• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengemasan mi sagu pada penelitian ini dilakukan dengan dua faktor yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Setelah dilakukan pembuatan mi sagu, selanjutnya mi dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu kemasan laminasi OPP/PE/LLDPE, polipropilen dan LDPE. Ketiga jenis kemasan tersebut dikemas dengan dua kondisi pengemasan, yaitu vakum dan non

vakum. Setelah dilakukan pengemasan, selanjutnya mi dipasteurisasi dengan waktu pasteurisasi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan kemudian disimpan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC). Perubahan karakteristik mi diamati setiap 5 hari sekali yang meliputi sineresis, cooking loss, derajat keasaman (pH), ketengikan (nilai TBA) dan warna.

Mi sagu sebelum penyimpanan perlu dianalisa untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa awal mi sagu dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisa awal mi sagu

No. Analisa Nilai 1 Cooking loss (%) 0,68 2 Derajat keasaman (pH) 4,695 3 Ketengikan (mg malonaldehid/kg sampel) 0,559 4 Warna : - L (kecerahan) - Derajat Hue - Nilai Chroma 51,32 86,02 6,20 5 Kadar Air (% bb) 69,08 6 Kadar Abu (%) 0,18 7 Kadar Lemak (% bk) 5,64 8 Kadar Protein (% bb) 0,97

9 Kadar Karbohidrat, by difference (%) 25,86

Mi sagu merupakan produk yang mengandung kadar air yang tinggi. Tingginya kadar air pada produk akan menyebabkan produk mudah rusak, baik karena pertumbuhan mikroba maupun terjadinya penguapan air. Kadar air mi sagu berada di atas standar mutu mi basah (SNI 01-2987-1992), sedangkan kadar abu masih memenuhi standar. Kadar abu menunjukkan banyaknya abu atau kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pangan.

Kadar abu yang tinggi berarti kandungan mineral yang tinggi pula (Winarno, 1984).

Adanya air dalam mi dapat mempengaruhi kadar lemaknya karena dapat terjadi hidrolisis. Widjajanti (1993) menyatakan bahwa terhidrolisanya lemak dapat mengurangi jumlah kandungan lemak. Hidrolisa lemak dapat terurai menjadi gliserol dan asam lemak bebas.

Mi sagu memiliki kadar protein yang rendah namun kadar karbohidratnya tinggi yaitu di bawah satu persen. Rata-rata derajat hue mi sagu yang diperoleh yaitu sebesar 86,02 dan rata-rata nilai chroma yaitu sebesar 6,02. Berdasarkan derajat hue dan nilai chroma tersebut maka dapat dilihat warna mi sagu pada diagram warna pada Gambar 10. Warna mi sagu ditunjukkan dengan titik berwarna kuning pada diagram. Mi sagu yang dibuat dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2..

Gambar 2. Produk mi sagu

1. Sineresis

Sineresis adalah perbandingan banyaknya air yang keluar dari mi per volume mi-nya. Sineresis merupakan fenomena yang menggambarkan retrogradasi gel dan melibatkan peristiwa penyusunan kembali molekul amilosa dan amilopektin. Sineresis akan meningkat sejalan dengan penyusunan kembali amilosa. (Dufour et al., 1996). Semakin lama penyimpanan, terjadi peningkatan interaksi antar rantai pati dan pada

akhirnya terjadi pembentukan kristal. Peristiwa ini disebut dengan retrogradation, yaitu kristalinasi dari rantai pati dalam gel (Christensen, 1974).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sineresis mi cenderung meningkat selama penyimpanan. Dari Gambar 3 terlihat pada hari ke-15 mulai terjadi peningkatan nilai sineresis, hal ini diduga mulai hari ke-15 pati mulai rapuh. Pada saat pati berada pada suhu rendah, struktur rantai pati menjadi rapuh dan ikatan hidrogennya semakin kuat, sehingga membentuk gel yang rapat. Semakin lama penyimpanan, rantai pati akan mengalami kecenderungan untuk memperkuat ikatannya, sehingga memaksa air yang berada dalam gel untuk keluar(Hoseney, 1998).

Sineresis sangat erat kaitannya dengan tekstur dari mi. Semakin lama penyimpanan, tekstur mi semakin keras dan keelastisannya menurun. Kemasan polipropilen cenderung memiliki nilai sineresis yang tinggi selama penyimpana terutama dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini menunjukkan perlakuan kemasan polipropilen non vakum memberikan nilai sineresis yang lebih tinggi pada penyimpanan suhu rendah.

Nilai sineresis terendah yaitu terdapat pada perlakuan kemasan LDPE. Permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi dibandingkan kemasan polipropilen, namun memiliki nilai sineresis yang rendah. Nilai sineresis yang rendah untuk kemasan LDPE ini diduga karena terjadi penguapan air ke luar kemasan akibat perbedaan kelembaban antara produk dengan sistem (refrigerator). LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap uap air, maka penguapan air sineresis ke luar bahan kemasan juga menjadi lebih tinggi.

Kondisi pengemasan vakum memberikan rata-rata nilai sineresis terendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pengemasan vakum mampu menghambat terjadinya sineresis. Rendahnya nilai sineresis pada perlakuan vakum diduga karena proses pemvakuman menyebabkan kemasan menjadi rapat dengan memperkecil ruang kosong di dalam kemasan. Sehingga pada saat

terjadi sineresis, air yang terdesak ke luar produk menjadi sulit untuk mengisi sisa ruang antara mi dan kemasan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari ke- Nila i Sin e re s is ( % )

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan

Jenis kemasan tidak mempengaruhi sineresis mi sagu secara langsung akan tetapi akan mempengaruhi perpindahan massa uap air dari luar ke dalam kemasan maupun dari dalam ke luar kemasan. Pada kemasan OPP/PE/LLDPE terlihat terjadi peningkatan nilai sineresis, terutama untuk perlakuan non vakum. Pada kemasan polipropilen terlihat terjadi peningkatan nilai sineresis hingga hari ke-40, selanjutnya hingga hari ke-50 terjadi penurunan nilai sineresis. Hal ini juga terjadi pada kemasan LDPE yang mengalami penurunan nilai sineresis lebih cepat daripada kemasan polipropilen. Penurunan nilai sineresis diduga karena air sineresis dalam kemasan dikonsumsi oleh kapang yang mulai tumbuh pada mi dalam kemasan tersebut.

2. Cooking loss

Pada saat tahap pemasakan, sebagian kecil dari mi akan terpisah dari mi dan tersuspensi ke dalam air. Mi kemudian menjadi lembek dan licin, dan air rebusan menjadi keruh dan kental. Peristiwa ini disebut sebagai cooking loss (Chen et al., 2002).

Cooking loss menunjukkan jumlah padatan yang hilang selama pemasakan. Mi yang bermutu baik adalah mi yang memiliki integritas yang baik selama perebusan, antara lain memiliki jumlah padatan yang hilang yang terdapat pada air rebusannya sangat rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cooking loss cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan struktur pati semakin rapuh. Cooking loss tertinggi yaitu pada kemasan polipropilen non vakum di hari ke-50, sedangkan cooking loss terendah yaitu pada kemasan LDPE non vakum di hari ke-25.

Rata-rata cooking loss cenderung tinggi untuk kemasan dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Luchsinger et al.(1996) mengenai pastel daging sapi, bahwa pastel daging sapi yang dikemas vakum memiliki nilai cooking loss yang lebih rendah dibandingkan dengan yang non vakum.

0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari Ke- C o o k in g lo s s (% )

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

3. Derajat Keasaman (pH)

Dari hasil pengamatan, pH rata-rata mengalami penurunan pada hari ke-5, kemudian cenderung meningkat hingga hari ke-50, namun masih berkisar antara pH 4-5,5. Menurut Winarno (1980), keaktifan enzim terletak di antara pH 4-8. Beberapa mikroorganisme seperti kapang dan khamir dapat memecah asam sehingga akan meningkatkan pH. Kapang akan mengisolasi asam dan menghasilkan produk akhir yang bersifat basa karena reaksi proteolisis. Selain itu kenaikan pH terjadi karena terbentuknya senyawa-senyawa hasil peruraian protein oleh mikroorganisme yang bersifat basa seperti amoniak.

Rata-rata nilai pH untuk kemasan LDPE cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kemasan OPP/PE/LLDPE. Hal ini menunjukkan bahwa permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi daripada kemasan OPP/PE/LLDPE. Rendahnya derajat keasaman mi sagu pada kemasan LDPE karena jenis kemasan LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi, sehingga mudah terjadi penyerapan uap air dan O2 yang dapat

mempercepat laju pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme yang cepat dapat menaikkan pH karena jumlah amoniak yang terbentuk sebagai hasil metabolisme mikroorganisme meningkat.

4.00 4.50 5.00 5.50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari ke- N ila i p H

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

4. Ketengikan

Pada tahap akhir pembuatan mi sagu, dilakukan penambahan minyak sayur ke permukaan mi agar setiap helai mi tidak saling lengket. Adanya minyak sayur tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketengikan pada mi.

Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid. Malonaldehid bila direaksikan dengan thiobarbiturat akan membentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehid yang ada dan absorbansinya dapat ditentukan dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Tarladgis et al., 1960).

Ketengikan mi selama penyimpanan mula-mula meningkat hingga hari ke-5, namun kemudian menurun tajam di hari berikutnya. Hal ini diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang teroksidasi dan kemudian bereaksi dengan TBA (Thiobarbituric acid) sehingga ikut memberikan warna merah (Kohne et al., 1944, Bernheim et al., 1947, dan Buttkus et al., 1972).

Dahle et al. (1962) mengemukakan bahwa kemungkinan adanya aldehide lain yang ikut bereaksi dengan TBA juga dapat memberikan warna merah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis pada lemak yang menghasilkan asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Degradasi asam-asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan terbentuknya aldehide, yang ditandai dengan bilangan TBA yang tinggi.

Zat lain yang mungkin berpengaruh besar ikut teroksidasi pada awal penyimpanan, sehingga memberikan warna merah adalah hasil degradasi pati. Nawar (1985) menyatakan bahwa sukrosa telah diketahui memberikan warna merah ketika bereaksi dengan TBA.

Setelah hari ke-20, nilai TBA mengalami penurunan dan cenderung tidak mengalami peningkatan yang signifikan hingga pengamatan hari ke- 50. Hal ini diperkirakan karena komponen gula hasil degradasi dari pati mi sagu telah menghambat ketengikan dan tidak ikut bereaksi lagi dengan TBA. Oleh karena itu penyimpangan nilai TBA akibat adanya gula diduga tidak terjadi lagi. Menurut Janero (1990) penurunan nilai TBA selama

penyimpanan dapat terjadi akibat adanya reaksi antara malonaldehid dengan protein dan gula.

0 1 2 3 4 5 6 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari ke- N ilai T B A ( m g m a lonalde hide/ k g s a m p el )

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 6. Diagram rata-rata Nilai TBA mi sagu selama penyimpanan

Selama penyimpanan, mi sagu tidak mengalami perubahan aroma karena kerusakan oksidasi pada minyak. Hal ini dapat saja terjadi karena hasil oksidasi masih merupakan senyawa-senyawa antara seperti peroksida dan hidroperoksida dan belum terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa penyebab bau tengik seperti aldehid, keton, dan asam lemak bebas. (Ketaren, 1986). Mi dengan penambahan alkali termasuk ke dalam makanan daerah tropis, dimana selama penyimpanan tidak beraroma (Kruger et al., 1996).

5. Warna

Menurut Hoseney (1998) selain timbulnya kapang, kerusakan pada mi basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah

disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es (5oC). Mi yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan ini diperkirakan karena adanya aktivitas enzim polifenoloksidase. Enzim polifenol mengkatalisis polifenol menjadi kuinon dan selanjutnya terpolimerisasi menjadi warna merah.

Dari hasil pengamatan, tingkat kecerahan mi yang diperoleh dari nilai L, menunjukkan terjadi penurunan selama penyimpanan. Perubahan warna ini dapat diamati secara visual yaitu warna mi berubah menjadi agak lebih gelap, terutama untuk mi yang dikemas secara vakum, walaupun perubahannya tidak signifikan. Perubahan yang tidak signifikan ini diduga karena mi sebelumnya mengalami proses pasteurisasi sehingga enzim polifenoloksidase telah rusak. Proses pasteurisasi yang mempengaruhi enzim polifenoloksidase, mengakibatkan proses browning pada mi menjadi lambat.

Rata-rata nilai L untuk kemasan dengan kondisi pengemasan non vakum lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi vakum memberikan kecerahan yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum.

Kemasan polipropilen non vakum memiliki rata-rata nilai hue yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kemasan polipropilen memiliki permeabilitas yang rendah sehingga penguapan uap air dari dalam ke luar kemasan rendah. Migrasi uap air yang tinggi mengakibatkan warna produk menjadi lebih gelap.

40.00 45.00 50.00 55.00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari ke- N ila i L

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan

Dari hasil pengamatan, derajat hue mi sagu termasuk ke dalam kelompok warna Yellow red atau kuning kemerahan. Selama penyimpanan warna mi sagu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perlakuan vakum cenderung memiliki derajat hue yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan non vakum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan vakum berwarna lebih merah dibandingkan dengan perlakuan non vakum.

80.00 82.00 84.00 86.00 88.00 90.00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari ke- De ra ja t Hu e

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Nilai chroma menunjukkan ketajaman warna dari produk. Nilai chroma mi sagu selama penyimpanan cenderung menurun, hal ini berarti berkurangnya intensitas warna kuning pada mi.

Kondisi pengemasan non vakum memiliki rata-rata nilai chroma tertinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal ini berarti kondisi pengemasan non vakum memberikan warna yang lebih cerah dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari ke- N ila i C h ro m a

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu selama penyimpanan

6. Total Mikroba

Setelah terjadinya perubahan warna, perubahan yang timbul pada mi adalah aroma mi menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir. Pembentukan lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mi.

Pertumbuhan kapang pada mi ditandai dengan munculnya bercak- bercak berwarna kuning kemerahan pada permukaan mi. Mi yang dikemas

dengan kemasan LDPE non vakum mengalami pertumbuhan kapang lebih cepat dibandingkan dengan kemasan lainnya. Pada pengamatan hari ke-25, jamur sudah tumbuh pada kemasan LDPE non vakum. Selanjutnya pada pengamatan hari-35, mi yang dikemas dengan plastik LDPE yang divakum ditumbuhi jamur. Mi yang dikemas dengan plastik polipropilen non vakum telah ditumbuhi jamur pada pengamatan hari ke-40, sedangkan yang vakum hingga pengamatan hari ke-50 masih terlihat baik.

Hingga hari ke-25 terjadi laju penurunan total kapang, namun hari berikutnya terjadi peningkatan laju pertumbuhan kapang. Hal ini diduga pada kurun waktu awal penyimpanan hingga hari ke-25 terjadi tahapan dimana kapang mengalami tahap tumbuh reda, dimana nutrisi yang tersedia menurun atau karena racun metabolisme sendiri. Jumlah kapang akan meningkat selama penyimpanan mi sagu. Pada pengamatan hari ke- 50, total rata-rata kapang untuk kemasan LDPE non vakum sudah melebihi batas maksimal cemaran mikroba dalam syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992.

Mikroba yang terdapat pada mi diduga berasal dari bahan baku mi yaitu tepung sagu. Menurut Christensen (1974) mikroorganisme yang terdapat pada tepung yaitu kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa terdapat pada tepung yaitu Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium, sedangkan kapang yang ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, Penicillium.

Jenis kemasan dengan permeabilitas rendah dan dikemas secara vakum yaitu kemasan OPP/PE/LLDPE dan PP vakum memiliki total mikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan kemasan LDPE. Hal ini menunjukkan bahwa permeabilitas yang rendah dapat menekan laju pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat pada mi yang sebagian besar bersifat aerobik.

C. BIAYA PENGEMASAN

Biaya pengemasan merupakan salah satu elemen dari biaya produksi, dimana nantinya dapat menentukan harga produk. Salah satu cara untuk memperoleh keuntungan yang tinggi adalah dengan menekan biaya produksi. Oleh karenanya biaya untuk pengemasan diusahakan agar serendah mungkin, namun tetap memberikan perlindungan yang baik terhadap produk. Unsur- unsur yang dimasukkan dalam biaya pengemasan adalah biaya bahan kemasan, biaya mesin pengemas, dan biaya proses pengemasan.

Berdasarkan Tabel 9 biaya pengemasan tertinggi adalah perlakuan kemasan OPP/PE/LLDPE, sedangkan. biaya pengemasan yang terendah adalah perlakuan kemasan polipropilen non vakum dan kemasan LDPE non vakum. Oleh karena itu, dari segi biaya pengemasan maka pengemasan yang murah namun dapat mempertahankan umur simpan mi sagu yaitu kemasan polipropilen dengan kondisi pengemasan non vakum.

Tabel 9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan Jenis kemasan Kondisi pengemasan Harga kemasan /unit Biaya pengemasan /unit Total biaya pengemasan /unit OPP/PE/LLDPE Vakum 121 1,55 122,55 Non vakum 121 1,46 122,46 Polipropilen Vakum 60 1,55 61,55 Non vakum 60 1,46 61,46 LDPE Vakum 60 1,55 61,55 Non vakum 60 1,46 61,46 Keterangan : Ukuran plastik : 20,5 cm x 11,8 cm

Harga kemasan : OPP/PE/LLDPE = Rp. 2.500,00/m2 Polipropilen = Rp. 24.000,00/kg LDPE = Rp. 24.000,00/kg Sealer : 300 watt

Pengemas vakum : 750 watt Listrik : Rp. 450/kwh

Tenaga kerja : 1 orang (Rp. 25.000,00/hari)

Dokumen terkait