• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Penentuan Ratio Optimal dari Kombinasi Karagenan dan Konjak Kombinasi antara karagenan dan konjak akan menghasilkan suatu sinergisme. Gel karagenan bila dikombinasikan dengan konjak glukomannan akan menghasilkan gel dengan tekstur yang lebih baik. Karagenan yang digunakan pada penelitian ini adalah kappa karagenan. Sistem pengkodean yang digunakan (A, B, dan C) bukan untuk menunjukkan perbedaan yang terdapat pada ketiga jenis karagenan tersebut. Karagenan tersebut berasal dari suplier yang sama, hanya saja ketiganya diproduksi pada batch yang berbeda.

Untuk mengetahui kombinasi terbaik maka dilakukan pengukuran gel strength dari gel hasil kombinasi. Jumlah karagenan dalam formulasi gel dikurangi secara bertahap dan disubstitusi dengan konjak. Kombinasi karagenan dan konjak yang digunakan yaitu 100 : 0, 80 : 20, 60 : 40, 40 : 60, 20 : 80, dan 0 : 100. Hasil pengukuran gel strength dari kombinasi karagenan dan konjak dengan berbagai ratio konsentrasi disajikan pada Gambar 10 (selengkapnya pada Lampiran 3).

0.0 200.0 400.0 600.0 800.0 1000.0 1200.0 1400.0 1600.0 1800.0 2000.0 0 20 40 60 80 100 Konsentrasi Konjak (%) G e l S tr e n g th A B C

Gambar 10. Grafik hubungan konsentrasi karagenan dan gel strength Nilai gel strength pada perbandingan 100 : 0 untuk karagenan A, B, dan C yaitu 162.000, 184.191, dan 150.155 gram force. Nilai gel strength untuk ketiga karagenan tersebut mulai mengalami kenaikan saat ditambahkan konjak ke dalam formulasi gel. Seperti terlihat pada Gambar 10, gel dengan perbandingan 80 : 20 mengalami kenaikan gel strength yang signifikan yaitu 1010.416 gram force (karagenan A), 941.538 gram force (karagenan B), dan 1073.094 gram force (karagenan C). Peningkatan ini terus terjadi hingga perbandingan 60 : 40. Pada perbandingan tersebut nilai gel strength kombinasi karagenan dan konjak mencapai 1891.197 gram force (karagenan A), 1876.969 gram force (karagenan B), dan 1786,114 gram force (karagenan C). Menurut Akesowan (2002), meningkatnya nilai gel strength disebabkan glukomannan yang teradsorbsi pada permukaan junction zone karagenan yang teragregasi. Hal ini menyebabkan terjadinya penggabungan karagenan dan glukomannan.

Namun pada perbandingan 40 : 60, gel strength mulai mengalami penurunan hingga pada perbandingan 0 : 100. Selain itu, tekstur gel yang dihasilkan juga mengalami perubahan. Jumlah konjak yang lebih besar dari jumlah karagenan menyebabkan gel yang terbentuk dari kombinasi ini memiliki tekstur yang elastis seperti terlihat pada Lampiran 4, 5, dan 6. Grafik pada Lampiran 4, 5, dan 6 menunjukkan gel yang mengandung konjak lebih landai dibandingkan gel yang hanya terbuat dari karagenan

landai seiring dengan bertambahnya jumlah konjak. Hal ini menunjukkan dengan bertambahnya jumlah konjak maka tekstur gel akan semakin elastis. Saat dilakukan pengukuran gel strength, gel dengan perbandingan 20 : 80 belum mengalami kerusakan (break) saat probe berpenetrasi sedalam 37 mm.

Hal berbeda terjadi pada gel dengan perbandingan 0 : 100. Karena hanya terdiri dari konjak, proses pembentukan gel tidak terjadi walaupun sudah didiamkan selama 5 jam. Menurut Widjanarko (2008), hal ini dapat disebabkan gugus asetil yang mencegah rantai panjang glukomannan untuk saling bertemu satu sama lain sehingga gel tidak dapat terbentuk.

Berdasarkan grafik pada Gambar 10, dapat diketahui bahwa nilai gel strength akan meningkat seiring dengan penambahan konjak. Tetapi setelah mencapai titik optimal, nilai gel strength akan cenderung mengalami penurunan. Titik optimal yang dicapai dari kombinasi karagenan (A, B, dan C) dengan konjak adalah pada perbandingan 60 : 40.

