• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 22

3.6 PENENTUAN KINETIKA HIDROLISIS

3.6.3 Penentuan Konstanta Laju Reaksi Hidrolisis Fungsi Daya

Data nilai konstanta laju reaksi hidrolisis (k) yang diperoleh diplot dengan variabel fungsi daya microwave yang digunakan untuk memperoleh persamaan regresinya. Jika orde reaksi yang diperoleh adalah orde 1 maka digunakan persamaan regresi linier namun jika orde reaksi yang diperoleh adalah orde 2 maka digunakan persamaan regresi polinomial.

3.6.4 Penentuan Konstanta Laju Reaksi Hidrolisis Fungsi Konsentrasi Katalis Asam Sulfat (H2SO4)

Data nilai konstanta laju reaksi hidrolisis (k) yang diperoleh diplot dengan variabel fungsi konsentrasi katalis asam sulfat (H2SO4) yang digunakan untuk memperoleh persamaan regresinya. Jika orde reaksi yang diperoleh adalah orde 1 maka digunakan persamaan regresi linier namun jika orde reaksi yang diperoleh adalah orde 2 maka digunakan persamaan regresi polinomial.

29 Universitas Sumatera Utara. Serbuk eceng gondok yang sudah dihaluskan ini akan mempermudah proses delignifikasi, Setelah dilakukan delignifikasi maka dilakukan analisis kandungan alfa, beta dan gamma selulosa pada bahan baku.

Komponen utama eceng gondok adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Di alam selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni melainkan berikatan dengan lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa. Keberadaan lignin akan menghambat proses hidrolisis selulosa oleh enzim selulasa karena lignin merupakan molekul kompleks yang terdiri atas unit-unit fenilpropana yang umumnya sulit didegradasi. Lignin membentuk ikatan yang kuat dengan selulosa sehingga memberikan bentuk yang kokoh pada dinding sel tanaman (Sarjono dkk., 2012). Tabel 4.1 menunjukkan kandungan alfa, beta dan gamma selulosa pada bahan baku yang sudah didelignifikasi.

Tabel 4.1 Hasil Kadar Alfa Selulosa Eceng Gondok Setelah Delignifikasi

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan Hasil Kadar Alfa Selulosa Eceng Gondok dari sampel dan perlakuan yang sama untuk mengetahui nilai rata-rata kadar alfa selulosa setelah delignifikasi diperoleh 96,79%.

No

30

Lignin dapat dihilangkan atau dikurangi salah satunya dengan perlakuan alkali menggunakan NaOH. Konsentrasi NaOH yang digunakan mampu melarutkan lignin dan merusak struktur selulosa yang mengakibatkan serat-serat selulosa semakin longgar sehingga semakin mudah dihidrolisis. NaOH melarutkan bentuk selulosa lain seperti beta selulosa dan gamma selulosa sehingga yang tersisa hanya alfa selulosa. Proses hidrolisis dengan menggunakan H2SO4 menyebabkan selulosa yang sudah dalam keadaan tidak terikat akibat pengaruh proses delignifikasi akan dihilangkan bagian amorfnya sehingga yang tersisa hanya bagian kristal selulosa. Hemiselulosa dalam proses hidrolisis akan turut hilang karena strukturnya yang sebagian besar bersifat amorf, sehingga akan mudah larut oleh asam dalam proses hidrolisis (Prasetia dkk., 2018)

4.2 PENGARUH DAYA ROTATING MICROWAVE TERHADAP SUHU REAKSI

Proses hidrolisis membutuhkan pemanasan untuk mempermudah pemisahan glukosa dari selulosa, pada penelitian ini sumber panas yang digunakan adalah rotating microwave dan daya rotating microwave yang digunakan adalah 600 dan 800 watt. Daya adalah banyaknya energi yang dihantarkan per satuan waktu (Joule/sekon). Daya microwave dan suhu saling berhubungan, karena daya yang tinggi dapat menaikkan suhu operasi di atas titik didih pelarut dan menghasilkan peningkatan glukosa hasil hidrlosis. Jadi, penambahan daya secara umum akan meningkatkan glukosa dan mempercepat waktu hidrolisis.

Daya dalam hidrolisis microwave akan mengontrol besarnya energi yang akan diterima oleh bahan untuk dirubah menjadi energi panas. Energi panas inilah yang membantu proses keluarnya glukosa dari bahan atau sampel.

Kenaikan suhu adalah akibat dari kemampuan bahan dan pelarut untuk menyerap energi dari gelombang mikro. Ukuran yang menunjukkan kemampuan untuk menyerap gelombang mikro disebut konstanta dielektrik. Semakin besar daya maka semakin besar energi yang diterima bahan untuk dirubah menjadi panas sehingga glukosa pada hidrolisat semakin besar (Erliyanti dan Elsa Rosyidah 2017).

31

Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh daya microwave terhadap suhu reaksi.

Gambar 4.1 Pengaruh Daya Microwave Terhadap Suhu Reaksi Pada Konsentrasi Katalis H2SO4 (a) Tanpa Katalis (b) 0,5 N (c) 1,0 N dan (d) 1,5 N

32

Berdasarkan gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada daya 600 W dan 800 W mengalami peningkatan suhu yang tidak jauh berbeda. Peningkatan suhu yang lebih cepat. Pada daya 800 W mengalami peningkatan suhu konstan pada menit ke 20 dengan suhu akhir 102 ºC sedangkan pada daya 600 W mengalami peningkatan suhu konstan pada menit ke 15 dengan suhu akhir 101, 75 ºC.

Peningkatan suhu dalam reaktor sebagai pengaruh kerja microwave, seperti yang ditunjukkan dalam percobaan adalah meningkat suhu secara signifikan mencapai 102 ºC setelah 20 menit iradiasi, hasil ini diperoleh sangatlah menjanjikan.

Peningkatan suhu yang konstan menunjukkan bahwa kestabilan pemanasan yang diterima pada serat selulosa dengan suhu akhir yang konstan yang melebihi titik didih aquadest dengan suhu ini mempercepat pemecahan struktur selulosa sehingga dapat mempermudah proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa pada suhu yang konstan.

Pemanasan dengan rotating microwave memiliki beberapa keuntungan seperti mempercepat reaksi hidrolisis karena radiasi dari rotating microwave menyebabkan pemanasan yang merata dan cepat serta dapat menghemat energi.

Energi rotating microwave akan terkonversi menjadi energi panas yang ditunjukkan dengan peningkatan suhu reaksi. Suhu reaksi berbanding lurus dengan daya rotating microwave dimana semakin tinggi daya yang digunakan maka kenaikan suhu akan semakin cepat dan akan konstan pada waktu tertentu.

Daya merupakan banyaknya energi yang dihantarkan per satuan waktu (joule/s atau watt) (Erliyanti dan Elsa, 2017). Daya mengontrol banyaknya energi yang akan dikonversi menjadi energi panas yang diterima oleh serat selulosa, energi panas ini dapat mempercepat pemecahan struktur selulosa sehingga dapat mempermudah proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa.

4.3 PENGARUH KONSENTRASI ASAM SULFAT (H2SO4) TERHADAP PEMBENTUKAN GLUKOSA

Proses reaksi antara air dan pati jalannya sangat lambat sehingga diperlukan bantuan katalisator untuk memperbesar keaktifan air. Pada penelitian ini katalisator yang digunakan berupa katalis asam yaitu asam sulfat. Berdasarkan gambar 4.2 menunjukkan semakin besar konsentrasi asam sulfat yang digunakan

33

semakin besar konsentrasi glukosa dalam hidrolisat eceng gondok. Asam sulfat dalam proses hidrolisis berfungsi sebagai katalis, semakin besar konsentrasi akan semakin mempercepat reaksi yang terjadi. Sehingga dalam waktu reaksi yang sama akan menghasilkan hasil reaksi yang semakin besar dan semakin meningkat kadar glukosa dalam hidrolisat. Tetapi penggunaan asam sebagai katalisator sedapat mungkin terbatas pada nilai terkecil agar garam yang tersisa dalam hasil setelah penetralan tidak mengganggu kadar glukosa yang diperoleh. Perbandingan antara air dan pati yang tepat akan membuat reaksi hidrolisis berjalan cepat.

Penggunaan air yang berlebihan akan memperbesar penggunaan energi untuk pemekatan hasil. Sebaliknya, jika pati berlebihan, tumbukan antara pati dan air akan berkurang sehingga mengurangi kecepatan reaksi (yustinah., dkk 2018).

Gambar 4.2 menunjukkan pengaruh konsentrasi asam sulfat H2SO4 terhadap glukosa yang dihasilkan.

Gambar 4.2 Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat (H2SO4) Terhadap Pembentukan Glukosa Pada Daya (a) 600 W dan (b) 800 W

34

Penelitian ini dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi asam sulfat yang digunakan pada proses hidrolisis untuk mengetahui konsentrasi asam sulfat terbaik dalam menghasilkan kadar glukosa yang besar. Pada grafik ini, terlihat bahwa titik optimum konsentrasi asam sulfat yang menghasilkan kadar glukosa yang paling besar adalah konsentrasi asam sulfat 1 N karena pada penggunaan asam sulfat 1,5 N, kenaikan kadar glukosa yang didapatkan tidak begitu jauh perbedaannya. Oleh sebab itu, konsentrasi asam sulfat 1 N dianggap sebagai yang terbaik untuk digunakan dalam proses hidrolisis eceng gondok dan untuk selanjutnya menjadi variabel tetap dan digunakan untuk mengetahui variabel penelitian yang lainnya.

Menurut Taherzadeh dan Keikhosron (2007) penggunaan katalis asam encer memiliki keuntungan seperti konsumsi asam yang rendah dan tidak memerlukan recovery asam. Namun, pada konsentrasi 1,5 N daya 800 W larutan hidrolisat yang terlihat warna larutan hasil semakin tua dikarenakan daya dan konsentrasi yang digunakan tinggi sehingga terjadi perubahan warna larutan yang coklat karamel. Kardono (2010: 14) mengatakan bahwa konsentrasi asam yang terlalu tinggi dan temperatur tinggi dimungkinkan terjadi degradasi glukosa atau terjadi karamelisasi (perubahan warna pada larutan menjadi warna coklat atau karamel) sehingga glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisa tersebut menjadi tidak maksimal. Dimana grafik pada konsentrasi 1,5 N dan daya 800 W sangat tinggi namun penyimpangan ini dapat terjadi karena pemanasan yang tidak merata saat melakukan preparasi sampel untuk diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrfotometer UV-Vis. hal ini dapat disebabkan oleh kurang homogennya sampel dengan reagen DNS sehingga absorbansi yang terukur pada spektrofotometer kurang tepat.

4.4 PENGARUH WAKTU REAKSI TERHADAP PEMBENTUKAN GLUKOSA

Konsentrasi glukosa yang terbentuk sangat berpengaruh dengan waktu reaksi dimana semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak produk yang akan terbentuk, namun setiap reaksi memiliki waktu optimum dimana reaktannya sudah habis bereaksi sehingga produk yang dihasilkan akan menurun.

35

Gambar 4.3 berikut ini menunjukkan pengaruh waktu terhadap konsentrasi glukosa yang terbentuk.

Gambar 4.3 Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap Pembentukan Glukosa

Berdasarkan gambar 4.3 menunjukkan grafik mengalami peningkatan dimana semakin lama waktu reaksinya maka glukosa yang terbentuk akan semakin banyak. Hal ini sesuai dengan teori dari Muhaimin (2018) yang mengatakan semakin lama waktu hidrolisis maka kandungan glukosa pada produk hidrolisis akan semakin meningkat karena kontak antara reaktan akan semakin sering terjadi dan dapat meningkatkan konversi reaktan menjadi produk.

Pada grafik 1,5 N 800 W terjadi fluktuasi pada menit 30 hal dapat disebabkan oleh kurang homogennya sampel dengan reagen DNS sehingga absorbansi yang terukur pada spektrofotometer kurang tepat.

4.5 PENGARUH DAYA ROTATING MICROWAVE TERHADAP PEMBENTUKAN GLUKOSA

Daya rotating microwave berbanding lurus dengan suhu dimana semakin tinggi daya yang digunakan maka semakin cepat kenaikan suhu yang terjadi.

Semakin tinggi suhu maka akan meningkatkan laju reaksi yang disebabkan oleh semakin banyak monomer glukosa yang akan terlepas dari ikatannya dan perolehan glukosa pun akan semakin tinggi (Osvaldo, dkk., 2012).

100

36

Gambar 4.4 berikut menunjukkan pengaruh daya microwave terhadap pembentukan glukosa

Gambar 4.4 Pengaruh Daya Microwave Terhadap Pembentukan Glukosa Pada Konsentrasi Katalis H2SO4 (a) Tanpa Katalis (b) 0,5 N (c) 1,0 N

37

Daya microwave memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar glukosa eceng gondok. Hal ini dikarenakan semakin besar daya, maka suhu operasi meningkat. Kenaikan suhu adalah akibat dari kemampuan bahan dan pelarut untuk menyerap energi dari gelombang mikro. Semakin besar daya maka semakin besar energi yang diterima bahan untuk dirubah menjadi panas sehingga kadar glukosa eceng gondok semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin besar daya, maka suhu operasi meningkat dan laju reaksi menjadi semakin besar.

Berdasarkan gambar 4.4 menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang dihasilkan pada daya 600 W dan 800 W tidak jauh berbeda. Semakin tinggi daya microwave yang digunakan maka kenaikan suhu nya akan semakin tinggi dan cepat. Ketika suhu naik, tingkat polimerisasi rantai selulosa menurun, rantai selulosa yang panjang akan terputus menjadi kelompok rantai molekul yang lebih pendek dan melepas glukosa yang terdegradasi menjadi produk samping, maka penting untuk menentukan daya microwave yang digunakan agar terhindar dari pemborosan energi (Ethaib, dkk., 2015). Daya microwave optimum yang diperoleh adalah pada daya 600 W karena dapat menghasilkan konsentrasi glukosa yang tinggi dan lebih optimal.

4.6 KINETIKA LAJU REAKSI HIDROLISIS ECENG GONDOK MENGGUNAKAN ROTATING MICROWAVE REAKTOR

Untuk melihat pengaruh daya microwave dan konsentrasi asam sulfat pada konstanta laju reaksi hidrolisis eceng gondok dimana selulosa terkonversi menjadi glukosa maka diperlukan analisis kinetika pada laju hidrolisis. Berikut adalah pembahasan mengenai konstanta laju hidrolisis.

4.6.1 Penentuan Orde reaksi

Nilai konstanta laju reaksi dan orde laju reaksi dapat ditentukan dengan membuat grafik hubungan antara konsentrasi selulosa dan waktu hidrolisis. Grafik tersebut diperoleh dari persamaan reaksi orde satu (2.11) dan persamaan reaksi orde dua (2.14). Orde reaksi yang diperoleh adalah reaksi orde satu untuk profil kinetika reaksi orde pertama dapat dilihat pada gambar 4.5.

38

39

Berdasarkan gambar 4.5 Profil kinetika reaksi hidrolisis untuk orde satu. Jika ditinjau dengan persamaan regresi linier maka didapatkn nilai R2 pada tabel 4.2 menghitung konstanta laju reaksi hidrolisis.

4.6.2 Hubungan Konsentrasi Katalis Asam Sulfat dengan Daya Rotating Microwave

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara daya rotating microwave dengan konsentrasi katalis asam sulfat terhadap reaksi hidrolisis eceng gondok dengan menggunakan rotating microwave reactor. Untuk menentukan hubungan antara daya rotating microwave dengan konsentrasi katalis asam sulfat dibutuhkan data nilai konstanta laju reaksi hidrolisis yang diperoleh dari nilai slope grafik reaksi orde satu yang dapat dilihat pada tabel 4.3

Tabel. 4.3 Konstanta Laju Reaksi Hidrolisis No. Konsentrasi Katalis

H2SO4 (N)

40

Setelah dilakukan perhitungan seperti yang terlampir pada lampiran C.4.4 diperoleh persamaan hubungan konsentrasi katalis asam sulfat dengan daya microwave rotating reactor sebagai berikut.

C = 1 x 10-3 (P)) (4.1) Dari persamaan diatas dapat disimpulkan bahwa jika menggunakan daya rotating microwave yang besar maka konsentrasi katalis yang digunakan rendah untuk menghasilkan proses hidrolisis yang optimal.

4.6.3 Pengaruh Suhu pada Kinetika Reaksi Hidrolisis

Dalam menyusun persamaan kinetika ini digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Volume campuran tetap, karena kadar reaktan yang kecil 2. Pengadukan sempurna sehingga campuran bersifat homogen 3. Panas yang diserap oleh reaktor diabaikan

4. Panas reaksi pada setiap interval suhu tidak berubah banyak

Neraca Massa:

Neraca massa selulosa (A) dalam reaktor:

Massa masuk – Massa keluar – Reaksi = Akumulasi 0 – 0 – V.k.CA = d

41

Karena reaksi merupakan non-isotermal maka nilai k berubah setiap perubahan suhu, sehingga nilai k tidak bisa keluar dari persamaan dan diperlukan untuk mencari hubungan antara nilai konstanta (k) dengan suhu (T) menggunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut.

k= Arexp (-BTr) (4.3) Untuk reaksi hidrolisis yang membutuhkan panas (eksotermis) dan pada keadaan non-isotermal, hubungan suhu dengan konversi reaktan didekati dengan persamaan empiris berikut:

Neraca Panas:

Energi panas masuk–energi panas keluar + energi panas reaksi = energi akumulasi Energi panas masuk – energi panas keluar + energi panas reaksi = 0

m.Cp. (Tref- T0) -m.Cp. (Tref- T)+m(-∆HR)=0

42

Maka, diperoleh hubungan antara suhu (T) dan konversi reaktan (X) adalah linier. Dengan membuat regresi linier berdasarkan data operasi diperoleh beberapa persamaan seperti pada Tabel 4.4.

Setelah diperoleh persamaan 4.2 ,4.3, dan 4.4, dicoba berbagai harga Ar dan Br

sampai diperoleh waktu perhitungan (t) yang paling dekat dengan waktu data yang menghasilkan nilai Sum of Square Error (SSE) yang minimum.

SSE= ∑(thit-tdata)2 (Sediawan dan Agus, 1997).

Persamaan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Persamaan Arrhenius Konsentrasi

Katalis H2SO4 (N)

Daya

(Watt) Persamaan T Persamaan Arrhenius SSE 0 600 T = 30 + 0,455.CA0.X bahwa, persamaan yang diperoleh dapat digunakan untuk kondisi operasi sesuai dengan penelitian.

k = 1,30 x 10-2 exp -132,172

T (4.5)

