• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Plantaricin

PATOGEN GRAM POSITIF

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3) Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Plantaricin

Presipitasi Amonium Sulfat. Purifikasi parsial bakteriosin dilakukan pada supernatan bebas sel dari L. plantarum (1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12) pada pH 5,8-6,2. Serbuk ammonium sulfat ditambahkan sebanyak 80% secara bertahap (20%, 40%, 60% dan 80%) ke dalam supernatan bebas sel yang telah disaring steril untuk menghasilkan endapan protein (presipitat bakteriosin), kemudian dihomogenkan perlahan dan distirer perlahan pada suhu 4 oC selama 2 jam. Pengecekan protein presipitat bakteriosin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-visible pada panjang gelombang 280 nm. Penghitungan padatan ammonium sulfat didasarkan pada Lampiran 6.

Dialisis. Dialisis dilakukan dengan tujuan menghilangkan garam amonium sulfat yang masih bercampur dengan presipitat bakteriosin. Buffer yang digunakan adalah buffer kalium fosfat (Campuran KH2PO4 dan K2HPO4 dengan konsentrasi tertentu) pH 6,8 dengan perbandingan 1: 1000 (1 bagian presipitat dan 1000 bagian buffer). Dialisis dilakukan dengan menggunakan membran dialisis diameter 20 µm pada buffer kalium phospat selama 12 jam dan dilakukan penggantian buffer sebanyak 2 kali (2 jam dan 4 jam) pada suhu 4 oC. Setelah selesai, didapatkan ekstrak kasar

14 bakteriosin yang disebut plantaricin kasar. Pengecekan protein plantaricin hasil dialisis diamati pada alat spektrofotometer UV-visible (panjang gelombang 280 nm). Purifikasi Menggunakan Kromatografi Pertukaran Kation. Resin yang digunakan adalah SP Sepharose Fast Flow dengan kolom terbuka (open column) Econo-Column Bio-Rad. Kolom terlebih dahulu diisi dengan resin SP Sepharose Fast Flow. Buffer yang digunakan adalah buffer potassium fosfat pH 6. Kolom terlebih dahulu dipasangkan pada penjepit bunsen kemudian buffer dituangkan ke dalam kolom. Setelah itu buffer dibuang secara perlahan. SP Sepharose secara perlahan dengan menggunakan pipet Pasteur dimasukkan ke dalam kolom, dan dijaga supaya tidak ada udara yang masuk ke dalam kolom. Selanjutnya resin akan menjadi gel. Kemudian di atas resin diberikan buffer dan kolom disimpan pada suhu dingin sampai siap untuk digunakan (Hata et al., 2010).

Plantaricin kasar hasil dialisis dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan, dan di bawah kolom diberikan tabung penampung eluent yang keluar dari kolom. Eluent pertama adalah buffer, sedangkan yang berikutnya adalah sampel plantaricin murni. Kecepatan alir yang diberikan adalah 0,8 ml/menit. Setelah selesai, dilakukan pencucian dengan buffer kembali dan ditampung untuk mengambil eluent yang terikat pada gel. Setelah selesai dalam beberapa tabung koleksi didapatkan eluent yang berisikan plantaricin murni. Plantaricin murni disimpan pada suhu dingin (4 o

C) dan selanjutnya siap untuk dianalisis sifat dan karakteristiknya (Hata et al., 2010). Pengecekan protein plantaricin hasil kromatografi kolom diamati dengan menggunakan spektrofotometer UV-visible (panjang gelombang 280 nm).

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Plantaricin. Minimum inhibitory

concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikrob yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang telah ditentukan (Kubo et al., 1993). Tahapan penentuan MIC dengan metode kontak meliputi:

1. Persiapan Kombinasi Perlakuan antara Konsentrasi Plantaricin, Larutan Pengencer dan Bakteri Patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus.

Kombinasi perlakuan antara plantaricin dari empat strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12, larutan pengencer Nutrient Broth (NB) dan bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus disiapkan dalam konsentrasi tertentu. Bakteri

15 patogen dengan jumlah ± 104 cfu/ml diinokulasikan ke dalam masing-masing kombinasi perlakuan yang telah disiapakan kemudian dihomogenkan. Kombinasi perlakuan tersebut dapat dilihat seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Kombinasi Penentuan MIC Plantaricin

Konsentrasi Plantaricin (% v/v) Plantaricin (µl) Pengencer NB (µl) Bakteri Patogen (µl) 0 - 117 13 80 104 13 13 90 117 0 13 95 123,5 0 6,5 97 126,1 0 3,9 99 128,7 0 1,3

2. Penentuan MIC Plantaricin dari L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 Melawan Bakteri Indikator S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus.

Semua kombinasi perlakuan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Evaluasi dilakukan dari setiap kombinasi perlakuan pada media Nutrient Agar (NA). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan pengenceran hingga beberapa seri tertentu yang kemudian dipupukkan dengan metode tuang sesuai dengan media tumbuh bakteri patogen yaitu: Nutrient Agar (NA) untuk S. aures dan B. cereus. Setelah dipupukkan, lalu cawan diinkubasi kembali pada suhu 37 oC selama 24 jam. Perhitungan nilai MIC dilakukan yaitu aerobic plate count (APC) dengan melihat bakteri patogen yang tumbuh pada masing-masing kombinasi perlakuan. Formula penentuan jumlah koloni pada setiap perlakuan dengan jumlah koloni antara 25-250 cfu/ml adalah:

N = x d

Keterangan :

N = nilai koloni per ml atau per gram dari masing-masing kombinasi perlakuan

∑C = jumlah seluruh koloni pada seluruh cawan yang dihitung n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung

n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = nilai pengencer dari pengenceran pertama yang dihitung

Nilai koloni per ml dari masing-masing kombinasi perlakuan yang didapatkan diubah ke dalam bentuk log cfu/ml sehingga dapat ditentukan nilai MIC yakni

16 dengan melihat berapa penurunan jumlah bakteri patogen pada masing-masing kombinasi dibagi dengan jumlah bakteri patogen pada kombinasi 0% dan dikalikan dengan 100%. Nilai MIC ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan dengan konsentrasi bakteriosin parsial terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan dan analisis data meliputi perlakuan dan model rancangan yang digunakan. Rancangan dan analisis data yang digunakan adalah menentukan aktifitas penghambatan supernatan bebas sel asal L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12, serta menentukan nilai MIC plantaricin asal L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12. Aktivitas Penghambatan Supernatan Bebas Sel Asal L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial, faktor perlakuan A (jenis strain L. plantarum) yang terdiri dari empat taraf strain 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 dan faktor perlakuan B (jenis bakteri patogen) yang terdiri dari dua taraf (S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus). Perlakuan terdiri dari tiga kali ulangan untuk pembentukan aktifitas penghambatan awal dari supernatan bebas sel. Model statistika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut :

Yijk= µ + Ai + Bj + (AB)ij+ εijk Keterangan :

Yijk = Diameter zona hambat yang dihasilkan

µ = Rataan nilai diameter zona hambat supernatan bebas sel Ai = Pengaruh plantaricin pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4) Bj = Pengaruh bakteri patogen taraf ke-j (j = 1, 2)

(AB)ij = Pengaruh interaksi plantaricin taraf ke-i dengan bakteri patogen taraf ke-j εijk = Pengaruh galat percobaan yang berasal dari perlakuan A taraf ke i dan perlakuan B taraf ke j pada ulangan ke k

Peubah yang diamati adalah pembentukan zona hambat supernatan bebas sel asal empat strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 terhadap bakteri patogen Gram positif S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus. Data yang diperoleh dianalisis

17 dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA). Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1995).

