• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA

A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan

Strafbaarfeit dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo :“Delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (sculd), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu harus berunsurkan: adanya perbuatan manusia, perbuatan itu bertentangan ataupun melanggar hukum, ada unsur kesengajaan dan atau kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat mempertanggungjawaabkan perbuatannya

Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada “ penuntutannya”

Dalam Delik aduan (klacht delicten), pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum

Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Sathochid adalah :

….. adalah karena pertimbangan bahwa dalam beberapa macam kejahatan akan lebih baik merugikan kepentingan-kepentingan khusus

(bijzondere belang) karena penuntutan itu daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya27

Untuk menuntut atau tidak menuntut semata-mata digantungkan pada kehendak dari si korban atau orang yang dirugikan. Alasan dan latar belakang perlindungan kepentingan perseorangan (nama baik dan atau kehormatan), kembali menjadi sesuatu yang diutamakan. Dan akibatnya, seolah-olah kepentingan perseorangan dilebihkan daripada kepentingan umum. Menjadi sesuatu yang nyata dan ini memprihatinkan terutama bila kita kaji maksud dan tujuan KUHP, yakni KUHP ditujukan kepada kepentingan umum dan tidak kepentingan perseorangan.28

Pencurian dalam lingkungan keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP merupakan salah satu tindak pidana yang tergolong delik aduan. Dalam hal demikian penegak hukum baru menanganinya setelah adanya pengaduan dari seseorang yang merasa dirugikan, baik orangtua, suami,istri dan lain-lain yang merasa dirugikan oleh anggota keluarganya. Kemudian barulah aparat penegak hukum menindak orang yang berbuat tersebut.

Pencurian adalah delik biasa, namun apabila pencurian tersebut dilakukan dalam lingkup keluarga, maka perbutan tersebut menjadi delik aduan. Delik aduan tersebut termasuk delik aduan relatif, karena delik relatif adalah delik yang biasanya bukan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak saudara maka menjadi delik aduan.

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa keadaan-keadaan tidak bercerai meja makan dan tempat tidur, tidak bercerai harta kekayaan atau tidak bercerai antara suami dan isteri merupakan dasar-dasar yang meniadakan tuntutan bagi seorang suami atau seorang isteri, jika mereka melakukan atau membantu melakukan tindak pidana pencurian seperti yang diatur dalam Pasal 362.

27

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian II, (Bandung : balai lektur Mahasiswa), hlm 165

28

E Utrecht , Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Penerbitan Universitas, 1996), hlm. 489-490.

363,364 dan Pasal 365 KUHP terhadap harta kekayaan berupa benda-benda bergerak kepunyaan isteri atau suami mereka, yang pada hakikatnya adalah harta kekayaan mereka sendiri.29

Bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Sipil (B.W) berlaku peraturan tentang cerai meja makan yang berakibat, bahwa perkawinan masih tetap, akan tetapi kewajiban suami isteri untuk tinggal bersama serumah ditiadakan. Dalam hal ini maka pencurian yang dilakukan oleh isteri atau suami dapat dihukum, akan tetapi harus ada pengaduan dari suami atau isteri yang dirugikan. Hukum Adat (Islam) Indonesia tidak mengenal perceraian meja dan tempat tidur ataupun perceraian harta benda. Oleh karena itu Pasal 367 KUHP yang mengenai bercerai meja makan, dan tempat tidur atau harta benda tidak dapat diberlakukan pada mereka yang tunduk pada Hukum Adat (Islam)

Menurut Pasal 367 ayat 2 KUHP, apabila pelaku atau pembantu dari pelaku pencurian dari Pasal 362-365 KUHP adalah suami atau isteri korban, dan mereka dibebaskan dari kewajiban tinggal bersama, atau keluarga semenda, baik dalam keturunan lurus maupun kesamping sampai derajat kedua, maka terhadap

orang itu sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan atas pengaduan si korban pencurian.

Ayat (3) menentukan, jika menurut adat istiadat garis ibu (matriarchaat dari daerah Minangkabau), kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak, maka aturan ayat (2) berlaku juga untuk orang lain.30

Mengenai siapa yang berhak atas mengajukan pengaduan Pasal 72 KUHP, merumuskan :

29

P A F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus KEJAHATAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)., hlm. 64

30 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (bandung : Refika Aditama, 2003)., hlm. 26.

3. Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) orang lain bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil-wakilnya yang sah dalam perkara sipil.

4. Jika tidak ada wakil-wakilnya atau dia sendiri yang harus mengadukannya, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awasi atau curator atau majelis yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang suami kaum keluarga dalam keturunan memyimpang sampai derajat ketiga.

Dalam Pasal 73 KUHP ditentukan, “jika terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, meninggal dunia, maka pengaduan dilakukan oleh orangtuannya, anak-anaknya atau isteri/ suami dari yang meninggal dunia, kecuali jika orang yang meninggal dunia itu ternyata tidak menghendaki adanya pengaduan itu.”

Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya yang berwenang mengajukan pengaduan ialah orang yang menurut sifat dari kejahatannya, merupakan orang yang secara langsung telah menjadi korban. Atau orang yang dirugikan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.31

B. Proses Pemeriksaan Pencurian Dalam Keluarga

Hukum acara pidana pada umumnya tidak terlepas dari hukum pidana materil, artinya masing-masing saling memerlukan satu sama lain, hukum pidana (materiel) memerlukan hukum acara pidana (formil) untuk menjalankan ketentuan hukum pidana, demikian pula sebaliknya hukum acara pidana tidak berfungsi tanpa adanya hukum pidana (materiel).

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH merumuskan hukum acara pidana sebagai suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah

yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.32

Simon merumuskan hukum acara pidana mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman.

33

Mr. J.M. Van Bemmelen berpendapat bahwa hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bila menghadapi suatu kejadian yang menimbulkan syakwasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan dimuka dan oleh hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan34

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana yaitu ; tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Tujuan hukum acara pidana menurut rumusan pedoman pelaksanaan KUHAP tersebut menunjukkan bahwa kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil dalam rumusan tersebut dirasa kurang tepat sebab mendekati

32

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi,(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 2

33 Ibid 34

kebenaran belumlah dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran, oleh karena hukumam yang mungkin dijatuhkan dalam perkara pidana terdapat hukuman badan maka kebenaran materil tersebut harus diperoleh untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman.35

Van Bemmelen mengemukan tiga fungsi hukum acara pidana sebagai berikut;

1. Mencari dan menemukan kebenaran.

2. Pemberian keputusan oleh hakim

3. Pelaksanaan keputusan

1. Proses Penyidikan

a. Kewenangan Polri Menurut KUHAP dan Undang-undang Kewenangan Polri Menurut Undang-Undang

Dalam hal tugas dan wewenang Polri telah diatur dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan, akan tetapi bilamana disimpulkan maka tugas pokok Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat diseluruh Indonesia.

Dalam rangka menggerakkan tugas pokok menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut maka Polri mempunyai kewajiban dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepolisian NKRI No.2 tahun 2002 yaitu:

Pasal 2 : Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan di dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

35

Pasal 3 : fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, maka kepolisian negara mempunyai tugas (Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002):

a) Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum;

b) Melaksanakan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan;

c) Bersama-sama dengan segenap komponen ketentuan pertahanan keamanan negara lainnya, membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat;

d) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha-usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a,huruf b, dan huruf c;

e) Melaksanakan tugas lain seperti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Didalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, maka yang menyangkut

wewenang dari polisi telah ditentukan dalam Pasal 30 yaitu :

1. Selaku alat negara, penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum dan bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan negara lainnya membina ketentraman dan ketertiban masyarakat,

2. Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan,

3. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud dengan angka 2 dan 2 ayat 4 pasal ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya tugas polisi secara garis besar menyangkut ;

1. Masalah penegak hukum

2. Masalah menyelenggarakan ketentraman masyarakat

3. Masalah memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat

Selanjut dalam pasal 39 (2) UU No. 20/1982, ketentuan bahwa kepada kepentingan Negara RI, memimpin Mabes Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas :

a. Mengusahakan ketaatan dari warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

b. Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan

c. Mencegah dan melindungi tumbuhnya penyakit masyarakat dan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan bangsa

d. Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam, gangguan atau bencana termasuk memberikan pertolongan yang dalam pelaksanaan wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan

e. Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan fungsi dan tugasnya

f. Dalam keadaan darurat bersama-sama dengan komponen kekuatan pertahanan keamanan negara melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Di samping apa yang ditentukan dalam Pasal 30 (4) dan pasal 39 (2) UU No,20/1982, Polri sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan segara diberi tugas pula ikut mempertahankan keutuhan wilayah, daratan Nasional Pasal 30 (1), ikut mempertahankan keutuhan seluruh perorangan dalam yurisdiksi nasional, serta melindungi kepentingan nasional di darat atau di laut Pasal (2) dan ikut mempertahankan wilayah dirgantara nasional pasal 30 (3).

Kewenangan Polri Menurut KUHAP

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 1 butir 4 dan Pasal 4, menyatakan bahwa Polri adalah pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan. Artinya Jaksa atau pejabat lainnya tidak dapat melakukan penyelidikan.

Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan;

1. Menyerdehanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang untuk melakukan penyelidikan;

2. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami pada masa HIR;

3. Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam

penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efesiansi.36

Sehubungan dengan itu, oleh KUHAP diartikan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya melakukan penyidikan (pasal 1 butir 5 KUHAP). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidik.

Menurut ketentuan yang tercantum dalam KUHAP dalam melakukan tugasnya penyelidik mempunyai wewenang yang meliputi :

1) Dalam hal tindak pidana tidak tertangkap tangan.

a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang;

(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

(2) Mencari keterangan dan alat bukti,

(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri,

(4) Mengadakan “tindakan lain” menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 5 ayat(1) sub a KUHAP), yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan.

