BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Penelitian Sebelumnya
2.2 Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian mengenai Radial Basis Function diantaranya adalah penelitian yang dilakukana oleh Venkatesan & Anitha (2006). Pada penelitiannya Venkatesan & Anitha (2006) memaparkan penggunaan model RBF (radial basis function) untuk melakukan diagnosis penyakit diabetes mellitus. Arsitekur jaringan yang dipakai menggunakan satu hidden layer dengan penentuan center menggunakan metode clusteringK-Means. Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan antara metode RBF (radial basis function), logistic regression dan MLP (Multi Layer Perceptron).
Venkatesan & Anitha (2006) menggunakan database test dan database eksternal untuk pengujian. Pada database test perancangan model RBF yang digunakan menggunakan center sebanyak 10 buah dan untuk MLP digunakan 4 node
di hidden layer. Adapun hasil akurasi ketiga model tersebut dengan data dari
database test adalah 73.7 % untuk model LOGISTIK, 91.3 % untuk model MLP dan untuk model RBF mencapai 97.0 %.
Sedangkan untuk database external perancangan model model RBF yang digunakan menggunakan center sebanyak 8 buah dan untuk MLP digunakan 3 node
commit to user
database external adalah 77.0 % untuk model LOGISTIK, 94.3 % untuk model MLP dan untuk model RBF mencapai 98.0 %.
Dari hasil penelitian tersebut, Venkatesan & Anitha (2006) menyimpulkan bahwa diagnosis menggunakan RBF (radial basis function) lebih baik dari pada menggunakan logistic regression dan MLP (Multi Layer Perceptron) dengan tingkat akurasi mencapai 98%. Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pelatihan pada jaringan RBF lebih cepat dari pada MLP. Namun jika dibandingkan dengan metode logistic, model RBF dan MLP membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan training. (Venkatesan & Anitha, 2006).
Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Jayawardena & Fernando (1998) yang memaparkan perbandingan antara penggunanan model RBF dengan metode clustering data noniterative clustering, RBF dengan metode
clustering K-Means dan model MLP (Multi Layer Perceptron) dengan training menggunakan backpropagation. Pada model RBF dengan metode clustering data
noniterative clustering mempunyai tingkat error terkecil dengan 6 node pada hidden
layer sedangkan RBF dengan metode clustering K-Means mempunyai tingkat error
terkecil dengan 11 node pada hidden layer. Jika dibandingkan dengan MLP, model RBF memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dan waktu yang lebih cepat dalam
trainingnya.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2005) memaparkan penggunaan RBF untuk pengenalan huruf abjad dari A sampai Z. Arsitektur JST RBF pada hidden layer digunakan menggunkan fungsi Gaussian sebagai berikut
𝜃 𝑟 =𝑒𝑥𝑝 −2𝑟𝜎22 (2.23)
Dimana 𝜎 adalah nilai spread yang didefinisikan sebagai berikut :
𝜎= 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 2 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 =
𝑑𝑚𝑎𝑥
𝑚𝑖 (2.24)
Sementara untuk menentukan bobot di hidden layer digunakan metode
commit to user
Cluster Decision. Dari hasil penelitian kekakuratan jaringan syaraf tiruan dalam pengenalan huruf abjad mencapai 97 %. (Haryono, 2005)
Penelitian lain tentang penggunan JST RBF adalah penelitian yang dilakukan oleh Kusaedi. Rancangan JST RBF yang digunakan oleh Kusaedi (2004) dalam Perancangan Kendali Kecepatan Motor DC pada penelitian tersebut menggunakan fungsi Gaussian sebagai berikut :
𝜑𝑗 =𝑒− 𝑐−𝑥𝑗
2
2𝜎2 (2.25)
Untuk update bobot basis digunakan algoritma LMS yang dirumuskan sebagai berikut :
𝑤𝑘+1 = 𝑤𝑘 +𝛼 ∗ 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟 ∗ 𝑣 (2.26)
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pelatihan (penggunaan bobot) memberikan hasil yang lebih bagus, walaupun sering terjadi overshoot terlebih dahulu. (Kusaedi, 2004)
Sementara itu Zhangang, Yanbo, & Cheng (2007) mengusulkan sebuah metode pelatihan JST RBF yaitu dengan dikombinasikan dengan algoritma genetika. Topologi JST RBF nya adalah sebagai berikut :
X1 X2 Xn c1 c2 cn W1,1 W1,m W2,1 W2,m Wq,m W1,m, Y2 Y1
Input Layer Hidden Layer Output Layer
Gambar 2.5 Topologi JST RBF
Pemetaan dari data input sampai ke layer output digunakan rumus sebagai berikut :
commit to user
𝑦𝑖 = 𝑤𝑗,𝑖𝜑 𝑥 − 𝑐𝑗
𝑗=1
(2.27)
Radial basis function didefinisikan sebagai fungsi Gaussian sebagai berikut :
𝜑 𝑟 =𝑒𝑥𝑝 −𝑟2/2𝜎2 𝜎> 0, 𝑟 ≥0 (2.28) Kromosom dikodekan dalam bentuk string real. Adapun kromosomnya adalah sebagai berikut :
The right to export unit The basic center position The variance of RBF A chromosome string
Order by number of node in hidden layer
Gambar 2.6 Kromosom GA-RBF
Dari Gambar 2.6 dapat diketahui bahwa kromosom merupakan representasi dari export unit, posisi center dan variance RBF. Sementara fungsi fitness
didefiniskan sebagai 1
𝑀𝑆𝐸. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa AG-RBF mempunyai tingkat akurasi peramalan yang lebih tinggi dan kecepatan konvergensi yang lebih cepat dari pada RBF biasa. (Zhangang, Yanbo, & Cheng, 2007).