2. Penentuan Konsentrasi dari Kombinasi Karagenan dan Konjak Setelah diketahui perbandingan optimal dari kombinasi karagenan dan konjak, tahap selanjutnya adalah menentukan konsentrasi dari kombinasi tersebut. Penentuan konsentrasi ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang sesuai agar tekstur gel yang dihasilkan dapat menyerupai tekstur gel standar. Penentuan konsentrasi ini dilakukan dengan mengukur gel strength dari beberapa konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak. Konsentrasi kombinasi yang digunakan yaitu 0.80, 0.60, 0.40, dan 0.20%. Hasil pengukuran gel strength dari ketiga jenis karagenan dengan beberapa konsentrasi kombinasi disajikan pada Gambar 11 (selengkapnya pada Lampiran 7)

0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Konsentrasi Kombinasi (%) G e l S tr e n g th ( g ra m f o rc e )

A B C Linear (C) Linear (B) Linear (A)

Gambar 11. Grafik hubungan konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak dengan gel strength

Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 11, nilai gel strength dari kombinasi karagenan dan konjak mengalami peningkatan yang sebanding dengan meningkatnya konsentrasi yang digunakan. Titik yang menunjukkan nilai - nilai gel strength tersebut bila dihubungkan akan menghasilkan garis lurus yang memiliki persamaan linear. Persamaan linear untuk karagenan A adalah Y = 2657.9 X – 219.47

dengan nilai R2 = 0.9994. Karagenan B memiliki persamaan linear Y = 2683.8 X – 275.51 dengan nilai R2 = 0.9997 sedangkan persamaan

linear untuk karagenan C adalah Y = 2488.5 X – 174.92 dengan nilai R2 = 0.9974.

Nilai gel strength standar adalah 470.986 ± 7.627 gram force. Besarnya konsentrasi dari kombinasi karagenan dan konjak agar memiliki nilai gel strength yang sama dengan nilai gel strength standar dapat dihitung dari persamaan linear grafik yang disajikan pada Gambar 11. Nilai gel strength yang diinginkan dimasukkan sebagai nilai Y sedangkan konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak merupakan nilai X.

Untuk karagenan A besarnya konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak yang didapat yaitu sebesar 0.260%. Hal yang sama juga berlaku untuk karagenan C. Untuk karagenan B besarnya konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak yang didapat sebesar 0.278%. Nilai

konsentrasi tersebut kemudian diverifikasi kembali dan data yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Verifikasi nilai gel strength kombinasi karagenan dan konjak dengan konsentrasi tertentu.

Gel Strength (gram force) Jenis Karagenan Konsentrasi Kombinasi (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata - rata A 0.260 481.215 478.115 479.665 B 0.278 495.326 482.183 488.755 C 0.260 469.560 466.708 468.134

Data yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa gel strength yang dihasilkan dari kombinasi karagenan dan konjak hampir mendekati nilai gel strength standar. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan gel strength yang sama dengan gel strength standar hanya dibutuhkan 0.260% (untuk karagenan A dan C) dan 0.278% (untuk karagenan B) kombinasi karagenan dan konjak.

3. Pemetaan Tekstur Gel yang Terbuat dari Kombinasi Karagenan dan Konjak

Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Profile Analyser (TPA). Analisis tekstur dengan TPA dimaksudkan untuk menilai parameter tekstur secara obyektif. Parameter yang dapat diukur menggunakan TPA adalah hardness, fracturability, adhesiveness, springiness, cohesiveness, gumminess, chewiness, dan resilience. Setting yang digunakan pada analisis tekstur disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Setting Texture Analyser untuk pengukuran TPA Pre – test Speed 1 mm/sec

Test Speed 5 mm/sec Post – test Speed 5 mm/sec Target Mode 0 = distance

Distance 20 mm

Time 5 sec

Trigger type 0 = Auto (force) Trigger Force 5 g

Pemetaan tekstur menggunakan TPA dilakukan terhadap gel yang terbuat dari kombinasi karagenan dan konjak. Hasil pemetaan tekstur dari gel tersebut disajikan pada Gambar 12 dan 13 (selengkapnya pada Lampiran 8 dan 9). 0.0 100.0 200.0 300.0 400.0

Hardness Gumminess Chewiness

Parameter Tekstur N il a i p a ra m e te r A B C

Gambar 12. Grafik pengukuran tekstur dengan parameter hardness, gumminess, dan chewiness.

-8.0 -6.0 -4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 Frac tura bilit y Adh esiv enes s Spr ingi ness Coh esiv enes s Res ilien ce Parameter Tekstur N il a i P a ra m e te r A B C

Gambar 13. Grafik pengukuran tekstur dengan parameter fracturability, adhesiveness, springiness, cohesiveness, dan resilience.

