan pada bab 5, sedangkan penjelasan metodologi anotasi dipaparkan pada bagian 1.5 bab ini.

1.2 Alasan Pemilihan Teks

Ada beberapa alasan yang melatari pemilihan buku What Do Muslims

Believe? sebagai teks sumber terjemahan beranotasi. Pertama, buku ini terbit pertama

kali pada tahun 2006, dan menurut informasi yang saya dapatkan dari penerbit Mizan dan Gema Insani Press, buku ini belum ada yang menerjemahkan.

Alasan kedua, buku ini membahas hal yang sangat mendasar tantang apa dan bagaimana Islam sehingga menarik dan bermanfaat untuk dibaca. Selain itu, meskipun tidak dipaparkan secara mendalam, rangkaian peristiwa penting yang berkaitan dengan sejarah perkembangan Islam diungkapkan secara kronologis— perkembanagan Islam sejak zaman Nabi Muhamamad, perkembangan Islam pada

(19)

masa kekhalifahan hingga masa kini—sehingga mempermudah pembaca memahami Islam secara utuh. Penggunaan bahasa sederhana ditandai dengan struktur kalimat yang tidak rumit. Selain istilah khusus dalam keagamaan termasuk terjemahan ayat Al-Qur’an, secara umum digunakan kosakata untuk komunikasi sehari-hari sehingga membuat isi buku ini semakin mudah dipahami. Hal ini memungkinkan buku ini dibaca oleh kalangan yang lebih luas, termasuk nonmuslim yang tertarik pada Islam. Judul buku ini yang cukup singkat dan menarik menambah daya tarik tersendiri sehingga terjemahan buku ini sangat berpeluang untuk diterbitkan.

Alasan ketiga, terdapat unsur pada TSu, baik pada tataran kata, frasa, istilah, maupun kalimat, yang ketika diterjemahkan menimbulkan masalah penerjemahan. Penjelasan masalah, langkah yang diambil atau padanan yang diberikan sebagai solusi atas masalah penerjemahan tersebut disertai alasan yang masuk akal merupakan anotasi dalam penerjemahan beranotasi. Dalam kaitannya dengan terjemahan beranotasi sebagai tugas akhir, hal ini memberikan peluang kepada penerjemah untuk memberikan anotasi pada terjemahan mandiri yang dilakukannya.

1.3 Teks Sumber

Berdasarkan temanya, buku itu termasuk jenis teks khusus bidang keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Tidak seperti buku teks Islam pada umumnya, buku ini ditulis dalam gaya ilmiah populer, dengan menghindari tulisan Arab, dan sedikit menggunakan istilah bahasa Arab. Hal ini dapat dipahami karena buku itu ditulis di Inggris dan diperuntukkan bagi masyarakat Inggris yang mayoritas nonmuslim.

(20)

Pada tugas akhir ini, bagian buku yang diterjemahkan atau dijadikan teks sumber (TSu) adalah empat Bab pertama dari delapan Bab, atau sebanyak lebih kurang dua belas ribu kata. Hal ini dilakukan terkait dengan isi Bab 4 yang tidak memungkinkan untuk dipotong karena merupakan konsep yang harus utuh. Teks sumber diambil secara berurutan dari Bab 1 sampai dengan Bab 4 dengan pertimbangan ada kesinambungan dan lebih memudahkan penerjemah ketika akan menerjemahkan buku ini secara keseluruhan.

1.3.1Penulis

Ziauddin Sardar lahir pada tanggal 31 Oktober 1951 di Dipalpur Pakistan Utara.

Ketika masih kanak-kanak, ia pindah ke London mengikuti ayahnya yang sudah tinggal di sana selama beberapa tahun. Ia belajar fisika dan ilmu informatika di Universitas City di London.

Sebagai ahli informatika, ia bekerja di Pusat Penelitian Haji Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Di sana ia mengembangkan model simulasi untuk pelaksanaan ibadah haji ke Mekah.

Di sela-sela kesibukannya menulis pada siang hari, pada malam harinya ia juga bekerja sebagai jurnalis. Setelah itu, ia kembali berimigrasi ke London dan di sana bekerja pada majalah ilmu pengetahuan Nature dan New Scientist sebelum bergabung dengan salah satu stasiun televisi sebagai wartawan. Tak lama kemudian, ia pindah menjadi konsultan editor pada sebuah majalah Islam Inquiry. Ia mendirikan Pusat Study Masa Depan di Universitas East West di Chicago. Antara tahun 1994

(21)

dan tahun 1998 ia menjadi profesor tamu bidang kebijakan dan teknologi di Universitas Middlesex.

Sejak tahun 1985, ia menjadi programmer dan penulis independen. Sampai saat ini ia telah menerbitkan sekitar 30 judul buku, dan lebih dari 200 artikel, esai, dan ulasan. Sejak tahun 1999 ia bekerja sebagai editor majalah Futures. Beberapa karyanya adalah yang berikut.

-Desperately Seeking Paradise: Journeys of a Sceptical Muslim, Granta

Books 2005.

-American Dream, Global Nightmare, Icon Books 2004 (ditulis bersama

Merryl Wyn Davies)

-Shail Inayatullah dan Gail Boxwell (ed.), Islam, Postmodernism and other

Futures: a Ziauddin Sardar reader, PlutoPress 2004.

-The A to Z of Postmodern Life: Essays on Global Culture in the Noughties,

Vision 2002

1.3.2 Pembaca Sasaran

Pembaca sasaran teks sumber adalah masyarakat umum dewasa di Inggris yang mayoritas nonmuslim dan sebagian tidak mengenal Islam. Bagi masyarakat non-muslim di Inggris, buku ini bertujuan memberikan gambaran kepada pembacanya tentang apa dan bagaimana Islam yang sebenarnya, sekaligus untuk meluruskan persepsi masyarakat Inggris yang salah tentang Islam, yaitu yang menganggap Islam identik dengan teror.

(22)

1.3.3 Ringkasan

Buku ini terdiri dari 140 halaman, termasuk glosarium, daftar pustaka, dan indeks. Buku ini dibagi menjadi delapan Bab yang secara ringkas dapat saya jelaskan sebagai berikut.

Dalam Bab 1 What Makes a Muslim? ”Bagaimana Seseorang Menjadi Muslim?” dijelaskan pengertian Syahadat dan makna Syahadat bagi seorang muslim. Selain itu, dalam Bab ini dijelaskan pula pengertian dan makna Islam dan Iman, dan hubungan keduanya. Islam merupakan agama yang terbuka untuk didiskusikan dan diperdebatkan, termasuk tentang hakikat Tuhan dalam Islam. Keimanan yang benar menurut Islam adalah keimanan yang diperoleh melalui serangkaian pertanyaan dan bukan diperoleh secara buta.

Dalam Bab 2 dengan sub judul Who are the Muslims? ‘Siapa Muslim Itu?’ dijelaskan wilayah atau negara-negara persebaran Islam saat ini. Dalam Bab ini pula dijelaskan bahwa Islam menghormati keragaman pandangan di berbagai tempat akibat perbedaan interpretasi tentang suatu aturan atau hukum, dan akibat pengaruh budaya setempat.

Dalam Bab 3, Where do Muslims Come from? ”Dari Manakah Umat Islam Berasal?” dibahas Nabi Muhammad; asal-usul atau silsilah Nabi Muhammad, keadaan masyarakat Mekah sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul, turunnya wahyu pertama, penyebaran Islam di Mekah, hijrah ke Madinah, sampai kembali lagi ke Mekah dengan kemenangan. Disamping itu, dalam Bab ini dijelaskan juga empat sahabat Nabi yang kemudian disebut khalifah, yaitu Abubakar, Umar bin

(23)

Khatab, Utsman dan Ali, serta peran mereka dalam perjuangan dan pengembangan Islam.

Dalam Bab 4, What do Muslims Believe? ”Apakah Iman Islam Itu?” dijelaskan tentang aspek-aspek keimanan dalam Islam, yang terdiri dari enam macam, yaitu Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab Allah, Iman kepada Hari Akhir (Qiamat), dan Iman kepada ketentuan Allah. Selain itu, dalam Bab ini juga dijelaskan pengertian Qur’an, Sunnah, dan Shariah.

Bab 5, Varieties of Muslim Belief? ”Berbagai Aliran dalam Islam”, berisi penjelasan tentang perbedaan sistem keyakinan dua kelompok Islam terbesar, yakni Sunni dan Syiah. Pembahasan ini sebenarnya merupakan penjelasan lebih lanjut konsep yang sudah dibahas dalam Bab 2. Di samping itu, dalam Bab ini dibahas pula pengertian sufi, kaum puritan, dan pembaharu.

Bab 6 dengan subjudul What Do Muslims Do? “Apakah yang Dilakukan Umat Islam?” berisi penjelasan tentang perintah Allah pada umat Islam yang tercantum dalam Rukun Islam kecuali Syahadat, yaitu Sholat, Puasa, Zakat dan Haji. Tiga hal penting lain yang dibahas dalam Bab ini adalah pengertian Jihad, Halal-Haram, dan Jilbab.

Dalam Bab 7 How do you Apply Islam? ”Bagaimana Anda Mengaplikasikan Islam?” dibahas tentang bagaimana seorang muslim melaksanakan ajaran agamanya. Dalam subbahasan bab ini pengarang menjelaskan antara lain, panduan untuk melaksanakan ajaran Islam, yaitu Qur’an, Sunnah, dan Sariah. Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang merupakan hukum tertinggi dalam Islam, sedangkan Sunah ialah segala perkataan, perbuatan dan sikap

(24)

diamnya Nabi terhadap suatu masalah yang dijadikan hukum atau acuan oleh umat Islam dalam memutuskan perkara. Sementara itu, Sariah adalah hukum yang telah ditetapkan dalam Islam baik berasal dari Qur’an maupun dari Sunah. Selain ketiga hal di atas, dalam Bab ini juga dijelaskan perkembangan pelaksanaan Islam sejak Islam mencapai kejayaan sejak zaman Umar bin Abdul Aziz hingga kini. Bab ini ditutup dengan pembahasan asal mula teroris muslim, yang menurut pengarang, sebenarnya mereka bukan sebagai muslim murni.

Dalam Bab 8 Where Now? ”Di Manakah Sekarang?” yang merupakan Bab penutup, dijelaskan tentang potret Islam masa kini, yaitu Islam di abad XXI. Menurut pengarang buku ini, meskipun banyak tumbuh cara dan kesadaran baru dari umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya, secara keseluruhan umat Islam gagal menghidupkan kembali idealisme atau cita-cita Islam. Islam menekankan pada pendidikan, tetapi tak satu pun lembaga pendidikan Islam di dunia yang menonjol. Islam menjunjung tinggi keadilan sosial, tetapi dunia Islam terombang-ambing dalam kehidupan tirani, kelaliman, dan penindasan. Islam menuntut distribusi kekayaan dan melihat kemiskinan sebagai dosa, tetapi keterbelakangan merupakan pemandangan yang umum dalam masyarakat Islam. Menurut penulis itu, cita-cita Islam dapat dicapai hanya dengan melalui kerjasama multi peradaban, yakni dengan menghindarkan konflik antara Islam dengan Barat, atau dengan tradisionalisme dan sekularisme.

(25)

1.4Pembaca Sasaran TSa

Terjemahan buku ini ditujukan kepada para pemula, yaitu para pembaca baik muslim atau nonmuslim yang belum banyak mengenal Islam. Terjemahan ini dapat dimanfaatkan oleh pembaca yang ingin mengetahui Islam secara garis besar.

1.5 Metodologi Penerjemahan Beranotasi

Kata anotasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris annotation, yang dalam Collins English Dictionary (2005: 64) berarti ”a note added in explanation”. Bentuk verbanya adalah to annotate yang dalam kamus yang sama didefinisikan dengan ”to supply a written work with critical or explanatory notes”. Menurut Webster Unabridged (1977: 74) to annotate berarti ”to make notes by way of

explanation; to make remark on writing.” Sementara itu, menurut Longman Dictionary of English and Culture (1993:42) to annote adalah ”to add a short note to (a book) explain certain part”. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2003:55) definisi anotasi adalah ”catatan yang dibuat oleh pengarang atau orang lain untuk menerangkan, mengomentari, atau mengkritik teks karya sastra atau bahan tertulis lain”. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, anotasi adalah catatan yang dibuat untuk menjelaskan, mengomentari, mengulas, atau mengkritik suatu hasil karya. Kedua, anotasi dapat dibuat seseorang terhadap hasil karya sendiri atau terhadap hasil karya orang lain.

Selanjutnya, dalam penerjemahan, anotasi juga dapat menjadi suatu karya ilmiah yang disebut terjemahan beranotasi. Pengertian ini dijelaskan oleh Williams & Chesterman (2002:7—8) sebagai berikut.

(26)

“A translation with commentary (or annotated translation) is a form of introspective and retrospective research where you yourself translate a text, and at the same time write a commentary on your translation process. This commentary will include some discussion of the translation assignment, an analysis of aspects of the source text, and a reasoned justification of the kinds of solutions you arrived at for particular kinds of translation problems. One value of such research lies in the contribution that increased self-awareness can make to translation quality”.

(Terjemahan dengan komentar (atau terjemahan beranotasi) merupakan bentuk penelitian introspektif dan retrospektif, yakni Anda menerjemahkan sendiri suatu teks, dan pada saat yang sama memberikan komentar pada proses penerjemahan Anda. Komentar ini akan mencakupi diskusi dalam pelaksanaan penerjemahan, analisis aspek teks sumber, dan pembenaran yang masuk akal atas berbagai masalah penerjemahan. Salah satu manfaat dari bentuk penelitian semacam ini yaitu meningkatkan kesadaran diri penerjemah sehingga dapat meningkatkan mutu penerjemahannya.)

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa terjemahan beranotasi merupakan bentuk penelitian introspektif dan retrospektif yang dilakukan penerjemah terhadap terjemahannya sendiri. Hal itu berarti bahwa penerjemah melakukan penelitian mendalam dan melihat kembali hasil terjemahnnya, apakah padanan yang dipilihnya sudah tepat, kemudian memberikan keterangan atau alasan yang masuk akal sebagai justifikasi atas padanan yang dipilihnya. Salah satu manfaat dari terjemahan beranotasi ialah dapat meningkatkan kesadaran diri (self-awareness) penerjemah selama melakukan proses penerjemahan agar selalu cermat dan berhati-hati dalam melakukan penerjemahan sehingga dapat meningkatkan mutu terjemahannya.

Definisi terjemahan beranotasi dari Williams dan Chesterman sama dengan konsep terjemahan beranotasi sebagai tugas pada program magister linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonsia. Oleh karena itu, definisi ini saya pergunakan sebagai pedoman dalam tugas akhir ini.

(27)

saat melakukan praktik penerjemahan. Pada penerjemaham beranotasi ini, anotasi digunakan untuk menjelaskan padanan yang dipilih penerjemah sebagai solusi dari masalah penerjemahan yang ditemukan selama proses penerjemahan itu. Dalam anotasi, penerjemah menjelaskan masalah yang dihadapi ketika menerjemahkan dan mengapa ia memilih suatu padanan tertentu dari sekian kemungkinan padanan yang dapat dipilih. Oleh karena itu, anotasi pada tugas akhir ini memuat identifikasi masalah penerjemahan, teknik yang digunakan untuk mengatasinya, padanan yang dipilih, serta dokumen yang mendukung dalam mencari padanan. Adapun langkah yang dilakukan dalam penerjemahan beranotasi ini adalah sebagai berikut.

(1) Memilih dan menentukan teks sumber dan bagian yang akan diterjemahkan. Penentuan dan alasan pemilihan teks sumber serta bagian yang diterjemahkan telah dinyatakan pada bagian 1.2.

(2) Membaca (mempelajari) teks sumber dan mencatat atau menandai bagian-bagian yang dapat bermasalah ketika proses pengalihan. Pembacaan ini dilakukan beberapa kali sampai benar-benar paham. Karena teks ini bagian dari buku, pembacaan teks tidak hanya pada bagian yang diterjemahkan tetapi keseluruhan dari isi buku itu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh isi buku itu sehingga mempermudah penerjemah saat pengalihan. (3) Mempelajari latar belakang teks sumber, antara lain tentang penulis, tujuan

penulisan TSu. Tujuan dari langkah ini untuk membantu memahami teks itu sehingga dapat memperlancar proses pengalihan.

(4) Menentukan metode penerjemahan. Metode yang saya pilih dalam penerjemahan ini adalah gabungan metode penerjemahan semantis dan metode

(28)

penerjemahan komunikatif. Kedua metode ini dipilih dengan alasan bahwa teks sumber merupakan teks keagamaan yang memuat ungkapan dan istilah keagamaan. Istilah itu harus dicari padanannya yang tepat dengan mempertimbangkan kaidah bahasa sasaran dan calon pembaca TSa sehingga diperoleh terjemahan yang wajar dan berterima. Oleh sebab itu, gabungan metode itu digunakan dalam penerjemahan beranotasi ini.

(5) Mempelajari bagian yang telah dicatat dan mencari pemecahan masalah menggunakan rujukan. Rujukan yang digunakan pada penerjemahan beranotasi ini disajikan pada bagian 1.6 bab ini.

(6) Tiap awal paragraf baik pada TSu maupun TSa diberi nomor untuk mempermudah penelusuran.

(7) Bagian yang perlu dianotasi dipilah-pilah dan dikelompokkan berdasarkan masalah penerjemahannya. Semua masalah ini diteliti dan kemudian dicari solusinya pada sumber rujukan.

1.6 Sumber Rujukan

Di bawah ini sumber rujukan dalam penulisan terjemahan beranotasi:

1. Qur’an dan terjemahannya. Qur’an yang saya pergunakan adalah

Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Departeman Agama Republik

Indonesia melalui Yayasan Lembaga Penerjemah Al-Qur’an. Ali, A. Yusuf. Di samping itu, sebagai pembanding saya menggunakan dan Al-Qur’an Terjemah

(29)

2000. Al-Qur,an dan terjemahan dalam bahasa Inggris The Holy Qur’an,

Translation and Comentary oleh A. Yusuf Ali, Amana Corp. (1982)

2. Kamus ekabahasa (Kamus Inggris-Inggris dan Kamus Indonesia-Indonesia) dan dwibahasa (Kamus Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris). Kamus ekabahasa yang digunakan antara lain: Collins English Dictionary (2005) dan Oxford

Advance Learner’s Dictionary (1995), Longman Dictionary of English Language and Culture (1992), Webster’s New World College Dictionary (1996),

dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001). Kamus dwibahasa yang digunakan ialah: Kamus Inggris-Indonesia (Echol & Shadily, 1975), The Contemporary

English – Indonesian Dictionary ( Salim, 1990), Advanced English – Indonesian Dictionary (Salim, 2001), dan A Comprehensive Indonesian – English Dictionary

(Steven & Schmidgal-Tellings, 2004).

3. Ensiklopedi dan Buku Sejarah Islam, antara lain: Ensiklopedi Islam (Dasuki, Hafizh et.al.1994), Ensiklopedi Islam Indonesia (Nasution, 1992), Sirah Nabawiyah (Al-Mubarakfury 1997(2006)), Fiqhus Sirah (Al-Ghazaly), The Life of Muhammad, Prophet of Allah (Ibrahim & Dinet. 1990).

4. Artikel-artikel dari situs internet antara lain: “Menelusuri Jejak Black Hole” http://www.pikiran-rakyat.com/cakrawala/eureka.html tanggal 6 Januari 2008, “Barelvi Islam” http://www.globalsecurity.org/islam-barelvi.htm tanggal 24 Januari 2008, “Mirzha Ghulam Ahmad” <http://www.republika.co.id/koran> tanggal 24 Januari 2008), “Firman Tuhan Bukan Firman Adalah Tuhan” <http://forum-arsip1.swaramuslim.net> tanggal 22 Januari 2008, “Negus and

(30)

2008, “Big Bang” <http://id.wikipedia.org/wiki/Big_Bang> tanggal 6 Desember 2006.

5. Narasumber, yaitu orang yang memahami Islam dan Sejarah Islam, dan bahasa Arab dengan baik. Narasumber pada penerjemahan beranotasi ini ada dua orang, yakni Dr. Muhammad Luthfi, dosen Program Studi Arab FIB Universitas Indonesia dan Drs. Muhammad Kholil, guru Agama Islam SMAN 9 Jakarta. Kedua Narasumber ini memiliki pengetahuan tentang Islam dan bahasa Arab dengan baik. Mereka keduanya Sarjana Agama Islam yang memahami masalah keislaman dengan baik.

Bab ini dilanjutkan ke bab 2 yang berisi kerangka teori. Kerangka teori membahas penerjemahan teks keagamaan, teori Skopos, metode, prosedur, dan teknik penerjemahan. Bab 3 memuat teks sasaran, sedangkan teks sumber di cantumkan pada bab 4. Awal setiap paragraf, baik teks sasaran maupun teks sumber diberi nomor untuk memudahkan penelusuran. Bab 5 menyajikan anotasi. Penutup disajikan pada bab 6. Tugas akhir ini dilengkapi glosarium.

(31)

BAB 2

KERANGKA TEORI

Dalam bab ini dibahas landasan teoretis dalam penerjemahan buku What Do

Muslims Believe? Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi penerjemahan teks

keagamaan, teori skopos, metode, prosedur, dan teknik dalam penerjemahan.

2.1 Penerjemahan Teks Keagamaan

Teks keagamaan adalah teks yang substansinya didominasi oleh tema dan topik yang bersumber pada satu agama atau lebih (Hoed, 2006:33). Lebih lanjut Hoed (2006:34), mengatakan bahwa untuk menerjemahkan teks yang bersifat keagamaan, penerjemah wajib menguasai konsep teologisnya. Menurut dia, penguasaan konsep teologis akan mempermudah penerjemah dalam memahami pesan TSu dan mengalihkannya ke TSa. Sementara itu, Hatim dan Mason (1997:112) mengatakan bahwa dalam penerjemahan kitab suci, seperti penerjemahan Al-Qur’an, hal yang harus diperhatikan adalah efek retoris yang disebut pengalihan acuan (reference switch), yaitu pengalihan acuan dari yang normal (yang diharapkan berdasarkan logika dan kaidah kebahasaan), ke acuan yang lain. Contoh hal ini, menurut Hatim dan Mason (1997:112), dapat ditemui dalam surat Yasin ayat 22, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berbunyi, ”Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan? (Al Qur’an dan Terjemahannya, 1994). Kalimat itu merupakan kalimat instrospektif yang mengacu pada diri pembicara atau subjek sendiri.

(32)

Berdasarkan logika dan kaidah kebahasaan, semua pronomina mengacu pada subjek yang sama yaitu aku. Akan tetapi, pronomina yang terakhir pada kalimat itu digunakan kamu. Itulah yang oleh Hatim dan Mason disebut sebagai pengalihan acuan. Pengalihan acuan juga terjadi pada penggunaan kala. Pada saat membicarakan kejadian hari kiamat awal kalimat menggunakan kala yang akan datang pada akhir kalimat diakhiri kala lampau, padahal kiamat belum terjadi. Itulah yang menurut Hatim dan Mason harus dicermati penerjemah. Menurut hemat saya, teks kitab suci merupakan teks yang sangat khusus sehingga untuk menerjemahkannya diperlukan pengetahuan keagamaan (penguasaan konsep teologi) yang sangat tinggi di samping penguasaan BSu dan BSa.

Selain kitab suci, masih banyak jenis teks keagamaan lain, seperti hukum, sejarah, sastra, filsafat, dan karya ilmiah keagamaan. Tiap jenis teks memiliki sifat dan gaya masing-masing sehingga penerjemahnnya juga harus mengikuti gaya teks aslinya. Oleh karena itu, salah satu hal yang harus diperhatikan dalam penerjemahan teks keagamaan adalah jenis teks yang diterjemahkan.

Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan dalam penerjemahan teks keagamaan adalah budaya agama. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, agama tidak lepas dari pengaruh budaya tempat pembawa ajaran itu berasal. Misalnya, agama Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad di Arab. Oleh karena itu, agama Islam sangat dipengaruhi oleh budaya Arab sehingga ”budaya Islam” identik dengan budaya Arab, khususnya, dan budaya Timur Tengah pada umumnya. Ketika ajaran itu masuk dan diterima oleh suatu mayarakat, ”budaya Islam” akan berinteraksi (berakulturasi) dengan budaya setempat membentuk budaya baru; budaya Islam yang dipengaruhi

(33)

budaya setempat, atau sebaliknya, budaya setempat yang dipengaruhi budaya Islam, bergantung pada mana yang dominan. Dalam budaya baru itu berlaku aturan, norma, dan kebiasaan yang diterima masyarakat, dan dianggap sebagai budaya keagamaan masyarakat setempat. Budaya baru itu mencakupi semua unsur termasuk unsur bahasa. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa ketika menerjemahkan teks keagamaan yang erat kaitannya dengan unsur budaya, pertama harus mempertimbangkan kelaziman atau keberterimaan dalam masyarakat pembaca sasaran.

2.2 Teori Skopos

Skopos berasal dari bahasa Yunani yang artinya ”tujuan”. Dalam bidang penerjemahan, istilah ini berkaitan dengan tujuan atau sasaran kegiatan penerjemahan dan dikembangkan menjadi teori skopos oleh Vermeer (1989). Menurut teori ini, setiap kegiatan penerjemahan diasumsikan memiliki tujuan atau sasaran tertentu yang ingin dicapai oleh penerjemah atau orang yang memberikan perintah kepada penerjemah (klien) untuk melakukan kegiatan penerjemahan. Tujuan atau sasaran itu akan berpengaruh pada teks hasil penerjemahan.

Dalam teori ini, penerjemah dianggap sebagai ahli yang memahami uapaya yang harus dilakukan dalam kegiatan penerjemahan untuk mencapai sasaran. Bagi penerjemah, selain pembaca sasaran dan jenis teks yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan merupakan salah satu hal yang dijadikan pertimbangan dalam memilih dan menentukan metode penerjemahan yang diterapkan. Berkaitan dengan ini, Hoed (2006: 55) menyarankan agar sebelum menerjemahkan suatu teks, penerjemah

(34)

mendesain sasaran (audience design) dan menganalisis kebutuhan (needs analysis), yakni menentukan dahulu siapa calon pembaca terjemahannya dan/atau digunakan untuk tujuan apa hasil terjemahannya itu. Dengan mengetahui calon pembaca dan tujuan penerjemahan yang akan dilakukan, penerjemah dapat menentukan metode yang digunakan untuk selanjutnya memilih padanan yang tepat sehingga dihasilkan terjemahan yang baik.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori skopos secara tidak langsung ikut berperan dalam praktik penerjemahan. Dengan memahami konsep teori ini, penerjemah akan selalu ”disadarkan” untuk mempertimbangkan tujuan penerjemahan sebelum memilih metode penerjemahan. Dengan demikian teori ini membimbing penerjemah menentukan metode yang tepat.

2.3 Metode

Metode yang digunakan dalam kegiatan penerjemahan ini adalah penerjemahan semantis dan komunikatif dari Newmark (1988:46—47). Adapun alasan pemilihan kedua metode itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Metode penerjemahan semantis berorientasi pada BSu. Secara umum metode penerjemahan ini menekankan pada gaya bahasa penulis (TSu), tetapi masih memperhatikan segi kewajaran dalam BSa. Dalam pemilihan padanan, metode ini masih mempertimbangkan ketepatan dan keberterimaan bagi pembaca BSa. Metode ini menekankan pada nilai keindahan (aesthetic value) sehingga, meskipun tetap menekankan pada makna atau pesan dalam teks sumber, terjemahannya tidak terasa kaku dan asing pada pembaca sasaran. Dalam penerjemahan semantis, kata BSu yang

(35)

bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang lebih netral atau istilah yang lebih fungsional ke dalam BSa selama tidak menghilangkan unsur-unsur estetis yang ada pada TSu.

Sementara itu, metode penerjemahan komunikatif berorientasi pada BSa. Metode penerjemahan ini mengupayakan pengungkapan kembali makna kontekstual TSu ke TSa sedemikian rupa sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isinya langsung dimengerti oleh pembaca sasaran. Penerjemahan dengan metode ini mengutamakan penyampaian pesan, namun tanpa harus menerjemahkan secara bebas. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip komunikasi, yaitu dengan memperhatikan tujuan penerjemahan dan pembaca sasaran. Oleh karena itu, dalam penerjemahan komunikatif sebuah versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi BSa, sesuai dengan tujuan penerjemahan dan pembaca teks sasaran.

Berhubungan dengan kedua jenis metode penerjemahan itu, Newmark (1988:48) menyatakan bahwa hanya metode semantis dan komunikatif yang memenuhi dua tujuan utama penerjemahan, yakni ketepatan (accuracy) dan kehematan (economy). Menurut dia, penerjemahan semantis cenderung lebih ekonomis daripada penerjemahan komunikatif, tetapi jika tulisan teks yang diterjemahkan kurang baik, sebaiknya menggunakan metode komunikatif.

Berdasarkan penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa, meskipun orientasi kedua metode berbeda, yakni bahwa metode semantis memberikan padanan lebih dekat dengan BSu, sedangkan metode komunikatif lebih dekat dengan BSa, keduanya sama-sama memberikan panduan ke arah pencarian padanan yang berterima dalam BSa. Oleh sebab itu, kedua metode itu dipilih dalam penerjemahan

(36)

buku What Do Muslims Believe? Setelah menentukan metode dan membuat desain sasaran dan analisis kebutuhan, penerjemah mulai melakukan penerjemahan dengan mengikuti langkah atau prosedur penerjemahan.

2.4 Prosedur

Prosedur yang diterapkan dalam menerjemahkan buku What Do Muslims

Believe? adalah prosedur penerjemahan yang dikemukakan oleh Larson (1989:520—

530), sebagai berikut.

2. 4. 1. Persiapan

Menurut Larson (1989: 521) ada dua jenis persiapan. Pertama, persiapan yang dilakukan penerjemah sebelum memulai tugas penerjemahan. Persiapan jenis ini merupakan pendidikan dan pelatihan yang harus dilakukan atau diikuti sebelum seseorang menjadi penerjemah. Jadi, persiapan jenis ini tidak memiliki kaitan langsung dengan proses penerjemahan suatu teks.

Persiapan jenis kedua yakni persiapan yang dilakukan penerjemah sebelum memulai aktivitas atau proses penerjemahan. Menurut Larson, langkah pertama yang harus dilakukan penerjemah adalah membaca keseluruhan teks sumber. Bila perlu, pembacaan ini dilakukan beberapa kali sampai penerjemah benar-benar memahami isinya. Tujuannya, selain untuk memahmi isi atau amanat yang dimaksud penulis, juga untuk memahmi gaya penulisan, emosi, serta efek yang ingin ditimbulkan TSu. Pada tahap ini, penerjemah disarankan untuk membuat catatan atau menandai kata

(37)

kunci, bagian yang kurang jelas, unsur budaya dan hal lain yang diperkirakan dapat menimbulkan masalah dalam proses penerjemahan..

Setelah itu, penerjemah mempelajari latar belakang TSu, yang mencakup informasi mengenai penulis, tujuan penulisan, keadaan saat penulisan, kebudayaan yang melatari TSu, dan pembaca sasaran TSu. Tujuan dari langkah ini yaitu untuk memperoleh pemahaman TSu secara menyeluruh sehingga memperlancar penerjemahan.

Selain itu, Larson menyarankan agar sebelum proses penerjemahan berlangsung, penerjemah membandingkan TSu dengan wacana dan terjemahan lain yang sejenis sebagai bahan masukan ketika melakukan kegiatan penerjemahan. Setelah langkah persiapan dirasa cukup, penerjemah melangkah ke tahap berikutnya, yaitu analisis.

2.4.2 Analisis

Pada tahap ini penerjemah mengkaji kata-kata kunci dan semua hal yang telah dicatat atau ditandai pada saat membaca teks tersebut. Analisis dilakukan untuk mendapatkan padanan leksikal yang tepat dalam bahasa sasaran. Pada langkah ini penerjemah memerlukan sumber rujukan terutama kamus dan ensiklopedi untuk mencari informasi makna leksikal sebanyak mungkin. Selain makna leksikal, makna sekunder, makna figuratif, dan fungsi retoris kata, frasa, klausa, atau kalimat harus pula dicatat.

Menurut Larson (1984: 523), proses analisis dimulai dari satuan yang besar ke satuan yang kecil, yaitu dari satuan wacana beralih ke satuan paragraf dan kalimat.

(38)

Namun, diingatkan bahwa proses analisis adalah proses yang dinamis, yakni walaupun mulai dari satuan yang besar (seluruh wacana) ke satuan yang lebih kecil (paragraf dan kalimat), penerjemah harus selalu kembali ke satuan yang besar. Jadi, harus ada gerakan maju mundur antara satuan yang besar dan kecil, untuk memastikan tidak ada informasi yang hilang atau terjadi penyimpangan makna. Sesudah menganalisis teks sumber dengan cermat, penerjemah mulai membuat konsep pengalihan bagian demi bagian.

2.4.3 Pengalihan

Menurut Larson (1984:525), pengalihan merupakan proses perpindahan dari analisis struktur semantis ke draf awal terjemahan. Proses ini masih dilakukan penerjemah dalam pikiran. Dalam proses ini penerjemah mencari padanan leksikal yang cocok untuk konsep bahasa dan kebudayaan BSu; menentukan apakah kata atau frasa yang bersifat figuratif dan retoris dapat dialihkan atau harus diubah agar dapat berterima dalam BSa; menyesuaikan kaidah BSu dengan kaidah BSa.

Pada sumber lain, Hoed (2006:68) menambahkan bahwa pada tahap ini, penerjemah harus melakukan ”deverbalisasi”, yakni mencoba melepaskan diri dari ikatan kalimat-kalimat TSu untuk menangkap isi pesan secara lebih terperinci. Deverbalisasi ini penting dilakukan, agar penerjemah tidak terkungkung oleh bentuk kalimat-kalimat bahasa sumber sehingga dapat menghasilkan terjemahan yang wajar dalam BSa. Selanjutnya, hasil proses pengalihan dituangkan dalam bentuk tulisan dan menghasilkan konsep (draf) awal penerjemahan.

(39)

2.4.4 Penyusunan Draf Awal

Pada tahap ini penerjemah mencoba menuangkan hasil proses pengalihan ke dalam tulisan. Larson (1989:526) mengatakan bahwa prinsip penyusunan draf awal dimulai dari paragraf. Setelah benar-benar memahami isi satu mparagraf, penerjemah menyusun kembali paragraf itu sewajar mungkin dalam BSa, tanpa melihat TSu. Menurut saya, langkah ini sulit dan berpotensi menghasilkan penerjemahan bebas sehingga harus diterapkan secara hati-hati dan dilakukan berulang-ulang.

Kegiatan menganalisis, mengalihkan, dan membuat draf awal saling berkaitan. Oleh sebab itu, Larson menyarankan penerjemah untuk melakukan gerakan maju mundur di antara ketiga langkah itu. Selama menyusun draf awal, penerjemah disarankan untuk senantiasa memperhatikan tujuan penulisan teks sumber dan pembaca sasaran terjemahan, termasuk umur dan pendidikan mereka. Setelah draf awal selesai disusun, penerjemah melangkah ke tahap selanjutnya, yakni mengoreksi draf awal tersebut.

2.4.5 Pengoreksian Draf Awal

Larson (1989:527) menyatakan bahwa pengoreksian dapat dilakukan sendiri oleh penerjemah atau orang lain. Jika dilakukan penerjemah sendiri disarankan agar draf itu itu ditinggalkan selama satu atau dua minggu, agar penerjemah dapat mengkajinya dengan pandangan baru dan dapat lebih objektif dalam mengevaluasi dan mengoreksi draf tersebut.

Langkah pertama yang harus dilakukan penerjemah dalam mengoreksi draf awal adalah membaca hasil terjemahannya tersebut. Sambil membaca draf tersebut,

(40)

penerjemah memeriksa apakah terdapat struktur yang salah atau konstruksi yang tidak jelas, bagian yang berbelit-belit dan tidak runut, frasa yang janggal, kolokasi yang tidak berterima, makna yang meragukan, dan apakah gaya sudah sesuai dengan TSu. Apabila masih ditemukan hal seperti tersebut di atas, penerjemah dapat langsung membetulkannya, atau menandai bagian itu untuk kemudian dilakukan pembetulan setelah selesai membaca keseluruhan draf itu.

Langkah kedua, penerjemah memeriksa ketepatan makna dengan membandingkan secara saksama TSa dengan TSu dan hasil analisis semantisnya. Pada tahap ini, selain memeriksa kata per kata, penerjemah juga memeriksa hubungan antar kalimat, paragraf, bab, dan keseluruhan teks.

Langkah ketiga, penerjemah memeriksa kejelasan tema, yakni apakah tema sudah tersampaikan dengan benar. Pemeriksaan masalah tema menurut Larson dapat dinilai melalui uji pemahaman.

Langkah keempat, penerjemah memeriksa kewajaran TSa, yakni apakah dalam TSa terdapat berkelimpahan (redundancy) yang tidak berterima dalam BSa, kalimat yang diperkirakan sulit dipahami, dan apakah kalimat yang implisit harus dibuat eksplisit demi kejelasan atau tetap dipertahankan.

Melalui langkah-langkah di atas, penerjemah melakukan perbaikan draf awal atau draf pertama. Perbaikan darf pertama menghasilkan draf kedua atau draf perbaikan yang selanjutnya dikoreksi kembali dengan langkah-langkah seperti dilakukan pada draf pertama. Setelah koreksi dan perbaikan terhadap konsep kedua selesai dilakukan, penerjemah dapat mengevaluasi atau menguji hasil terjemahannya.

(41)

2.4.6 Evaluasi

Terjemahan yang telah selesai dilakukan perlu dievaluasi untuk memastikan tidak ada informasi yang terlewatkan. Menurut Larson (1989: 53), tujuan evaluasi penerjemahan mencakup tiga kriteria, yaitu (1) ketepatan; apakah terjemahan itu menyampaikan makna yang sama dengan makna bahasa sumber, (2) kejelasan; apakah terjemahan itu dapat dimengerti oleh khalayaknya, dan (3) kewajaran; apakah bentuk terjemahan itu mudah dibaca dan apakah garamatika dan gayanya wajar dalam BSa. Evaluasi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:

2.4.6.1 Mencocokan TSa dengan TSu

Pencocokan ini dapat dilakukan oleh penerjemah sendiri atau orang lain. Jika dilakukan orang lain disarankan orang yang memahami BSu dan BSa dengan baik dan paham tentang prinsip penerjemahan. Langkah ini sebenarnya dilakukan sejak proses penerjemahan berlangsung. Namun, pengecekan ini perlu diulang setelah proses penerjemahan selesai untuk memastikan tidak ada penyimpangan atau ada informasi yang terlewat.

2.4.6.2 Tes Pemahaman

Tujuan dari tes pemahaman adalah untuk melihat apakah hasil terjemahan dimengerti secara tepat oleh penutur BSa sesuai isi TSu. Tes ini sebaiknya dilakukan dengan meminta seseorang atau beberapa orang yang belum pernah membaca TSu untuk membaca hasil terjemahan. Kepada pembaca yang menjadi responden diberikan pertanyaan atau dimintai tanggapannya tentang isi teks yang sudah

(42)

dibacanya itu. Larson menyarankan agar orang yang dijadikan responden merupakan bagian dari pembaca sasaran TSa. Jika pembaca sasarannya umum, responden harus diambil dari kalangan yang memiliki latar belakang berbeda.

2.4.6.3 Tes Kewajaran

Tes ini bertujuan untuk mengecek apakah terjemahan tersebut wajar dari segi kaidah bahasa sasaran dan kesesuaian dengan gaya pada TSu. Tes ini dapat dilakukan oleh penerjemah sendiri atau orang lain. Saya berpendapat pengecekan kewajaran ini dilakukan oleh penerjemah sendiri dan orang lain yang paham tentang kaidah penulisan dalam bahasa sasaran sehingga penerjemah dapat membandingkan temuan atau hasil pengecekan sendiri dengan pengecekan orang lain.

2.4.6.4 Pengecekan Keterbacaan

Penerjemah dapat meminta seseorang membaca hasil terjemahan dengan bersuara. Penerjemah menyimak dan mencatat bagian bagian yang membuat pembacaannya menjadi tidak lancar atau tidak runut. Larson menyarankan agar penerjemah merekam pembacaan tersebut sehingga dapat mengulang dan mencatat secara lebih cermat bagian yang menimbulkan masalah pada saat teks tersebut dibaca.

2.4.6.5 Pengecekan Konsistensi

Pengecekan konsistensi ini meliputi istilah, kata/frasa kunci, makna, kata pinjaman, ejaan, bentuk, tanda baca, bentuk teks untuk catatan kaki, glosarium, dan

(43)

daftar isi. Menurut saya pengecekan konsistensi ini penting dilakukan untuk teks non-sastra, seperti teks hukum dan teks ilmiah, dimana keseragaman penggunaan istilah atau jargon merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan.

Berdasarkan uraian tentang prosedur yang dikembangkan oleh Larson, saya berkesimpulan bahwa untuk menghasilkan penerjemahan yang baik perlu proses yang panjang dan usaha keras, dan jika memungkinkan memerlukan keterlibatan banyak pihak. Namun, prosedur yang cermat bukan satu-satunya penentu untuk menghasilkan terjemahan yang baik. Bagaimanapun juga, prosedur hanyalah cara kerja dalam suatu kegiatan atau proses, dalam hal ini, adalah kegiatan atau proses penerjemahan. Dalam proses penerjemahan selalu muncul masalah teknis. Untuk mengatasi masalah itu perlu penerapan teknik penerjemahan yang tepat.

2.5 Teknik

Menurut Machali (2000:77), teknik berkaitan dengan langkah praktis dalam memecahkan masalah dalam proses penerjemahan. Dalam penerjemahan buku What

Do Muslims Believe?, saya menggunakan teknik penerjemahan yang dikemukakan

oleh Hoed (2006: 72—77).

2.5.1 Transposisi

Transposisi atau shift (pergeseran) yaitu mengubah struktur kaliamt BSu ke BSa agar diperoleh penerjemahan yang benar.

(44)

BSu: A Muslim is someone who makes the declaration: ’There is no god but God; and Muhammad is the Prophet of Allah’ (Par. 2)

BSa: Seorang Muslim adalah orang yang berikrar: ”Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah; dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”

Pada BSu, who makes the declaration adalah klausa yang memiliki susunan gramatika Subjek + Predikat + Objek, sedangkan pada BSa ”yang berikrar” merupakan frasa verba yang memiliki pola gramatika keterangan + verba.

2.5.2 Modulasi

Modulasi atau disebut juga pergeseran semantis (semantic shift) ialah teknik memberikan padanan yang secara semantis berbeda sudut pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan/maksud yang sama.

Contoh:

BSu: What do Muslims Believe? (judul) BSa: Apakah Iman Islam Itu?

Pada BSu dan BSa terdapat perbedaan sudut pandang, sudut pandang BSu adalah hal yang dipercayai oleh umat Islam, sedangkan sudut pandang BSa apa ajaran pokok ajaran Agama Islam. Meskipun sudut pandangnya berbeda, makna yang dimaksud sama, karena penekanan utama buku itu pada pokok ajaran Islam.

(45)

2.5.3 Penerjemahan Deskriptif

Penerjemahan dilakukan dengan menguraikan makna suatu kata atau ungkapan yang ada dalam TSu. Hal ini terpaksa dilakukan karena kata atau ungkapan tersebut tidak ditemukan padanannya dalam BSa.

Contoh:

BSu: Since it was revealed, the Qur,an has remained exactly the same, not a word, comma, or full stop has been changed. This “inimitability” has been possible because of the special hightened nature of its language… (par. 144)

BSa: Sejak diturunkan, Al-Qur,an tetap sama, tak satu kata, koma, atau titik pun yang berubah. Sifat yang tidak bisa ditiru ini dimungkinkan, karena sifat ketinggian bahasanya,...

Kata inimitability tidak memiliki padanan dalam dalam bahasa Indonesia sehingga saya menguraikan saja makna kata itu pada BSa.

2.5.4 Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning)

Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning) dilakukan dengan menambahkan kata atau kata-kata pada padanan suatu istilah dengan tujuan untuk memperjelas maksusd padanan pada BSa.

Contoh:

BSu: The Qadyanis sect, which emerged in India during the Raj, has been declared ’non-Muslim’ in Pakistan. (paragraf 31)

(46)

Raj, dinyatakan sebagai bukan Islam di Pakistan

2.5.5 Memberikan Catatan

Pada penerjemahan ini saya memberikan catatan pada beberapa padanan pada TSa yang saya perkirakan memerlukan penjelasan. Ada dua cara yang saya gunakan yaitu memberikan keterangan di dalam tanda kurung di belakang padanan dan catatan akhir. Catatan akhir dipilih karena penjelasan yang dibutuhkan cukup panjang dan tidak memungkinkan masuk dalam teks.

Contoh:

BSu: The so-called “battle of ditch” was in fact not a battle at all. (par. 73) BSa: Perang yang disebut dengan “perang khanadak” (perang parit) pada kenyataannya bukan perang sama sekali.

BSu: …it is imposible for the human mind to comprehend an Infinite God who is responsible for black holes and snowflakes, ….. (par. 3)

BSa: …tidaklah mungkin akal manusia memahami Allah Yang Mahatakterhingga yang berkuasa atas lubang hitamx dan kepingan salju….

Pada catatan akhir tertulis:

x

Lubang hitam (black holes) merupakan suatu objek di ruang angkasa yang misterius. Para antariksawan mampu mendeteksi keberadaannya, tetapi sampai sekarang belum mampu mengetahui wujudnya dan asal pembentuknya, meskipun menggunakan teleskop yang super canggih sekalipun. Umat Islam yakin hanya Allah yang mengetahui rahasia seluruh alam.

(47)

2.5.6 Penerjemahan Fonologis

Teknik penerjemahan fonologis adalah pemilihan padanan suatu kata, ungkapan, atau istilah pada BSu dengan menggunakan suatu kata, ungkapan, atau istilah yang didapatkan dari bunyi kata itu, dan disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) BSa. Banyak kata serapan dalam bahasa Indonesia diperoleh melalui teknik penerjemahan fonologis. Teknik ini saya gunakan misalnya dalam menerjemahkan kata-kata berikut ini:

BSu: verbatim (par 5), eschatology (par. 14), esoteric (par. 25), obscurantism (par. 27),

BSa: verbatim, eskatologi, esoterik, obskurantisme,

Kata-kata di atas merupakan kata serapan dalam bahasa Indonesia. Kata-kata itu memang belum tercantum dalam KBBI, tetapi telah banyak digunakan di dalam artikel dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, dalam Kamus Ilmu Pengetahuan kata-kata itu telah tercantum sebagai istilah.

2.5.7 Tidak Diberikan Padanan

Teknik ini oleh Catford (1965) dan Newmark (1988) disebut transference (pungutan) dan oleh Vinay dan Dalbernet (1995) disebut borrowing (peminjaman). Dalam teknik ini, penerjemah tidak menerjemahkan kata atau istilah dalam TSu, melainkan hanya memindahkan saja kata atau istilah itu ke dalam TSa. Teknik ini saya gunakan untuk menerjemahkan kata big bang (par. 3)

(48)

2.5.8 Penerjemahan Resmi/Baku

Jika TSu, baik kata, frase, kalimat, maupun teks sudah memiliki padanan yang baku dalam BSa penerjemah tinggal mengambil saja. Misalnya dalam penerjemahan buku What Do Muslims Believe terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa Inggris pada BSu saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mengambil terjemahan Al-Qur’an versi Indonesia yang diterbitkan dan disahkan sebagai terjemahan resmi oleh Departemen Agama Republik Indonesia.

Contoh:

BSu: ‘Read! In the name of your Lord Who created: He created man from a clinging form. Read! Your Lord is the Most Bountiful One Who taught by [means of] pen, Who taught man what he did not know.’ (96: 1—5) (par. 46) (par. 46)

BSa: ”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS 96: 1—5)

2.5.9 Penerjemahan Metafora

Metafora memiliki arti luas dan arti sempit. Metafora dalam arti luas mencakupi semua ungkapan figuratif. Menurut Newmark (1988:104), bentuk dari metafora dapat berupa kata, kolokasi, ungkapan idiom, kalimat, peribahasa, atau teks imajinatif. Dalam arti sempit, metafora merupakan salah satu jenis (subkategori) dari

(49)

majas perbandingan. Dalam pengertian ini metafora sering dibedakan dengan simile; simile membandingkan atau mengibaratkan suatu hal dengan menggunakan kata-kata ‘sebagai’ ‘ibarat’ ‘seperti’ ‘bagaikan’ ‘laksana’, sedangkan metafora mengibaratkan suatu hal tanpa menggunakan kata-kata itu sehingga metafora sering disebut perbandingan implisit. Pada tulisan ini metafora dimaknai secara luas, yakni semua ungkapan figuratif termasuk majas.

Menurut Larson (1984:119), untuk menerjemahkan ungkapan figuratif ada tiga cara yang dapat dilakukan penerjemah. Pertama, ungkapan dapat diterjemahkan dengan tidak menggunakan bentuk figuratif1, atau dengan disederhanakan tanpa menggunakan makna sekunder dalam bahasa sasaran. Kedua, mempertahankan ungkapan itu dalam bentuk aslinya tetapi dengan menambahkan makna kata itu. Ketiga, menggantikan metafora bahasa sumber dengan metafora yang ada dalam bahasa sasaran yang memiliki makna yang sama.

Contoh:

BSu: ’I swear by Him in Whose hand is Waraqa’s life,’ said the old man, ’God has chosen you as his phrophet...’ (par.47).

BSa: Waraqah berkata,” Saya bersumpah, Demi Allah yang dalam

genggaman-Nya nyawa Waraqah berada, Allah telah memilih engkau sebagai Rasul-Nya....”

1

Ungkapan figuratif yaitu ungkapan yang memiliki makna berdasarkan hubungan asosiasi dengan makna primer. Makna primer adalah makna yang tampil dalam pikiran penutur bahasa jika kata itu diucapkan sendiri, sedangkan makna sekunder adalah makna yang tergantung pada konteks (Larson, 1984:116)

(50)

Metafora in Whose hand is Waraqa’s life diterjemahkan dengan ”yang dalam genggaman-Nya nyawa Waraqah berada” merupakan metafora dalam bahasa Indonesia. Di sini di gunakan ”genggaman” bukan ”tangan” karena genggaman menunjukkan makna ”dalam penguasaan”

Kerangka teori pada bab 2 ini menjadi landasan dalam melakukan penerjemahan. Selanjutnya, pada bab 3 dan bab 4 masing-masing disajikan teks terjemahan dan teks sumber. Sementara itu, anotasi dapat dilihat pada bab 5.

(51)

BAB 3 TEKS SASARAN

1

Bagaimanakah Seseorang Menjadi Muslim?

[1] Apa makna menjadi seorang muslim? Pertanyaan yang sederhana dan jelas ini memiliki jawaban yang sederhana dan juga yang kompleks. Baiklah saya mulai dengan penjelasan yang sederhana.

[2] Seorang muslim adalah orang yang berikrar: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah; dan Muhammad adalah utusan Allah.” Pernyataan ini dikenal sebagai Syahadat yang secara harfiah bermakna “saksi” atau “kesaksian”. Hanya dengan mengucapkan ikrar itu saja seseorang sudah menjadi muslim. Siapa saja bisa menjadi seorang muslim, atau mengaku sebagai muslim, hanya dengan mengucapkan ikrar itu. Namun, lebih jauh dari sekadar mengucapkan ikrar, bersyahadat adalah perjuangan untuk hidup dalam semangat dan sejalan dengan kata-kata itu.

[3] Bagian pertama dari Syahadat, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah”, mengikrarkan keesaan Tuhan. Seorang muslim adalah orang yang meyakini bahwa Tuhan Mahakuasa, hadir di mana saja, dan Maha Pengasih. Sebagai prinsip dasar, umat Islam meyakini bahwa Tuhan memiliki sifat sempurna, sifat yang tidak dimiliki manusia.. Mereka berpendapat bahwa tidaklah mungkin akal manusia memahami Tuhan Yang Mahatakterhingga yang berkuasa atas lubang hitam1 dan salju, cinta yang tak bersyarat dari ibu, dan tiap malapetaka dari suatu bencana alam.

(52)

Sesungguhnya, Tuhan tidak berjenis kelamin. Tuhan Mahatinggi dan Mahakekal. Dia telah menciptakan alam semesta, menjaga, dan melestarikannya. Satu-satunya cara akal manusia untuk dapat memahami-Nya adalah melalui sifat-sifat-Nya. Dia digambarkan sebagai Mahapenyayang, Mahapemurah, dan Mahabijaksana. Dia yang Awal (Dia sudah ada sebelum big bang2 ) dan yang Akhir (Dia tetap ada setelah alam semesta berakhir). Dia meminta kita untuk mencintai-Nya dan berjuang untuk memahami kehendak-Nya.

[4] Bagian kedua dari Syahadat mengalihkan kita dari Tuhan ke manusia: ”Muhammad adalah utusan Allah.” Bagaimanakah agar kita mempunyai pemahaman yang masuk akal atas Pencipta Yang Mahatakterhingga dan Mahakuasa yang kita sebut dengan Tuhan? Bagi umat Islam, satu-satunya cara yang mungkin adalah menyampaikan pengetahuan tentang Tuhan dengan cara apa saja yang Tuhan anggap sesuai. Di sepanjang sejarah, Tuhan telah menurunkan petunjuk kepada umat manusia melalui berbagai individu yang Dia pilih sebagai utusan-Nya. Mulai dari Nabi Adam, para nabi telah diutus kepada tiap bangsa dan masyarakat. Setiap nabi menyampaikan ajaran yang sama, yaitu: ”Tidak ada Tuhan selain Allah.” Nabi Muhammad menyampaikan ajaran ini dalam bentuk yang final sehingga dianggap sebagai nabi penutup. Seorang muslim adalah orang yang meyakini bahwa Muhammad merupakan contoh ideal bagi manusia dalam berperilaku dan berinteraksi

[5] Menerima Muhammad sebagai Nabi Tuhan adalah meyakini bahwa wahyu yang ia terima berasal dari Tuhan. Wahyu itu adalah Al-Qur’an. Seorang muslim meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Firman Tuhan yang lengkap dan

(53)

verbatim3 Setiap orang yang mengucapkan Syahadat wajib mengikuti petunjuk Al-Qur’an. Asas dan perintah Al-Qur’an melahirkan norma yang membentuk perilaku orang muslim dan menjadi pedoman penilaian mengenai kesuksesan dan kegagalan bagi mereka.

[6] Syahadat merupakan intisari keimanan muslim yang dikenal sebagai Islam. Kata Islam memiliki makna ganda, yaitu ”kedamaian” dan ”penyerahan diri”. Seorang muslim adalah orang yang menyerahkan diri dengan suka rela kepada petunjuk Tuhan Yang Maha Esa, Mahatahu, dan Maha Pengasih, dan mencari kedamaian melalui penyerahan diri itu.

[7] Namun, penyerahan diri tersebut bukanlah tindak keimanan yang buta. Islam tidak meminta pemeluknya menerima segala sesuatu tanpa pertanyaan. Segala sesuatu dalam Islam, termasuk keberadaan Tuhan, terbuka untuk telaah kritis. Islam hadir dengan konsep keimanan yang rasional. Orang yang beriman memperoleh keimanan sejati hanya setelah mereka merenungkan dan merefleksikan ayat Tuhan yang dimanifestasikan dalam hukum alam, wujud alam semesta, dan pengalaman pribadi tentang Tuhan

[8] Sama halnya dengan penyerahan diri yang tidak boleh secara buta, kedamaian tidak dapat dicapai tanpa keadilan. Dalam Islam, kedamaian dan keadilan berjalan seiring. Penyerahan diri bukan perbuatan yang pasif. Penyerahan diri mewajibkan seluruh umat Islam berjuang untuk keadilan, baik dalam masyarakat, dalam bidang politik, pada tataran global, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, Islam dan aktivitas sosial politik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan teknik penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks pada buku bilingual ICT ke dalam bahasa

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan fiksi Halilian Angkola- Indonesia. Secara teoretis diharapkan

Berdasarkan analisis data, temuan penelitian ini adalah (1) ajektiva diterjemahkan ke sembilan variasi dan adverbia ke delapan variasi, hasil terjemahan tetap sepadan meskipun

Terjemahan dalam bahasa Indonesia pada data 886 merupakan terjemahan akurat karena semua satuan lingual kecil di bawah kalimat tanya tersebut diterjemahan secara

Terjemahan Teks Medis dalam Bahasa Indonesia.Medan: Bartong Jaya. Pengantar

Terjemahan Teks Medis Dalam Bahasa Indonesia: Analisis Dampak Kemampuan Penerjemah Terhadap Kualitas Terjemahannya.. Penerjemahan Buku Teori

Teks terjemahan diatas juga masih memperhatikan nilai estetika yang terdapat dalam bahasa sasaran. sehingga dilakukan proses otomatisasi dalam menerjemahkan lirik

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terjemahan transtool terhadap frasa nominal yang terdiri atas tiga kata ini adalah perempuan indah putih.. Dengan demikian,