Senada dengan penelitian Zhangang, Yanbo, & Cheng (2007), Ahmed, Nordin, Sulaiman, & Fatimah (2009) membahas mengenai pelatihan jaringan syaraf tiruan MLP (Multi Layer Perceptron) dengan 1 hidden layer yang dioptimasi menggunakan algoritma genetika. Model MLP yang digunakan adalah back-propagation dengan algoritma training Lavenberg Marquant (LM). Adapun flowchart ANN-GA adalah sebagai berikut :
commit to user
Translate parameter into NN
Evaluate NN performance Input Layer Hidden Layer Output Layer NN prediction part Stop Fitness evaluation Selection
Extract the cromoshome from the current population
Crossover
Select two chromosome randomly from intermediate
population
ANN parameters design
No
Mutation
Perform mutation with probability pm Yes New Population Initial Population Optimasi
Gambar 2.7 Flowchart ANN-AG
Mean Square Error (MSE), Root Mean Square Error (RMSE), dan
Determination Coefficients (R²) digunakan untuk mengevaluasi performa ANN-GA. Semakin kecil MSE dan RMSE serta nilai R² mendekati 1 maka ANN-AG menunjukan performa yang bagus dan ketepatan akurasi yang tinggi. Adapun rumus untuk menghitung MSE, RMSE dan R2 adalah sebagai berikut :
𝑀𝑆𝐸 = 1 𝑇 𝑌𝑘− 𝑇𝑘 𝑇 𝑘=1 (2.29) 𝑅𝑀𝑆𝐸= 1 𝑇 𝑌𝑘 − 𝑇𝑘 𝑇 𝑘=1 (2.30) 𝑅2 = 1− 𝑇 𝑌𝑘 − 𝑇𝑘 𝑘=1 𝑌𝑘− 𝑌 𝑘 𝑇 𝑘=1 (2.31)
commit to user
MSE dan RMSE yang lebih sedikit serta nilai R2 yang lebih besar daripada model ANN dengan trial-error procedure. (Ahmed, Nordin, Sulaiman, & Fatimah, 2009)
Penelitian lain yang menggabungkan JST dan algoritma genetika adalah penelitian yang dilakukan oleh Yasin Fahmi. Pada penelitiannya Fahmi (2011) memaparkan penggabungan antara jaringan syaraf tiruan backpropagation dengan optimasi menggunakan algoritma genetika untuk peramalan harga saham. Adapun arsitektur jaringan syaraf tiruannya adalah sebagai berikut :
X1 X2 X3 X4 Z2 Z3 Z4 Y1 Input 1 Input 4 Input 3 Z1 Output 1 X5 Input 5 Input 2 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12 Z13 Z14 Z15
commit to user
Pada penelitiannya dipilih lima indeks saham perusahaan yang memiliki
index saham yang sehat yaitu :
a. Index saham individual Astra International. b. Index saham individual Gudang Garam. c. Index saham individual Indosat.
d. Index saham individual Telkom. e. Index saham individual Unilever.
Kelima index tersebut menjadi input pada jaringan syaraf tiruan. Sedangkan pada hidden layer terdapat 15 neuron. Fungsi aktivasi yang digunakan adalah sigmoid biner dan metode normalisasi data yang digunakan adalah Min-max normalization. Adapun rumus yang digunakan untuk penskalaan adalah sebagai berikut :
𝑆𝑘𝑎𝑙𝑎 = 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙𝑎 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑛𝑑𝑎𝑡𝑎
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑎𝑥𝑖𝑚𝑢𝑛𝑑𝑎𝑡𝑎 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑛𝑑𝑎𝑡𝑎 (2.32)
Pada proses optimasi dengan algoritma genetika, fungsi fitness didefinisikan dengan rumus 1
𝑀𝑆𝐸 , dimana MSE merupakan Mean Square Error. Kromosom direpresentasikan sebagai kumpulan 15 neuron di hidden layer, karena pada penelitian ini hanya bobot output yang dioptimasi. Adapun representasi kromosomnya adalah sebagai berikut :
Z1 Z2 ….. Z14 Z15
Z1, Z2, Z3, Z4, Z5, Z6, Z7, Z8 Z9, Z10, Z11, Z12, Z13, Z14, Z15.