Hardness dan fracturability merupakan parameter tekstur yang saling berkaitan (DeMan, 1985). Pada grafik hasil keluaran TPA (Tabel 4) nilai hardness ditunjukkan oleh titik puncak pada siklus pertama analisis sedangkan nilai fracturability ditunjukkan oleh titik dimana

terjadi penurunan yang signifikan pada grafik. Semakin tinggi nilai hardness maka semakin tinggi pula nilai fracturability dari suatu sampel. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Gambar 12, gel yang dihasilkan dari kombinasi karagenan B dan konjak memiliki tekstur yang lebih kompak (solid) dibandingkan dengan gel yang dihasilkan dari kombinasi lainnya. Hal ini terlihat dari nilai hardness kombinasi karagenan B dan konjak lebih tinggi daripada dua kombinasi lainnya.

Tingginya nilai hardness dari kombinasi karagenan B dan konjak mempengaruhi nilai fracturability dari kombinasi tersebut. Bila dibandingkan dengan kombinasi karagenan A dan C, kombinasi karagenan B memiliki nilai fracturability yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa gel yang dihasilkan dari kombinasi karagenan B lebih solid dibandingkan dengan dua kombinasi lainnya. Hal ini dapat disebabkan perbedaan konsentrasi dari ketiga kombinasi tersebut.

Parameter gumminess dan chewiness merupakan parameter yang menunjukkan sifat kenyal dari sampel yang dianalisis. Kedua parameter tersebut berkaitan dengan nilai hardness dan cohesiveness. Selain berkaitan dengan kedua parameter tersebut, nilai chewiness juga dipengaruhi oleh nilai springiness. Nilai cohesiveness menyatakan kekuatan dari ikatan – ikatan yang berada dalam suatu obyek yang menyusun ”body” dari obyek tersebut.

Kombinasi karagenan C dan konjak memiliki nilai cohesiveness tertinggi sedangkan kombinasi karagenan B dan konjak memiliki nilai terendah. Nilai cohesiveness kombinasi karagenan A tidak berbeda dengan nilai cohesiveness kombinasi karagenan C. Nilai cohesiveness ini mempengaruhi nilai gumminess dan chewiness dari ketiga kombinasi karagenan dan konjak. Kombinasi karagenan C memiliki nilai gumminess dan chewiness tertinggi dari dua kombinasi lainnya. Sedangkan nilai gumminess dan chewiness dari kombinasi karagenan A dan karagenan B tidak berbeda jauh.

Adhesiveness berhubungan dengan sifat kelengketan gel. Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 13, diketahui bahwa

kombinasi karagenan A dan konjak memiliki nilai adhesiveness paling tinggi. Nilai adhesiveness kombinasi karagenan C dan konjak memiliki nilai terkecil. Springiness merupakan parameter yang menunjukkan laju perubahan sampel ke bentuk semula setelah mengalami deformasi (Larmond, 1976). Nilai springiness dari keempat sampel yang disajikan pada Gambar 13 menunjukkan hasil yang hampir sama. Hal ini juga terlihat dari nilai springiness yang disajikan pada Lampiran 9.

Resilience merupakan parameter yang berhubungan dengan sifat kekenyalan sampel. Data yang disajikan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai resilience dari gel yang dihasilkan dari kombinasi karagenan B memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai resilience dari kombinasi karagenan A dan C.

4. Pengamatan terhadap Sineresis

Peristiwa sineresis merupakan masalah yang umum terjadi pada beberapa jenis hidrokoloid yang diaplikasikan dalam produk pangan. Sineresis adalah peristiwa keluarnya air dari dalam gel. Menurut Anonim (2006a), saat terjadi proses pembentukan gel, ikatan – ikatan silang membentuk bangunan tiga dimensi yang kontinyu sehingga molekul pelarut akan terjebak di dalamnya. Kemudian terjadi immobilisasi molekul pelarut dan terbentuk struktur yang kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya maupun tekanan tertentu.

Glicksman (1983) menyatakan bahwa pembentukan agregat yang terus berlanjut selama penyimpanan dapat menjadi penyebab terjadinya sineresis. Pembentukan agregrat ini menyebabkan gel menjadi mengkerut (shrinked) sehingga cenderung memeras air keluar dari dalam sel. Imeson (2000) juga menyatakan bahwa diantara ketiga jenis karagenan, kappa, iota, dan lambda, hanya kappa karagenan yang akan mengalami sineresis jika berada dalam bentuk gel.

Selama pengukuran sineresis, gel disimpan pada refrigerator bersuhu 10 0C selama 24, 48, dan 72 jam. Hasil pengukuran laju sineresis dari keempat jenis gel disajikan pada Gambar 14 (selengkapnya

0% 4% 8% 12% 16% 20% 0 24 48 72 96 Waktu pengamatan % S in e r e si s A B C

Gambar 14. Grafik laju sineresis pada gel yang terbuat dari kombinasi karagenan dan konjak

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa gel yang terbuat dari kombinasi karagenan B memiliki laju sineresis yang lebih rendah dibandingkan dengan laju sineresis kombinasi karagenan A dan karagenan C. Hal ini terlihat dari persamaan linear yang didapat dari grafik pada Gambar 14. Kombinasi karagenan A dan konjak memiliki persamaan Y = 0.0015X + 0.0727, kombinasi karagenan B dan konjak memiliki persamaan Y = 0.0012X + 0.0596, sedangkan kombinasi karagenan C dan konjak memiliki persamaan Y = 0.0015X + 0.0686. Laju sineresis dari ketigat gel tersebut ditunjukkan oleh nilai slope (kemiringan) grafik. Nilai slope ini juga menunjukkan laju perubahan sineresis (dy) terhadap waktu penyimpanan (dx). Semakin kecil nilai slope maka semakin rendah laju sineresisnya.

Berbedanya laju sineresis karagenan B dengan karagenan A dan C dikarenakan nilai konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak yang digunakan yaitu 0.278% sedangkan konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak untuk karagenan A dan C hanya 0.260%. Perbedaaan nilai konsentrasi kombinasi karagenan dan konjak untuk karagenan A, B, dan C menyebabkan perbedaan jumlah konjak yang terkandung dalam gel. Konjak yang terkandung dalam gel yang terbuat dari karagenan B jumlahnya lebih banyak dari jumlah konjak yang terkandung dalam gel

tingkat sineresis gel akan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya konjak yang digunakan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan konjak dalam mengikat air. Konjak merupakan polisakarida yang memiliki kemampuan mengikat air yang tinggi.

Lee et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah junction zone dapat menjadi satu alasan tingginya tingkat sineresis. Jumlah junction zone yang lebih banyak dapat menyebabkan peningkatan sineresis. Hal ini disebabkan pembentukan helix dan pembentukan agregat yang terus terjadi selama penyimpanan sehingga ikatan gel mengkerut dan membebaskan air bebas yang lebih banyak.

5. Pengamatan Perubahan Gel Strength Akibat Pemanasan pada Kondisi Asam

Hidrolisis pada gel yang terbuat dari karagenan dapat menyebabkan putusnya ikatan glikosidik antara gugus galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa. Putusnya ikatan tersebut dapat menyebabkan perubahan nilai gel strength pada gel yang terbentuk. Menurut Laustsen (2006), gel strength akan mengalami penurunan jika diaplikasikan pada pH rendah dan mengalami pemanasan selama rentang waktu tertentu (holding time) seperti terlihat pada Gambar 15. Proses hidrolisis terjadi saat karagenan masih dalam bentuk larutan (belum membentuk gel). Ketika karagenan sudah membentuk gel maka hidrolisis tidak terjadi lagi. Hidrolisis dapat menyebabkan penurunan viskositas dan kemampuan membentuk gel. Laju hidrolisis dipengaruhi oleh nilai pH, temperatur, dan waktu (Bubnis, 2000).

Gambar 15. Grafik pengaruh pemanasan dan beberapa tingkat keasaman terhadap perubahan gel strength (Bubnis, 2000).

Menurut Anonim (2008e), reaksi hidrolisis digunakan untuk memecah struktur dari beberapa jenis polimer. Agar dapat memecah polimer – polimer tersebut maka dibutuhkan katalis seperti asam atau basa. Kondisi asam pada gel pada penelitian ini dibuat dengan cara menambahkan asam sitrat ke dalam gel. Jumlah asam sitrat yang ditambahkan disesuaikan dengan nilai pH yang diinginkan yaitu pada kisaran 4,3 - 4,4. Konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan untuk kombinasi karagenan dan konjak sebesar 0.16%.

Suhu pemanasan yang digunakan adalah 85 0C dengan 5 variasi waktu pemanasan (holding time) yaitu 0, 10, 20, 30, dan 40 menit. Alat yang digunakan untuk dapat memanaskan larutan gel dengan suhu yang konstan selama rentang waktu tertentu adalah waterbath – circulation. Data yang dihasilkan dari pengukuran gel yang terhidrolisis disajikan pada Gambar 16 (selengkapnya pada Lampiran 11).

y = -0.0117x + 0.9585 R2 = 0.9661 y = -0.0116x + 1.0307 R2 = 0.9714 y = -0.0119x + 0.999 R2 = 0.9434 0.0% 20.0% 40.0% 60.0% 80.0% 100.0% 120.0% 0 10 20 30 40 50

Lama Pemanasan (menit)

% P er u b a h a n G S

A B C Linear (B) Linear (A) Linear (C)

Gambar 16. Grafik perubahan gel strength akibat pemanasan dan penambahan asam

Seperti dijelaskan oleh Bubnis (2000), laju hidrolisis dipengaruhi oleh nilai pH, temperatur, dan waktu. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran gel strength yang didapat. Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 16 diketahui bahwa penurunan gel strength berbanding lurus dengan lamanya waktu pemanasan. Semakin lama gel dipanaskan maka gel strengthnya akan semakin menurun.

