Motilitas semen segar pada penelitian Tahap 3 adalah 73.56±1.47% dan secara terjadi penurunan motilitas dari semen segar, setelah ekuilibrasi, dan setelah thawing. Setelah ekuilibrasi motilitas spermatozoa dalam pengencer SKT dengan gliserol dan DMF masih menunjukkan nilai lebih dari 50%. Konsentrasi gliserol dan DMF 5% dalam pengencer SKT masih dapat mempertahankan motilitas hingga ekuilibrasi dengan motilitas antara 55.83±3.50% sampai dengan 66.58±1.09%. Seluruh konsentrasi gliserol yang digunakan dalam pengencer SKT menunjukkan motilitas setelah thawing di bawah 40%, namun hasil paling tinggi adalah dengan penggunaan gliserol 5% yaitu sebesar 22.44±2.73% dan paling rendah dengan gliserol 7% yaitu 14.22±1.24%. Hasil yang didapat membuktikan bahwa kombinasi pengencer SKT dan gliserol pada spermatozoa sapi bali pada penelitian ini tidak dapat digunakan untuk Inseminasi Buatan (IB). Konsentrasi optimum DMF dalam pengencer SKT adalah 6% dengan motilitas sebesar 54.33±1.59% dan paling rendah dengan DMF 7% yaitu 43.94±2.95%.
Tabel 6 Motilitas, viabilitas, dan membran plasma utuh spermatozoa sapi bali dalam pengencer SKT dengan berbagai konsentrasi gliserol dan DMF (Rerata±SEM). Parameter spermatozoa (%) Pengencer SKTG5 SKTG6 SKTG7 SKTD5 SKTD6 SKTD7 Motilitas SS ---73.56±1.47--- SE 64.89±1.96bc 61.70±1.98b 62.01±1.99bc 66.58±1.09c 65.05±2.22bc 55.83±3.50a ST 22.44±2.73b 15.77±1.12ab 14.22±1.24a 50.94±2.78d 54.33±1.59d 43.94±2.95c
Viabilitas 51.44±3.06ab 47.83±3.37a 59.00±3.87b 50.00±2.45ab 43.33±3.94a 47.94±2.77a
MPU 77.83±1.14bc 78.55±1.67bc 80.55±1.56c 65.16±4.72a 73.22±2.12b 73.72±1.91bc
Ket: Huruf berbeda yang mengikuti angka pada baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). SS = Semen segar, SE = Setelah ekuilibrasi, ST = Setelah thawing, MPU=membran plasma utuh. SKTG5 = Sitrat Kuning Telur+gliserol 5%; SKTG6 = Sitrat Kuning Telur +gliserol 6%; SKTG7 = Sitrat Kuning Telur +gliserol 7%; SKTD5 = Sitrat Kuning Telur +DMF 5%; SKTD6 = Sitrat Kuning Telur +DMF 6%; SKTD7 = Sitrat Kuning Telur +DMF 7%.
Viabilitas spermatozoa setelah thawing paling tinggi ditunjukkan gliserol 7% (59.00±3.87) dan DMF 5% (50.00±2.45). Viabilitas paling rendah ditunjukkan oleh penggunaan gliserol 6% (47.83±3.37%) dan DMF 6% (43.33±3. 94%). Hasil yang didapat dari penelitian ini, viabilitas spermatozoa tidak berbeda jauh dengan viabilitas setelah thawing pada semen sapi PO 51.7±0.90% (Shoae
16
dan Zamiri 2008). Konsentrasi gliserol dan DMF 7% dalam pengencer SKT sama-sama menunjukkan nilai MPU paling tinggi yaitu 80.55±1.56% dan 73.72±1.91%.
Nilai RR dalam pengencer SKT dengan gliserol 5%, 6%, dan 7% berturut-turut adalah 30.54±3.72%, 21.57±1.59%, dan 19.36±1.61. Sedangkan nilai RR dalam pengencer SKT dengan DMF 5%, 6%, dan 7% berturut-turut adalah 69.57±3.98%, 73.87±1.98%, dan 59.85±4.18. Nilai RR paling tinggi ditunjukkan 6% (73.33±3.67).
Gambar 2 Recovery rate pengencer dalam pengencer SKT dengan krioprotektan gliserol dan DMF
Pembahasan
Hasil penelitian Tahap 1 menunjukkan bahwa pejantan yang telah memasuki umur lewat produktif masih memiliki kemampuan dalam menghasilkan semen dengan kualitas yang sama dengan sapi umur produktif. Penelitian yang membandingkan kualitas semen yang produktif dan yang tua jarang dilakukan. Penurunan volume semen pada sapi kelompok lewat umur produktif yang terlihat lebih sedikit dibandingkan kelompok produktif diduga akibat jaringan organ reproduksi yang telah mengalami degenerasi, yang didukung oleh hasil penelitian Vilakazi dan Webb (2004), bahwa jaringan testikuler sapi holstein berumur tua mengalami degenerasi yang memengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Volume semen dipengaruhi oleh teasing yang dilakukan oleh bull
master. Volume semen juga berkorelasi positif dengan konsentrasi dan jumlah
straw yang diproduksi. Sapi umur produktif memiliki organ reproduksi yang telah berkembang sempurna sehingga semen yang dihasilkan memiliki kualitas dan kuantitas yang optimal (Balic et al. 2012).
Neto et al. (2013) melaporkan bahwa semen dari kuda tua memiliki kualitas yang sama dengan kuda muda dan dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa kuda tua masih terjadi proses spermatogenesis. Kualitas semen yang dihasilkan dari kedua kelompok umur dalam penelitian ini termasuk normal meskipun lebih rendah dari hasil penelitian Arifiantini et al. (2006) yang melaporkan rata-rata volume semen segar sapi bali sebesar 6.30±1.8 ml dengan konsentrasi 1 340±447.85 juta
17 spermatozoa per ml, selain itu kualitas semen yang didapat juga menunjukkan bahwa program pemuliaan pejantan sapi bali berjalan dengan baik karena sumber semen dipilih melalui seleksi dan manajemen pemeliharaan yang baik di Balai Inseminasi Buatan.
Tidak ada perbedaan antara kelompok sapi umur produktif dan sapi lewat umur produktif kemungkinan disebabkan karena seluruh sapi yang berada di Balai Inseminasi Buatan Daerah Baturiti adalah bibit unggul sehingga sapi yang telah melewati umur produktif pun masih mampu menghasilkan semen yang berkualitas sama baiknya dengan semen dari kelompok umur produktif.
Abnormalitas yang paling banyak ditemukan pada penelitian tahap 1 yaitu
bent tail sebesar 5.67%. Bent tail merupakan jenis abnormalitas sekunder yang
dicirikan dengan melingkarnya ekor dengan rapat dari ujung ekor dengan tingkatan yang beragam. Bagian yang melingkar terbungkus oleh sitoplasma atau membran yang menyebabkan motilitas terganggu. Abnormalitas primer yang ditemukan pada penelitian Tahap 1 adalah macrochepalic dengan presentase 1.05%. Macrochepalic merupakan abnormalitas yang terjadi pada kepala spermatozoa dan digolongkan abnormalitas primer dan erat kaitannya dengan genetik. Kelainan macrochepalic terjadi akibat kekurangan atau kelebihan kromatin inti yang mengarah pada berlebihnya atau berkurangnya pembentukan kromosom inti (Arifiantini et al. 2006).
Abnormalitas yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan yang ditemukan pada spermatozoa sapi bali (Arifiantini et al. 2006) dan pada sapi PO (Ratnawati dan Affandhy, 2013) yaitu 9.38% dan 7.10±8.10%. Abnormalitas hasil penelitian tahap ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Salim et al. (2012) serta Yuliani dan Lukman (2013), melaporkan bawa abnormalitas sapi bali berturut turut adalah 1.85±0.02% yaitu 3,78%. Hasil penelitian pada tahap ini masih di bawah batas minimal abnormalitas yang diperbolehkan. Abnormalitas dianggap serius jika mencapai 18-20% karena dapat menyebabkan penurunan fertilitas (Barth dan Oko 1989).
Motilitas total dan motilitas progresif linier berkaitan erat dengan daya tahannya terhadap pembekuan (Kathiravan et al. 2010). Spermatozoa dinilai bergerak secara linear lurus ke depan jika menunjukkan nilai STR>50 dan LIN>35 (Minitube 2004), maka didapat bahwa spermatozoa sapi bali dari kedua kelompok umur bergerak secara linear. Menurut Katebi et al. (2005), LIN adalah indikator motilitas progresif yang berperan dalam karakteristik fungsi spermatozoa dan STR adalah swimming pattern. WOB adalah goyangan spermatozoa terkuat per detik, sehingga berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelompok umur lewat produktif akan memiliki kemampuan fertilisasi yang sama baiknya dengan kelompok umur produktif.
Hasil penelitian Tahap 2 menunjukkan secara keseluruhan terjadi penurunan motilitas pada setiap tahap pembekuan. Motilitas semen segar pada penelitian Tahap 2 adalah 72.44±1.68%, kemudian terjadi penurunan motilitas pada ekuilibrasi berkisar antara 63.83±1.00% sampai dengan 69.00±0.30%. Penurunan motilitas ini disebabkan oleh hilangnya kemampuan spermatozoa untuk bergerak akibat rusaknya membran sel spermatozoa. Motilitas spermatozoa sapi bali setelah
thawing dalam pengencer TKT secara keseluruhan menunjukkan nilai di atas 40%
dengan konsentrasi optimum gliserol 5% (50.22±2.60%) dan DMF 5% (50.44±1.94%), 6% (47.83±2.34%), dan 7% (48.00±2.17%). Motilitas setelah
18
thawing dalam pengencer TKT tidak berbeda pada konsentrasi gliserol 5% dan
DMF 5%, 6%, dan 7%, namun optimal pada konsentrasi gliserol 5% (50.22±2.60%) dan DMF 5% (50.44±1.94%). Penggunaan kombinasi gliserol dan DMF 5% dalam pengencer TKT menunjukkan hasil yang optimal kemungkinan disebabkan pengencer TKT sudah memiliki komposisi yang lengkap untuk hidup spermatozoa pada saat pembekuan, sehingga tidak memerlukan krioprotektan dengan konsentrasi yang banyak. Konsentrasi gliserol dan DMF yang lebih tinggi dari 5% menunjukkan penurunan motilitas setelah thawing, hal ini kemungkinan karena konsentrasi lebih dari 5% berlebihan untuk spermatozoa sehingga tidak lagi bersifat melindungi namun bersifat toksik.
Pengencer TKT memiliki komposisi yang lebih lengkap karena mengandung Tris, fruktosa, lipoprotein, dan lesitin yang berperan sebagai penyedia zat makanan dan sumber energi untuk spermatozoa mempertahankan hidupnya saat pembekuan. Tris adalah buffer yang memiliki kemampuan menjaga stabilitas pH. Fruktosa merupakan gula sederhana yang berperan sebagai sumber energi bagi spermatozoa untuk mendukung motilitasnya. Motilitas spermatozoa setelah thawing dalam pengencer TKT pada penelitian ini berkisar antara 40.72±2.20% sampai dengan 50.44±1.94%, hasil yang diperoleh masih dalam kisaran yang sama seperti penelitian El Sisy et al. (2016) pada semen kerbau yaitu 41.50±1.98%, dan lebih tinggi dibandingkan pada sapi PO yaitu 33.30±0.90% (Shoae dan Zamiri 2008).