Z = berisi locus yang merupakan nilai neuron 1 sampai 15, pada hidden layer. Diagram alir penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
commit to user Identifikasi dan perumusan masalah Pengumpulan data Membangun arsitektur jaringan
Pelatihan bobot dan bias JST
MSE <= 0.1
Optimasi bobot dan bias menggunakan AG
Pengujian Jaringan Syaraf Tiruan
Peramalan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan
Analisis
Kesimpulan dan saran
Selesai Ya
Tidak
Gambar 2.9 Diagram alir penelitian
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pada saat inisialisasi bobot dan bias jaringan syaraf tiruan, nilai MSE yang didapatkan adalah 0.0297. Setelah bobot dan bias dioptimasi dengan menggunakan algoritma genetika dihasilkan nilai MSE
commit to user
sebesar 0,004490 dan nilai fitness sebesar 222.70. Nilai MSE sebelum dan setelah optimasi bobot ini mengalami penurunan sebesar 567.455%. (Fahmi, 2011).
Di sisi lain, seiring perkembangan penelitian mengenai algoritma genetika, muncul berbagai macam modifikasi algoritma genetika untuk meningkatkan kualitas algoritma genetika, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Srinivas & Patnaik (1994). Pada penelitiannya Srinivas & Patnaik (1994) memaparkan sebuah pendekatan baru pada algoritma genetika yaitu probabilitas crossover dan mutasi yang adaptif. Selama ini pada Algoritma genetika standar nilai probabilitas crossover
dan mutasi selalu diset tetap untuk setiap iterasi pada proses optimasi dengan algoritma genetika.
Srinivas & Patnaik (1994) mengusulkan nilai probabilitas crossover dan mutasi tidak tetap namun berubah sesuai dengan nilai fitness. Adapun rumus probabilitas crossover dan mutasi yang diusulkan adalah sebagai berikut :
𝑝𝑐 =𝑘1 𝑓𝑚𝑎𝑥 − 𝑓′ 𝑓𝑚𝑎𝑥 − 𝑓 , 𝑘1 ≤ 1.0 (2.33) 𝑝𝑚 = 𝑘2 𝑓𝑚𝑎𝑥 − 𝑓 𝑓𝑚𝑎𝑥 − 𝑓 , 𝑘2 ≤ 1.0 (2.34) Dengan batasan 𝑝𝑐 =𝑘3, 𝑓′ ≤ 𝑓 (2.35) 𝑝𝑚 = 𝑘3, 𝑓 ≤ 𝑓 (2.36) Dimana k3, k4≤ 1.0 𝑘1,𝑘2,𝑘3,𝑘4 ≤ 0
Agar rumus di atas dapat berjalan dengan optimal maka dasarankan untuk nilai k1, k2, k3 dan k4 berturut-turut adalah 1.0, 0.5, 1.0 dan 0.5.
Srinivas & Patnaik (1994) melakukan pengujian Adaptive Genetic Algorithm (AGA) untuk penyelesaian TSP, optimasi jaringan syaraf tiruan dan kasus VLSI sirkuit. Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kemampuan AGA lebih baik dari pada Algorima genetika standar.
Dari hasil penelitian penentuan nilai pc dan pm yang adaptif sesuai dengan nilai fitness sesuai dengan yang diusulkan tersebut, tidak hanya meningkatkan konvergensi algoritma genetika tetapi juga mencegah terjadinya local optimum. (Srinivas & Patnaik, 1994).
commit to user
Rismawan & Kusumadewi (2008) yang memaparkan penggunaan metode clustering K-Means Untuk Pengelompokkan Mahasiswa Berdasarkan Nilai Body Mass Index
(Bmi) & Ukuran Kerangka. Pada penelitian ini telah dibangun sistem yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi mahasiswa menurut BMI dan ukuran kerangkanya berdasarkan data kondisi fisik dari mahasiswa yang bersangkutan yang telah diambil terlebih dahulu. Data kondisi fisik yang digunakan adalah tinggi badan, berat badan dan lingkar lengan bawah. Dari data tersebut dikelompokkan menjadi 3 dengan menggunakan metode K-Means.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa algoritma klasifikasi K-Means dapat digunakan untuk mengelompokkan mahasiswa berdasarkan status gizi dan ukuran kerangka. Dari data yang dilatih, diperoleh 3 kelompok berdasarkan BMI dan ukuran kerangka, yaitu : (Rismawan & Kusumadewi, 2008)
1. BMI normal dan kerangka besar, dengan pusat cluster (19,53; 11,52). 2. BMI obesitas sedang dan kerangka sedang, dengan pusat custer (25,44;
10,22).
3. BMI obesitas berat dan kerangka kecil, dengan pusat cluster (43,25; 8,95).