43

4.7 Perbandingan Hasil Hidrolisis Eceng Gondok

Hidrolisis eceng gondok dengan cara fermentasi menggunakan Trichoderma viride menghasilkan glukosa optimum sebesar 1,3864 mg/L pada suhu 35 oC dan waktu fermentasi 96 jam [18]. Xia, dkk (2013) melakukan hidrolisis enzimatik eceng gondok dengan perlakuan awal asam encer menggunakan microwave, ketika 20 g/L eceng gondok diberi perlakuan awal microwave dengan 1% H2SO4 pada 140 °C selama 15 menit dan kemudian dihidrolisis secara enzimatis menggunakan selulosa, diperoleh hasil gula reduksi maksimum sebesar 48,3 g/100 g eceng gondok [19]. Lin, dkk (2018) menemukan bahwa hidrolisis eceng gondok dengan sistem pemanas microwave (Pree Kem APEX) dapat mengurangi waktu hidrolisis hingga 32%-40% dan meningkatkan kecepatan hidrolisis hingga 62% dibandingkan metode pemanasan tradisional (laju sakarifikasi menjadi 13,94%) dengan konsentrasi gula optimal 4650 mg/L [20]. Pada penelitian ini, glukosa optimum yang diperoleh adalah 486 mg/L dengan perlakuan H2SO4 1 N, 600 W, dan 60 menit. Hidrolisis dengan bantuan microwave telah terbukti dapat mengurangi waktu hidrolisis dan meningkatkan kecepatan hidrolisis.

44 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah diperoleh maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kadar alfa selulosa yang diperoleh setelah eceng gondok didelignifikasi adalah 96,79%.

2. Kondisi proses hidrolisis eceng gondok terbaik yang diperoleh adalah pada penggunaan katalis (H2SO4) 1 N dan daya microwave sebesar 600 W karena menghasilkan kandungan glukosa yang tinggi dengan warna pada hidrolisat glukosa yang diperoleh sangat baik.

3. Kondisi proses hidrolisis eceng gondok terbaik adalah pada penggunaan katalis asam sulfat (H2SO4) 1 N dan daya microwave 600 W dengan kandungan glukosa akhir yang diperoleh sebesar 486,000 mg/L.

4. Hubungan Konsentrasi katalis asam sulfat dengan daya microwave rotating reactor adalah C = 1 x 10-3 (P)

5. Konstanta laju reaksi hidrolisis yang diperoleh pada penelitian ini adalah k = 1,30 x 10-2 exp -132,172

T

6. Proses hidrolisis sangat dipengaruhi oleh suhu reaksi karna pada penelitian ini suhu reaksinya tinggi yaitu sekitar 101,75℃ maka glukosa yang diperoleh tinggi.

5.2 SARAN

Saran yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah : 1. Disarankan menggunakan microwave berukuran lebih besar dengan power

output maksimal 100 W

2. Disarankan memfermentasi gula yang diperoleh menjadi etanol.

3. Disaran memvariasi katalis seperti zeolite alam, HCL untuk membandingkan hasil glukosa yang diperoleh.

45

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, P., Zaqiyah. A dan Didi D. A. (2013). Hidrolisis Selulosa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) menjadi Glukosa dengan Katalis Arang Aktif Tersulfonasi. Jurnal Teknologi Kimia Dan Industri, 2(3), 63–69.

A. Xia, J. Cheng, W. Song, C. Yu, J. Zhou, and K. Cen. 2013. “Enhancing enzymatic saccharification of water hyacinth through microwave heating with dilute acid pretreatment for biomass energy utilization,” Energy, vol.

61, pp. 158–166.

Budiyati, E dan Umar B. 2015. The Effects of Hydrolysis Temperature and Catalyst Concentration on Bio-ethanol Production from Banana Weevil.

Proceedings of The 9th Joint Conference on Chemistry.

Cai Hao, X., Bin Yu, X., dan Li Yan, Zhong., 2006, Optimization of The Medium for The Production of Cellulose by The Mutant Trichoderma reseei WX-112 Using Response Surface Methodology, Food Technol. Biotechnol., 44(1), 89-94

Chen, J. C dan Jian S. G. 2013. Improving the Conversion Efficiency Of Waste Cotton to Bioethanol By Microwave Hydrolysis Technology. Sustain.