Hidrolisis yang dialami oleh gel yang terbuat kombinasi karagenan dan konjak menyebabkan terjadinya penurunan gel strength. Penurunan gel strength pada ketiga kombinasi tersebut memiliki lau yang tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai slope masing – masing grafik. Nilai slope ini menunjukkan laju perubahan gel strength (dy) terhadap lama pemanasan gel (dx). Semakin kecil nilai slope maka semakin rendah perubahan gel strength yang terjadi akibat hidrolisis. Kombinasi karagenan A memiliki nilai slope - 0.0116, kombinasi karagenan B memiliki nilai slope - 0.0117 sedangkan kombinasi karagenan C memiliki nilai slope sebesar - 0.0119.

Data yang dihasilkan dapat digunakan sebagai acuan dalam proses pembuatan jelly. Adanya pemanasan dapat mengakibatkan penurunan gel strength. Hal ini dapat menyebabkan tekstur gel yang

karakteristik dari bahan baku (ketahanan terhadap panas dan asam) maka dapat ditentukan lamanya waktu pemanasan yang sesuai agar penurunan gel strength tidak terjadi secara signifikan.

6. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk menilai tekstur gel yang dihasilkan. Pada tahap sebelumnya (tahap 3), tekstur gel telah dianalisis secara obyektif menggunakan Texture Analyser. Pengujian organoleptik dilakukan sebagai bentuk analisis tekstur gel secara subyektif.

Jenis uji yang digunakan adalah uji hedonik dengan parameter tekstur secara keseluruhan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan ataupun ketidaksukaan terhadap tekstur jelly. Skala yang digunakan terdiri dari 5 skala yaitu sangat suka (5), suka (4), biasa / netral (3), tidak suka (2), dan sangat tidak suka (1). Pengujian dilakukan terhadap 25 orang panelis yang terdiri dari 5 orang pria dan 20 orang wanita. Sampel yang diujikan adalah jelly yang terbuat ketiga kombinasi karagenan dan konjak. Hasil pengujian organoleptik jelly disajikan pada Gambar 17 (selengkapnya pada Lampiran 12). 2.70 2.80 2.90 3.00 3.10 3.20 3.30 3.40 A B C Sampel R a ta r a ta k es u k a a n p a n el is

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13) diketahui bahwa bahan baku pembuatan jelly berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis (P < 0.05). Uji lanjutan yang dilakukan yaitu uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara tiap sampel. Jelly yang dihasilkan dari karagenan C berbeda nyata dengan jelly yang terbuat dari karagenan A dan B sedangkan kedus sampel jelly tersebut tidak berbeda nyata.

Hal ini terlihat dari letak subset dimana ketiga jelly tersebut berada pada subset yang sama sedangkan jelly yang terbuat dari karagenan C berada pada subset yang berbeda. Tingkat kesukaan panelis berdasarkan urutan sampel yaitu jelly yang terbuat dari karagenan B, A, dan karagenan C. Jelly yang terbuat dari kombinasi karagenan B merupakan sampel jelly yang memiliki nilai kesukaan tertinggi sedangkan jelly yang terbuat dari karagenan C memiliki nilai kesukaan terendah.Bila dihubungkan dengan data tekstur yang disajikan pada Lampiran 9, maka dapat dikatakan bahwa panelis lebih menyukai jelly dengan tekstur yang solid seperti jelly yang dihasilkan dari kombinasi karagenan B dan konjak.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penilaian secara organoleptik menghasilkan data yang kurang akurat dibandingkan penilaian menggunakan alat (penilaian secara obyektif). Hal ini terlihat dari hasil penilaian panelis terhadap sampel. Berdasarkan uji organoleptik, sampel yang terbuat dari karagenan C berbeda nyata dengan sampel yang terbuat dari karagenan A. Tetapi bila dilihat dari penilaian tekstur menggunakan Texture Analyser, kedua sampel tersebut memiliki nilai – nilai parameter yang tidak jauh berbeda.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait