• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolat Cronobacter spp. yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat Cronobacter spp. normal YR t2a asal susu formula (Meutia 2008), DES c7 asal maizena (Gitapratiwi 2011), dan FWH c3 asal pati singkong (Hamdani 2012), serta mutan dari ketiga isolat tersebut yang telah dibuat oleh Nurjanah et al. (2012). Pemilihan ketiga isolat ini didasarkan pada sumber isolasinya. Dua isolat (DES c7 dan FWH c3) diisolasi dari sampel pati, sedangkan satu isolat dari susu formula (YR t2a) digunakan sebagai pembanding. Sumber isolasi dapat mempengaruhi ketahanan panas isolat. Sel mikroba yang sering terpapar stress ringan seperti perlakuan pemanasan menjadikan sel tersebut terbiasa dalam kondisi stress dan akan menjadi lebih resisten terhadap stress yang lebih tinggi (Yousef dan Juneja 2003).

Isolat mutan Cronobacter spp. yang digunakan memiliki kemampuan berfluoresens dan resisten terhadap ampisilin. Kemampuan tersebut dapat digunakan sebagai penanda dan penyeleksi selama pengujian sintas Cronobacter spp. karena mutan merupakan organisme atau sel yang telah mengalami perubahan fenotip akibat dari proses mutasi sehingga berbeda dari wild-type. Wild-type merupakan bentuk umum yang ditemukan di alam atau stok laboratorium standar (Griffiths et al. 2000). Oleh sebab itu, mikroorganisme yang teramati saat pengujian sintas pada

29 pembuatan maizena benar-benar mikroorganisme yang diinokulasikan pada awal proses yaitu mutan Cronobacter spp., bukan Cronobacter spp. atau mikroorganisme lain yang secara alami terdapat pada bahan baku proses.

Sebelum isolat mutan Cronobacter spp. digunakan pada pengujian sintas selama perendaman jagung dan pengeringan maizena, perlu dilakukan penentuan metode deteksi mutan

Cronobacter spp. yang terbaik. Pada penentuan metode deteksi ini, hal yang pertama dilakukan adalah menentukan konsentrasi ampisilin pada media yang akan digunakan sebagai media pertumbuhan inokulum dan media penghitungan. Tahap ini juga bertujuan membandingkan resistensi ampisilin isolat normal dan mutan Cronobacter spp, serta kultur kapang (A. flavus, A. niger, F. oxysporum), khamir (K. ohmeri, C. krusei, C. zeylanoides), BAL (Pediococcus, L. plantarum, L. lactis, L.brevis), dan kultur campuran. Kultur kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran diperoleh dari fermentasi spontan perendaman jagung (Rahmawati et al. 2012) dan dapat dijadikan sebagai simulasi keragaman mikroorganisme pada jagung saat pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung. Konsentrasi ampisilin yang digunakan adalah 0 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, dan 100 μg/ml media TSA (Tryptone Soy Agar).

Gambar 14. Grafik intensitas pertumbuhan isolat normal dan mutan Cronobacter spp. pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin. 0 = - = tidak ada koloni, 1= + = sangat sedikit, 2= ++ = sedikit, 3= +++ = agak banyak, 4= ++++ = banyak, 5= +++++ = sangat banyak.

Gambar 14 menunjukkan bahwa isolat mutan YR t2a dan mutan FWH c3 dapat dibedakan dari isolat normalnya karena dapat bertahan pada media TSA hingga konsentrasi ampisilin 100 µg/ml. Hal ini disebabkan pGFPuv yang disisipkan mengandung gen Ampr yang menyandikan enzim β-lactamase. Enzim ini dapat menghidrolisis ampisilin sehingga tidak mengganggu pembentukan ikatan silang pada dinding sel bakteri (Haddix et al. 2000). Sementara isolat normal

Cronobacter spp. tidak dapat tumbuh pada media TSA yang mengandung ampisilin. Ketidaktahanan isolat normal Cronobacter spp. terhadap ampisilin disebabkan oleh kemampuan ampisilin dalam menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena

0 1 2 3 4 5 0 µg/ml 25 µg/ml µg/ml50 75 µg/ml 100 µg/ml Intensitas koloni yang tumbuh Konsentrasi ampisilin normal DES c7 mutan DES c7 normal FWH c3 mutan FWH c3 normal YR t2a mutan YR t2a

30 tekanan osmotik internal yang tinggi (Haddix et al. 2000). Ketidaktahanan isolat normal

Cronobacterspp. pada media ampisilin juga sesuai dengan pernyataan Farmer et al. (1980), yaitu

Cronobacter spp. tidak tahan terhadap antibiotic ampisilin, gentamisin, kanamisin, dan kloramfenikol.

Sementara isolat mutan DES c7 hanya dapat tumbuh hingga konsentrasi ampisilin 25

μg/ml dengan intensitas banyak dan pada konsentrasi ampisilin di atas 25 μg/ml, isolat mutan DES c7 tidak dapat tumbuh lagi. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan proses transformasi yang dilakukan pada isolat DES c7 tidak berhasil sehingga isolat tersebut masih memiliki karakteristik seperti isolat normal. Hal ini disebabkan berdasarkan Gambar 14, isolat normal DES c7 juga masih dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 25 μg/ml, meskipun intensitas koloninya sangat sedikit. Kuzina et al. (2001) pernah mengidentifikasi Cronobacter spp. yang diisolasi dari usus lalat buah Meksiko tahan terhadap ampisilin, cephalothin, eritromisin, novobiosin, dan penisilin. Dennison dan Morris (2002) juga melaporkan bahwa ada infeksi

Cronobacter spp. yang resisten terhadap antibiotik ampisilin.

Gambar 15. Grafik intensitas pertumbuhan kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin. 0 = - = tidak ada koloni, 1= + = sangat sedikit, 2= ++ = sedikit, 3= +++ = agak banyak, 4= ++++ = banyak, 5= +++++ = sangat banyak.

Resistensi kapang (A. flavus, A. niger, F. oxysporum), khamir (K. ohmeri, C. krusei, C. zeylanoides), BAL (Pediococcus, L. plantarum, L. lactis, L.brevis), dan kultur campuran terhadap ampisilin dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 menunjukkan bahwa kultur campuran memiliki intensitas tumbuh sangat banyak pada media yang tidak mengandung ampisilin, namun masih dapat bertahan pada konsentrasi ampisilin hingga konsentrasi 100 μg/ml dengan intensitas agak banyak. Berdasarkan hasil tersebut, berarti ada organisme pada kultur campuran yang tidak tahan terhadap ampisilin karena adanya penurunan intensitas koloni yang tumbuh dari konsentrasi ampisilin 0 μg/ml ke 25 μg/ml. Karena berdasarkan Gambar 15 kapang dan khamir tidak mengalami penurunan intensitas koloni hingga konsentrasi ampisilin 100 μg/ml, maka disimpulkan bahwa organisme pada kultur campuran yang tidak tahan terhadap ampisilin adalah

0 1 2 3 4 5 0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml Intensitas koloni yang tumbuh Konsentrasi ampisilin Kultur campuran Kapang Khamir BAL

31 sebagian BAL. Hal ini disebabkan pada konsentrasi ampisilin 25-100 μg/ml, intensitas koloni BAL menurun menjadi agak banyak.

Menurut Pearlman (1979), ampisilin tidak efektif terhadap kapang dan khamir. Sementara untuk kultur BAL yang semuanya merupakan bakteri gram positif, ada beberapa yang sensitif dan ada juga yg resisten terhadap ampisilin. Hartanti (2007) menyatakan bahwa Pediococcus, tahan terhadap ampisilin, sedangkan Lactobacillus rhamnosus sensitif terhadap ampisilin. Hummel et al. (2007) juga menyatakan bahwa resistensi ampisilin tidak terjadi pada Lactobacillus, S. thermophilus, dan Leuconostoc. Ketidaktahanan beberapa BAL terhadap ampisilin disebabkan oleh mekanisme ampisilin yang bekerja menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena tekanan osmotik internal yang tinggi (Haddix et al. 200). Sementara adanya BAL yang tahan terhadap ampisilin dapat disebabkan oleh degradasi enzimatis senyawa antibiotik sehingga tidak dapat kontak dengan senyawa target, perubahan protein bakteri yang menjadi target antibiotik tersebut, atau perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotik tersebut (Dever dan Dermody 1991).

Oleh karena resistensi ampisilin isolat mutan DES c7 rendah, maka isolat mutan yang digunakan pada tahap penelitian selanjutnya adalah mutan YR t2a dan mutan FWH c3. Kedua isolat ini masih dapat bertahan pada media yang mengandung ampisilin hingga konsentrasi 100

μg/ml dengan intensitas pertumbuhan yang tetap. Sebenarnya konsentrasi ampisilin 25 μg/ml sudah cukup dapat membedakan isolat mutan YR t2a dan FWH c3 dengan isolat normalnya. Oleh karena Clontech USA menyatakan bahwa konsentrasi ampisilin yang direkomendasikan adalah 100 μg/ml, maka konsentrasi ampisilin yang digunakan untuk keperluan tahap penelitian selanjutnya adalah 100 μg/ml. Kemudian karena hingga konsentrasi ampisilin 100 µg/ml kultur kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran yang menjadi simulasi keragaman mikroorganisme pada jagung masih dapat tumbuh, maka pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung, jagung diklorinasi terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal. Sementara untuk pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pengeringan maizena, air dan maizena yang akan digunakan sebagai sampel dapat disterilisasi terlebih dahulu secara terpisah menggunakan autoklaf sebelum diinokulasi oleh mutan Cronobacter spp.

2. Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum

Setelah konsentrasi ampisilin ditentukan, tahap selanjutnya adalah menentukan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum terbaik yang dapat mempertahankan karakteristik fenotip dari isolat mutan. Gambar 16 menunjukkan bahwa inokulum kedua isolat mutan yang dipupuk dengan metode permukaan memiliki persentase koloni berpendar yang lebih tinggi (99.98% - 100%) dibandingkan dengan metode tuang (78.27% - 91.48%), baik inokulum dari media pertumbuhan BHI maupun BHI+A. Sebagai contoh, isolat mutan YR t2a yang dipupuk dari BHI+A dengan metode permukaan memiliki 99.98% koloni berpendar, sedangkan dengan metode tuang hanya memiliki persentase 89.75% koloni berpendar. Hal ini disebabkan dengan metode permukaan, intensitas fluoresens koloninya sangat jelas terlihat karena kromofor pada GFPuv terpapar secara langsung dengan lampu UV. Sementara dengan metode tuang, koloni yang tumbuh di bawah permukaan agar tampak kecil sehingga sulit dilihat intensitas flouresennya ketika diamati di bawah lampu UV. Hal ini dapat mengakibatkan kesalahan negatif dimana koloni yang sebenarnya berasal dari sel bakteri yang mengandung pGFPuv terlihat tidak menyandikan protein GFPuv.

32 Gambar 16. Grafik perbandingan persentase koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan tuang dan permukaan

Perbandingan viabilitas isolat mutan antar media pertumbuhan inokulum dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 menunjukkan bahwa inokulum mutan YR t2a yang ditumbuhkan di media BHI yang ditambah ampisilin 100 µg/ml (BHI+A) memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi (8.07 log CFU/ml) dibandingkan dengan inokulum yang ditumbuhkan di media BHI tanpa ampisilin (6.70 log CFU/ml). Inokulum mutan FWH c3 yang ditumbuhkan di media BHI+A juga memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi (9.66 log CFU/ml) dibandingkan dengan inokulum yang ditumbuhkan di media BHI saja (5.60 log CFU/ml). Hal ini disebabkan pada media BHI+A telah terjadi seleksi antibiotik dimana pada media tersebut sel bakteri memerlukan enzim β-lactamase yang disandikan oleh gen Ampr pada pGFPuv untuk mendegradasi ampisilin. Oleh sebab itu, gen GFPuv yang juga terdapat pada pGFPuv ikut terekspresikan yang mengakibatkan koloni yang tumbuh berfluoresens saat diamati di bawah UV. Sementara pada media BHI yang tidak mengandung ampisilin, tidak terjadi seleksi antibiotik sehingga ada sel bakteri yang tidak mengandung plasmid yang ditransformasikan. Oleh sebab itu, pada sel tersebut gen penyandi GFPuv tidak terekspresikan dan ketika GFPuv tidak diproduksi, koloni bakteri akan memiliki fenotip seperti wild-type yaitu tidak berfluoresens (Micklos et al. 2003). Berdasarkan hasil tersebut, pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung dan pengeringan maizena, inokulum ditumbuhkan pada media BHI yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (BHI+A). Kemudian media penghitungan yang digunakan adalah TSA yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (TSA+A) dengan metode pemupukan permukaan. 80.77 89.75 78.27 91.48 99.98 99.98 100 100 0 20 40 60 80 100 120

BHI BHI+A BHI BHI+A

mutan YR t2a mutan FWH c3

Persentase koloni fluoresens (% ) Inokulum Tuang Permukaan

33 Gambar 17. Grafik perbandingan viabilitas koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang

ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan permukaan

C. PENGUJIAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. SELAMA PEMBUATAN

Dokumen terkait