Nilai MIC Plantaricin Asal L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL), faktor perlakuan jenis strain L. plantarum yang berbeda terdiri dari strain 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 dengan tiga kali ulangan. Peubah yang diamati adalah nilai MIC senyawa plantaricin. Model statistika yang digunakan dalam penelitian ini menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut :

Yij= µ + Ai+ εij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan MIC

µ = Nilai tengah umum MIC plantaricin

αi = Pengaruh perlakuan galur L. plantarum pada taraf ke i (i = 1, 2, 3, 4)

εij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke i pada ulangan ke j

Nilai minimum inhibitory concentration (MIC) atau konsentrasi minimum penghambatan plantaricin yang dihasilkan disajikan secara deskriptif.

18 HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakteriosin adalah antimikrob yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL). Kelompok bakteri ini merupakan salah satu dari kelompok bakteri yang menghasilkan antimikrob dalam jumlah yang cukup banyak. Fardiaz (1992) menyatakan antimikrob adalah senyawa kimiawi atau biologis yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Plantaricin adalah senyawa bakteriosin yang diproduksi dari L. plantarum dan memiliki aktivitas antimikrob terhadap bakteri pembusuk dan patogen pada makanan. Pada penelitian ini plantaricin diproduksi dari empat strain L. plantarum yakni L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12. Penelitian ini dilakukan meliputi pembiakan kembali strain-strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 serta bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B cereus selanjutnya dilakukan uji kemurnian bakteri melalui uji pewarnaan Gram, uji penghambatan supernatan bebas sel dan penentuan nilai MIC plantaricin.

Konfirmasi Kemurnian Strain L. plantarum dan Bakteri Patogen

Persiapan strain bakteri merupakan kegiatan yang sangat penting dari rangkaian penelitian, sebab identifikasi awal bakteri akan memudahkan pengecekan kemurnian bakteri yang digunakan. Identifikasi bakteri diuji terhadap keempat strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 serta bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus. Strain bakteri yang digunakan berasal dari penelitian sebelumnya. Strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 disegarkan dalam media MRSB sedangkan bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus disegarkan dalam media Nutrient Broth (NB). Hasil pengecekan strain-strain bakteri yang digunakan menunjukkan bahwa bakteri tidak tercemar dan dapat digunakan untuk perlakuan selanjutnya.

Morfologi strain L. plantarum dan bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus yang telah diamati selanjutnya dilakukan pengujian pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram dilakukan untuk mengetahui karakteristik morfologis dan kemurnian strain bakteri yang akan digunakan. Waluyo (2008) menyebutkan tujuan pewarnaan bakteri yakni : (a) Memudahkan melihat mikroba dengan mikroskop; (b) Memperjelas ukuran dan bentuk mikroba; (c) Melihat struktur luar dan struktur dalam bakteri, seperti dinding sel dan vakuola; (d) Menghasilkan sifat-sifat fisik dan

19 kimia khas dari bakteri dengan zat warna. Bentuk dan morfologi bakteri ini dapat dilihat secara mikroskopis menggunakan mikroskop, keempat strain bakteri L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. Morfologi L. plantarum (a) 1A5; ( b) 1B1; (c) 2B2; (d) 2C12

Hasil pengujian pewarnaan Gram Gambar 1 menunjukkan bahwa keempat strainL. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 merupakan bakteri dengan perwarnaan Gram positif berbentuk batang atau bacil. Hal ini membuktikan bahwa keempat strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 merupakan strain yang murni yang sesuai dengan penelitian Firmansyah (2009).

Bakteri patogen uji yang digunakan pada penelitian ini adalah bakteri patogen Gram positif S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus. Pemilihan kedua jenis bakteri ini tepat karena melihat keberadaannya di alam sangat banyak dan berpeluang sangat besar mencemari produk makanan, Buckle et al. (1987) menjelaskan secara ekologis S. aureus erat sekali hubungannya dengan manusia dan hewan lainnya, terutama pada bagian kulit, hidung dan tenggorokan, dengan demikian makanan kebanyakan tercemar melalui pengolahan oleh manusia, Fardiaz (1992) menjelaskan kebanyakan S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Gaman

20 dan Sherington (1992) menjelaskan B. cereus terdapat di tanah, debu dan air sering juga ditemukan pada pangan serealia, terutama pada beras dan tepung jagung. B. cereus juga menyebabkan keracunan makanan pada manusia karena membentuk spora dan memproduksi eksotoksin yang dilepaskan ke pangan. Selain itu, kedua bakteri uji ini merupakan bagian dari kelompok bakteri Gram positif yang memiliki kekerabatan dengan bakteri asam laktat (BAL) penghasil senyawa plantaricin sehingga dapat dilihat interaksi aktifitas antagonistiknya. Karakteristik bakteri indikator ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Bakteri Patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus

Bakteri Patogen Pewarnaan Gram Morfologi

B. cereus Gram Positif Batang, susunan tunggal maupun rantai pendek S. aureus ATCC 25923 Gram Positif Bulat, bergerombol seperti

buah anggur

Pengujian pewarnaan Gram pada bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus menunjukkan bahwa bakteri tidak tercemar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckle et al. (1987) sel-sel S. aureus adalah Gram positif berbentuk bola yang umumnya tersusun berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini tidak bergerak, fakultatif anaerob dan dapat tumbuh pada produk-produk yang mengandung NaCl sampai 16%. Pelczar dan Rheid (1986) menyebutkan Bacillus cereus berbentuk batang berukuran 0,3-2,2 x 1,27-7,0 µm, sebagian besar motil dengan flagellum khas lateral. Gaman dan Sherington (1992) menjelaskan, sel-sel B. cereus berbentuk batang dan umumnya cukup besar, merupakan Gram positif, sering bergerak dengan flagella peritrichous, bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik atau katalase positif.

Aktivitas Antimikrob Supernatan Bebas Sel Empat Strain L. plantarum

terhadap Bakteri Patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus

Produksi bakteriosin dari L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 meliputi proses purifikasi parsial menggunakan presipitasi amonium sulfat, dialisis dan purifikasi menggunakan kromatografi pertukaran kation. Sebelum dilakukan tahap purifikasi parsial, terlebih dahulu dilakukan penumbuhan bakteri L. plantarum pada media MRSB. Kondisi bakteri di laboratorium ditumbuhkan pada media monokultur

21 dan pada kondisi mudah stres karena kelebihan nutrisi sehingga mempermudah pelepasan bakteriosin (Riley dan Chavan, 2007). Penambahan Yeast Extract (YE) dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi mutacin, glukosa berpengaruh terhadap penahanan katabolit dari bakteriosin streptococcal dan ion magnesium ditambahkan untuk menahan ekspresi lantibiotik (Riley dan Chavan, 2007). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tingkat sumber karbon, nitrogen, dan fosfat yang terdapat dalam media (Matsuaki et al.,1996). Sehingga dalam penelitian ini penggunaan media MRSB dan penambahan Yeast Extract (YE) sangat diperhatikan sebab sangat mempengaruhi produksi bakteriosin.

Strain L. plantarum dalam media MRSB disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4 °C. Supernatan bebas sel yang terbentuk disaring dengan menggunakan kertas saring 0,22 µm agar tidak ada sel yang tertinggal dalam supernatan. Kemudian supernatan dinetralkan pHnya dengan menambahkan NaOH 1 N yang sudah disterilisasi dingin. Supernatan bebas sel merupakan produk metabolit dari L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 namun masih mengandung senyawa lain seperti asam organik sehingga perlu dinetralkan pHnya agar tidak terdapat pengaruh asam organik yang tertinggal. Asam-asam organik yang terdapat dalam supernatan bebas sel ditambahakan dengan basa NaOH

1 N akan menghasilkan garam dan air (Asam + Basa → Garam + Air ). Supernatan bebas sel dinetralkan hingga mencapai pH 6. Nilai pH supernatan bebas sel sebelum dan sesudah dinetralkan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai pH Supernatan Bebas Sel

Strain L. plantarum Supernatan Bebas Sel Supernatan Bebas Sel Netral

1A5 4,01 ± 0,04 6,11 ± 0,34

1B1 3,94 ± 0,11 5,87 ± 0,12

2B2 4,00 ± 0,02 6,17 ± 0,31

2C12 3,98 ± 0,01 6,04 ± 0,16

Nilai pH pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kisaran pH supernatan bebas sel keempat strain L. plantarum sebelum dinetralkan berada pada kisaran pH 3,94 - 4,01. Penetralan pH terhadap supernatan bebas sel diperoleh nilai pada kisaran pH 5.8 - 6.17. Menurut Permanasari (2008), identifikasi keberadaan bakteriosin dalam

22 supernatan bebas sel dapat dilakukan dengan beberapa pengujian, antara lain dengan menetralkan pengaruh asam dalam supernatan dengan penambahan buffer pH 6.0, menambahkan enzim proteolitik dan melakukan uji stabilitas melalui pemanasan.

Keberadaan senyawa plantaricin asal L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 dapat diketahui dengan melakukan uji difusi sumur pada supernatan bebas sel netral. Zona hambat yang terbentuk menunjukkan adanya aktivitas penghambatan supernatan bebas sel netral terhadap bakteri uji S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus, hal ini mengindikasikan bahwa sampel tersebut mengandung senyawa antimikrob plantaricin. Zona hambat yang terbentuk akibat efek supernatan bebas sel terhadap bakteri patogen dapat dilihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

Gambar 2. Zona Hambat Supernatan Bebas Sel Netral terhadap Bakteri Patogen (a) B. cereus; (b) S. aureus ATCC 25923

Aktivitas penghambatan yang terbentuk di sekeliling sumur menunjukkan efek penghambatan terhadap bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikrob yaitu dengan cara merusak dinding sel sehingga lisis maupun mengubah atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang yang sedang tumbuh, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam

23 sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Rheid, 1986). Beberapa cara antimikrob dalam aksinya melawan mikroorganisme yaitu memberikan efek bakteriostatik dan bakterisidal (Gonzales et al., 1996). Jika dilihat dari aktivitas penghambatan yang terbentuk terhadap kedua bakteri patogen, efek supernatan bebas sel memberikan efek baktriostatik, artinya kedua bakteri patogen dihambat pertumbuhan atau metabolisme selnya karena adanya aktivitas pengrusakan dinding sel oleh preotein bakteriosin. Aktivitas penghambatan yang terbentuk dari supernatan bebas sel netral asal empat strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 terhadap bakteri patogen S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus digambarkan dengan pembentukan zona hambat, pada Tabel 4 ditunjukkan pembentukan zona hambatnya. Tabel 4. Aktivitas Penghambatan Supernatan Bebas Sel Empat Strain L. plantarum terhadap Bakteri Patogen S. aureus dan B. cereus dalam Pembentukan Daerah Zona Hambat

Strain L. plantarum Bakteri Patogen Rataan S. aureus ATCC 25923 B. cereus --- (mm) --- 1A5 7,64± 0,12A 7,17 ± 0,15AB 7,40 ± 0,13A 1B1 7,78 ± 0,28A 7,23 ± 0,20AB 7,50 ± 0,24A 2B2 7,57 ± 0,38A 7,60 ± 0,22A 7,58 ± 0,30A 2C12 6,08 ± 0,10C 6,79 ± 0,27B 6,43 ± 0,18B

Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda (A, B) pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh sangat nyata (p < 0,01), zona hambat termasuk diameter sumur (5 mm).

Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan diameter zona hambat yang dihasilkan supernatan bebas sel terhadap kedua bakteri patogen cukup kecil sebab besarnya nilai zona hambat belum dikurangi dengan diameter sumur sebesar 5 mm. Davis dan Stout (1971) menjelaskan pembentukan daerah hambat lebih dari 20 mm dikategorikan sangat kuat, 10 sampai 20 mm dikatakan kuat, 5 sampai 10 mm disebut sedang dan pembentukan daerah hambat kurang dari 5 mm dikatakan lemah. Merunut pernyataan Davis dan Stout (1971) aktivitas penghambatan yang dihasilkan supernatan bebas sel terhadap kedua bakteri patogen tergolong kecil. Hal ini disebabkan yang berperan pada penghambatan bakteri patogen oleh supernatan bebas sel hanya substrat bakteriosin saja. Proses penetralan supernatan bebas sel

24 mengakibatkan asam-asam organik yang ada pada substrat tidak memberilkan efek penghambatan terhadap bakteri patogen. Jika efek asam organik diperlakukan maka nilai penghambatan bisa lebih tinggi dari nilai penghambatan pada Tabel 4. Vuys dan Vandamme (1994) menjelaskan, jumlah asam organik sebagai hasil metabolit sekunder yang lebih banyak daripada bakteriosin mempengaruhi nilai penghambatan terhadap bakteri indikator. Hasil uji analisis ragam pembentukan zona hambat keempat supernatan bebas sel terhadap bakteri patogen Gram positif S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus menunjukkan pengaruh sangat nyata (P<0,01) atau menunjukkan adanya interaksi antara supernatan bebas sel dan bakteri patogen dalam pembentukan daerah penghambatan. Supernatan bebas sel asal L. plantarum 1A5 dan 2B2 menunjukkan nilai interaksi yang sama dengan supernatan bebas sel asal L. plantarum 2B2 dalam pembentukan daerah penghambatan pada uji difusi sumur terhadap bakteri B. cereus. Supernatan bebas sel asal L. plantarum 2C12 menunjukkan nilai interaksi yang sama dengan supernatan bebas sel asal L. plantarum 1A5 dan 1B1 tetapi berbeda dengan L. plantarum 2B2 dalam pembentukan daerah penghambatan pada uji difusi sumur terhadap bakteri B. cereus. Ketiga supernatan bebas sel asal L. plantarum 1A5, 1B1 dan 2B2 menunjukkan nilai interaksi yang sama dalam pembentukkan daerah penghambatan pada uji difusi sumur terhadap bakteri S. aureus ATCC 25923 namun nilainya berbeda dengan supernatan bebas sel asal L. plantarum 2C12. Hasil uji analisis ragam nilai aktivitas penghambatan supernatan bebas sel terhadap keempat strain L. plantarum memiliki pengaruh sangat nyata (P<0,01). Artinya keempat supernatan bebas sel asal empat L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 memberikan pengaruh terhadap pembentukan daerah hambat pada uji difusi sumur. Aktivitas penghambatan supernatan bebas sel dari L. plantarum 2C12 berbeda dengan supernatan bebas sel ketiga L. plantarum 1A5, 1B1 dan 2B2. Aktivitas penghambatan supernatan bebas sel dari L. plantarum 1B1 dan L. plantarum 2B2 serta L. plantarum 1A5 mempunyai pengaruh yang sama dalam pembentukkan zona penghambatan. Hasil uji antagonistik aktivitas penghambatan supernatan bebas sel menunjukkan bahwa strain L. plantarum tersebut memproduksi senyawa bakteriosin yang memiliki daya hambat terhadap bakteri patogen Gram positif S. aureus ATCC 25923 dan B. cereus.

25 Proses selanjutnya adalah purifikasi plantaricin terhadap supernatan bebas sel netral keempat strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12. Tahap pertama adalah purifikasi parsial menggunakan ammonium sulfat yang bertujuan untuk mengendapkan protein plantaricin. Proses Pada tahap ini dihasilkan presipitat bakteriosin dalam bentuk cairan pekat berwarna gelap. Proses purifikasi parsial menghasilkan presipitat bakteriosin, karena presipitat tersebut masih mengandung garam amonium sulfat maka kandungan garam tersebut dihilangkan pada proses dialisis. Amonium sulfat berfungsi mengendapkan protein yang terdapat pada substrat bakteriosin supernatan bebas sel netral. Protein bakteriosin yang dihasilkan pada tahap ini harus diuji keberadaannya. Salah satunya dengan mengukur konsentrasi protein bakteriosin menggunakan spektrofotometer UV. Selain itu bisa juga dilakukan uji antagonistik terhadap bakteri patogen. Jika dihasilkan zona hambat maka endapan protein tersebut merupakan bakteriosin. Proses ini dilakukan menggunakan membran dialisis dalam buffer potassium fosfat. Ammonium sulfat yang terkandung dalam presipitat akan diikat oleh buffer potassium fosfat sehingga dihasilkan plantaricin kasar tanpa garam ammonium sulfat. Plantaricin kasar berbentuk cairan pekat yang berwarna gelap.