Environ. Res., 23(5), 333-339.

Chin, S. X., Chia, C. H., Fang, Z., Zakaria, S., Li, X. K., dan Zhang, F. 2014. A Kinetic Study On Acid Hydrolysis Of Oil Palm Empty Fruit Bunch Fibers Using a Microwave Reactor System. Energy and Fuels, 28(4), 2589–2597.

Coniwanti, P., Novalina, S., dan Putri, I. K. (2009). Pembuatan Pulp Eceng Gondok Melalui Proses Organosolv. Jurnal Teknik Kimia, 16(4), 34–41.

Elwin, M. L dan Yusuf H. (2014). Analisis Pengaruh Waktu Pretreatment dan Konsentrasi NaOH terhadap Kandungan Selulosa , Lignin dan Hemiselulosa Eceng Gondok Pada Proses Pretreatment Pembuatan Bioetanol Analysis of Pretreatment Time and NaOH Concentration Effect on Cellulose , Lignin and. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis Dan Biosistem, 2(2), 110–116.

Erliyanti, N. K. dan Elsa R. (2017) Pengaruh Daya Microwave Terhadap Yield Pada Ekstraksi Minyak Atsiri Dari Bunga Kamboja (Plumeria Alba) Menggunakan Metode Microwave Hydrodistillation, 8(3), pp. 175–178.

46

Ethaib S., Omar, R., Kamal, S. M. M., dan Biak, D. R. A. (2015). Microwave-assisted pretreatment of lignocellulosic biomass: A review. Journal of Engineering Science and Technology, 10, 97–109.

Fachry, A. R., Astuti, P., dan Puspitasari, T. G. (2013). Pembuatan Bioetanol dari Limbah Tongkol Jagung dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Fermentasi. Jurnal Teknik Kimia, 19(1), 60–69.

Fatmawati, A., Soeseno, N., Chiptadi, N. & Natalia, S. (2008). Hidrolisis Batang Padi Dengan Menggunakan Asam Sulfat Encer. Jurnal Teknik Kimia, 3(1)

Gaba, M., & Dhingra, N. (2011). Microwave chemistry: General features and applications. Indian Journal of Pharmaceutical Education and Research, 45(2), 175–183.

Hermiati, E., Mangunwidjaja, D., Sunarti, T. C., Suparno, O., dan Prasetya, B.

(2010). Application of Microwave Heating in Biomass Hydrolysis and Pretreatment for Ethanol Production. Annales Bogorienses, 14(1), 1–9.

Imammuddin, A. M., Soeparman, S., dan Suprapto, W. (2018). Pengaruh Temperatur Karbonisasi Terhadap Mikrostruktur dan Pembentukan Kristal Pada Biokarbon Eceng Gondok Sebagai Bahan Dasar Absorber Gelombang Elektromagnetik Radar. 9(2), 135–141.

Ja’afaru, M.I., dan Fagade, O.E., 2010, Optimization Studies on Cellulase Enzyme Production by an Isolated Strain of Aspergillus nigerYL 128, African Journal of Microbiology Research, 4(24), 2635-2639

Kamara, D.S., Rachman, S.D., dan Gaffar, S., 2006, Degradasi Enzimatik Selulosa dari Batang Pohon Pisang untuk Produksi Enzim Selulase dari Kapang Trichoderma viride, Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjajaran, Bandung

Kardono, B. S. (2010). Teknologi Pembuatan Etanol Berbasis Lignoselulosa Tumbuhan Tropis Untuk Produksi Biogasoline. Jakarta: Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Kolo, S. M. D., dan Edi, E. (2018). Hidrolisis Ampas Biji Sorgum denga Microwave untuk Produksi Gula Pereduksi sebagai Bahan Baku Bioetanol.

Jurnal Saintek Lahan Kering, 1(2), 22–23.

