i. Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik
Penelitian utama dilakukan dengan mengkombinasikan perlakuan konsentrasi substrat dan jenis inokulum. Analisa cairan fermentasi pada penentuan konsentrasi dan jenis inokulum terbaik dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil penelitian fermentasi etanol dapat dijelaskan sebagai berikut
a. Kadar Etanol
Kadar etanol yang dihasilkan bervariasi antara 2.32%(v/v) sampai 4.66%(v/v). Kadar etanol terendah didapatkan dari perlakuan menggunakan konsentrasi gula 8% (b/v) menggunakan ragi roti sedangkan kadar etanol tertinggi adalah pada perlakuan menggunakan substrat dengan kadar gula 14%(b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Histogram rata-rata kadar etanol dapat dilihat pada Gambar 3.
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 K ad ar E ta no l ( % v/ v) ) 8% 14% 20%
Kadar Gula Total (%b/v)
Kultur Murni Ragi Roti
Gambar 3. Histogram kadar etanol cairan fermentasi
Gambar 3 memperlihatkan bahwa kadar etanol tertinggi diperoleh pada fermentasi menggunakan hidrolisat pati sagu 14% (b/v). Pada konsentrasi gula 8% (b/v) didapatkan kadar etanol yang lebih rendah dibandingkan perlakuan konsentrasi gula 14% (b/v). Pada konsentrasi gula 20% (b/v) juga dihasilkan kadar etanol yang lebih rendah dibandingkan perlakuan menggunakan substrat 14% (b/v). Hal ini sesuai dengan laporan Casida (1968) yang menyatakan bahwa kadar total gula optimum untuk fermentasi etanol adalah 10-18% (b/v), sedangkan di atas dan di bawah kadar gula optimum kecepatan fermentasi akan menurun dan jumlah etanol yang dihasilkan juga akan berkurang.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat, jenis inokulum dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar etanol cairan hasil fermentasi. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan terbaik yaitu fermentasi menggunakan konsentrasi substrat 14 % (b/v) berbeda nyata dengan perlakuan lain. Analisis keragaman terhadap kadar etanol dapat dilihat pada Lampiran 10.
Etanol merupakan produk utama pada fermentasi anaerob, tetapi etanol merupakan racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi. Fungsi utama khamir menurut Frazier dan Westhoff (1977)
adalah mengubah gula menjadi etanol dan karbondioksida. Clark dan Mackie (1984) menyatakan bahwa khamir sangat peka etanol. Konsentrasi etanol 1-2 % (v/v) sudah mengganggu fermentasi dan pada konsentrasi etanol 10% (v/v) laju pertumbuhan khamir akan berhenti sama sekali. Sedangkan menurut Prescott dan Dunn (1981), kadar etanol maksimal yang bisa dihasilkan sebelum fermentasi benar-benar berhenti adalah 13% (v/v). Mangunwidjaja dan Suryani (1994) menambahkan bahwa konsentrasi 40 g/l etanol akan menjadi penghambat baik untuk pertumbuhan biomassa maupun produksi etanol. Pada penelitian ini didapatkan kadar etanol 2.32-4.66 %(v/v). Pada konsentrasi etanol 4.66% (v/v) ini diduga sudah terjadi penghambatan sehingga fermentasi berhenti. Selain itu, kadar etanol yang terhitung sebenarnya lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam cairan fermentasi. Hal ini disebabkan karena pengukuran kadar etanol dilakukan menggunakan metode destilasi. Menurut Amerine dan Ough (1979) distilasi etanol akan menyebabkan kehilangan etanol sebanyak 0.6-1.5 % (v/v).
Perbedaan kadar etanol pada masing-masing perlakuan disebabkan oleh perbedaan konsentrasi total gula yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi total gula semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi total gula semakin banyak substrat (sumber karbon) yang dapat dikonsumsi. Namun, penggunaan substrat yang berlebihan akan menjadi penghambat pada pertumbuhan dan pembentukan produk oleh khamir (Rehm dan Reed, 1983).
Hasil perbandingan antara perlakuan menggunakan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae dan ragi roti memperlihatkan bahwa inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih baik dibandingkan inokulum ragi roti karena menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebakan oleh adanya perbedaan antara galur Saccharomyces cerevisiae dan galur khamir yang digunakan pada ragi roti. Menurut Retledge (2001) galur
Saccharomyces cerevisiae yang digunakan berbeda antara ragi roti dan ragi untuk produksi alkohol.
Hasil penelitian yang dilakukan Rinaldy (1987) dan Daulay (1999) memberikan kadar etanol tertinggi sebesar 1.16 % (v/v) dan 2.63 % (v/v) menggunakan substrat onggok singkong dengan hidrolisis menggunakan asam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kultur murni Saccharomyces cerevisiae mampu mengkonsumsi hidrolisat pati sagu lebih baik dibandingkan onggok singkong sebagai sumber karbon dalam media fermentasi. Hal ini disebabkan karena hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan onggok singkong. Akyuni (2004) menyatakan bahwa hidrolisis pati sagu hasil hidrolisis secara enzim memiliki derajat polimerisasi (DP) sekitar 1.4. Nilai DP yang terbentuk ini menunjukkan bahwa produk yang terbentuk adalah glukosa dan maltosa. Derajat polimerisasi pada glukosa memiliki nilai 1 (DP1) dan maltosa memiliki nilai 2 (DP2). Menurut Retledge dan Kristiansen (2001) Saccharomyces cerevisiae mampu melakukan fermentasi glukosa dan maltosa menjadi etanol.
b. Kadar Gula Pereduksi Akhir
Selama fermentasi, sel akan mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Hal ini ditandai dengan berkurangnya kadar gula yang digunakan sebagai sumber karbon. Kadar gula pereduksi akhir menunjukkan kadar gula pereduksi setelah fermentasi selesai.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat berpengaruh nyata terhadap nilai gula pereduksi akhir cairan fermentasi baik pada fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae ataupun menggunakan ragi roti. Uji Duncan memperlihatkan bahwa fermentasi menggunakan konsentrasi 14% (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap kadar gula pereduksi sisa pada selang kepercayaan 95 % ( =0.05). Analisis keragaman terhadap kadar gula pereduksi dapat dilihat pada Lampiran 11.
Histogram rata-rata kadar gula pereduksi akhir diperlihatkan pada Gambar 4. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 K ad ar G ul a P er ed uk si A kh ir (g /l) 8% 14% 20%
Perlakuan Konsentrasi Substrat
Kultur Murni Ragi Roti
Gambar 4. Histogram rata-rata kadar gula pereduksi akhir
Kadar gula pereduksi yang tersisa berkisar antara 3.00 g/l sampai 60.37 g/l. Kadar gula pereduksi sisa terbesar diperoleh pada perlakuan menggunakan ragi roti dengan konsentrasi gula 20% (b/v), sementara kadar gula pereduksi sisa terkecil diperoleh pada perlakuan menggunakan kadar gula 8% (b/v) dengan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Pada kadar gula 8% (b/v) baik menggunakan kultur murni maupun ragi roti diperoleh gula pereduksi sisa sebesar 3.0 g/l dan 3.2 g/l. Sementara kadar etanol yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan perlakuan menggunakan kadar gula 14% (v/v). Kecilnya kadar etanol yang dihasilkan ini mengindikasikan bahwa kadar gula 8% (b/v) pada substrat belum cukup untuk memenuhi kebutuhan khamir pada proses fermentasi, sehingga fermentasi tidak berjalan optimal dan menghasilkan produk etanol yang rendah.
Dari histogram pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar gula pereduksi akhir pada setiap perlakuan menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih rendah dibandingkan kadar gula
pereduksi pada setiap konsentrasi menggunakan ragi roti. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jenis galur yang digunakan pada ragi roti.
Selain itu, pada histogram juga dapat dilihat hubungan bahwa semakin tinggi kadar gula substrat maka semakin tinggi kadar gula pereduksi yang tersisa. Pada konsentrasi gula 8% (b/v) dihasilkan gula pereduksi terendah yaitu 3 g/l pada fermentasi oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae dan 3.2 g/l pada fermentasi oleh ragi roti. Pada fermentasi menggunakan substrat dengan konsentrasi ini terlihat bahwa substrat hampir seluruhnya sudah terfermentasi. Walaupun substrat telah dikonversi hampir seluruhnya, tidak dihasilkan kadar etanol yang tinggi. Ini membuktikan bahwa konsentrasi substrat 8 % (v/v) belum cukup untuk menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi. Ini juga terbukti dari volume CO2 yang dihasilkan. Pada konsentrasi substrat 8% (b/v) dihasilkan volume CO2 yang lebih kecil dibandingkan kadar etanol 14% (b/v). Selain itu, fermentasi pada konsentrasi substrat 8% (b/v) berhenti lebih awal. Sementara itu, gula pereduksi akhir pada perlakuan substrat 20% (b/v) lebih tinggi dibandingkan gula pereduksi akhir pada konsentrasi substrat 8% (b/v) dan 14% (b/v). Namun, kadar etanol yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan fermentasi menggunakan konsentrasi substrat 14% (v/v). Ini disebabkan karena konsentrasi yang digunakan berada di atas konsentrasi substrat optimum (18%), sehingga fermentasi tidak berjalan dengan baik untuk menghasilkan kadar etanol yang tinggi.
c. Efisiensi Pemanfaatan Substrat
Efisiensi pemanfaatan substrat dari kultur murni Saccharomyces cerevisiae didapatkan bervariasi mulai dari 57.5% sampai 94.7% dan efisiensi pemanfaatan substrat fermentasi oleh ragi roti bervariasi dari 53.2% sampai 94.36%.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi pemanfaatan substrat cairan
hasil fermentasi baik pada fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae maupun menggunakan ragi roti. Uji Duncan memperlihatkan bahwa fermentasi menggunakan konsentrasi 14 % (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap nilai efisiensi pemanfaatan substrat pada selang kepercayaan 95 % ( =0.05). Analisis keragaman terhadap efisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Lampiran 12. Histogram nilai rata-rata kadar efisisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Gambar 5.
0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 E fis ie ns i P em an fa at an S ub st ra t ( % ) 8% 14% 20%
Kadar Gula Total (% b/v)
Kultur Murni Ragi Roti
Gambar 5. Histogram rata-rata efisiensi pemanfaatan substrat
Histogram efisiensi pemanfaatan substrat memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat semakin rendah efisiensi pemanfaatan substrat oleh kedua jenis inokulum. Moat (1979) menyatakan bahwa pada konsentrasi substrat yang tinggi sel khamir akan mengalami plasmolisis karena larutan bersifat hipotonik. Dengan terjadinya plasmolisis aktivitas fermentasi terhambat bahkan dapat mematikan sel khamir
Pada histogram rata-rata efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh keterangan bahwa efisiensi pemanfaatan substrat oleh fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan efisiensi pemanfaatan substrat oleh ragi roti. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan galur khamir yang digunakan.
d. pH
Nilai pH awal pada setiap perlakuan dalam penelitian ini diatur sekitar 4.8 sesuai dengan pH optimal pertumbuhan khamir. Nilai pH optimal fermentasi adalah 4.5-5.0 (Casida, 1968). Pada pH yang lebih rendah kecepatan fermentasi akan menurun sedangkan pada pH yang lebih tinggi terbentuk asam-asam organik dan gliserol lebih banyak yang merupakan hasil samping fermentasi. Asam-asam organik yang merupakan hasil samping fermentasi adalah asam piruvat, asam suksinat dan asam laktat.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat dan jenis inokulum berpengaruh nyata terhadap nilai pH cairan hasil fermentasi. Interaksi antara konsentrasi substrat dan jenis inokulum juga berpengaruh sangat nyata terhadap nilai pH. Uji Duncan memperlihatkan bahwa fermentasi menggunakan konsentrasi 14 % (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan substrat 14% (b/v) oleh ragi roti. pH akhir fermentasi menggunakan substrat 14% (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda sangat nyata terhadap fermentasi menggunakan substrat 8 % (b/v), baik menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae maupun ragi roti, tetapi tidak berbeda nyata dengan fermentasi menggunakan substrat 20 % (b/v). Hal ini diduga disebabkan banyaknya hasil samping yang dihasilkan pada konsentrasi substrat 20% (b/v). Analisis keragaman terhadap nilai pH dapat dilihat pada Lampiran 13. Histogram pH diperlihatkan pada Gambar 6.
3.2 3.22 3.24 3.26 3.28 3.3 3.32 3.34 3.36 3.38 3.4 3.42 pH 8% 14% 20%
Kadar Gula Total (% b/v)
Kultur Murni Ragi Roti
Gambar 6. Histogram pH akhir produk fermentasi
Nilai pH akhir fermentasi pada penelitian ini berada pada kisaran 3.28 sampai 3.41. Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari perlakuan konsentrasi substrat 14% menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Nilai pH tertinggi diperoleh pada perlakuan menggunakan kadar gula 8% (b/v) dengan inokulum ragi roti komersial.
Berdasarkan hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah fermentasi dapat disimpulkan bahwa pH fermentasi berbanding lurus dengan keaktifan mikroba melakukan fermentasi. Semakin aktif mikroba melakukan fermentasi semakin tinggi produk yang dihasilkan baik produk utama maupun produk sampingan.
Casida (1968) menyatakan bahwa fermentasi etanol akan menghasilkan etanol sebagai produk utama. Selain itu akan dihasilkan juga karbondioksida dan asam-asam organik seperti asam piruvat, asam suksinat, asam laktat dan asam-asam lainnya. Asam-asam yang dihasilkan sebagai produk sampingan inilah yang membuat pH larutan semakin rendah. Casida (1968) menyatakan bahwa pada konsentrasi glukosa yang cukup optimal (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah) khamir akan menggunakan glukosa tersebut untuk pertumbuhan dan perkembangan sel. Menurut Reed dan Rehm (1983)
asam sebagai hasil samping fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik lainnya berperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam lemak lainnya hanya berpengaruh sedikit.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kadar etanol 14% (b/v) merupakan konsentrasi optimum pertumbuhan khamir untuk melakukan fermentasi. Fermentasi menggunakan konsentrasi substrat 14% (b/v) menghasilkan pH lebih rendah dibandingkan fermentasi menggunakan substrat konsentrasi 8 % (b/v) dan substrat konsentrasi 20% (b/v).
e. Laju Pembentukan CO2
Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi dari berbagai perlakuan diperlihatkan pada Lampiran 14, sedangkan pola pembentukan CO2 diperlihatkan pada Gambar 7.
Pada Gambar 7 terlihat bahwa volume CO2 yang dihasilkan oleh fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan fermentasi menggunakan ragi roti. Hal ini memperlihatkan bahwa laju fermentasi pada fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan fermentasi menggunakan ragi roti. Hal ini diduga disebabkan adanya perbedaan antara galur Saccharomyces cerevisiae dan galur khamir yang digunakan pada ragi roti.
0 100 200 300 400 500 600 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
Lama Fermentasi (jam)
La ju P em be nt uk an C O 2 (m l/j am ) 8S 14S 20S 8R 14R 20R
Gambar 7. Pola pembentukan CO2 selama fermentasi
Selain itu dapat juga dilihat bahwa fermentasi menggunakan substrat 14% (b/v) menghasilkan volume CO2 yang lebih tinggi dibandingkan fermentasi menggunakan substrat dengan konsentrasi 8% (b/v) maupun 20% (b/v). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi substrat 14% (b/v) merupakan konsentrasi substrat terbaik fermentasi. 2. Fermentasi Pada Fermentor 2 L
Hasil terbaik dari berbagai perlakuan adalah fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae dengan kadar gula total 14% (b/v). Selanjutnya, fermentasi dilakukan pada fermentor 2 L berdasarkan perlakuan terbaik. Analisa yang dilakukan terhadap cairan fermentasi adalah kadar etanol, bobot sel kering (biomassa), gula pereduksi sisa, dan volume CO2 yang dihasilkan. Kemudian dilakukan penentuan kurva pertumbuhan dan penghitungan parameter kinetika fermentasi. Kinetika fermentasi menggambarkan laju pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroba. Pertumbuhan mikroba ditandai dengan pertumbuhan jumlah sel yang semakin meningkat. Fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi sistem tertutup. Menurut Mangunwidjaja dan Suryani (1994) fermentasi medium cair dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu sistem curah (batch), sistem sinambung (continue) dan semi sinambung
(fed-batch). Sistem curah adalah sisten fermentasi tertutup dimana tidak dilakukan penambahan substrat ketika fermentasi sedang berjalan. Analisa cairan fermentasi pada fementasi menggunakan fermnetor 2 L dapat dilihat pada Lampiran 15.
a. Biomassa
Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat dalam cairan fermentasi. Hasil pengamatan pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dapat dilihat pada Gambar 8.
0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 0 20 40 60 80 Waktu (jam) B io m as sa (g /l)
Gambar 8. Pola pertumbuhan Saccharomyces cerivisiae selama fermentasi
Pada Gambar 8 diperlihatkan terjadinya peningkatan biomassa yang dihasilkan. Peningkatan biomassa ini menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Pola pertumbuhan sel terdiri dari fase adaptasi (lag), fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi terjadi sampai jam ke-6 lama fermentasi, kemudian diikuti oleh fase eksponensial sampai jam ke-30. Setelah itu pola pertumbuhan biomassa memperlihatkan fase stasioner dan pada akhirnya mengalamai fase kematian pada jam ke-54.
Fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi inokulum yang diberikan. Jika inokulum berasal dari fase eksponensial maka fase
adaptasi akan lebih pendek atau tidak ada sama sekali. Jika inokulum berasal dari fase stasioner, maka sel membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi karena sel membutuhkan waktu untuk melengkapi kelompok koenzim dan metabolit esensial untuk pembelahan sel. Pada penelitian ini inokulum yang diberikan merupakan Saccharomyces cerevisiae yang telah ditumbuhkan dalam media propagasi selama 20-24 jam, sehingga khamir berada pada fase eksponensial.
Setelah fase adaptasi, perbanyakan sel mulai terjadi yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan fermentasi. Pada fase eksponensial ini laju pertumbuhan (dx/dt) mengalami peningkatan. Fase eksponensial pada penelitian ini terjadi pada jam ke-6 sampai jam ke-30.
Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah sel mati seimbang dengan jumlah sel yang tumbuh (sel baru) dan populasinya stabil. Fase stasioner pada penelitian ini dimulai pada jam ke-30 sampai jam ke-54. setelah itu terjadi fase kematian dari jam ke-54 sampai akhir fermentasi (72 jam).
b. Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae didapatkan dari plot ln biomassa dengan lama waktu pertumbuhan. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dalam media fermentasi hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 menunjukkan bahwa fase adaptasi terjadi selama 6 jam pertama. Fase eksponensial terjadi dari jam ke-6 sampai jam ke-30. Kemudian, jam-30 sampai jam-54 merupakan fase stasioner dan mulai jam-54 sampai jam-72 terjadi fase kematian. Dari kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae tersebut dapat ditentukan lama fermentasi optimal. Lama fermentasi Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol adalah 54 jam disebabkan karena lama fermentasi selama 54
jam sudah mencapai fase kematian. Penentuan lama proses fermentasi akan mempengaruhi efisiensi proses fermentasi.
-0,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Waktu (jam) ln X (g /l)
Gambar 9. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dalam media hidrolisat pati sagu
Fase adaptasi yang singkat menunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae cepat menyesuaikan diri dalam media fermentasi. Hal ini juga menunjukkan sudah tidak terdapatnya oksigen dalam media fermentasi. Rehm dan Reed (1983) menyatakan bahwa fase adaptasi akan berlangsung lama jika kultur yang dikembangkan dalam media yang kurang sesuai. Selain itu, fase adaptasi yang singkat juga disebabkan karena pada penyiapan inokulum telah dilakukan inokulasi selama 24 jam.
Fase eksponensial merupakan fase dimana khamir membelah dengan cepat dan konstan. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media dan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya termasuk suhu dan kelembaban udara. Suhu pertumbuhan yang digunakan adalah 30oC yaitu suhu optimal bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae (Frazier dan Westhoff, 1978).
c. Etanol
Selama proses metabolisme, mikroba akan memanfaatkan sumber karbon menghasilkan asam piruvat melalui proses glikolisis. Selanjutnya khamir akan mengubah asam piruvat menjadi asetaldehida. Asetaldehida selanjutnya diubah menjadi etanol. Pola pembentukan etanol selama fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10.
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Waktu (jam) K ad ar E ta no l ( % v/ v)
Gambar 10. Pola pembentukan etanol selama fermentasi
Gambar 10 memperlihatkan bahwa kadar etanol meningkat selama fermentasi. Pembentukan etanol terjadi pada fase eksponensial atau berasosiasi dengan pertumbuhan (growth associated), yaitu etanol akan terbentuk seiring dengan pertumbuhan sel. Sebelum jam ke-6 terlihat bahwa kadar etanol yang dihasilkan masih rendah. Hal ini disebabkan karena di dalam media fermentasi masih terdapat oksigen sehingga fermentasi belum berjalan optimal. Selain itu, rendahnya kadar etanol yang terbentuk sebelum jam ke-6 juga disebabkan karena pertumbuhan khamir masih pada fase adaptasi (lag). Kadar etanol meningkat setelah jam ke-6. Hal ini disebabkan karena khamir telah memasuki fase eksponensial. Hal ini dibuktikan oleh naiknya gram biomassa yang dihasilkan, meningkatnya konsumsi substrat yang
ditandai oleh turunnya kadar gula pereduksi dan meningkatnya volume CO2 yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam media sudah tidak terdapat oksigen dan kondisi lingkungan sudah sesuai, sehingga khamir siap melakukan fermentasi. Laju pembentukan etanol terus meningkat sampai pada jam ke-30, sedangkan laju penggunaan substrat menurun. Pada kondisi ini khamir memanfaatkan substrat untuk membentuk produk. Pada fase ini laju pembentukan biomassa paling tinggi sehingga dihasilkan etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Pada jam ke-30 sampai jam ke-48 laju pembentukan etanol berjalan lambat. Laju penggunaan substrat juga turun. Hal ini diduga disebabkan karena sudah terbentuknya produk yang bisa menjadi inhibitor. Menurut Clark dan Mackie (1984) khamir sangat peka terhadap sifat penghambatan etanol, konsentrasi etanol 1-2 % (v/v) sudah mengganggu fermentasi dan pada konsentrasi etanol 10% (v/v) laju pertumbuhan khamir akan berhenti sama sekali. Pada jam ke-54 sudah tidak diproduksi CO2, biomassa dan etanol. Dari kurva laju pembentukan biomassa dapat dilihat tidak adanya penambahan biomassa dan kadar etanol yang ditandai dengan kurva yang horizontal. Sama halnya dengan laju konsumsi substrat dimana tidak terlihat adanya penambahan konsumsi substrat. Hal ini mengindikasikan bahwa fermentasi hanya berlangsung sampai jam ke 54. Hal ini sesuai dengan pernyataan Paturau (1981) yang menyatakan bahwa fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam.
d. Karbondioksida (CO2)
Produktifitas fermentasi dapat dilihat dari volume CO2 yang dihasilkan. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi disajikan pada Gambar 11 dan volume CO2 yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 12.
-100.0 0.0 100.0 200.0 300.0 400.0 500.0 600.0 700.0 800.0 900.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Waktu (jam) V ol um e C O 2 (m l/j am )
Gambar 11. Laju pembentukan CO2 selama fermentasi pada fermentor 2 L 1 10 100 1000 10000 100000 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) V ol um e C O 2 (m l)
Gambar 12. Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi pada fermentor 2 L
Dari Gambar 11 dan 12 dapat dilihat bahwa pada enam jam pertama laju pembentukan CO2 lebih lambat jika dibandingkan dengan 6 jam
berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal fermentasi masih terdapat oksigen sehingga proses fermentasi belum terjadi secara optimal. Akibatnya produk metabolit yang dihasilkan (etanol dan CO2) masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena khamir bersifat fakultatif anaerobik (Oura, 1983). Pada kondisi oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk metabolit dan produk antara ditekan rendah. Namun, pada kondisi oksigen bebas tidak ada sama sekali atau ada dalam jumlah sedikit terjadi konversi karbon menjadi etanol dan CO2.
Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa pada jam 6 sampai jam ke-18 terjadi peningkatan laju fermentasi yang diperlihatkan oleh meningkatnya laju pembentukan CO2. Pada fase ini kondisi proses fermentasi sudah optimal sehingga dihasilkan gas CO2 dan etanol yang tinggi. Setelah jam ke-18 terjadi penurunan laju pembentukan CO2 yang berarti terjadi penurunan laju fermentasi. Penurunan laju fermentasi ini diduga karena adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam yang kemudian menghambat laju fermentasi. Turunnya laju fermentasi berpengaruh terhadap laju pembentukan produk, biomassa dan konsumsi substrat.
Sementara itu, pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 sampai jam ke-30 volume CO2 yang dihasilkan terus meningkat. Setelah jam ke-30 terjadi penurunan laju pembentukan CO2. Hal ini