• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. PENELITIAN UTAMA

Penelitian utama proses produksi biodiesel adalah dengan proses transesterifikasi. Faktor-faktor yang divariasikan pada penelitian utama ini adalah rasio molar metanol terhadap minyak dengan tiga taraf yaitu 3:1, 6:1 dan 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH dengan tiga taraf pada konsentrasi 0.5% (b/b), 1% (b/b) dan 1.5% (b/b).

Proses transesterifikasi menghasilkan produk berupa metil ester (biodiesel) dan gliserol. Pemisahan gliserol dilakukan dengan cara settling (gravitasi) yaitu berdasarkan densitas zat terlarut. Gliserol dan zat pengotor lain memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah sedangkan lapisan atas merupakan biodiesel. Gliserol yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna cokelat kehitaman dan kental, sedangkan biodiesel yang dihasilkan berwarna kuning terang (Gambar 7). Kemudian biodiesel yang terbentuk dicuci dengan air hangat 60oC untuk menghilangkan sisa katalis, metanol dan kotoran yang tertinggal di dalam produk. Proses pengeringan biodiesel dilakukan dengan cara memanaskan biodiesel pada suhu 120oC untuk menghilangkan sisa air akibat proses pencucian. Selanjutnya hasil biodiesel tiap perlakuan dilakukan analisis berupa bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air dan rendemen biodiesel.

Gambar 7. Hasil proses transesterifikasi

Metil ester (biodiesel)

19

4.2.1. Bilangan Asam dan Kadar FFA (Asam Lemak Bebas)

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan asam dan kadar FFA (Asam Lemak Bebas) dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 8. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan asam dan kadar FFA (Asam Lemak Bebas)

20 Berdasarkan histogram di atas, dapat diketahui bahwa nilai bilangan asam biodiesel biji bintaro berkisar antara 0.32 mg KOH/g sampai 0.74 mg KOH/g sedangkan kadar FFA (Asam Lemak Bebas) biodiesel biji bintaro berkisar antara 0.16% sampai 0.37%. Nilai tersebut sesuai dengan pendapat Tyson (2003) yang menyatakan bahwa nilai bilangan asam yang baik pada biodiesel adalah di bawah 0.8 mg KOH/g, karena lebih dari itu dapat menyebabkan terjadinya deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 5b dan 6b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam maupun kadar FFA. Hal ini menunjukkan bahwa bilangan asam dan kadar FFA tidak dipengaruhi oleh rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang ditambahkan dalam proses transesterifikasi.

Nilai bilangan asam dan kadar FFA berbanding lurus, apabila bilangan asam suatu minyak tinggi maka kadar FFA minyak pun akan tinggi. Bilangan asam dan kadar FFA menunjukkan jumlah asam lemak bebas dalam minyak dalam basis yang berbeda. Bilangan asam adalah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dalam satu gram minyak, sedangkan kadar FFA merupakan kandungan asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu minyak dimana berat molekul asam lemak tersebut dianggap sebesar asam lemak dominannya dan dinyatakan dalam bentuk persen.

Bilangan asam dan kadar FFA mengidentifikasikan suatu kerusakan minyak yang diakibatkan oleh proses hidrolisis maupun proses oksidasi dan dapat menyebabkan korosi dan deposit (karat) pada mesin. Asam lemak bebas yang terdapat pada biodiesel akan meningkat dengan adanya proses hidrolisis yang dikatalisa asam, terutama jika produk memiliki kadar air yang tinggi. Proses hidrolisis juga dipercepat oleh peningkatan suhu. Selama hidrolisis terjadi pemecahan ikatan ester yang menghasilkan digliserida, monogliserida, asam lemak bebas dan gliserol. Selain itu, asam lemak bebas dalam biodiesel akan meningkat disebabkan oleh proses oksidasi yang terjadi pada asam lemak tidak jenuh dalam biodiesel. Semakin tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh maka semakin besar reaksi oksidasi yang terjadi pada ikatan rangkap sehingga bilangan asam meningkat. Kondisi penyimpanan yang kontak langsung dengan udara juga dapat menjadi penyebab reaksi oksidasi yang menghasilkan asam-asam lemak berantai pendek. Untuk itu, bilangan asam dan kadar FFA ini menjadi faktor yang penting dalam proses pembuatan biodiesel. Berdasarkan persyaratan kualitas mutu biodiesel di Indonesia dalam SNI-04-7182-2006, parameter bilangan asam adalah maksimum 0.8 ml KOH/g minyak, maka semua perlakuan sudah memenuhi standar. Dimana biodiesel yang memiliki bilangan asam dan kadar FFA terendah adalah 0.32 mg KOH/g dan 0.16% pada saat rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dengan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan adalah 1.5%.

4.2.2. Bilangan Iod

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan iod dapat dilihat pada Gambar 9.

21

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 9. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan iod

Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai bilangan iod biodiesel biji bintaro terendah adalah 30.42 g I2/100 g pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Sedangkan nilai bilangan iod tertinggi adalah 37.09 g I2/100 g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 7b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi tidak berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan iod. Hal ini menunjukkan bahwa bilangan iod tidak dipengaruhi oleh rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang ditambahkan dalam proses transesterifikasi. Dengan kata lain, jumlah ikatan rangkap asam lemak yang menyusun minyak biji bintaro dapat diasumsikan sama.

Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod untuk biodiesel perlu dibatasi. Sesuai dengan standar biodiesel dalam SNI-04-7182-2006, nilai maksimal bilangan iod adalah 115 g I2/100 g. Hal ini dikarenakan adanya ketidakstabilan asam lemak tidak jenuh oleh suhu tinggi yang menghasilkan polimerisasi gliserida sehingga dapat terjadi deposit atau kerusakan pada lubang saluran injeksi, piston dan lainnya.

22 Nilai bilangan iod biodiesel biji bintaro berkisar antara 30.42 g I2/100 g sampai 37.09 g I2/100 g. Nilai yang didapatkan lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Mulyani (2007) yaitu 45.16 dan 43.38 g I2/100 g. Bilangan iod untuk bahan baku biodiesel yang paling optimal adalah di sekitar metil oleat (70-100). Biodiesel yang diproduksi dari bahan baku ini akan memiliki angka setana yang memuaskan yaitu minimal 51 dan titik kabut yang rendah (Soerawidjaja et al. 2005). Dari semua perlakuan yang diujikan, bilangan iod biodiesel biji bintaro sesuai dengan standar biodiesel sehingga layak digunakan sebagai alternatif bahan bakar diesel (biodiesel).

4.2.3. Bilangan Peroksida

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan peroksida dapat dilihat pada Gambar 10.

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 10. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan peroksida

Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai bilangan peroksida biodiesel biji bintaro terendah adalah 3.65 mg O2/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Sedangkan nilai bilangan peroksida tertinggi adalah 5.90 mg O2/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 6:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 8b

23 menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya tidak berpengaruh secara nyata terhadap bilangan peroksida.

Bilangan peroksida merupakan parameter terpenting dalam menentukan derajat kerusakan minyak dan daya tahan suatu minyak (Ketaren 1986). Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi tingkat kerusakan suatu minyak dan semakin rendah daya tahan minyak tersebut. Bilangan peroksida untuk biodiesel harus serendah mungkin. Hal ini dikarenakan bilangan peroksida mengindikasikan kandungan senyawa peroksida yang merupakan senyawa intermediet pada reaksi oksidasi dan dapat menyerang asam lemak lain yang masih utuh untuk membentuk asam lemak bebas rantai pendek yang lebih banyak, selain itu senyawa peroksida juga memicu terjadinya reaksi polimerisasi dan endapan yang tidak larut dan menyebabkan viskositas tinggi sehingga dapat merusak mesin diesel. Dari perlakuan yang telah dilakukan, bilangan peroksida yang paling baik digunakan sebagai biodiesel adalah bilangan peroksida terendah yaitu 3.65 mg O2/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%.

4.2.4. Bilangan Penyabunan

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan penyabunan dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 11. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan penyabunan

24 Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai bilangan penyabunan biodiesel biji bintaro terendah adalah 187.48 mg KOH/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 6:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1%. Sedangkan nilai bilangan penyabunan tertinggi adalah 197.33 mg KOH/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Nilai yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Endriana (2007) yaitu 170.92 mg KOH/g. Tingginya bilangan penyabunan dapat diakibatkan oleh tingginya berat molekul minyak dan kandungan asam lemak (Azam et al. 2005).

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 9b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan penyabunan. Hasil uji lanjut pada Lampiran 9c menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan 6:1 tidak berpengaruh secara signifikan, tetapi berpengaruh secara siginifikan pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1. Selain itu, uji tersebut juga menunjukkan konsentrasi katalis NaOH 0.5% dan 1% tidak berpengaruh secara signifikan, tetapi berpengaruh secara signifikan pada konsentrasi katalis NaOH 1.5% dalam peningkatan nilai bilangan penyabunan.

Bilangan penyabunan berkorelasi dengan berat molekul minyak. Minyak yang banyak mengandung senyawa berantai pendek, yang berarti memiliki berat molekul yang relatif kecil akan memiliki bilangan penyabunan yang besar. Begitupun sebaliknya, minyak yang banyak mengandung senyawa berantai panjang, yang berarti memiliki berat molekul yang relatif besar akan memiliki bilangan penyabunan yang kecil. Pada saat proses transesterifikasi, trigliserida yang merupakan senyawa berantai panjang akan bereaksi dengan metanol dan menghasilkan metil ester (biodiesel) yang merupakan senyawa berantai pendek. Dengan semakin banyaknya metil ester yang terbentuk menunjukkan bahwa berat molekul biodiesel relatif kecil sehingga bilangan penyabunannya akan semakin besar. Untuk itu bilangan penyabunan yang layak sebagai biodiesel adalah bilangan penyabunan dengan nilai tertinggi yaitu 197.33 mg KOH/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%.

4.2.5. Viskositas

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap viskositas dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa nilai viskositas biodiesel biji bintaro terendah adalah 3.66 cSt pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1%. Sedangkan nilai viskositas tertinggi adalah 4.23 cSt pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Nilai yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayatullah (2009) yaitu 3.4 cSt. Perbedaan nilai viskositas diakibatkan oleh kemurnian metil ester yang dihasilkan dari proses transesterifikasi dan proses pemisahan yang sempurna dengan gliserol.

25

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 12. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap viskositas

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak berpengaruh sangat nyata terhadap viskositas. Sedangkan konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Hal ini dapat diartikan bahwa faktor rasio molar metanol terhadap minyak berperan penting terhadap perubahan viskositas. Hasil uji lanjut rasio molar metanol terhadap minyak pada Lampiran 10c menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam menurunkan viskositas, dimana semakin tinggi rasio molar metanol terhadap minyak maka semakin rendah viskositas yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan keoptimalan dari proses transesterifikasi, dimana proses transesterifikasi yang berjalan secara optimal akan mengkonversi seluruh trigliserida menjadi metil ester sehingga akan menurunkan nilai viskositas, karena metil ester memiliki viskositas yang lebih rendah (lebih encer) dibandingkan trigliserida. Selain itu metanol juga akan menurunkan berat molekul dari minyak bintaro sehingga menghasilkan produk dengan berat molekul yang lebih rendah, yang berarti akan menurunkan viskositas produk yang didapat (biodiesel). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2002) dengan bahan kelapa sawit dimana terjadi penurunan viskositas yang sangat besar dengan semakin bertambahnya jumlah metanol yang digunakan. Minyak kelapa sawit sebelum dikonversikan menjadi ester mengahasilkan viskositas yang sangat tinggi, yaitu sebesar

26 43.1 cSt tetapi setelah dikonversikan menjadi metil ester (biodiesel), viskositasnya turun menjadi 6-8 cSt yang berarti terjadi penurunan viskositas sebesar 82-86%.

Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Viskositas akan naik seiring dengan kenaikan panjang rantai karbon dan kenaikan sisa monogliserida, digliserida dan trigliserida dalam biodiesel. Viskositas merupakan faktor yang penting dalam menentukan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Viskositas untuk biodiesel yang sesuai dengan SNI berkisar antara 2.3-6.0 cSt. Viskositas biodiesel tidak boleh terlalu tinggi (kental) karena berpengaruh terhadap injektor pada mesin diesel yang tidak dapat memecah bahan bakar menjadi lebih kecil agar penguapan dan pembakaran berjalan lancar, selain itu viskositas yang tinggi akan menyulitkan pemompaan bahan bakar dari tangki ke ruang bakar mesin. Dari semua perlakuan yang diujikan sudah memenuhi standar, dimana biodiesel yang memiliki nilai viskositas terendah adalah pada saat rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dengan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan adalah 1%.

4.2.6. Densitas

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap densitas dapat dilihat pada Gambar 13.

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 13. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap densitas

27 Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai densitas biodiesel biji bintaro terendah adalah 0.86 g/cm3 pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Sedangkan nilai densitas tertinggi adalah 0.87 g/cm3 pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Nilai tersebut sesuai dengan pendapat Syah (2006) yang menyatakan bahwa densitas biodiesel seharusnya berkisar 0.85-0.90 g/cm3.

