• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Asas Kebenaran Formil dalam Sengketa Status Keperdataan Seorang Anak dalam Perkara Nomor

113/Pdt.G/2015/PN.SMG

Sengketa status keperdataan seorang anak dalam perkara Nomor 113/Pdt.G/2015/PN.Smg tidak dapat dipisahkan dengan dua perkara sebelumnya yang saling terkait dan telah berlangsung sejak tahun 1989saat permohonan pengangkatan anak RBS dan perkara gugatan pada tahun 2001 mengenai penyerahan anak RBS kepada orangtua angkatnya, dan perkara pada tahun 2015 mengenai gugatan pembatalan pengangkatan anak RBS tersebut.

Dari tiga sengketa tersebut juga dilakukan upaya-upaya hukum biasa maupun luar biasa, sehingga total menghasilkan delapan putusan yang berbeda-beda. Delapan putusan tersebut terdiri dari satu penetapan permohonan pengangkatan anak, empat putusan dalam perkara pada tahun 2001 dan tiga putusan perkara pada tahun 2015. Pokok perkara yang dipersengketakan pada tahun 2015 dengan perkara Nomor 113.Pdt.G/2015/PN.SMG tetap sama, yakni terhadap status keperdataan seorang anak bernama RBS yang telah berlangsung sejak anak tersebut berusia enam bulan sampai berusia 25 tahun.

91 Terhadap delapan putusan tersebut penulis membahas mengenai bagaimana penerapan asas kebenaran formil dalam sengketa status keperdataan seorang anak. Menurut M. Yahya Harahap,kebenaran formil (formeel waarheid) adalah hakim dalam mencari dan mewujudkan suatu kebenaran bukanlah yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable).69 Menurut Murdiyono, kebenaran formil merupakan kebenaran berdasarkan kehendak para pihak, dan hakim tidak dituntut adanya suatu keyakinan pada proses pembuktian sepanjang para pihak mampu membuktikan kebenaran dalilnya.70

Hakim perdata memang cukup untuk mencari dan menemukan kebenaran formil, tetapi tidak ditutup kemungkinan untuk mewujudkan kebenaraan materiil sepanjang ditemukannya fakta-fakta yang sah atas suatu penggalian secara mendalam oleh hakim terhadap fakta tersebut dan adanya kehendak para pihak.

Kebenaran formil yang dicari hakim perdata harus kebenaran yang utuh dan saling berkaitan dengan kasus yang terjadi. M. Yahya Harahap mempertegaskan kembali mengenai penerapan kebenaran formil, yakni.71

Kebenaran formil jangan ditafsirkan dan dimanipulasi sebagai bentuk kebenaran yang setengah-setengah atau kebenaran yang diputar balik. Namun, harus merupakan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil penjabaran semua fakta dan peristiwa yang terjadi dan diperoleh selama proses persidangan berlangsung.

69M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 496.

70Wawancara dengan Murdiyono, Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, pada hari Senin, 15 Januari 2018.

92 Mengingat terdapat perbedaan putusan dalam perkara status keperdataan anak bernama RBS, maka pembahasan penerapan asas kebenaran formil dalam perkara yang diteliti ini dilakukan terhadap masing-masing putusan yang ada.

a. Penetapan Pengadilan Negeri Semarang No.721/Pdt/P/1989/PN.Smg tentang Pengangkatan Anak

Awal mula terjadinya sengketa status keperdataan seorang anak bernama RBS merujuk pada Penetapan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 721/Pdt/P/1989/PN.Smg tanggal 16 Nopember 1989. Setelah adanya pengangkatan anak dikeluarkan Akta Kelahiran No.210/II/1989 tanggal 30 Nopember 1989 oleh Kantor Catatan Sipil Kota Semarang.

Petitum pokok dari Penetapan Pengadilan Negeri Semarang No.721/Pdt/P/1989/PN.Smg adalah permohonan pengangkatan seorang bayi laki-laki bernama RBS lahir di Semarang tanggal 30 Mei 1989 yang berumur enam bulan tiga hari dari anak kandung perempuan bernama FE, pada tanggal 3 Nopember 1989 yang dilakukan oleh para pemohon (GBS dan TLI). Terhadap petitum permohonan tersebut, maka Pengadilan Negeri Semarang dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pengangkatan anak RBS yang dilakukan oleh pasangan suami isteri GBS dan TLI dan pengangkatan anak tersebut sah dengan dikeluarkan penetapan Pengadilan Negeri Semarang tersebut. FE yang pada saat itu sebagai seorang ibu yang anaknya akan di adopsi, tidak keberatan dengan adanya proses adopsi tersebut karena pada dasarnya para pihak sudah saling sepakat untuk melakukan adopsi terhadap anak laki-laki bernama RBS. FE

93 pun tidak meminta syarat apapun kepada GBS dan TLI sebagai orangtua angkat dari anaknya.

Hakim perdata dalam memutus Penetapan Pengadilan Negeri Semarang No. 721/Pdt/P/1989/PN.Smg sesuai dengan kebenaran formil, karena dalam memutus penetapan tersebut didasarkan dari fakta bahwa para pihak sepakat untuk melakukan pengangkatan anak RBS. Kemudian sesuai juga dengan kehendak masing-masing pihak, dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak para pihak tidak menyebutkan asal-usul dan status keperdataan RBStersebut, sehingga hakim pun mengikuti luas pokok masalah yang diajukan para pihak dengan tidak menggali lebih mendalam mengenai status sebenarnya RBS tersebut yang kemudian hari diketahui sebagai anak kandung dari penggugat I (GBS).

Secara prosedural pengajuan permohonan anak angkat yang dilakukan oleh GBS dan TLI telah benar dan sesuai dengan yurisdiksi permohonan yang diajukan yakni secara sepihak (ex parte), tidak bersinggungan dengan kepentingan orang lain dan demi kepentingan/kesejahteraan anak RBS. Adopsi bertujuan untuk kesejahteraan anak adopsi, menjamin masa depan si anak serta untuk menciptakan ikatan batin antara anak angkat dengan orangtua angkat. Penetapan pengangkatan anak sebagai akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat karena merupakan dokumen yang diterbitkan oleh pengadilan. Pasal 1868 KUHPerdata mengatur mengenai akta otentik “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat akta itu dibuat.”

94 b. Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.209/Pdt.G/2001/PN.Smg Putusan No.209/Pdt.G/2001/PN.Smg merupakan suata perkara contentious(mengandung sengketa). Sengketa tersebut mengenai status keperdataan anak RBS yang menjadi awal dari perkara diajukan oleh para penggugat (GBS dan TLI). Pokok perkaranya menuntut penyerahan anak angkat bernama RBS kepada para penggugat, karena sejak adanya penetapan pengangkatan anak tahun 1989 dan sampai pada tahun 2001 saat perkara ini diajukan anak angkat tersebut masih berada dalam lingkungan ibu kandungnya yakni tergugat (FE). Inti jawaban tergugat (FE) mengenai petitum penyerahan anak bernama RBS adalah tidak benar tergugat (FE) mengambil kembali anak bernama RBS karena para penggugat (GBS dan TLI) yang menghendaki agar anak itu bersama tergugat (FE). Selanjutnya, tuntutan dari jawaban tergugat (FE) adalah menyatakan sah penetapan pengangkatan anak RBS dan menghukum para penggugat (GBS dan TLI) untuk mengambil dan mengasuh serta mendidik RBS secara baik dan penuh kasih sayang. Pada akhirnya amar putusan Nomor 209/Pdt.G/2001/PN.Smg memutus mengabulkan sebagian gugatan para penggugat dan menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Semarang No. 721/Pdt.P/1989/PN.Smg tentang pengangkatan anak dan Akta Notaris No.03 tentang Adopsi tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak adanya putusan tentang penyerahan anak RBS.

Dalam perkara ini, hakim Pengadilan Negeri Semarang tidak sekedar mencari kebenaran formil, tetapi juga mencari dan mewujudkan kebenaran materiil. Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam mencari kebenaran materiil

95 telah mengabaikan Penetapan Pengadilan Negeri Semarang tahun1989 tentang Pengangkatan Anak yang mana setiap putusan hakim harus dianggap benar serta harus dihormati (res judicata provaritate habitur). Dalam putusannya hakim Pengadilan Negeri Semarang berusaha menggali fakta mengani asal-usul sebenarnya status anak bernama RBS tersebut. Majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan memutus perkara ini didasarkan pada alat-alat bukti dan fakta-fakta yang ada selama proses persidangan. Pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Menurut Sudikno Mertokusomo, hakimlah yang menentukan beban pembuktian (burden of proof) yang harus dipikul para pihak yang berperkara untuk mengajukan alat bukti sesuai peraturan dalam Pasal 163 HIR yang mengatur mengenai beban pembuktian.72Berdasarkan pasal tersebut jika dikaitkan dengan putusan Nomor 209/Pdt.G/2001/PN.Smg para penggugat wajib membuktikan peristiwa yang digugatkannya, sedangkan tergugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan bantahannya.

Para penggugat selama proses pembuktian mengajukan bukti-bukti tertulis dan saksi-saksi, serta Majelis Hakim memanggil para penggugat in person untuk didengarkan keterangannya, pembuktian para penggugat antara lain: