• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

6.6. Penentuan Perubahan Parameter

Perubahan tingkat harga diaplikasikan hanya pada beberapa komiditas tanaman semusim. Hal tersebut didasarkan pada kondisi di lapangan bahwa keputusan merubah paket pola tanam relatif mudah terjadi pada pola tanam yang terdiri atas komoditas tanaman semusim. Jenis komoditas yang dipertimbangkan mengalami perubahan harga ditentukan secara sengaja dengan ketentuan: (1) komoditas yang menyusun paket pola tanam dengan erosi tinggi, dan (2) pada model dasar merupakan komoditas dari paket pola tanam yang terpilih sebagai keputusan optimal. Tingkat perubahan harga didasarkan pada rumus polinomial dari data primer yang dikumpulkan dari responden dan key informan. Data yang diakses adalah harga selama kurun waktu tiga tahun, yakni dari tahun 2000 hingga 2003. Disamping itu, dalam skenario perubahan harga komoditas didasarkan pada perubahan secara hipotetis. Harga kacang tanah diasumsikan pengalami penurunan sebesar 5%; sedangkan untuk tanaman sayuran sebesar 10% setiap tahun.

Suku bunga yang dipertimbangkan dalam perumusan model dasar ditentukan secara sengaja, yaitu sebesar 10%. Besaran tersebut relatif lebih kecil dari rata-rata suku bunga kredit untuk investasi pada Bank Persero dari tahun 1999 hingga 2003, yaitu sebesar 17.5%. Tingkat bunga yang diaplikasikan pada perumusan model post optimal adalah 5%. Hal tersebut didasarkan pada postulat dari perspektif ekonomi sumberdaya bahwa tingkat bunga yang lebih tinggi mendorong terjadinya eksplorasi sumberdaya alam lebih cepat (Pearce dan Turner, 1990; serta Soeparmoko, 1997); sedangkan orientasi kajian dalam disertasi ini adalah kelestarian sumberdaya.

Perubahan lahan hutan diwujudkan dalam bentuk menjumlahkan luas areal lahan hutan produktif yang ditanami sayuran pada luas areal hutan penyangga. Dengan demikian, massa sedimen yang berasal dari lahan hutan penyangga pada rumusan post optimal merupakan hasil perkalian luas hutan penyangga gabungan dengan tingkat erosi yang terjadi pada lahan hutan penyangga.

Sebagai data penunjang pembahasan, fenomena dinamika pengelolaan lahan pada berbagai pola tanam didekati dengan tingkat perubahan luas tanam dari komoditas yang membentuk pola tanam. Tingkat perubahan didasarkan pada rumus polinomial dari data luas panen tingkat kecamatan yang terdapat dalam satu wilayah sub-sub DAS (data BPS Dati II).

VII. ALOKASI INTERTEMPORAL

7.1. Pola Tanam Riil dan Hasil Optimasi

Dari 73 aktivitas alternatif (Tabel 13) yang dimasukan dalam perumusan optimasi dinamik model daerah tangkapan air (Model-DTA), dihasilkan 26 paket pola tanam sebagai aktivitas optimal. Dari setiap jenis klasifikasi fungsi lahan hanya terdapat satu paket pola tanam optimal (Tabel 14). Luas alokasi lahan pola tanam optimal tidak menunjukkan variasi menurut periode (tahun), serta sama dengan luas lahan yang tersedia. Nilai sekarang (present value atau PV) manfaat bersih DTA selama horizon waktu sebesar Rp 52.20 milyar; dengan rata-rata manfaat sosial bersih tahunan sebesar Rp 2.95 milyar. PV manfaat sosial bersih yang diperoleh dari aktivitas awal horizon waktu adalah Rp 5.70 milyar dan pada akhir horizon waktu sebesar Rp 1.23 milyar. Manfaat sosial bersih tersebut terdiri atas: (1) pendapatan total lahan budidaya intensif dari sub- sistem hulu waduk sebesar 69.12%, (2) nilai air baku (outflow) dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebesar 30.69%, dan (3) nilai air yang masih tertampung pada waduk pada akhir horizon waktu sebesar 0.29%.

Manfaat bersih dari sub-sistem hulu waduk diperoleh dari lahan budidaya intensif seluas 102 904 ha yang tersebar pada lima Sub-sub DAS (Tabel 14). Adapun manfaat bersih dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk berasal dari debit outflow optimal dari Waduk Sengguruh sebesar 26.74 m3/det dan Sutami sebesar 36.94 m3/det (Tabel 21); serta dari nilai volume air baku yang tertahan dalam waduk pada tahun 2020 sebesar 146 juta m3 (kolom 8 Tabel 24).

Kondisi optimal tersebut dipandang mampu menghasilkan manfaat sosial bersih yang lebih tinggi daripada kondisi yang ada (existing condition). Hal itu karena secara normatif: (1) paket pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal mempunyai pendapatan yang paling tinggi daripada pola tanam yang

diterapkan oleh masyarakat pada umumnya (Tabel 15), dan (2) lahan yang tersedia secara keseluruhan dialokasikan untuk pola tanam optimal. Sedangkan pada kondisi riil lahan yang tersedia dipergunakan untuk berbagai pola tanam (Tabel 14). Disadari bahwa pada penelitian ini belum menganalisis manfaat sosial bersih dari pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat secara riil; sehingga pada kesempatan ini belum bisa mendeskripsikan dengan baik perbedaan tingkat kesejahteraan antara kondisi optimal dan riil.

Paket pola pergiliran tanaman padi dan kubis (Pd-Pd-Sy) dipilih sebagai pola tanam optimal pada lahan sawah dengan klasifikasi kemiringan I (0–15%)

hampir di seluruh Sub-sub DAS. Pola tanam optimal tersebut secara riil diusahakan di seluruh Sub-sub DAS, hanya saja persentase luas arealnya relatif beragam. Dari sebaran luas areal berbagai pola tanam yang disajikan pada Lampiran 1 hingga Lampiran 5 dapat deskripsi bahwa pola tanam Pd-Pd-Sy pada Sub-sub DAS:

1. Bango merupakan pola tanam dominan (32.69%) pada lahan sawah I diantara pola tanam yang lain.

2. Sumber Brantas hanya mempunyai sebaran 16.11%, pola tanam dominan adalah Pd-Pd-Pd (63.08%).

3. Amprong dan Lesti hanya terdapat sekitar 3 hingga 4% dan lahan sawah klasifikasi I didominasi oleh pola tanam Pd-Pd-Pd (76 hingga 89%).

4. Metro merupakan pola tanam urutan ketiga (18.23%) setelah pola tanam Pd- Pd-Jg (37.39%); dan pola tanam dominan adalah Pd-Pd-Pd (42.57%).

Paket pola tanam Pd-Pd-Sy juga merupakan pilihan optimal untuk lahan sawah dengan klasifikasi kemiringan II (>15%); khususnya pada Sub-sub DAS Sumber Brantas. Sedangkan pola tanam optimal dari Sub-sub DAS Metro adalah paket tanaman tunggal Jeruk, karena di wilayah tersebut tidak terdapat pola

tanam Pd-Pd-Sy atau pola tanam optimal tersebut dipilih karena mempunyai pendapatan (net benefit) relatif paling besar.

Tabel 14. Paket Pola Tanam Optimal dan Luas Lahan Menurut Sub-sub DAS (ha)

Fs. Lahan,

Klasifikasi kelerengan Pola tanam

Notasi Sub-sub Daerah Aliran Sungai/DAS (k)*)

(i) (j) B S A L M Sawah I (0 – 15%) 1 (3 689) (16 095) (4 267) (14 548) (5 368) − Pd-Pd-Pd 1 − Pd-Pd-Jg 2 √ − Pd-Pd-Sy 3 √ √ - √ √ − Tebu 4 Sawah II (> 15%) 2 - (72) - - (94) − Pd-Pd-Jg 5 - - - − Pd-Pd-Sy 6 -- - - − Tebu 7 - - - − Jeruk 8 - - - √ Tegal I (0 – 15%) 3 (7 174) (4 939) (6 952) (7 992) (3 442) − Jg-Jg-Sy 9 √ √ √ − Pd-Jg-Kacang Tnh 10 − Kentang-Wortel 11 √ √ - - - − Tebu 12 Tegal II (> 15%) 4 (211) (628) - (835) (434) − Jg-Jg-Sy 13 - - √ √ − Pd-Jg-Kacang Tnh 14 √ - - − Kentang-Wortel 15 - - - - − Tebu 16 - - − Apel 17 - √ - - - Kebun I (0 – 15%) 5 (646) (1 856) (674) (6 050) (2 101) − Tebu 18 √ √ − Apel 19 √ √ - - - − Jeruk 20 - - - - √ − Kopi 21 - - - Kebun II ( > 15%) 6 (44) (3 015) (4 189) (7 250) (411) − Tebu 22 - √ − Apel 23 √ √ √ - - − Jeruk 24 - - - √ − Kopi 25 - - -

Keterangan: *) B = Bango, S = Sumber Brantas, A = Amprong, L = Lesti, M = Metro, ( √ ): pola tanam sebagai aktivitas optimal

Paket pola pergiliran tanaman Kentang dan Wortel merupakan pola tanam optimal pada lahan tegal dengan klasifikasi kemiringan I (0–15%). Paket pola tanam Jg-Jg-Sy dipilih sebagai pola tanam optimal pada wilayah yang tidak terdapat pola tanam Kentang-Wortel. Pada lahan tegal kemiringan II (>15%) terjadi tendensi yang sama seperti lahan tegal I, yakni pola tanam Jg-Jg-Sy

dipilih sebagai pola tanam optimal pada wilayah yang tidak terdapat pola tanam Kentang-Wortel. Apabila suatu wilayah tidak terdapat pola tanam Kentang- Wortel dan Jg-Jg-Sy; yang menjadi pola tanam optimal adalah pola pergiliran komoditas padi, jagung dan kacang tanah (Pd-Jg-Kacang Tanah).