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 11b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak dan interaksi berpengaruh nyata terhadap densitas. Sedangkan konsentrasi katalis NaOH tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut interaksi pada Lampiran 11c menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perlakuan A1B1 terhadap delapan perlakuan lainnya. Selain itu, uji tersebut juga menunjukkan rasio molar metanol terhadap minyak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan densitas yang dihasilkan.

Nilai densitas dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan keberadaan gliserol. Penurunan nilai densitas menunjukkan adanya penurunan panjang rantai karbon dan penurunan keberadaan gliserol. Selama proses transesterifikasi rantai karbon asam lemak dalam minyak biji bintaro akan terpecah menjadi rantai metil ester yang lebih pendek sehingga densitas pun akan menurun seiring dengan penurunan bobot molekul. Keberadaan gliserol dalam biodiesel juga mempengaruhi densitas biodiesel karena gliserol memilki nilai densitas yang lebih tinggi dibandingkan densitas biodiesel. Densitas berhubungan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar (Prihandana et al. 2006). Densitas bahan bakar motor diesel dapat menunjukkan sifat serta kinerja seperti kualitas penyalaan, daya, konsumsi, sifat-sifat pada suhu rendah dan pembentukan asap. Oleh karenanya densitas merupakan parameter penting dalam menentukan kualitas biodiesel. Berdasarkan persyaratan kualitas mutu biodiesel di Indonesia dalam SNI-04-7182-2006, parameter densitas adalah antara 0.85-0.89 g/cm3, maka seluruh perlakuan sudah memenuhi standar dengan nilai densitas biodiesel biji bintaro terendah adalah 0.86 g/cm3 pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%.

4.2.7. Kadar Abu

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap kadar abu dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa nilai kadar abu biodiesel biji bintaro terendah adalah 0.01% pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1% serta 1.5%. Sedangkan nilai kadar abu tertinggi adalah 0.02% pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Nilai kadar abu yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Endriana (2007) yaitu 0%. Tingginya nilai kadar abu diakibatkan oleh proses pencucian yang kurang maksimal sehingga masih terdapat senyawa organologam di dalam biodiesel. Selain itu katalis yang tidak bereaksi dalam proses transesterifikasi akan membentuk logam dan dapat menyebabkan korosi pada mesin diesel. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 12b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Hal ini menunjukkan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh rasio

28 molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang ditambahkan dalam proses transesterifikasi.

Keterangan :

A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%

Gambar 14. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap kadar abu

Biodiesel membutuhkan kandungan abu yang serendah mungkin. Tingginya kadar abu pada biodiesel akan berbahaya dikarenakan senyawa organologam akan mengendap dan menyebabkan karat pada mesin. Selain itu, abu juga dapat mengikis unit-unit injektor pada motor diesel. Berdasarkan SNI biodiesel, maksimal kandungan abu adalah 0.02%. Dari semua perlakuan yang diujikan sudah memenuhi standar, dimana biodiesel yang memiliki nilai kadar abu terendah dengan rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1% serta rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%.

4.2.8. Kadar Air dan Sedimen

Kadar air dan sedimen merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas biodiesel. Nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro untuk semua perlakuan adalah 0% (Tabel 9). Kandungan air yang tinggi dalam biodiesel dapat mendorong terjadinya reaksi hidrolisis antara trigliserida dengan molekul air sehingga membentuk gliserol dan asam lemak bebas. Selain itu, air dalam biodiesel akan menyebabkan mesin diesel aus sehingga dapat menyebabkan korosi pada mesin diesel. Kandungan air dalam biodiesel juga akan mempengaruhi dalam penyimpanan

29 biodiesel, karena air dalam biodiesel dapat mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme. Menurut SNI biodiesel no. 04-7182-2006 tahun 2006, maksimal nilai kadar air dan sedimen biodiesel adalah 0.05%. Dari semua perlakuan yang dilakukan nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro adalah 0%. Sehingga semua perlakuan yang dilakukan sesuai dengan standar SNI biodiesel dan layak untuk dijadikan bahan bakar mesin diesel.

Tabel 9. Nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro

Sampel Kadar air dan sedimen (%) Sampel Kadar air dan sedimen (%) Sampel Kadar air dan sedimen (%)

A1B1 0.00 A2B1 0.00 A3B1 0.00

A1B2 0.00 A2B2 0.00 A3B2 0.00

A1B3 0.00 A2B3 0.00 A3B3 0.00

4.2.9. Rendemen

Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan

Dokumen terkait