Hasil penelitian Tahap 3 menunjukkan hasil keseluruhan motilitas yang sama seperti pada Tahap 2 yaitu adanya penurunan motilitas dari semen segar, setelah ekuilibrasi, dan setelah thawing. Terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan gliserol dengan DMF dalam pengencer SKT. Motilitas setelah
thawing dalam pengencer SKT menunjukkan hasil di bawah 40% dengan semua
konsentrasi gliserol sehingga tidak memenuhi syarat untuk digunakan IB dan motilitas setelah thawing dalam pengencer SKT tidak berbeda nyata pada konsentrasi DMF 5% dan 6%, namun optimal pada konsentrasi 6% (54.33±1.59%). Penggunaan gliserol menunjukkan nilai di bawah 40%, sedangkan konsentrasi DMF optimum pada konsentrasi 6% kemungkinan disebabkan oleh kemampuan pengencer SKT yang menyamai pengencer TKT yang memiliki kandungan lengkap untuk perlindungan spermatozoa saat proses pembekuan. Spermatozoa sapi bali diduga tidak cocok dengan pengencer SKT dengan penambahan gliserol. Hal ini kemungkinan karena peroksidasi lipid yang diakibatkan oleh gliserol lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan penurunan motilitas spermatozoa (Sopiyana et al. 2006).
Pengencer SKT berbahan dasar natrium sitrat yang lebih ekonomis dibandingkan Tris (hydroxymethyl) aminomethane. Ion sitrat pada pengencer SKT akan berikatan dengan kalsium pada plasma semen sehingga kalsium tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pemacu motilitas. Metabolisme spermatozoa untuk menghasilkan energi akan terhambat jika kalsium terikat. Metabolisme yang terhambat memicu timbulnya asam laktat sehingga spermatozoa tidak memiliki energi untuk bergerak (Solihati et al. 2008). Motilitas ekuilibrasi dalam pengencer SKT lebih tinggi dibandingkan penelitian Hartono (2008) pada semen kambing boer 59.37±8.00%, lebih rendah dibandingkan pada sapi PO 80.33% (Solihati et al. 2008), namun hampir sama pada sapi PO yaitu 62.10±2.50% (Shoae dan Zamiri 2008). Rendahnya motilitas spermatozoa setelah thawing pada
19 penelitian ini sejalan dengan penelitian Siswanto (2006) yang mendapatkan motilitas sermatozoa semen rusa dalam pengencer SKT dengan gliserol 10% dan 15% adalah 36.46±15.17% dan 18.45±4.73%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya krioprotektif DMF lebih baik dalam melindungi spermatozoa sapi bali dibandingkan gliserol. Hal ini diduga karena berat molekul DMF lebih kecil daripada gliserol (Ball dan Vo 2001), sehingga DMF memiliki permeabilitas yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pembentukan kristal es dalam sel dapat ditekan. Selain itu, tingginya permeabilitas DMF juga dapat meminimalisir terjadinya stres osmotik. Penggunaan DMF pada pembekuan berbagai semen telah digunakan pada semen babi dalam pengencer Beltsville thawing solution (BTS) dengan konsentrasi DMF terbaik adalah 5% (Bianchi et al. 2008), pada semen kuda konsentrasi terbaik adalah 2.5% (Pukazhenthi et al. 2014), pada semen domba dalam pengencer skim soya konsentrasi terbaik adalah 6% (Jerez et al. 2016). Penelitian pembekuan semen sapi menggunakan DMF baru ditemukan pada pembekuan semen sapi
Korean Jeju Black dalam pengencer TKT oleh Oh et al. (2012) dengan hasil
penggunaan DMF 5% sama baiknya dengan gliserol 7%.
Batas minimal nilai MPU spermatozoa yang layak untuk IB pada sapi adalah 40% (Jeyendran et al. 1984) sehingga penggunaan kombinasi pengencer TKT dan SKT dengan kedua macam krioprotektan mampu menjaga keutuhan membran plasma spermatozoa. Tahapan kriopreservasi yaitu pengenceran, pendinginan dan pembekuan memicu terjadi perubahan tekanan osmotik dan perubahan suhu yang ekstrim. Perubahan-perubahan tersebut berpotensi merusak membran plasma dan akrosom spermatozoa yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penurunan viabilitas spermatozoa (Bag et al. 2002).
Membran plasma yang masih utuh berkorelasi positif dengan motilitas dan viabilitas karena transpor ion tetap berlangsung dan proses metabolisme sel dapat berjalan dengan baik. Kerusakan membran plasma dapat terjadi pada bagian kepala dan bagian ekor. Kerusakan bagian kepala menyebabkan penurunan viabilitas, kerusakan bagian ekor terutama pada bagian midpiece akan berakibat hilangnya kemampuan mitokondria menghasilkan ATP sehingga terjadi defisiensi energi untuk menunjang motilitas spermatozoa. Kerusakan membran plasma utuh akan berakibat pada rendahnya daya fertilitas karena rusaknya membran plasma akan menghilangkan cairan intraseluler yang mengandung molekul penting untuk bersatunya sel telur dan spermatozoa dalam proses fertilisasi.
Recovery rate (RR) dapat digunakan sebagai indikator kemampuan
pengencer dan krioprotektan yang mampu menjaga sel spermatozoa selama proses kriopreservasi. Angka RR menunjukkan kemampuan pulihnya spermatozoa setelah mengalami proses pembekuan. Hal ini berkaitan dengan integritas membran dalam menjaga kelangsungan biosintesis intraseluler dan penggunaan ATP sebagai energi untuk mendukung motilitas setelah thawing. Nilai RR dalam pengencer TKT dengan kombinasi pengencer gliserol 5%, 6%, dan 7% berturut-turut adalah 69.25±3.26%, 60.89±3.38%, dan 56.28±3.05%, sedangkan dengan DMF 5%. 6%, dan 7% berturut-turut adalah 69.96±2.92%, 66.13±3.22%, dan 66.46±3.00%. Nilai RR dalam pengencer SKT dengan kombinasi pengencer gliserol 5%, 6%, dan 7% berturut-turut adalah 30.54±3.72%, 21.57±1.59%, dan 19.36±1.61%.
20
Recovery rate hasil penelitian Tahap 3 sedikit lebih tinggi dibandingkan RR
sapi pasundan dalam pengencer Tris adalah 59.62±5.57% (Baharun et al. 2017). Spermatozoa sapi Limousin, Simmental dan FH dalam pengencer Skim kuning telur mempunyai nilai RR berturut-turut adalah 58.87±6.37%; 56.27±7.08%; 58.87±5.31% (Komariah et al. 2013). Nilai RR dalam pengencer SKT menggunakan DMF menunjukkan hasil recovery rate yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan gliserol, sehingga dari hasil penelitian ini didapat bahwa kombinasi penggunaan pengencer SKT dengan krioprotektan gliserol tidak direkomendasikan untuk pembekuan semen sapi bali.
5 SIMPULAN
1. Kualitas semen segar sapi bali pada kelompok umur produktif dan umur lewat produktif tidak berbeda.
2. Penggunaan gliserol dan DMF dalam pengencer TKT optimum menghasilkan motilitas setelah thawing pada konsentrasi gliserol 5% (50.22±2.60) dan DMF 5% (50.44±1.94).
3. Penggunaan gliserol dalam pengencer SKT menunjukkan hasil di bawah 40% dengan semua konsentrasi gliserol sehingga tidak memenuhi syarat untuk digunakan IB dan DMF dalam pengencer SKT optimum menghasilkan motilitas setelah thawing pada konsentrasi DMF 6% (54.33±1.59).