36 M.Yahya,Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;penyidikan dan penuntutan. (Jakarta : sinar grafika, 1985), hlm. 103

Tindakan lain yang dilakukan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;

- Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan pejabat,

- Tindakan itu harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam lingkungan jabatannya

- Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,

- Menghormati hak asasi manusia

- Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,

b) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa :

(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan,

(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat,

(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang,

(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik (pasal 5 ayat (1) sub b KUHAP)

2) Dalam hal tindak pidana tertangkap tangan

Menurut ketentuan pasal 103 (2) KUHAP, dalam hal tindak pidana tertangkap tangan, selain berwenang melakukan tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub a KUHAP, penyelidik juga berwenang bahkan tanpa menunggu perintah dari penyidik, ia wajib untuk segera mengambil tindakan yang

diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP, tanpa menunggu perintah dari penyidik (pasal 102 ayat 3 KUHAP).37

Selain melakukan penyelidikan Polri juga berwenang melakukan penyidikan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa Penyidik adalah pejabat Polisi negara.

Seorang pejabat kepolisian dapat diberikan jabatan penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan syarat kepangkatan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang syarat kepangkatan tersebut adalah PP No. 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat yang dimaksud yaitu :

1. Pejabat penyidik penuh

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, Polisi yang dapat menjadi Penyidik penuh adalah polisi yang memenuhi syarat berupa ;

a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi

b) Atau berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua

c) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI,

2. Penyidik Pembantu

37 Djoko prakoso , Penyidik, Penuntut Umum, Hakim; Dalam Proses Hokum Acara Pidana, (Jakarta bina aksara, 1987), Hlm 58

Dalam Pasal 3 PP No.27 Tahun 1983 dinyatakan bahwa pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu adalah polisi yang memenuhi syarat kepangkatan yakni :

a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

b) Atau pegawai negeri sipil dalam lingkunagn Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a);

c) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada suatu pasal, misalnya pada Undang-undang Merek No. 14 Tahun 1997, pada Pasal 80 yang menegaskan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek yang disebut dalam pasal 81, 82, 83 dilimpahkan kepada PPNS.

Kedudukan dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikannya:

a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil kedudukannya berada dibawah:

- Koordinasi penyidik Polri, dan,

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberi petunjuk kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, dan memberi bantuan penyidikan yang diperlukan

c. Penyidik Pegawai Negeri siipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di sidik, jika dari penyidikan itu oleh Penyidik Pegawai Negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum, cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri. Dalam hal ini penyidik Polri berfungsi sebagai koordinator dan pengawas terhadap penyidik pegaai negeri sipil. Yang dapat meminta kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk menyempurnakan hasil penyidikannya.

e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian tersebut diberitahukan kepada penyidik polri dan penuntut umum.

Sebagai penyidik Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu :

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya sebagai berikut :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana,

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka,

d. Melakukan penangkapan, penahanan. Penggeledahan, dan penyitaan,

e. Melakukan pemeriksaan penyitaan surat,

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang,

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,

h. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara,

i. Mengadakan penghentian penyidikan,

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai denagan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a

(4) Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagaimana termaksud dalam ayat (1) dan (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.38

Kewenangan yang dipunyai oleh Polri ini semata-mata digunakan untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana.39

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penyidik adalah Polri atau Pejabar Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

38 Ibid.,hlm. 72.

39 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistam Peradilan Pidana,(Medan : USU Press, 2009)., hlm 17

b. Hal-Hal Yang Dapat Dilakukan Oleh Penyidik Terhadap Suatu Delik Aduan Perlu ditegaskan bahwa setiap peristiwa yang diketahui atau dilaporkan atau yang diadukan kepada pejabat polisi, belum pasti merupakan suatu tindak pidana.

Apabila hal demikian terjadi maka diperlukan proses penyelidikan, dimana pejabat polisi tersebut harus berlaku sebagai penyelidik yang wajib dengan segera melakukan tindakan yang diperlukan yaitu tindakan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Oleh karena itu secara konkret dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:

- Tindak apa yang telah dilakukan;

- Kapan tindak pidana itu dilakukan;

- Dimana tindak pidana itu dilakukan;

- Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

- Bagaimana tindak pidana itu dilakukan

- Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan

- Siapa pembuatnya.40

Pasal 102 KUHAP menyebutkan;

40

1. Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

2. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, peyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.

3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.

Berhubungan dengan pasal 102 ayat (1) KUHAP mengenai adanya pengaduan terhadap suatu tindak pidana maka pengaduan dapat disampaikan atau diajukan kepada penyelidik, penyidik, penyidik pembantu.

Bentuk pengaduan dapat dilakukan dengan lisan atau dilakukan dengan tulisan. Sedangkan cara untuk menyampaikan pengaduan tersebut yaitu :

- Kalau pengaduan berbentul lisan, pengaduan lisan tersebut dicatat oleh pejabat yang menerima. Setelah dicatat, pengaduan ditandatangani oleh pengadu dan si penerima laporan (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu);

- Jika pengaduan berbentuk tertulis, pengaduan ditandatangani pengadu

- Jika dalam hal pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dimuat catatan dalam pengaduan (Pasal 103 ayat (3))

- Setelah pejabat (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu) menerima pengaduan, pejabat penyelidik atau penyidik memberikan surat tanda penerimaan pengaduan

Dokumen terkait