Sementara itu, paket pola tanam optimal pada jenis lahan kebun didominasi oleh apel dan diikuti oleh tebu. Pada Sub-sub DAS Metro, tanaman jeruk lebih dipilih daripada tanaman tebu. Adapun pada Sub-sub DAS Sumber Brantas tanaman apel lebih dipilih daripada tanaman jeruk.

Dari persamaan fungsi tujuan nampak bahwa penetapan atau pemilihan aktivitas optimal ditentukan oleh manfaat bersih atau tingkat pendapatan setiap aktivitas paket pola tanam; dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh: (1) tingkat eros, (2) harga komoditas, dan (3) biaya dari setiap aktivitas pola tanam. Peran beberapa variabel tersebut dalam penentuan pola tanam optimal dapat dicermati dalam Tabel 15 dan 16.

Merujuk dalam satu klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan yang terdapat pada Tabel 15 dan 16, tampak bahwa pemilihan paket pola tanam optimal tidak selalu didasarkan pada tingkat pendapatan paling besar dengan tingkat erosi rendah, namun juga bisa terjadi pada tingkat pendapatan paling besar dengan tingkat erosi relatif paling tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada pola tanam optimal Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I (0–15%) dan Pd-Jg-Kacang Tanah pada lahan tegal kemiringan II (>15%) di wilayah Sub-sub DAS Bango. Hal yang sama juga terjadi pada Sub-sub DAS Lesti; yakni pola tanam Jg-Jg-Sy pada lahan tegal klasifikasi kemiringan I dan aktivitas pola tanam Tebu pada lahan kebun klasifikasi kemiringan II. Pola pergiliran tanaman jagung dan kubis (Jg-Jg-Sy) pada lahan tegal kemiringan I (0–15%) di wilayah Sub-sub DAS Lesti terpilih sebagai aktivitas optimal walaupun mempunyai tingkat relatif paling tinggi diantara aktivitas yang terdapat dalam klasifikasi lahan tersebut .

Tabel 15. Tingkat Pendapatan, Erosi dan Biaya Berbagai Paket Pola Tanam di Sub-Sub DAS Bango dan Sumber Brantas pada Awal Horizon Waktu

Fs. Lahan, Klas kelerengan , Pola tanam

Biaya Sub-sub DAS Bango Sub-sub DAS Sb. Brantas Penrm Pendpt Erosi Penrm Pendpt Erosi

. . . . (ribu Rp/ha) . . . . (ton/ha) (ribu Rp/ha) (ton/ha)

Sawah I (0– 5%) − Pd-Pd-Pd 9 996 29 895 19 901 0.50 29 830 19 834 0.50 − Pd-Pd-Jg 9 996 16 976 16 976 0.50 25 333 18 939 0.40 − Pd-Pd-Sy 11 416 51 554 51 554 0.60 61 399 49 983 0.50 − Tebu 9 679 7 754 7 754 6.10 16 962 7 282 6.20 Sawah II (>15%) − Pd-Pd-Jg 8 144 - - - 21 664 13 519 0.60 − Pd-Pd-Sy 13 763 - - - 55 469 41 706 0.80 − Tebu 6 380 - - - 13 499 7 118 5.04 − Jeruk 29 646 - - - 24 314 3 668 2.52 Tegal I (0–15%) − Jg-Jg-Sy 17 028 44 099 27 070 45.80 43 757 26 728 10.35 − Pd-Jg-Kc. Tnh 5 484 14 288 8 803 46.20 14 245 8 760 28.80 − Kentang-Wortl 43 800 112 854 69 053 46.06 111 805 68 004 19.70 − Tebu 7 051 13 410 6 358 7.07 13 396 6 344 34.00 Tegal II (>15%) − Jg-Jg-Sy 17 326 - - - 33 683 16 356 50.40 − Pd-Jg-Kc Tnh 5 187 12 303 7 116 81.7 12 374 7 187 37.10 − Kentang-Wortl 33 751 - - - 95 642 61 890 29.35 − Tebu 6 511 12 563 6 052 16.15 - - - − Apel 20 623 - - - 84 749 64 126 13.30 Kebun I (0–15%) − Tebu 7 051 13 410 6 358 5.33 13 396 6 344 3.80 − Apel 36 465 95 139 58 673 2.65 95 073 58 608 2.98 − Jeruk 19 263 - - - − Kopi 1 390 - - - Kebun II ( >15%) − Tebu 6 511 12 563 6 052 19.85 - - - − Apel 20 623 99 070 78 447 9.90 83 822 63 199 6.20 − Jeruk 13 386 - - - 65 824 52 438 6.20 − Kopi 1 120 - - -

Sumber: Olahan data

Pada Tabel 15 dan 16 juga terdapat tendensi bahwa jenis paket pola tanam optimal dari satu klasifikasi lahan yang sama cenderung tidak bervariasi antar wilayah. Hal tersebut diduga karena biaya aktivitas per hektar tidak berbeda antar Sub-sub DAS.

Tabel 16. Tingkat Pendapatan, Erosi dan Biaya Berbagai Paket Pola Tanam di Sub-Sub DAS Lesti dan Metro pada Awal Horizon Waktu

Fs. Lahan,

Klas kelerengan , Biaya

Sub-sub DAS Lesti Sub-sub DAS Metro Penrm Pendpt Erosi Penrm Pendpt Erosi

Pola tanam . . . . (ribu Rp/ha) . . . . (ton/ha) (ribu Rpha) (ton/ha) Sawah I (0–15%) − Pd-Pd-Pd 9 996 29 815 19 818 0.50 29 769 19 773 0.50 − Pd-Pd-Jg 9 996 23 307 16 914 0.50 24 096 17 702 0.50 − Pd-Pd-Sy 11 416 62 500 51 083 0.60 61 068 49 651 0.50 − Tebu 9 679 17 414 7 734 4.30 16 947 7 267 6.30 Sawah II (>15%) − Pd-Pd-Jg 8 144 - - - 21 623 13 478 0.20 − Pd-Pd-Sy 13 763 - - - − Tebu 6 380 - - - 13 499 7 104 17.16 − Jeruk 29 646 - - - 69 717 49 071 7.40 Tegal I (0–15%) − Jg-Jg-Sy 17 028 43 680 26 651 20.00 43 461 26 432 48.80 − Pd-Jg-Kc. Tnh 5 484 14 235 8 750 17.20 14 205 8 720 25.65 − Kentang-Wortl 43 800 - - - − Tebu 7 051 89 281 6 340 8.27 186 456 179 404 26.20 Tegal II (>15%) − Jg-Jg-Sy 17 326 46 242 28 916 9.60 33 386 16 060 29.00 − Pd-Jg-Kc Tnh 5 187 12 259 7 072 130.20 - - - − Kentang-Wortl 33 751 - - - − Tebu 6 511 12 546 6 034 37.20 12 536 6 024 36.30 − Apel 20 623 - - - Kebun I (0–15%) − Tebu 7 051 13 392 6 340 3.80 13 382 6 330 13.80 − Apel 36 465 - - - − Jeruk 19 263 - - - 70 509 51 245 7.07 − Kopi 1 390 7 648 6 258 1.80 - - - Kebun II (>15%) − Tebu 6 511 12 546 6 034 28.08 12 536 6 024 17.16 − Apel 20 623 - - - − Jeruk 13 386 - - - 65 765 52 379 9.16 − Kopi 1 120 6 743 5 622 14.04 - - -

Sumber: Olahan data

Besarnya biaya usahatani yang terdapat pada kedua tabel tersebut di atas diberlakukan untuk keseluruhan Sub-sub DAS. Asumsi biaya usahatani tidak bervariasi menurut Sub-sub DAS dimaksudkan untuk menyederhanakan penyusunan program analisis, mengingat aktivitas yang dipertimbangkan dalam struktur model relatif banyak. Hasil data primer menunjukkan bahwa biaya usahatani bervariasi berdasarkan lokasi wilayah Sub-sub DAS, terutama untuk pengelolaan komoditas tanaman semusim. Biaya produksi yang beragam bisa disebabkan oleh tingkat harga dan perbedaan penerapan aplikasi input produksi per hektar karena perbedaan agroekologi. Biaya usahatani aktivitas tanaman tunggal relatif tidak bervariasi menurut Sub-sub DAS karena sebagian besar

responden sebagai peserta program intensifikasi tebu rakyat; dan pada tanaman apel dikarenakan pihak produsen sarana produksi pestisida menjual langsung pada petani dengan membuat demontrasi percontohan di lokasi.

Pada aktivitas dan biaya usahatani yang sama dapat diperoleh manfaat bersih (pendapatan) per hektar yang beragam menurut Sub-sub DAS. Hal itu karena adanya perbedaan tingkat ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) dan tingkat erosi. SD secara langsung mempengaruhi tingkat produksi, dan tingkat erosi akan mengurangi SD sehingga menyebabkan tingkat produksi tahun berikutnya menurun. Keragaman tingkat produksi akan menjadikan tingkat pendapatan per hektar bervariasi antar Sub-sub DAS.