• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Profil Protein dengan menggunakan SDS-PAGE

Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian, elektroforesis dapat digunakan untuk separasi makromolekul (seperti protein dan asam nukleat). Posisi molekul yang terseparasi pada gel dapat dideteksi dengan pewarnaan (Nielsen, 2003).

Seperti halnya dengan elektroforesis DNA, elektroforesis protein memungkinkan untuk memisahkan protein berdasarkan ukurannya dan memperlihatkan hasilnya. Namun, protein jauh lebih beragam dalam ukuran dan strukturnya sehingga tekniknya jauh lebih rumit. Fatmawati et al. (2006) menyebutkan bahwa elektroforesis dikatakan sebagai analisis yang ideal untuk memurnikan komponen protein dari campuran sampel dengan cara penambahan medium yang dapat mengikat protein selama elektroforesis. Metode terbaik dalam pemurnian protein dengan teknik elektroforesis adalah dengan bahan polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE).

Penentuan profil fraksi-fraksi protein bungkil kelapa, baik menggunakan metode non-enzimatis maupun metode enzimatis, dilakukan dengan menggunakan SDS-PAGE. Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bollag dan Edelstein, 1991). Penentuan profil protein ini didasarkan pada seberapa jauh molekul-molekul protein bermigrasi dari titik awal elektroforesis hingga ke titik akhir elektroforesis. Semakin besar bobot molekul suatu protein, maka protein tersebut akan cenderung sulit untuk melewati gel elektroforesis sehingga akan berada dekat dengan titik awal

30 elektroforesis. Sebaliknya, semakin kecil bobot molekul suatu protein, maka protein akan memiliki laju migrasi yang cepat dalam melewati gel elektroforesis.

Poliacrylamide gels electrophoresis memisahkan molekul-molekul protein berdasarkan ukuran, muatan listrik, dan bentuk partikelnya (Pomeranz dan Meloan, 1994). Gel ini dapat dibuat dengan ukuran pori yang beragam yang ditentukan berdasarkan jumlah total senyawa akrilamid yang ditambahkan (konsentrasi gel). Ukuran pori gel akan semakin kecil seiring dengan meningkatnya konsentrasi gel sehingga hanya dapat dilewati oleh molekul protein yang memiliki bobot molekul kecil.

Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan konsentrasi gel pemisah 12,5%. Hal tersebut dikarenakan pada percobaan pendahuluan dengan menggunakan konsentrasi gel pemisah yang lebih kecil dari 12,5% menghasilkan pemisahan pita-pita protein yang kurang baik. Penentuan konsentrasi gel ini dilakukan dengan cara trial and error. Hal tersebut dikarenakan masing-masing protein memiliki karakteristik yang unik sehingga harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsentrasi gel yang paling rendah (umumnya konsentrasi gel 7%).

Protein marker digunakan untuk mengidentifikasi bobot molekul masing-masing pita dari fraksi protein. Marker protein yang digunakan adalah alpha-lactalbumine (14,4 kD), trypsinogen from bovine pancreas (24,0 kD), carbonic anhydrase from bovine erythrocytes (29,0 kD), albumin from chicken egg white (45,0 kD), BSA (66,0 kD), dan myosin from porcine muscle (205,0 kD). Kurva standar yang dihasilkan dari protein marker ini dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari kurva tersebut didapatkan persamaan linear Y = 2.278 – 1.158 X (R2=98,60%), dengan Y adalah log bobot molekul (BM) dan X adalah Rf (perbandingan antara panjang pita dari titik awal elektroforesis dengan jarak titik awal dan titik akhir elektroforesis). Ukuran bobot molekul suatu protein ini berguna dalam melakukan pemetaan protein (profiling protein) pada tahap selanjutnya.

Pewarnaan gel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pewarnaan menggunakan metode silver stain (pewarnaan perak nitrat). Pewarnaan silver

31 205,0 kD  66,0 kD  45,0 kD  29,0 kD  24,0 kD  14.4 kD  1 2 3 4 5 6 M

stain dipilih dikarenakan pewarnaan ini memiliki sensitivitas terhadap protein yang cukup tinggi, yakni hingga 0,05µg, 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan pewarnaan menggunakan coomasie (Bollag dan Edelstein, 1991). Pewarnaan menggunaan coomasie pernah dilakukan pada percobaan pendahuluan, namun memberikan hasil yang kurang baik. Semakin tinggi konsentrasi protein suatu sampel yang dielektroforesis, pita yang dihasilkan akan tampak jelas dan tebal. Namun, apabila konsentrasi protein suatu protein rendah, pita yang dihasilkan akan tampak tipis. Oleh karena itu, loading sampel fraksi protein bungkil kelapa dilakukan dalam konsentrasi yang sama, namun dalam volume yang berbeda. Hal tersebut dilakukan agar dalam waktu yang sama, pita yang diwarnai akan memiliki intensitas warna yang sama.

 

Keterangan: 

1 – 4: albumin, globulin, glutelin, dan prolamin (non‐enzimatis)  5 – 8: albumin, globulin, glutelin, dan prolamin (enzimatis) 

Gambar 9. Hasil SDS-PAGE fraksi-fraksi protein bungkil kelapa

Hasil SDS-PAGE fraksi protein bungkil kelapa dapat dilihat pada Gambar 9. Dari hasil SDS-PAGE, tampak bahwa semua fraksi protein menunjukkan pita-pita yang terpisah. Fraksinasi non-enzimatis protein memunculkan pita-pita protein yang lebih jelas pada semua fraksi protein dibandingkan dengan pita-pita protein hasil fraksinasi enzimatis. Kemungkinan yang terjadi adalah di dalam ekstrak kasar enzim mannanase terkandung enzim protease internal yang dihasilkan oleh mikroba yang

32 memfermentasi bungkil kelapa selama proses produksi enzim, sehingga sebagian protein yang terbebaskan menjadi terhidrolisis menjadi asam-asam amino. Asam-asam amino memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga apabila dilakukan elektroforesis, asam-asam amino tersebut akan lolos dari gel elektroforesis.

Tabel 6. Pemetaan fraksi-fraksi protein bungkil kelapa (protein profiling) BM (kD) Metode Non-enzimatis Metode Enzimatis

ALB GLB GLT PRO ALB GLB GLT PRO

14,4 – 24,0 - V - v - - - v 24,1 – 29,0 v V v - v v v - 29,1 – 45,0 v v v - - v v - 45,1 – 66,0 v v v v v v v v 66,1 – 97,4 v v v v v v v v 97,5 – 205,0 - v - - v v - -

Keterangan: albumin (ALB), globulin (GLB), glutelin (GLT), dan prolamin (PRO).

Tabel 6 menunjukkan perbandingan range bobot molekul fraksi-fraksi protein, sebelum menggunakan enzim dan sesudah menggunakan enzim, hasil karakterisasi SDS-PAGE. Karakterisasi menggunakan range bobot molekul, bukan bobot molekul saja, dilakukan karena pita-pita yang dihasilkan dari hasil SDS-PAGE sangat banyak, beragam, dan saling berdekatan. Pita-pita protein yang saling berdekatan (disebut sebagai doublet) mengindikasikan bahwa protein tersebut memiliki kesamaan struktur asam-asam amino, namun salah satu diantaranya memiliki ekstra residu asam amino sehingga menyebabkan posisi pitanya sedikit berbeda (Laemmli, 1970).

Profil albumin dengan metode non-enzimatis berbeda dengan profil albumin dengan metode enzimatis. Pada metode non-enzimatis, albumin memiliki 4 variasi range bobot molekul, yakni 24,1-29,0 kD; 29,1-45,0 kD; 45,1-66,0 kD; dan 66,1-97,4 kD. Pada metode enzimatis, albumin juga memiliki 4 variasi range bobot molekul, namun range 29,1-45,0 kD tidak muncul dan digantikan dengan munculnya range albumin baru, yakni 97,5-205,0 kD. Pedroche (2005) menyebutkan bahwa chickpea memiliki protein

33 albumin yang berukuran 44,0 dan 46,4 kD. Sedangkan Singh et al. (2001) menyebutkan bahwa albumin pada gandum memiliki memiliki bobot molekul 54,0-60,0; 62,0; dan 64,0 kD. Hasil tersebut menunjukkan adanya kesamaan dengan range bobot molekul albumin hasil percobaan.

Hal yang serupa terjadi pada fraksi protein globulin. Dengan metode non-enzimatis, globulin memiliki 6 variasi range bobot molekul, yakni 14,4-24,0 kD; 24,1-29,0 kD; 29,1-45,0 kD; 45,1-66,0 kD; 66,1-97,4 kD; dan 97,5-205,0 kD. Pada metode non-enzimatis, range bobot molekul 97,5-97,5-205,0 kD merupakan range bobot molekul yang hanya dimiliki oleh protein globulin yang membedakan dengan jenis-jenis protein lainnya. Dengan metode enzimatis, globulin kehilangan satu variasi range bobot molekul, yakni 14,4-24,0 kD. De-Bao et al. (2009) menyebutkan bahwa protein globulin yang terdapat pada kedelai berkisar antara 18,0-20,0 kD; 35,0-40,0 kD; dan 60,0 kD. Sedangkan Denavi et al., (2009) menyebutkan bahwa ukuran protein globulin kedelai adalah 20,0; 35,0; 52,0; 72,0; dan 94,0 kD. Pada kacang merah ditemukan protein globulin yang berukuran 25,0; 28,0; dan 55,0 kD (Meng et al., 2003). Protein globulin pada beras memiliki ukuran bobot molekul 22,9; 26,9; 37,9; 53,7; 97,7; dan 104,7 kD (Agboola et al., 2005). Globulin pada gandum memiliki ukuran berat molekul 21,0-25,0; 38,0; dan 39,0 kD (Singh et al., 2001).

Ketidakmunculan atau munculnya range bobot molekul baru merupakan akibat adanya perlakuan enzimatis. Hilangnya satu variasi pada albumin dan globulin disebabkan adanya enzim protease internal dari ekstrak kasar mannanase yang mendegradasinya menjadi protein-protein yang berukuran lebih kecil atau menjadi asam-asam amino. Sedangkan munculnya satu variasi baru pada albumin yang berberat molekul besar disebabkan oleh terlepasnya protein yang terikat oleh mannan akibat perombakan enzimatis oleh mannanase. Selain itu, umumnya protein albumin memiliki ukuran bobot molekul antara 14,4 kD (laktalbumin) – 66 kD (BSA). Namun, ditemukan pula protein albumin yang memiliki range bobot molekul yang lebih besar dari 97,5 kD. Kemungkinan yang terjadi adalah terbentuknya kompleks antar

34 molekul protein albumin sehingga bobot molekul protein tersebut menjadi meningkat.

Glutelin memiliki jumlah variasi range bobot molekul yang sama, baik dengan metode non-enzimatis maupun metode enzimatis, yakni 4 macam variasi range bobot molekul: 24,1-29,0 kD; 29,1-45,0 kD; 45,1-66,0 kD; dan 66,1-97,4 kD. Variasi range ini mirip dengan variasi range albumin dengan metode non-enzimatis. Menurut Agboola et al. (2005), protein glutelin pada beras memiliki bobot molekul 5,9; 12,7; 21,4; 29,5; dan 39,8 kD. Sedangkan Malumba et al. (2008) melaporkan bahwa protein glutelin pada jagung memiliki bobot molekul 13,0; 17,0; 22,0; dan 24,0 kD.

Sedangkan prolamin memiliki 3 macam variasi range bobot molekul, baik menggunakan metode non-enzimatis maupun enzimatis, yakni 14,4-24,0 kD; 45,1-66,0 kD; dan 66,1-97,4 kD. Pada metode enzimatis, range bobot molekul 14,4-24,0 kD merupakan karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh prolamin sehingga membedakannya dari jenis-jenis protein lainnya. Menurut Agboola et al. (2005), protein prolamin pada beras memiliki ukuran bobot molekul 12,8; 37,7; 43,7; 45,3; 49,0; dan 105,2 kD. Sedangkan prolamin pada jagung memiliki bobot molekul 22,0 dan 24,0 kD (Malumba et al., 2008).

Keseluruhan fraksi protein memiliki range bobot molekul yang bervariasi, namun ditemukan ada range bobot molekul yang sama yakni pada range 45,1 – 66,0 kD dan 66,1 – 97,4 kD. Meskipun memiliki range bobot molekul yang sama, masing-masing protein tersebut memiliki kelarutan yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada bungkil kelapa ditemukan protein albumin, globulin, glutelin, dan prolamin dengan range bobot molekul yang sama.

35

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Proses fraksinasi terhadap protein bungkil kelapa telah berhasil dilakukan, baik dengan menggunakan metode non-enzimatis maupun metode enzimatis. Berdasarkan kelarutannya, ditemukan empat jenis protein yang terdapat dalam bungkil kelapa, yakni albumin, globulin, glutelin, dan prolamin. Sehingga dapat dikatakan bahwa bungkil kelapa memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk memenuhi permintaan akan protein.

Fraksinasi menggunakan air menghasilkan protein albumin sebesar 296,30 µg/g bungkil (28,17%) dengan menggunakan metode enzimatis. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode non-enzimatis yang menghasilkan albumin sebesar 37,04µg/g bungkil (6,64%). Larutan garam encer digunakan untuk mendapatkan protein globulin dalam fraksinasi. Sebanyak 414,81µg/g bungkil (39,44%) berhasil didapatkan dengan menggunakan metode enzimatis. Sedangkan metode non-enzimatis menghasilkan protein globulin yang lebih rendah, yakni 218,98µg/g bungkil (39,25%). Glutelin didapatkan dari hasil fraksinasi menggunakan larutan basa encer. Metode enzimatis menghasilkan jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode non-enzimatis, namun persentasenya menurun (berturut-turut 85,19µg/g bungkil (15,27%) dan 114,81µg/g bungkil (10,91%)). Fraksinasi terakhir dilakukan menggunakan campuran alkohol dengan air yang dikombinasikan dengan aseton untuk mendapatkan protein prolamin. Metode enzimatis menghasilkan jumlah prolamin yang lebih tinggi namun dengan persentase yang menurun, yakni 216,67µg/g bungkil (38,84%), dibandingkan dengan metode non-enzimatis, yakni 225,93µg/g bungkil (21,48%). Secara keseluruhan, fraksinasi menggunakan metode enzimatis menghasilkan jumlah protein yang lebih tinggi (p≤0,05) dibandingkan dengan metode non-enzimatis.

Hasil karakterisasi masing-masing fraksi protein menunjukkan adanya keberagaman range ukuran bobot molekulnya. Namun, di balik keberagaman

36 tersebut ditemukan adanya kesamaan range ukuran bobot molekul pada kesemua jenis fraksi protein, yakni pada range 45,1 – 66,0 kD dan 66.1 – 97,4 kD. Meskipun memiliki range bobot molekul yang sama, protein-protein tersebut memiliki sifat-sifat kelarutan yang berbeda.

Dokumen terkait