Tahap terakhir dari produksi plantaricin adalah purifikasi kromatografi kolom. Proses ini menggunakan prinsip pertukaran kation. Resin yang terdapat di dalam kromatografi kolom memiliki muatan yang positif (kation). Ketika plantaricin kasar dilewatkan ke dalam kolom, muatan negatif atau anion yang ada pada plantaricin kasar ditangkap oleh kation resin. Proses hilangnya muatan negatif ini akan memurnikan plantaricin kasar menjadi plantaricin murni. Plantaricin murni bentuknya lebih cair daripada plantaricin kasar.

Plantaricin merupakan senyawa metabolit yang diproduksi dari L. plantarum. Klaenhammer et al. (1990), menyatakan bakteriosin merupakan protein atau peptida yang disintesa melalui ribosom yang dapat menghambat atau membunuh bakteri lain. Klaenhammer (1988), menyatakan bakteriosin yang mengandung protein kompleks, terdiri atas komponen kerbohidrat maupun lipid, contoh Plantarisin S yang mengandung glikoprotein. Senyawa protein dari plantaricin telah diukur konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotrometer UV-visible pada panjang

26 gelombang 280 nm yakni protein plantaricin kasar. Nilai konsentrasi protein tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Konsentrasi Protein Plantaricin

Strain L. plantarum Presipitat Bakteriosin (mg/ml) Plantaricin Kasar (mg/ml) Plantaricin Murni (mg/ml) L. plantarum 1A5 24,08 ± 0,50 56,65 ± 0,79 122,4 ± 30,06 L. plantarum 1B1 24,61 ± 1,95 71,19 ± 0,90 65,01 ± 3,570 L. plantarum 2B2 15,26 ± 2,79 44,59 ± 0,49 84,68 ± 13,86 L. plantarum 2C12 3,410 ± 1,38 0,965 ± 0,13 23,30 ± 5,720

Konsentrasi protein plantaricin diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 280 nm. Sudarmadji et al. (1989) menyatakan, kebanyakan protein mengabsorbsi sinar ultraviolet maksimum pada panjang gelombang 280 nm. Hal ini terutama oleh adanya asam amino tirosin triptophan dan fenilalanin yang ada pada protein tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absorbsi sinar UV adalah cepat, mudah dan tidak merusak bahan. Penggunaan spektrofotometer UV yang ditujukan untuk keperluan perhitungan diperlukan kurva standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi protein dengan OD.

Konsentrasi protein yang dihasilkan oleh strain L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 menunjukkan nilai konsentrasi yang semakin meningkat dari tahap presipitat bakteriosin, plantaricin kasar sampai tahap plantaricin murni. Hal ini mengindikasikan proses pemurnian plantaricin meningkatkan nilai konsentrasi dari proteinnya. Nilai konsentrasi protein plantaricin asal L. plantarum 2C12 pada tahap plantaricin kasar dan nilai konsentrasi protein plantaricin asal L. plantarum pada tahap plantaricin murni mengalamai penurunan, hal ini dapat terjadi disebabkan karena denaturasi protein. Sebagaimana telah dijelaskan tahapan proses ini dilakukan pada suhu yang telah dikondisikan dingin agar protein bakteriosin tidak terdenaturasi. Sunarya (2001) menyatakan, ikatan-ikatan kimia yang lemah pada

Dokumen terkait