47

Kulkarni, V., Butte, K., dan Rathod, S. (2012). Natural Polymers – A Comprehensive Review. International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences, 3(4), 1597–1613.

Levenspiel, Octave. 1972. Chemical Reaction Engineering. John Wiley & Sons Inc: Amerika.

Lin, Y. C., Shangdiar, S., Chen, S. C., Chou, F. C., Lin, Y. C., dan Cho, C. A.

(2018). Microwave Irradiation With Dilute Acid Hydrolysis Applied to Enhance The Saccharification Rate Of Water Hyacinth (Eichhornia crassipes). Renewable Energy, 125, 511–517.

Madinah, I., dan Sarah, M. (2019). Microwave Assisted Hydrolysis of Oil Palm Empty Fruit Bunch: Effect of Wave Distance Sources, Power, Time and Acid Concentration. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 543(1), 0–7.

Mardina, P., Hendry A. P., dan Deka M. H. 2014. Pengaruh Waktu Hidrolisis dan Konsentrasi Katalisator Asam Sulfat Terhadap Sintesis Furfural dari Jerami Padi. Konversi. Vol. 3 No. 2

Merina, F., & Trihadiningrum, Y. (2011). Produksi bioetanol dari eceng gondok.

(Eichhornia Crassipes) Dengan Zymomonas Mobilis Dan Saccharomyces Cerevisiae. 2, 1–9.

Moeksin, R., Liliana C., dan Rika Damayanti. 2016. Pembuatan Bioetanol dari Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Dengan Perlakuan Fermentasi.

Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 22.

Muhaimin, Beta Wulan Febriana dan Septian Arfan. 2018. Reaction Kinetics in Conversion Process of Pineapple Leaves into Glucose. Reaktor, Vol. 18 No.

3, pp 155-159.

Mulyadi, I. (2019). Isolasi Dan Karakterisasi Selulosa : Review. Jurnal Saintika Unpam : Jurnal Sains Dan Matematika Unpam, 1(2), 177.

Naufala, W.A., dan Pandebesie, E. S. (2015). Hidrolisis Eceng Gondok dan Sekam Padi untuk Menghasilkan Gula Reduksi sebagai Tahap Awal Produksi Bioetanol. Jurnal Teknis Its, 4(2), 2–6.

Nomanbhay, S. M., Hussain, R., dan Palanisamy, K. (2013). Microwave-Assisted Alkaline Pretreatment and Microwave Assisted Enzymatic Saccharification

48

of Oil Palm Empty Fruit Bunch Fiber for Enhanced Fermentable Sugar Yield. Journal of Sustainable Bioenergy Systems, 03(01), 7–17.

Osvaldo, Z. S., S, P. P., dan Faizal, M. (2012). Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu pada Proses Hidrolisis Dan Fermentasi Pembuatan. Jurnal Teknik Kimia, 18(2), 52–62.

I G. N. J. A. Prasetia, I D. A. Yuliandari, D. G. Ulandari, C. I. S. Arisanti, dan A.

A. I. S. H. Dewandari. 2018. Evaluasi Kandungan Selulosa Mikrokristal dari Jerami Padi (Oryza sativa L.) Varietas IR64. Jurnal Kimia, 12 (2), 97-101.

Puspitasari, M., Sutijan, S., dan Budiman, A. (2016). Kinetika Reaksi Pirolisis Enceng Gondok. Eksergi, 13(1), 13.

R Sarjono, P., S Mulyani, N., dan S Setyani, W. (2012). Kadar Glukosa dari Hidrolisis Selulosa Pada Eceng Gondok Menggunakan Trichoderma viride dengan Variasi Temperatur dan Waktu Fermentasi. Molekul, 7(2), 163.

Salleh, Shanti Faridah, Robiah Yunus, Mohd Farid Atan, dan Dyg Radiah Awg

Salleh, Shanti Faridah, Robiah Yunus, Mohd Farid Atan, dan Dyg Radiah Awg

Dokumen terkait