PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA (KAJIAN DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI
DALAM KASUS No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi ) SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
RISKA SINAGA
070200046
HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA (KAJIAN DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI
DALAM KASUS No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi ) SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
RISKA SINAGA
070200046
HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(Dr. M. HAMDAN, SH. MH)
NIP: 195703261986011001
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
(M. Nuh, SH. M.Hum) (Edi Yunara, SH, M. Hum )
Kata Pengantar
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah memberi berkat,
kasih dan karunia yang begitu besar kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Ucapan syukur yang tidak terhingga juga penulis ucapkan
kepada Yesus Kristus dan Bunda Maria buat penyertaannya sepanjang hidup yang
dijalani oleh penulis.
Membuat suatu karya ilmiah merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa yang
akan menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi khususnya di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara , dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.
Dalam kesempatan ini penulis memilih judul “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pencurian Dalam Keluarga (Kajian Dari Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi Dalam Kasus No.490/Pid.B/2005/PN. Bekasi )
Penulis telah berusaha keras untuk menghasilkan karya tulis yang baik, namun
penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, baik dari segi ilmiahnya
maupun dari segi penulisan tata bahasanya. Hal tersebut disebabkan kurangnya
pengetahuan dan kemampuan dari penulis. Untuk itu kritik maupun saran yang
membangun sangat diharapkan yang akan menjadi masukan yang berharga untuk
kesempurnaan karya ilmiah ini.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini:
1. Untuk kedua orang tua yang paling berharga dan berarti dalam hidupku yang
memberikan doa dan kasih sayang yang begitu besar dan tidak ternilai sepanjang
hidupku. Buat Bapakku F.Sinaga dan Mamakku yang tercinta L sitanggang.
2. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH. MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak M. Husni, SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak M Hamdan, SH. MH selaku Ketua Pelaksana Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara;
7. Ibu Liza Herwina, SH, M. Hum selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Bapak H. Abul Khair SH. M. Hum, dan Ibu Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum selaku Dosen
Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberi
bimbingan, masukan, dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis;
9. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH. M.Hum selaku Dosen Wali Penulis yang selalu
memberikan dukungan moril dan setiap konsultasi akademis dalam menjalankan
studi;
10. Bapak dan Ibu Dosen segenap Civitas Akademia Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara selaku penyelenggara pendidikan dalam memberikan ilmu
pengetahuan yang berguna;
11. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Depok dan Kepala Kejaksaan Negeri Depok yang
memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Dan buat teman-temanku Ima Futri Barus (cimeng) , Arisanta Siambaton (san2),
Masnur Sidauruk, Yudika D M Htb, Widya L Silaban, Fitri Wulandari Htb, yang
menemaniku melalui hari-hari di Fakultas Hukum USU. Sebuah kebahagiaan
13. Buat Beni Supriadi Sarumaha, Bardixcorry, Gerhat Siagian, Rolly, Aris Shandy,
Putra, Andre, Ivan, Olo, Andi Bukit dan teman-teman stambuk 07 yang banyak
memberiku semangat selama penyusunan skripsi ini;
14. Terima kasih dan mohon maaf penulis haturkan kepada pihak yang membantu dalam
kehidupan penulis hingga dapat diselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Maret 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ………
1
b. Permasalahan………
5
c. Tujuan dan Manfaat Penelitian………
5
d. Keaslian Penulisan………
6
e. Tinjauan kepustakaan………
7
1. pengertian hukum pidana dan kriminologi…………
7
2. pengertian pencurian………
13
3. pengertian delik aduan………
16
4 . pengertian keluarga dan dalam lingkup keluarga……
26
f. Metode Penelitian……….
28
g. Sistematika Penelitian………
29
BAB II PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP DELIK PENCURIAN
DALAM KELUARGA
a.
Pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan………
32
b.
Proses Pemeriksaan Pencurian Dalam Keluarga………
36
1.
Proses penyidikan………
38
-
Kewenangan POLRI menurut KUHP……… 38
-
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh penyidik terhadap terjadinya
suatu delik aduan………
49
BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB PENCURIAN
DALAM KELUARGA DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI DAN
AKIBATNYA
a.
Sebab-sebab kejahatan………
58
b.
Faktor- faktor terjadinya pencurian dalam keluarga………
64
c.
Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pencurian dalam
keluarga……….
69
BAB IV UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN
PENCURIAN DALAM KELUARGA
a.
Usaha Preventif……….
75
b.
Usaha Represif………..
79
BAB V KASUS DAN ANALISA KASUS
a.
Kasus ………...
85
b.
Analisa kasus………
106
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
a.
Kesimpulan ………
112
ABSTRAK *Riska Sinaga **M. Nuh, SH, M.Hum ***Edi Yunara, SH, M.Hum
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana tehadap pencurian dalam keluarga, apa yang menjadi penyebab terjadinya pencurian dalam keluarga, dan bagaimana penanggulangan pencurian dalam keluarga. Dalam penulisan ini menggunakan data sekunder, data sekunder diperoleh dengan jalan studi kepustakaan. Data sekunder yang dipakai meliputi bahan hukum primer yaitu Kitab undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang-Undang-undang lain yang berhubungan dengan materi skripsi ini. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku refrensi dan Putusan Pengadilan Negeri, khususnya mengenai pencurian dalam keluarga.
Pencurian dalam keluarga delik aduan relatif yang diatur dalam Pasal 367 KUHP. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Polri serta penuntutan dilakukan oleh penuntut umum. Pencabutan pengaduan tidak ada akibat hukumnya pada pemeriksaan di muka pengadilan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian dalam keluarga ialah karena faktor intern berupa ketidakseimbangan mental, kurang harmonisnya keluarga, rasa ingn memiliki, dan mudah dipengaruhi,sedangkan faktor ekstern dapat berupa keadaan ekonomi, keadaan lingkungan, dampak urbanisasi dan lain-lain.
Penganggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian dalam keluarga adalah dengan upaya penanggulangan secara preventif dan represif, antara lain dengan cara bergabung dengan organisasi yang baik seperti karang taruna, pramuka, masuk ke pesantren kilat, mengadukan pelaku tindak pidana kepada yang berwenang agar memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan memberikan rasa takut kepada orang yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan.
*Riska Sinaga
** M. Nuh, SH, M.Hum
ABSTRAK *Riska Sinaga **M. Nuh, SH, M.Hum ***Edi Yunara, SH, M.Hum
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana tehadap pencurian dalam keluarga, apa yang menjadi penyebab terjadinya pencurian dalam keluarga, dan bagaimana penanggulangan pencurian dalam keluarga. Dalam penulisan ini menggunakan data sekunder, data sekunder diperoleh dengan jalan studi kepustakaan. Data sekunder yang dipakai meliputi bahan hukum primer yaitu Kitab undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang-Undang-undang lain yang berhubungan dengan materi skripsi ini. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku refrensi dan Putusan Pengadilan Negeri, khususnya mengenai pencurian dalam keluarga.
Pencurian dalam keluarga delik aduan relatif yang diatur dalam Pasal 367 KUHP. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Polri serta penuntutan dilakukan oleh penuntut umum. Pencabutan pengaduan tidak ada akibat hukumnya pada pemeriksaan di muka pengadilan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian dalam keluarga ialah karena faktor intern berupa ketidakseimbangan mental, kurang harmonisnya keluarga, rasa ingn memiliki, dan mudah dipengaruhi,sedangkan faktor ekstern dapat berupa keadaan ekonomi, keadaan lingkungan, dampak urbanisasi dan lain-lain.
Penganggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian dalam keluarga adalah dengan upaya penanggulangan secara preventif dan represif, antara lain dengan cara bergabung dengan organisasi yang baik seperti karang taruna, pramuka, masuk ke pesantren kilat, mengadukan pelaku tindak pidana kepada yang berwenang agar memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan memberikan rasa takut kepada orang yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan.
*Riska Sinaga
** M. Nuh, SH, M.Hum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang
diatur dalam Bab XXII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
merupakan masalah yang tak habis-habisnya. Pencurian sudah merajalela dikalangan
masyarakat, baik di desa, di kota, maupun di negara lain.
Menurut KUHP pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang merupakan
milik orang lain dengan cara melawan hak, dan untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada
pasal 362 KUHP.
Pasal 362 KUHP yang berbunyi :
“ Barang siapa yang mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“.
Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362
KUHP terdiri dari unsur subjektif yaitu dengan maksud untuk menguasai benda tersebut
secara melawan hukum dan unsur-unsur objektif yakni, barang siapa, mengambil, sesuatu
benda dan sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.1
Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana
1 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta
pencurian, orang tersebut harus terbukti Telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana
yang terdapat di dalam rumusan pasal 362 KUHP.
Salah satu bentuk dari pencurian yang diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP
adalah pencurian dalam lingkup keluarga, mengenai hal ini diatur dalam Pasal 367
KUHP.
Bunyi dari Pasal 367 KUHP adalah :
(1) Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman.
(2) Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan.
(3) Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapa dilakukan orang lain dari bapa kandung, maka ketentuan dari ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.
Dari ketentuan Pasal 367 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa pencurian dalam
keluarga merupakan delik aduan, artinya ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini
tergantung persetujuan dari yang dirugikan/ korban/ orang yang ditentukan oleh
undang-undang.
Delik aduan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 367 KUHP merupakan delik
aduan relatif yakni delik yang adanya suatu pengaduan itu hnaya merupakan suatu syarat
agar terhadap pelaku-pelakunya dapat dilakukan penuntutan.
Pencurian dipandang dari segi kriminologi maksudnya mencakup hal-hal sebagai
berikut :
2. Apa sebab-sebab dilakukan pencurian itu
3. Bagaimana dilakukan pencurian itu
4. Apa akibat pencurian itu
5. Bagaimana tipe-tipe dari pelaku pencurian itu
6. Bagaimana cara mengatasi pencurian itu
Dewasa ini semakin banyak ditemukan pencurian yang terjadi di dalam keluarga,
dimana pelaku-pelaku pencurian tersebut adalah anggota dari keluarga itu sendiri. Tidak
jarang pencurian tersebut dilakukan oleh suami, istri, anak, cucu atau yang lainnya di
dalam keluarga tersebut.
Adapun kasus pencurian dalam keluarga seperti kasus dengan terdakwa Imam
Ardiansyah dan Susana isterinya.pada tanggal 22 Januari Imam Ardiansyah dan isterinya
Susiana mengunjungi rumah almarhum orang tua mereka yang sedang ditempati oleh
Haznil, Zaenal, Zurhidah dan Farida (kakak dari Imam Ardiansyah). Di rumah tersebut
dibuka usaha katering yang merupakan peninggalan orang tua mereka. Ketika hendak
pulang, Imam Ardiansyah dan Susana mengambil barang dari rumah tersebut berupa 4
buah Melon, 2 buah Pepaya, 15-20 buah telur puyuh, 10 potong ayam dan 2 dus aqua.
Atas perbuatan terdakwa, korban (kakak terdakwa) mengalami kerugian sebesar
Rp.750.000,- (tujuh ratus ribu rupiah). Atas perbuatan tersebut korban mengadukan
perbuatan terdakwa kepada Polisi
Kasus pencurian dalam lingkungan keluarga lainnya adalah kasus dengan
terdakwa Susianti Hambali yang diadili karena adanya pengaduan dari suaminya Anton
Julius Darmawan. terdakwa dituntut telah melakukan pencurian berupa 1 (satu) buah
kompor gas, 1 (satu) buah panggangan roti dan 1 (satu) buah panci. Peristiwa pencurian
(terdakwa) dan Anton Julius Darmawan belum sah bercerai namun sudah bercerai meja
makan, tempat tidur selama 3 tahun. Korban merasa keberatan atas perbuatan terdakwa
kemudian meminta kepada Polisi untuk memeriksa lebih lanjut.
Kasus pencurian dalam lingkup keluarga yang baru-baru ini terjadi adalah kasus
pencurian yang dilakukan oleh Sean Azad (anak dari Ayu Azhari). Sean azad mencuri
uang Ayu Azhari sebesar $ 50. Keberatan atas perbuatan anaknya kemudian Ayu Azahari
mengadukan anaknya kepada Polisi.
Mengingat beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya dan melihat pada
kenyataannya masih ada perbuatan pencurian dalam keluarga yang tidak diselesaikan
melalui pengadilan, maka hal itulah yang mendorong penulis untuk menulis skripsi ini
dengan judul “PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM
KELUARGA (KAJIAN DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI
DALAM KASUS N0.490/Pid.B/2007/ PN. Bekasi), agar diperoleh gambaran yang jelas
mengenai apa yang menjadi penyebab seseorang melakukan pencurian, bagaimana
penerapan hukum pidana terhadap perbutan pencurian dalma keluarga dan bagaimana
penanggulangan terjadinya kejahatan tersebut, serta agar terdapat jaminan terhadap harta
benda yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga. Yang pada akhirnya tujuan dari hukum
itu sendiri yaitu menciptakan masyarakat yang adil,, tertib, tentram, makmur dan
sejahtera.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal diatas maka yang menjadi perumusan masalah dalam
penulisan adalah :
1. bagaimana pengaturan dan penerapan hukum pidana terhadap pencurian dalam
2. faktor-faktor apa yang menyebabkan pencurian dalam keluarga ditinjau dari segi
kriminologi.
3. apa upaya-upaya yang dilakukan dalam menanggulangi pencurian dalam keluarga.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor terjadinya pencurian dalam
keluarga.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana dalam tindak pidana
pencurian dalam keluarga.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara-cara untuk menanggulangi perbuatan
pencurian dalam keluarga.
Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Karya tulis yang berupa skripsi ini ini diharapkan akan bermanfaat bagi kalangan
akademis pada umumnya dan kepada masyarakat pada khususnya, menambah dan
memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai
pencurian dalam keluarga.
2. Manfaat Praktis
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dan
masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan terhadap harta
D. Keaslian Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini pada dasarnya penulis membuatnya sendiri dengan
melihat dasar-dasar yang telah ada dan tersedia baik melalui literatur yang diperoleh dari
perpustakaan atau buku-buku dan juga media massa, baik cetak maupun media
elektronik, yang dituangkan dalam skripsi ini serta ditambah lagi dengan hasil studi kasus
dari Pengadilan Negeri. Bila ternyata terdapat skripsi yang sama sebelum skripsi ini
dibuat maka saya bertanggungjawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Hukum Pidana Dan Kriminologi Pengertian hukum pidana
Pengertian hukum pidana sebagai objek studi, dapat dikutip pendapat
Enschede-Heijder yang mengatakan bahwa menurut metodenya, hukum pidana dapat
dibedakan:2
I. Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik;
a. Hukum pidana-hukum pidana materil;
b. Hukum acara pidana-hukum formil;
II. Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman antara lain:
a. Kriminologi- ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan;
b. Kriminalistik-ajaran tentang pengusutan
c. Psikiatri forensik dan psikologi forensik;
d. Sosiologi hukum pidana-ilmu tentang hukum pidana sebagai gejala masyarakat,
yang mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yanhg luas di
dalam masyarakat, jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat.
Maksudnya penaatan hukum pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh
tersangka atau pembuat. Ini berarti bahwa secara sosiologis, masyarakat pada
umumnya menaati ketentuan hukum pidana itu. Hanya sebagian kecil yang
melanggarnya yang disebut tersangka atau pembuat. Besar kecilnya pelanggaran
itu ditentukan oleh ruang, waktu, dan orangnya.
III. Filsafat hukum pidana
Dalam membagi hukum pidana dalam arti luas menjadi hukum pidana materil
dan hukum pidana formil, Simons menunjukkan bahwa hukum pidana materil
mengandung petujuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang
syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (strafbaarheid), penunjukan orang yang
dapat dipidana dan ketentuan pidananya, ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu
dapat dipidana. Sedangkan hukum pidana formil menurut Simons, yaitu mengatur tentang
cara negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana3
Menurut prof. Mezger, Munchen hukum pidana adalah semua aturan-aturan
hukum (die jenige Rechtsnormen) yang menentukan (menghubungkan) suatu pidana
sebagai akibat hukum (rechtfolge) kepada suatu perbuatan yang telah dilakukan.4 Pompe
mengatakan bahwa hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan
terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya
pidana itu.5
Van Bemmelen merumuskan hukum acara pidana sebagai berikut: “Ilmu hukum
acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang di ciptakan oleh negara, karena
adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana:
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipelaku dan kalau perlu
menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada
penyidikan kebenaran guna dlimpahkan kepada hakim dan kemudian membawa
terdakwa ke depan hakim tersebut;
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan
kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan itu;
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu6
Pengertian kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatan, secara harafiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat,
dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat.7
Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu
membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:
Beberapa sarjana memberikan definisi yang berbeda mengenai
kriminologi.
8
6 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 19.
7 Made Derma Weda, Krimonologi. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)., hlm. 1. 8Topo Santoso dan Eva Achjani Zulza, Kriminologi, (Jakarta : Rajawali Press, 2001).,
1. Antropologi kriminil
Ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini
memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya
mempunyai tanda-tanda seperti apa. Apakah ada hubungan antara suku bangsa
dengan kejahatan dan seterusnya.
2. Sosiologi kriminil
Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok
persoalan yang dijawab oleh bidang ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab
kejahatan dalam masyarakat.
3. Psikologi kriminil
Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
4. Psikopatologi dan neuropatologi kriminil
Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
5. Penology
Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman
Disamping kriminologi murni terdapat juga kriminolgi terapan yang berupa:9
a. Hygiene kriminil
Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha
yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan
hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
b. Politik kriminil
Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat
sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka
usaha yang dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan dan keterampilan atau
membuka lapangan kerja. Jadi, tidak semata-mata menjatuhkan sanksi.
c. Kriminalistik (policie scientifik) yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan
penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan
Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang
bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurut Sutherland kriminologi
mencakup proses-proses perbuatan hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.
Kriminologi oleh Sutherland dibagi atas tiga cabang yaitu:10
a. Sosiologi hukum
Kejahatan adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan sanksi.
Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum.
Disini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa
yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana)
b. Etiologi kejahatan
Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab-musabab dari kejahatan.
Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.
c. Penology
Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland
memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik
represif maupun preventif.
Paul Mudigdo Mulyono tidak sependapat dengan Sutherland, menurutnya
defenisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun
mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan
semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari
si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Oleh
sebab itu Paul Midigdo Mulyono memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia11
Michael dan Adler berpendapat bahwa kriminologi adalah keseluruhan
keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari penjahat, lingkungan mereka dan cara
mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh
anggota masyarakat12
Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan yang
jahat dan penjahat, termasuk didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat
dan para penjahat.
13
Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan
jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku
jahat dan perbuatan tercela itu14
11 Ibid, hlm. 12
12 M Ridwan dan Ediwarman, asas-asas kriminologi,(Medan : USU Press Medan, 1994).,
hlm. 1
13 ibid
Wolfgang,savitz dan jonhston dalam the sociology of crime and delinquency
memberikan definisi kriminologi sebagai berikut;
Kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan cara mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan,keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya15
Jika kita membandingkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana
diatas, maka kelihatan satu hal yang sama. Semua definisi menggunakan istilah kejahatan
dan penjahat.
.
2. Pengertian pencurian
Pengertian umun mengenai pencurian adalah mengambil barang orang lain. Pada
Pasal 362 KUHP dikatakan bahwa:
“barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-”
Pasal 362 KUHP ini merupakan bentuk pokok dari pencurian, dengan unsur:
a. Objektif;
1) Mengambil
Unsur mengambil mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Mengambil semula diartikan memindahkan barang dari tempat semula
ke tempat lain. Ini berarti membawa barang dibawah kekuasaan yang nyata. Perbutan
mengambil berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang
melakukan atau yang mengakibatkan barang berada diluar kekuasaan pemiliknya.
15
Tetapi hal ini tidak selalu demikian. Hingga tidak perlu disertai akibat dilepaskan dari
kekuasaan pemiliknya
2) Barang
Pengertian barang juga mengalami perkembangan. Dari arti barang yang berjudul
menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari kekayaan. Semula barang ditafsirkan
sebagai barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan(barang bergerak) .
tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang. Dengan
demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai didalam
kehidupan ekonomi seseorang. Perubahan ini disebabkan dengan peristiwa pencurian
aliran listrik,
dimana aliran listrik termasuk pengertian barang yang dapat menjadi obyek
pencurian
3) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
Barang harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu
kepunyaan orang lain seluruhnya, sedangkan sebagian dari barang saja dapat menjadi
obyek pencurian, jadi sebagian lagi kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada
pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian.
b. Subjektif:
1) Dengan maksud
Istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku untuk memiliki
barang secara melawan hukum. Maksud untuk memiliki barang itu tidak perlu
misalnya tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan
selesainya perbuatan mengambil barang.
2) Untuk memiliki
memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut,
melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya. Maksud memiliki
barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagai jenis perbuatan yaitu menjual,
memakai. Memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya,
dan sebagainya. Atau setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku
seakan-akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik.
3) Secara melawan hukum
Perbuatan melawan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari
pelaku. Pelaku harus sadar, bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain.16
3. Pengertian delik aduan
Untuk memahami pengertian dari delik aduan, terlebih dahulu dipahami
mengenai delik. Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaarfeit. Terjemahan lain dari
Strafbaarfeit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang
dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum didapat satu sinonim dan atau
terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaarfeit ini.
Strafbaarfeit yang diterjemahkan sebagai peristiwa pidana mencakup unsur
pertanggungjawaban pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht
“Apakah seseoranng mendapat hukuman bergantung pada dua hal harus ada suatu
kelakuan yang bertentangan dengan hukum(anasir objektif) dan seorang pembuat
16 Anwar M. Hukum Pidana Bagian Khusus Kuhp Buku II(Jakarta : Sinar
(dader) yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum
itu (anasir subjektif)”17
Menurut penulis, peristilahan peristiwa pidana sebagai terjemahaan dari
Strafbaarfeit adalah cukup tepat, karena pemahaman istilah pidana itu yang dapat
dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan pidana bukan saja
yang berbuat, tetapi juga menyangkut mereka yang tidak berbuat. Pemahaman ini juga
sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana
Peristiwa tindak pidana atau delik atau tindak pidana mengandung arti tindakan
manusia yang memenuhi rumusan undang-undang bersifat melawan hukum dan
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kepada seseorang yang telah memenuhi rumusan tersebut di atas dapat
dijatuhkan pidana. Peristiwa pidana ini mempunyai dua segi yaitu :
a. Segi obyektif yang menyangkut kelakuan yang bertentangan dengan hukum.
b. Segi subyektif yang menyangkut pembuat/pelaku yang dapat
dipertanggungjawabkan atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum.
Kepada perbuatan yang tidak memenuhi salah satu unsur dapat tidak dipidana
karena adanya alasan penghapus pidana yang terdiri dari :
a. Alasan pemaaf
b. Alasan pembenar
Mendapatkan alasan pemaaf, apabila pelakunya tidak dapat
dipertanggungjawabkan, misalnya :orang gila yang melakukan pembunuhan. Sedangkan
alasan pembenar, apabila perbuatannya tidak bersifat melawan hukum, misalnya : algojo
17 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Penerbitan Universitas
yang melakukan tugasnya mengeksekusikan pidana mati. Algojo ini mendapatkan alasan
penghapus pidana yang berupa alasan pembenar karena perbuatannya membunuh orang
adalah menjalankan dinasnya.18
Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus
memenuhi syarat-syarat seperti berikut :
a. Harus ada suatu perbuatan,, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang,
b. Perbuatan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam undang-undang.
Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu
memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan
hukum.
d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang
dilanggar itu mencantumkan sanksinya.19
Delik aduan, pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim
dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan juga adalah delik namun berbeda dengan delik
lainnya, delik aduan mempunyai ciri khusus tersendiri. Ciri khusus itu teletak pada
“penuntutannya”.
Pada umumnya, setiap delik yang ada menghendaki adanya penuntutan dari
Penuntut Umum, tanpa permintaan yang tegas dari orang yang menjadi korban atau
orang-orang yang dirugikan. Dengan adanya penuntutan ini sesegera mungkin diharapkan
18
A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,(Bandung : PT Eresco, 1992), hlm. 55.
19
ketertiban dan kepentingan umum yang telah dilanggar akan dapat dianulir, dengan
demikian tujuan keadilan hukum akan tercapai.
Walaupun demikian dalam delik tertentu (umumnya kejahatan), azas umum
tersebut tidak diberlakukan, terjadi penyimpangan atasnya, terutama dalam hal
penuntutannya. Artinya penuntutan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat
utama untuk penuntasan perkara. Dan penuntutan dilakukan terlebih dahulu dengan
adanya “pengaduan”. Dengan pengaduan inilah Penuntut Umum menjalankan hak
penuntutannya. Disinilah letak penyimpangan azas umum tadi. Delik dengan ciri khusus
seperti tadi disebut dengan “delik aduan”
Dalam ilmu hukum pidana mengenai delik aduan ini dapat dibedakan atas 2 (dua)
jenis, yaitu:
a. Delik aduan absolut
b. Delik aduan relatif
Delik aduan absolut adalah suatu delik yang selalu hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan, dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya
yang disertai permintaan supaya diadakan penuntutan terhadap delik atau terhadap pelaku
dan mereka yang turut campur didalamnya.
Pasal-pasal yang termasuk didalam delik aduan absolut adalah:
1. Pasal 284 ayat (3) KUHP dinyatakan bahwa pasal 72, 73 dan Pasal 75 KUHP tidak
berlaku walaupun pasal tersebut berisi tentang pengajuan pengaduan melalui pihak
2. Pasal 75 KUHP menyatakan bahwa barang siapa yang memasukkan pengaduan tetap
berhak untuk mencabut kembali pengaduan itu dalam tempo 3 bulan sejak hari
dimasukkannya.
3. Pasal 287 KUHP mengancam dengan hukuman selama-lamanya 9 tahun bagi siapa
yang bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahui atau patut
disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun. Penuntutannya
hanya dapat dilakukan bilamana ada pengaduan, kecuali diketahui umur perempuan
itu belum mencapai 12 tahun. Jika usia 12 tahun itu belum dicapai maka penuntutan
dilakukan tanpa pengaduan, walaupun perempuan itu telah berusia belum cukup 15
tahun yaitu diatas 12 tahun, maka pengaduan tidak perlu bilamana mengakibatkan
luka berat atau bilamana terdapat hubungan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 294 KUHP.
4. Pasal 293 KUHP, penuntutannya hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pribadi
yang dijadikan objek yaitu dalam berbuat cabul
5. Pasal 310 KUHP sampai dengan pasal 321 KUHP merupakan kumpulan pasal
tentang penghinaan dengan variasi-variasi tertentu. Semuanya adalah delik aduan
kecuali pasal 316 KUHP tidak memerlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan
6. Pasal 311 KUHP tantang kejahatan menfitnah(laster)
7. Pasal 315 KUHP tentang kejahatan penghinaan ringan(eenvoudige belediging)
8. Pasal 317 KUHP tentang kejahatan mengadu secara menfitnah (lasterlijke aanklacht)
9. Pasal 318 KUHP tentang kejahatan tuduhan menfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
11. Pasal 321 tentang kejahatan menyiarkan dengan menista pada orang yang telah
meninggal dunia
12. Pasal 322 dan pasal 323 KUHP tentang kejahatan membuka rahasia (schending
vangeheimen)
13. Pasal 332 KUHP, tentang memberikan ancaman hukuman terhadap peristiwa pidana
melarikan perempuan. Penuntutannya hanya dapat dilakuakan atas pengaduan,
14. Pasal 335 ayat (2) KUHP tentang kejahatan memaksa dengan ancaman akan menista
baik dengan lisan maupun tulisan
15. Pasal 369 KUHP adalah pemerasan dengan menista dan penuntutan hanyalah
didasarkan atas pengaduan pihak korban.
Delik aduan relatif adalah delik yang berasal dari peristiwa pidana yang pada
dasarnya bukan delik aduan, akan tetapi adanya hubungan kekeluargaan yang erat antara
pelaku dan korban membuat delik itu menjadi delik aduan. Pada delik aduan relatif,
pengaduan diperlukan untuk menuntut orangmya,Pada delik aduan relatif, pengaduan
diperlukan untuk menuntut orangmya, dalam arti pihak yang bersalah dalam peristiwa itu.
Dan Karenanya, si pengadu selain menyebutkan peristiwanya juga harus juga
menyebutkan orang yang diduga telah merugikan dirinya. Dengan sendirinya si pengadu
diberi kuasa untuk memilih (dalam hal penyertaan) mengadu seseorang untuk
menuntutnya dan tidak mengadukan yang lain juga sebagai pelaku sekaligus tidak pula
mengadakan penuntutan atasnya. Dalam hai ini, maka pengaduan bersifat splitbaar atau
dapat dibelah/dipecah, jadi permintaan penuntut dalam pengaduannya harus berbunyi
“saya meminta X dituntut”
Pasal-pasal yang termasuk dalam delik aduan relatif yaitu:
2. Pasal 367 KUHP adalah pasal pencurisn biasa disebut “pencurian di dalam
lingkungan keluarga”
3. Pasal 370 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga
4. Pasal 372 jo 367 KUHP tentang kejahatan penggelapan(di kalangan keluarga)
5. Pasal 379 jo 394 jo 367 KUHP tentang kejahatan penipuan dalam kalangan keluarga
6. Pasal 390 KUHP menyatakan pasal-pasal 368 dan 369 yaitu mengenai ancaman dan
pemerasan dapat menjelma menjadi delik aduan relatif bilamana pelakunya terlibat
hubungan keluarga pada Pasal 367 KUHP
7. Berlaku atas pasal-pasal penggelapan, yaitu Pasal 372,373,374,375 dan Pasal 376
KUHP , merumuskan ketentuan dalam pasal, sehingga dengan demikian maka
pasal-pasal yang dimaksud diatas dapat menjadi delik aduan relatif
8. Demikian pula Pasal 394 KUHP yang menunjuk pada Pasal 367 KUHP juga bahwa
perkara-perkara penipuan yang diatur dengan Pasal 378 KUHP dan seterusnya dapat
menjadi delik aduan
9. Pasal 404 KUHP yang mengatur tentang hak gadai,hak tanah, hak memungut hasil,
hak pakai. Merugikan orang yang memberikan hipotik atau pemberi hutang dan
sebagainya menjadi delik aduan dengan menunjuk pula pada hubungan keluarga
sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP
10. Pasal-pasal mengenai menghancurkan atau merusakkan barang sebagaimana diancam
menjadi delik aduan dan dalam hal inipun Pasal 376 KUHP harus dipergunakan
untuk menilai hubungan kekeluargaan bagi yang bersangkutan.20
Dari pasal-pasal yang disebutkan diatas, penggunaan istilah “hanya dapat
dilakukan kalau ada pengaduan”. maka kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat
bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi
untuk kepentingan preventif.
Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib
hukum, adalah beritikad baik bilamana itu diajukan secara lisan dari pihak
yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan
Baik delik aduan absolut maupun delik aduan relatif yang sering disebut aduan
saja, dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan puhak yang dirugikan dari pada
kepentingan penuntutan. Dengan kata lain pembuat undang-undang memberikan
penghargaan kepada pihak yang dirugikan dan kesempatan untuk mengadakan pilihan,
apakah ia bermaksud mengajukan pengaduan atau mendiamkan persoalan, misalnya demi
untuk nama baik keluarga ataupun mungkin menyimpan rahasia yang tidak perlu
diketahui orang banyak.
Masih perlu diperhatikan juga bahwa delik aduan absolut, pengaduan tidak dapat
dipisah-pisah. Mengadukan seorang suami yang berzina dengan perempuan lain misalnya
tidak dapat dilakukan hanya menuntut supaya Polisi menangkap perempuan yang berzina
itu dan membebaskan suami. Pengaduan harus diarahkan kepada kedua belah pihak yang
berzina itu.
20 . J.E. Jonkes, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,(Jakarta : PT bina aksara,
Pengaduan yang dilakukan terhadap delik aduan absolut, diarahkan pada
peristiwa pidana yang terjadi sehingga pengaduan harus mencantumkan kalimat”saya
minta supaya peristiwa ini dituntut”.
Lain halnya dengan delik aduan relatif, dimana yang dituntut bukan peristiwanya
tetapi orangnya, misalnya pencurian dalam lingkungan keluarga, anak dan bapak mencuri
uang milik ibunya maka dalam pengadunnya dapat dituntut salah satu dari pelakunya
saja. Delik aduan relatif adalah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan atau
kejahatan yang dapat dituntut dengan tidak ada pengaduan terlebih dahulu, akan tetapi
jika antara pembuat/pelaku atau orang yang turut serta dalam kejahatan itu dengan
orangterhadap siapa kejahatan itu dilakukan atau yang menderita akibat kejahatan itu
terdapat hubungan tertentu yakni adanya hubungan kekeluargaan yang rapat yang
ditentukan dalam undang-undang. Maka penuntutan terhadap pembuat/pelaku tidak boleh
dilakukan jika orang yang dikenai kejahatan itu tidak melakuakan pengaduan.
Delik aduan yang relatif ini hanya dijumpai dalam kejahatan terhadap harta
kekayaan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang rapat, dan diluar kejahatan terhadap
harta kekayaan menurut KUHP tidak ada delik aduan yang relatif.
Mengenai siapa yang berhak atas mengajukan pengaduan Pasal 72 KUHP,
merumuskan :
1. Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang
yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, kepada orang yang
dibawah penilikan (curatele) orang lain bukan dari sebab keborosan, maka selama
dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil-wakilnya yang
sah dalam perkara sipil.
2. Jika tidak ada wakil-wakilnya atau dia sendiri yang harus mengadukannya, maka
atau majelis yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang
suami kaum keluarga dalam keturunan memyimpang sampai derajat ketiga.
Dalam Pasal 73 KUHP ditentukan, jika terhadap siapa kejahatan itu telah
dilakukan, meninggal dunia, maka pengaduan dilakukan oleh orangtuannya,
anak-anaknya atau isteri/ suami dari yang meninggal dunia, kecuali jika orang yang meninggal
dunia itu ternyata tidak menghendaki adanya pengaduan itu.
Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya
yang berwenang mengajukan pengaduan ialah orang yang menurut sifat dari
kejahatannya, merupakan orang yang secara langsung telah menjadi korban. Atau orang
yang dirugikan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.21
4. Pengertian keluarga dan dalam lingkup keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan
warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa
orang yang masih memiliki hubungan darah.22
Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki
hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu
tersebut.
Menurut Salvicion dan Ara Celis Keluarga adalah dua atau lebih dari dua
individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau
pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama
21 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang,op.cit., hlm. 66.
lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu
kebudayaan.23
Pengertian keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu
proses pidana sebagai mana diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir 30 KUHAP).24
Untuk lebih jelasnya, lihat skema dibawah ini agar bisa cepat mengerti tentang
hubungan keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 168 KUHAP:
25
A B
C D E F
G H
• A dan B adalah suami isteri,
• C dan D adalah suami isteri
• E dan F adalah suami isteri,
• C dan E adalah anak dari A dan B,
• D dan F adalah anak menantu dari A dan B,
• G adalah anak dari C dan D
• H adalah anak dari E dan F
24
Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hlm. 26.
Derajat kekeluargaannya :
A dan B dengan C atau E adalah derajat kesatu
A dan B dengan D atau F adalah derajat kesatu (semenda)
A dan B dengan G atau H adalah derajat kedua
C dengan E adalah derajat kedua
E dengan D adalah derajat kedua (semenda)
C dengan F adalah derajat kedua (semenda)
C dengan H adalah derajat ketiga
E dengan G adalah derajat ketiga
G dengan h adalah derajat keempat.
Cara menghitung derajat kekeluargaan, adalah dengan mencari pusatnya; yakni A
(orangtua) :26
26 Ibid., hlm. 27.
A
C E
G H
1
2 3
4
Orang tua
Anak
F. METODE PENULISAN
Dalam penulisan skripsi mengenai penerapan hukum pidana terhadap pencurian
dalam keluarga ini penulis melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundanga-undangan. Penelitian
ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang
berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku. Selain itu penulis juga menganalisis sebuah
kasus pencurian dalam keluarga.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library reserch) untuk mendapatkan konsep, teori, dan doktrin, pendapat
atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaahan
penelitian ini, juga dapat berupa peraturan perundang-undangan lainnya.
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:
1. bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang Hukum Pidana(KUHP),
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti pendapat dari kalangan pakar hukum dan buku-buku mengenai
pencurian, kriminologi dan hukum pidana
G. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisikan
latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan,metode penulisan dan gambaran
BAB II :Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pencurian Dalam Keluarga Yang Di Tinjau Dari Segi Kriminologi.
Dalam bab ini dipaparkan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pencurian dalam keluarga yaitu:
d. Sebab-sebab kejahatan
e. Faktor- faktor terjadinya pencurian dalam keluarga
f. Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pencurian dalam keluarga
BAB III :Penerapan Hukum Pidana Terhadap Delik Pencurian Dalam Keluarga
Di dalam bab ini menggambarkan bahwa pencurian dalam
keluarga tersebut merupakan delik aduan, bagaimana proses
pemeriksaan perkara pencurian dalam keluarga, dan
pencabutan delik aduan serta akibatnya
BAB IV :Upaya-Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencurian Dalam Keluarga
Dalam bab ini dipaparkan bagaimana cara pencegahan
terjadinya pencurian dalam keluarga yang dapat dilakukan
dengan cara penanggulangan secara preventif dan
penanggulangan secara represif.
BAB V : Kasus Dan Analisa Kasus
Dalam bab ini memaparkan mengenai kasus pencurian dalam
keluarga yang sudah diputus oleh pengadilan dan analisa
BAB VI : Kesimpulan dan Saran
Di dalam bab penutup ini, diisi oleh kesimpulan, saran dari
BAB II
PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA
A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan
Strafbaarfeit dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Samidjo :“Delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang
dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (sculd), oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu harus berunsurkan:
adanya perbuatan manusia, perbuatan itu bertentangan ataupun melanggar hukum, ada
unsur kesengajaan dan atau kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat
mempertanggungjawaabkan perbuatannya
Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen
yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan mempunyai ciri khusus dan
kekhususan itu terletak pada “ penuntutannya”
Dalam Delik aduan (klacht delicten), pengaduan dari si korban atau pihak yang
dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum
Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh
Sathochid adalah :
(bijzondere belang) karena penuntutan itu daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya27
Untuk menuntut atau tidak menuntut semata-mata digantungkan pada kehendak
dari si korban atau orang yang dirugikan. Alasan dan latar belakang perlindungan
kepentingan perseorangan (nama baik dan atau kehormatan), kembali menjadi sesuatu
yang diutamakan. Dan akibatnya, seolah-olah kepentingan perseorangan dilebihkan
daripada kepentingan umum. Menjadi sesuatu yang nyata dan ini memprihatinkan
terutama bila kita kaji maksud dan tujuan KUHP, yakni KUHP ditujukan kepada
kepentingan umum dan tidak kepentingan perseorangan.28
Pencurian dalam lingkungan keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP
merupakan salah satu tindak pidana yang tergolong delik aduan. Dalam hal demikian
penegak hukum baru menanganinya setelah adanya pengaduan dari seseorang yang
merasa dirugikan, baik orangtua, suami,istri dan lain-lain yang merasa dirugikan oleh
anggota keluarganya. Kemudian barulah aparat penegak hukum menindak orang yang
berbuat tersebut.
Pencurian adalah delik biasa, namun apabila pencurian tersebut dilakukan dalam
lingkup keluarga, maka perbutan tersebut menjadi delik aduan. Delik aduan tersebut
termasuk delik aduan relatif, karena delik relatif adalah delik yang biasanya bukan delik
aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak saudara maka menjadi delik aduan.
Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 ayat (1) KUHP, dapat diketahui
bahwa keadaan-keadaan tidak bercerai meja makan dan tempat tidur, tidak bercerai harta
kekayaan atau tidak bercerai antara suami dan isteri merupakan dasar-dasar yang
meniadakan tuntutan bagi seorang suami atau seorang isteri, jika mereka melakukan atau
membantu melakukan tindak pidana pencurian seperti yang diatur dalam Pasal 362.
27
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian II, (Bandung : balai lektur Mahasiswa), hlm 165
28
363,364 dan Pasal 365 KUHP terhadap harta kekayaan berupa benda-benda bergerak
kepunyaan isteri atau suami mereka, yang pada hakikatnya adalah harta kekayaan mereka
sendiri.29
Bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Sipil (B.W)
berlaku peraturan tentang cerai meja makan yang berakibat, bahwa perkawinan masih
tetap, akan tetapi kewajiban suami isteri untuk tinggal bersama serumah ditiadakan.
Dalam hal ini maka pencurian yang dilakukan oleh isteri atau suami dapat dihukum, akan
tetapi harus ada pengaduan dari suami atau isteri yang dirugikan. Hukum Adat (Islam)
Indonesia tidak mengenal perceraian meja dan tempat tidur ataupun perceraian harta
benda. Oleh karena itu Pasal 367 KUHP yang mengenai bercerai meja makan, dan tempat
tidur atau harta benda tidak dapat diberlakukan pada mereka yang tunduk pada Hukum
Adat (Islam)
Menurut Pasal 367 ayat 2 KUHP, apabila pelaku atau pembantu dari pelaku
pencurian dari Pasal 362-365 KUHP adalah suami atau isteri korban, dan mereka
dibebaskan dari kewajiban tinggal bersama, atau keluarga semenda, baik dalam keturunan
lurus maupun kesamping sampai derajat kedua, maka terhadap
orang itu sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan atas pengaduan si korban pencurian.
Ayat (3) menentukan, jika menurut adat istiadat garis ibu (matriarchaat dari
daerah Minangkabau), kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak, maka
aturan ayat (2) berlaku juga untuk orang lain.30
Mengenai siapa yang berhak atas mengajukan pengaduan Pasal 72 KUHP,
merumuskan :
29
P A F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus KEJAHATAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)., hlm. 64
30 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (bandung : Refika
3. Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) orang lain bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil-wakilnya yang sah dalam perkara sipil.
4. Jika tidak ada wakil-wakilnya atau dia sendiri yang harus mengadukannya, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awasi atau curator atau majelis yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang suami kaum keluarga dalam keturunan memyimpang sampai derajat ketiga.
Dalam Pasal 73 KUHP ditentukan, “jika terhadap siapa kejahatan itu telah
dilakukan, meninggal dunia, maka pengaduan dilakukan oleh orangtuannya,
anak-anaknya atau isteri/ suami dari yang meninggal dunia, kecuali jika orang yang meninggal
dunia itu ternyata tidak menghendaki adanya pengaduan itu.”
Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya
yang berwenang mengajukan pengaduan ialah orang yang menurut sifat dari
kejahatannya, merupakan orang yang secara langsung telah menjadi korban. Atau orang
yang dirugikan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.31
B. Proses Pemeriksaan Pencurian Dalam Keluarga
Hukum acara pidana pada umumnya tidak terlepas dari hukum pidana materil,
artinya masing-masing saling memerlukan satu sama lain, hukum pidana (materiel)
memerlukan hukum acara pidana (formil) untuk menjalankan ketentuan hukum pidana,
demikian pula sebaliknya hukum acara pidana tidak berfungsi tanpa adanya hukum
pidana (materiel).
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH merumuskan hukum acara pidana
sebagai suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah
yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.32
Simon merumuskan hukum acara pidana mengatur bagaimana negara dengan
alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan
hukuman.
33
Mr. J.M. Van Bemmelen berpendapat bahwa hukum acara pidana adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bila menghadapi
suatu kejadian yang menimbulkan syakwasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum
pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan dimuka dan oleh
hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus
memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus
dijalankan34
Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan tentang tujuan
hukum acara pidana yaitu ; tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan mendapatkan
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan
dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Tujuan hukum acara pidana menurut rumusan pedoman pelaksanaan KUHAP
tersebut menunjukkan bahwa kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materil dalam rumusan tersebut dirasa kurang tepat sebab mendekati
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi,(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 2
33 Ibid 34
kebenaran belumlah dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran, oleh karena hukumam
yang mungkin dijatuhkan dalam perkara pidana terdapat hukuman badan maka kebenaran
materil tersebut harus diperoleh untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam
menjatuhkan hukuman.35
Van Bemmelen mengemukan tiga fungsi hukum acara pidana sebagai berikut;
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
1. Proses Penyidikan
a. Kewenangan Polri Menurut KUHAP dan Undang-undang
Kewenangan Polri Menurut Undang-Undang
Dalam hal tugas dan wewenang Polri telah diatur dalam berbagai peraturan
peraturan perundang-undangan, akan tetapi bilamana disimpulkan maka tugas pokok
Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat diseluruh Indonesia.
Dalam rangka menggerakkan tugas pokok menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat tersebut maka Polri mempunyai kewajiban dan wewenang sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Kepolisian NKRI No.2 tahun 2002 yaitu:
Pasal 2 : Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertujuan untuk menjamin tertib dan
tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan
keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
di dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara dan
tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
35
Pasal 3 : fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang
penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbing
masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta
terbinanya ketentraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, maka kepolisian
negara mempunyai tugas (Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002):
a) Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum;
b) Melaksanakan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan
dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c) Bersama-sama dengan segenap komponen ketentuan pertahanan keamanan negara
lainnya, membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan
keamanan dan ketertiban masyarakat;
d) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya
usaha-usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a,huruf b, dan huruf c;
e) Melaksanakan tugas lain seperti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Didalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia, maka yang menyangkut
wewenang dari polisi telah ditentukan dalam Pasal 30 yaitu :
1. Selaku alat negara, penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum dan
bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan negara lainnya
2. Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan
dan pelayan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan
perundang-undangan,
3. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya
usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud dengan angka 2 dan 2 ayat 4 pasal ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pada hakekatnya tugas polisi secara garis besar menyangkut ;
1. Masalah penegak hukum
2. Masalah menyelenggarakan ketentraman masyarakat
3. Masalah memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat
Selanjut dalam pasal 39 (2) UU No. 20/1982, ketentuan bahwa kepada
kepentingan Negara RI, memimpin Mabes Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab atas :
a. Mengusahakan ketaatan dari warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan
b. Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan
c. Mencegah dan melindungi tumbuhnya penyakit masyarakat dan aliran kepercayaan
yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan bangsa
d. Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam, gangguan atau
bencana termasuk memberikan pertolongan yang dalam pelaksanaan wajib
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan
e. Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan fungsi dan tugasnya
f. Dalam keadaan darurat bersama-sama dengan komponen kekuatan pertahanan
keamanan negara melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Di samping apa yang ditentukan dalam Pasal 30 (4) dan pasal 39 (2) UU
No,20/1982, Polri sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan segara diberi tugas
pula ikut mempertahankan keutuhan wilayah, daratan Nasional Pasal 30 (1), ikut
mempertahankan keutuhan seluruh perorangan dalam yurisdiksi nasional, serta
melindungi kepentingan nasional di darat atau di laut Pasal (2) dan ikut mempertahankan
wilayah dirgantara nasional pasal 30 (3).
Kewenangan Polri Menurut KUHAP
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 1 butir 4 dan
Pasal 4, menyatakan bahwa Polri adalah pejabat yang berwenang melakukan
penyelidikan. Artinya Jaksa atau pejabat lainnya tidak dapat melakukan penyelidikan.
Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan;
1. Menyerdehanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan
berwenang untuk melakukan penyelidikan;
2. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga
tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami pada masa HIR;
3. Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika
ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi
penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan
efesiansi.36
Sehubungan dengan itu, oleh KUHAP diartikan bahwa penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya melakukan
penyidikan (pasal 1 butir 5 KUHAP). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan
sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan
peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta
laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidik.
Menurut ketentuan yang tercantum dalam KUHAP dalam melakukan
tugasnya penyelidik mempunyai wewenang yang meliputi :
1) Dalam hal tindak pidana tidak tertangkap tangan.
a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang;
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana
(2) Mencari keterangan dan alat bukti,
(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri,
(4) Mengadakan “tindakan lain” menurut hukum yang bertanggung jawab
(Pasal 5 ayat(1) sub a KUHAP), yang dimaksud dengan “tindakan lain”
adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan.
36 M.Yahya,Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;penyidikan
Tindakan lain yang dilakukan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut ;
- Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan pejabat,
- Tindakan itu harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam
lingkungan jabatannya
- Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa,
- Menghormati hak asasi manusia
- Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
b) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa :
(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan,
(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat,
(3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang,
(4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik (pasal 5 ayat (1)
sub b KUHAP)
2) Dalam hal tindak pidana tertangkap tangan
Menurut ketentuan pasal 103 (2) KUHAP, dalam hal tindak pidana tertangkap
tangan, selain berwenang melakukan tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal
5 ayat (1) sub a KUHAP, penyelidik juga berwenang bahkan tanpa menunggu
diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat
(1) huruf b KUHAP, tanpa menunggu perintah dari penyidik (pasal 102 ayat 3
KUHAP).37
Selain melakukan penyelidikan Polri juga berwenang melakukan penyidikan, hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa
Penyidik adalah pejabat Polisi negara.
Seorang pejabat kepolisian dapat diberikan jabatan penyidik, harus memenuhi
syarat kepangkatan seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP, yang
menyatakan syarat kepangkatan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang syarat kepangkatan tersebut adalah
PP No. 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat yang dimaksud yaitu :
1. Pejabat penyidik penuh
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, Polisi yang dapat menjadi
Penyidik penuh adalah polisi yang memenuhi syarat berupa ;
a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi
b) Atau berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu
sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan
Dua
c) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI,
2. Penyidik Pembantu
37 Djoko prakoso , Penyidik, Penuntut Umum, Hakim; Dalam Proses Hokum Acara
Dalam Pasal 3 PP No.27 Tahun 1983 dinyatakan bahwa pejabat polisi yang dapat
diangkat sebagai penyidik pembantu adalah polisi yang memenuhi syarat
kepangkatan yakni :
a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b) Atau pegawai negeri sipil dalam lingkunagn Kepolisian Negara dengan syarat
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a);
c) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan
atau pimpinan kesatuan masing-masing.
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai
negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya
wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang khu