ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI
3.4. PENENTUAN ISU-ISU STRATEGIS
3.4.1. Sosial Politik dan Wawasan Kebangsaan di Kota Bandung
Kota Bandung merupakan kota metropolitan yang mempunyai latar belakang masyarakat beraneka ragam. Hal ini dilihat karena Kota Bandung merupakan kota tujuan bagi sebagian masyarakat di kota-kota lain untuk meraih peluang kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat urbanisasi yang begitu tinggi setiap tahunnya yakni banyaknya pendatang dari luar Kota Bandung.
Keadaan demikian ini menjadikan Kota Bandung mempunyai keberaneka-ragaman latar belakang masyarakatnya. Kondisi ini akan mempengaruhi terhadap sudut pandang antar masyarakat asli dan pendatang. Menghormati hak-hak antar warga sudah tidak lagi dipandang perlu oleh sebagian masyarakat dikarenakan banyaknya tuntutan dalam hal ketersediaan barang dan jasa guna menunjang kehidupan.
Fenomena cara pandang dan wawasan masyarakat akan pentingnya saling hormat-menghormati, toleransi dan kerukunan antar masyarakat akan terus terkikis oleh sifat masyarakat yang semakin tidak menghiraukan kehidupan orang lain. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam hormat menghormati, toleransi dan kerukunan antar masyarakat ini nantinya akan dimanfaatkan oleh sekelompok golongan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat kota.
Wawasan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin luntur akibat perbedaan cara pandang dan latar belakang sebagian warga masyarakat yang hidup di Kota Bandung. Mereka akan memandang perbedaan (differensiasi sosial) merupakan hal yang
harus dipertahankan mengingat apa yang dimiliki saat ini dibawa ke Kota Bandung merupakan asset yang dapat dijadikan modal bagi meraup keuntungan pribadi.
Kesadaran diatas selanjutnya tidak perlu dipelihara didalam suatu suatu hubungan social kritis yang terbuka bagi suatu control public dengan suatu kekuatan internal untuk bias terus melakukan kehidupan berbangsa.
Dalam kerangka kesadaran etis, selanjutnya perlu dikembangkan untuk mendorong setiap orang untuk bias bersikap kritis. Dari sini, dunia social dan keagamaan bisa dikembangkan sebagai wilayah kehidupan masyarakat yang akan memberi ruang bagi seseorang dengan menegasi orang lain. Selama ini upaya memecahkan konflik tidak pernah keluar dan tidak pernah bebas dari logika konflik yang bergulir di Kota Bandung.
Konflik kesukuan, ras, agama dan golongan justru akan mempertajam konflik menjadi lebih keras, massif dan absurb yang meninggalkan dendam sejarah.
Sulit sekali menentukan semua variable yang memberikan kontribusi bagi konflik-konflik etnis, suku dan agama. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi ini dapat diklasifikasikan kedalam kategori faktor struktural dan kultural (psikologis) yang terkait satu sama lainnya yang mencakup ketimpangan ekonomis diantara kelompok-kelompok rasial antara lain orang asli Bandung versus pendatang, orang miskin versus orang kaya, pekerja versus pengusaha, rakyat versus pemerintah.
Masyarakat yang heterogen sangat sulit memahami aturan politik atau prosedur birokrasi politik. Yang penting, masyarakat dimudahkan dalam berbagai akses kehidupan. Jika perlu, sebagian
karena memilih atau tidak memilih tidak memengaruhi kenaikan atau kesejahteraan. Jika kita amati, munculnya kegamangan politik berawal dari tak adanya pendidikan politik yang benar-benar dipahami sebagian besar masyarakat. Proses pembelajaran tidak menyentuh norma-norma pendidikan politik yang mencerahkan. Hal ini berakibat saat seseorang berada di pendidikan tinggi, yang konon merupakan tempat belajar berpolitik secara nyata.
3.4.2. Keamanan dan Ketertiban Lingkungan Masyarakat di Kota Bandung
Hidup manusia pada hakekatnya adalah berharga dan bermartabat, sehingga penanggulangan bencana merupakan sebuah kebutuhan mendasar. Bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak dasar, termasuk rasa aman dan terlindungi dari bencana adalah hak asasi rakyat.
Ditempatkannya hidup dan kehidupan sebagai hak dasar setiap manusia maka berimplikasi bahwa semua upaya dan langkah harus diambil demi mencegah dan meringankan penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh bencana.
Penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam melindungi rakyat, oleh karenanya rakyat mengharapkan pemerintah dapat melaksanakan penanganan bencana sepenuhnya.
Harapan terlaksananya amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, antara lain yaitu bahwa Setiap masyarakat berhak:
1. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana mendapatkan
pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
2. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya;
3. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana;
4. Mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar;
5. Memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Kota Bandung merupakan bagian dari kota-kota yang ada di Provinsi Jawa Barat dengan iklim dan geografisnya sangat strategis untuk tumbuhnya sebuah kawasan pemukiman dan tempat tinggal dengan segala fasilitas dan potensi yang ada didalamnya. Oleh karena itu, Kota Bandung dijadikan ibu kota Provinsi Jawa Barat. Namun dibalik potensi dan sumber daya yang ada ini ternyata Kota Bandung sangat rawan dan sensitif terhadap ancaman bencana. Sedikit saja kawasan lindungnya terusik oleh keserakahan manusia, maka akan mudah terjadi bencana yang membawa korban dan kerugian harta benda.
Potensi kebencanaan di Kota Bandung yang cukup besar ini sangat korelatif dengan aspek geografis yang bergunung-gunung, aspek klimatologis yang memiliki curah hujan tinggi, aspek geologis,
aspek demografis yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di antara semua provinsi di Indonesia.
Berdasar banyaknya kejadian bencana dan jumlah korban, dapat dikatakan bahwa pengetahuan, kapasitas, dan peran
masyarakat Kota Bandung dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana sangat perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan.
Masyarakat yang padat tersebut belum banyak mengetahui dampak-dampak dari keberlangsungan lingkungan sekitar serta tidak memahami dalam penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana masih berorientasi pada upaya tanggap darurat yang pada umumnya hanya berupa pemberian bantuan pertolongan pertama saja.
Sosialisasi dan pelatihan penanggulangan bencana yang selama ini telah diberikan kepada masyarakat melalui Satuan Perlindungan Masyarakat di Tingkat Kecamatan dan Kelurahan tidak sampai kepada pemahaman praktik di lapangan.
Peraturan perundangan tentang penanggulangan bencana adalah produk kesepakatan pemerintah dan rakyat yang dikandung maksud sebagai ketentuan-ketentuan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Oleh sebab itu masyarakat berpemahaman bahwa amanat peraturan perundangan ini harus ditindak lanjuti dengan pentaatan dan penegakan, dengan alasan-alasan antara lain :
1. Peraturan perundangan penanggulangan bencana merupakan ketentuan yang efektif untuk secara proaktif mencegah masyarakat dan dunia usaha melakukan kegiatan atau investasi yang dapat menimbulkan atau meningkatkan ancaman bencana;
2. Peraturan perundangan penanggulangan bencana dapat mencegah masyarakat dari ancaman bencana yang mungkin terjadi;
3. Peraturan perundangan penanggulangan bencana dapat memaksa masyarakat untuk mengubah perilaku dan kebiasaan yang berpotensi meningkatkan ancaman bencana;
4. Peraturan perundangan penanggulangan bencana dapat mewajibkan pemerintah pusat dan daerah melakukan penyelenggaraan kebencanaan yang lebih efektif. Sosialisasi rutin kesiapan penanggulangan bencana, investasi untuk perlindungan masyarakat dari ancaman bencana;
5. Peraturan perundang-undangan kebencanaan belum secara tegas membentuk lembaga yang dekat dengan jangkauan masyarakat dalam hal ini Satuan Perlindungan Masyarakat guna melindungi masyarakat dari adanya ancaman bahaya bencana. Hal ini dilihat bahwa di Kota Bandung selama ini belum ada aturan yang mengatur tentang kelembagaan Perlindungan Masyarakat (Linmas) di masing-masing wilayah kelurahan dan kecamatan.
Walaupun penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam melindungi rakyatnya, dan rakyat mengharapkan pemerintah dapat melaksanakan penanganan bencana sepenuhnya, namun dapat dipahami dan disadari bahwa pemerintah tidak akan mampu melaksanakan.
Paradigma penanggulangan bencana yang selama ini bergulir di Kota Bandung adalah merupakan tanggung jawab pemerintah dan bukan menjadi urusan bersama masyarakat dan
mulai dari kebijakan, kelembagaan, koordinasi dan mekanisme diubah sedemikian rupa sehingga peran aktif masyarakat dan dunia usaha belum tampak dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Belum adanya penangulangan bencana berbasis masyarakat, tanggung jawab sosial dan korporasi dunia usaha dalam penanggulangan bencana.
Paradigma ini menggambarkan bahwa lunturnya kewajiban-kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, antara lain :
1. Kurangnya kesadaran masyarakat kota dalam menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
2. Kurangnya peran aktif dalam kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana;
Banyak aspek, baik langsung maupun tidak langsung, sangat berpengaruh dalam penanggulangan bencana di Jawa Barat di masa mendatang, baik aspek internal kedaerahan, nasional, regional, maupun global. Skenario penanggulangan bencana jangka tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang sampai tahun 2025 harus dibuat agar penanggulangan bencana di Kota Bandung menyambung dan tersistem dengan baik.
Skenario kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi sampai dengan tahun 2025 yang harus kita kaji dan waspadai, misalnya:
1. Ekonomi yang semakin tergantung kepada struktur ekonomi global;
2. Politik yang semakin memerlukan kepemimpinan yang handal, pro pemerataan kesejahteraan dan pro-lingkungan;
3. Budaya yang semakin tidak peduli terhadap lingkungan;
4. Pembangunan yang masih mengandalkan ekspolitasi sumber daya alam;
5. Kerentanan penduduk yang semakin meningkat, karena jumlah penduduk melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan;
6. Bencana, baik alami maupun non alami, yang kemungkinan akan semakin sering dan berpotensi merusak;
Gambar 3.1
3.4.3. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan
Kemiskinan perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan. Kota Bandung salah satu kota yang tergolong ibu kota provinsi menyandang berbagai permasalah penduduk miskin.
Luas Kota Bandung 16.729,50 Ha terdiri dari jumlah penduduk Kota Bandung berdasarkan hasil Susenas tahun 2005 adalah 2.270.970 jiwa (penduduk perempuan 1.135.485 Jiwa dan penduduk laki-laki 1.135.485 jiwa). Angka tersebut menentukan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,72%. Rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung 13.505 jiwa/Km2, dilihat dari segi kepadatan penduduk per Kecamatan, maka Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan daerah terpadat dengan kepadatan penduduk 39.256 jiwa/Km2. Menurut Laporan Dinas Tenaga Kerja 29.190 penduduk Kota Bandung tercatat sebagai pencari kerja tahun 2005, yang berarti menurun 44,83 % dari tahun sebelumnya. Sedangkan lowongan kerja yang tersedia sebanyak 1.448 orang dan jumlah penempatan hanya untuk 1.429 orang. Data BPS menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Maret 2008 untuk daerah perkotaan sebanyak 2,62 juta orang (10,88 persen) terhadap jumlah penduduk perkotaan, sedangkan di daerah perdesaan 2,71 juta orang (16,05 persen).
Penduduk miskin di Kota Bandung berjumlah 83.500 jiwa dimana tidak memilih-milih tempat dia mau "hinggap", tidak peduli mereka yang berada di tengah kota atau daerah kumuh. Kota Bandung adalah ibu kota Provinsi Jawa Barat yang menjadi pusat bisnis, pusat perdagangan, pusat tempat hiburan dan lain sebagainya yang berarti pusat perkonomian di Jawa Barat, tempat keluar-masuknya uang, selain kota-kota lain di Provinsi Jawa Barat ini pun tidak terlepas dari kemiskinan. Kita dapat melihat di setiap sudut kota pasti ada daerah yang perumahannya kumuh, berhimpitan satu dengan yang lain, atau pula ada penduduk yang mendirikan rumah ala kadamya di bantaran sungai dan kali dan masih banyak lagi keadaan yang dapat menggambarkan masyarakat miskin perkotaan. Banyak cara telah dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah dan juga individu-individu pemerhati kemiskinan dan permasalahannya untuk mengatasinya seperti transmigrasi penduduk dari daerah padat ke daerah yang masih jarang penduduknya, penanggulangan bertambahnya penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB), pemberian keterampilan dan modal. Kota Bandung mampu pula menarik masyarakat pinggiran kota untuk pindah ke Kota Bandung sehingga tidak menutup kemungkinan menimbulkan daerah-daerah kumuh di beberapa titik kota ini.
Sebuah perjalanan kehidupan kota yang boleh dibilang cukup panjang. Berbagai dinamika kehidupan dan pergantian generasi ke generasi, telah berhasil memimpin Kota Bandung, tapi yang pasti, warga kota mendambakan sebuah kehidupan yang harmoni, sejahtera lahir dan batin, dengan pemerintah kotanya yang mampu memfasilitasi dan membuat regulasi yang bisa menjamin keadilan semua warga kota, serta bisa memberikan pelayanan publik yang
Di tengah persoalan yang melilit saat ini, seperti masalah kemiskinan dan pengangguran yang masih belum bisa diatasi, tingkat daya beli masyarakat yang terus menurun seiring dengan harga BBM dan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, serta masalah pendidikan, kesehatan juga permasalahan lingkungan antara lain ruang terbuka hijau, pencemaran sungai, meningkatnya kadar polusi, menyempitnya ruang-ruang publik serta semrawutnya tata ruang kota, telah menambah sejumlah persoalan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota beserta seluruh aparaturnya.