• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP

C. Penerapan Pemberian Ganti Kerugian Oleh Pihak

Secara umum ganti kerugian dalam konteks kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh pihak terkait masih termasuk ke dalam pokok bahasan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini secara gamblang dijelaskan dalam Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang berbunyi :

“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/

atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

Suatu tindakan dinyatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur:

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan);

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/

perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat dan keadaan.55

Konsep hukum pidana menjelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas tergolong dalam tindak pidana, baik disengaja atau disebabkan atas kealpaan pengemudi.

Jika dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi:

“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

55 Chairul Huda Loc.Cit hal 26

Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat. Kewajiban mengganti kerugian yang didasari atas putusan pengadilan dalam hal kecelakaan lalu lintas termasuk ke dalam perkara perdata yang digabungkan dengan perkara pidana. Penggabungan perkara pidana dan perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 98-101.

BAB III

STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Tindak pidana ialah tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Tindak pidana yang di artikan oleh Simons tersebut mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan melanggar hukum dapat dinyatakan tindak pidana meskipun tiada unsur kesengajaan dari pihak yang menyebabkan peristiwa tersebut. Unsur lain yang menjelaskan suatu perbuatan tersebut dapat dinyatakan tindak pidana juga terdapat pihak penyebab peristiwa tersebut yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dan adanya aturan yang menyangkut dengan peristiwa itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan kecelakaan lalu lintas ialah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan\atau kerugian harta benda.

Berdasarkan pengertian dari pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut peristiwa kecelakaan adalah peristiwa yang terjadi karena kesalahan pelaku kecelakaan lalu lintas itu dan dalam hukum pidana kesalahan pelaku tersebut tergolong ke dalam jenis culpa.Culpa sendiri mengandung arti kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu satu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.56

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yakni:

1. Kelalaian pengguna jalan, misalnya : menggunakan handphone ketika mengemudi, kondisi tubuh letih dan mengantuk, mengendarai kendaraan dalam keadaan mabuk, kurangnya pemahaman terhadap rambu-rambu lalu lintas, berkendara secara brutal dan ugal-ugalan, dan sebagainya.

2. Ketidaklaikan kendaraan, misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang tidak standard, rem blong, kondisi ban yang sudah tidak layak pakai, batas muatan yang melebihi batas angkut kendaraan dan sebagainya.

3. Ketidaklaikan jalan dan/atau lingkungan. : kondisi jalan yang berlubang, kurangnya pemasangan rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan dan sebagainya.

Berdasarkan rangkaian diatas dan diperkuat dengan ketentuan dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

56 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco Jakarta, 1981, Bandung, hal. 61

Jalan kecelakaan lalu lintas termasuk kedalam tindak pidana. Hal ini diperkuat dengan isi pasal tersebut yang berbunyi :

“perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Suatu tindakan dinyatakan tindak pidana jika memenuhi unsur : a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum;

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/

perundangan dan terhadap pelanggaran diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat dan keadaan.57

Faktor-faktor kecelakaan lalu lintas yang terjadi dan disebabkan oleh kelalaian pengguna jalan diatur dalam pasal 310-311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kelalaian pengguna jalan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas secara implisit juga termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana bunyinya yakni :

Pasal 359 KUHP

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

57 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal. 211.

Pasal 360 KUHP

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”

Ketentuan dalam pasal 359-360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengandung pengertian bahwa kesalahan ataupun kealpaan adalah kondisi dari subjek yang disebut dengan culpa, yang karena tindakannya mengakibatkan suatu peristiwa tindak pidana. Culpa sendiri mengandung pengertian suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Ketentuan dalam KUHP yang merupakan kodifikasi utama dalam pemidanaan di Indonesia tidaklah berlaku apabila dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian.Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa :

“jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”

Penyelarasan atas pasal 63 ayat (2) dalam KUHP tersebut sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis.Asas hukum lex specialis derogat legi generalis mengandung pengertian bahwa undang-undang yang bersifat

khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.58 Sifat-sifat yang melekat dari asas lex specialis derogat legi generalis inilah yang kemudian ditransformasikan kaitannya dalam unsur pemidanaan terutama perihal kecelakaan lalu lintas.Hal ini disebabkan dalam KUHP tidak diatur secara jelas mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Tindak pidana kecelakaan lalu lintas sendiri termaktum dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Melihat dari pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.

Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara. Secara lengkap diatur ketentuan pasal 311 yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan

58 Liza Erwina, 2012, Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, Hal. 54

dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 311 ayat (5) antara lain:

1. Setiap orang;

2. Mengemudikan kendaraan bermotor;

3. Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang

4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.59

Ketentuan Pasal 311 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya serupa dengan Pasal 310, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311 ini adalah terdapatnya unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan hukuman pidana dalam pasal 311 lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310.

59 http://patuhorangindonesia.blogspot.co.id/2013/08/pertanggungjawaban-pidana-pada.html diakses pada tanggal 16 Oktober 2016

Berdasarkan pengaturan perundangan yang berlaku terkait dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas, jika dalam kasus kecelakaan pengemudi kendaraan yang menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan, maka jaksa penuntut umum dapat menambahkan pasal 281 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terkait pelanggaran atas syarat dalam mengemudikan suatu kendaraan bermotor, yang berbunyi:

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.

Penambahan pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang berkaitan dengan pelanggaran atas syarat mengemudi kendaraan bermotor ialah bentuk dalam menguatkan tuntutan atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi.

Untuk memperjelas pasal diatas, bunyi Pasal 77 ayat (1) tersebut adalah:

Pasal 77 ayat (1)

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”

Penambahan pasal yang dimuat jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya ialah dasar untuk menguatkan dalam penuntutan dan pemidanaan

penyebab kecelakaan lalu lintasyang tidak memenuhi persyaratan dalam mengemudi kendaraan bermotor tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jaksa penuntut umum dapat menuntut penyebab terjadinya tindak pidana dengan dakwaan yang diperoleh dari pengajuan penyidik berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan terhadap penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang tidak memenuhi persyaratan dalam mengemudi kendaraan bermotor oleh jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan kumulatif. Dakwaan kumulatif ialah dakwaan yang dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.60

Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkatan Jalan tersebut setiap peristiwa kecelakaan lalu lintas tergolong ke dalam peristiwa tindak pidana yang selalu melibatkan beberapa pihak terkait dengan pelanggaran atau kejahatan pidana itu sendiri.

B. Status Pihak Terkait Setelah Memberi Ganti Kerugian Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut isinya hukum dapat dibagi menjadi hukum privat dan hukum publik. Hukum privat adalah hukum yang mengatur antara hubungan orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Hukum publik ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya.61

60 Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan

61 C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Balai Pustaka. 2002. Hal.46

Hukum privat yang bersifat perorangan dan perikatan dapat digambarkan sebagai hukum perdata dan hukum dagang. Sedangkan hukum publik yang sifatnya lebih kepada pengaturan dan kebijakan digambarkan dalam hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan hukum internasional.

Apabila dikaitkan dengan pengertian kecelakaan lalu lintas maka peristiwa kecelakaan lalu lintas dan ganti rugi adalah keadaan yang terpisah segi hukum yang mengadilinya. Kecelakaan lalu lintas masuk ke dalam ranah hukum pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi :

“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pengertian Kecelakaan lalu lintas berdasarkan pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Peristiwa kecelakaan lalu lintas ialah segi hukum pidana yang mana mengakibatkan korban manusia, sedangkan ganti kerugian merupakan ranah hukum perdata.

Unsur yang terkandung di dalam Pasal 1 angka ke 24 ini ialah, mengakibatkan korban manusia dan kerugian harta benda. Hal ini menjadi landasan pengertian tersebut mengacu kepada dua hukum berbeda yakni yang mengarah kepada hukum pidana yang melibatkan korban manusia dan hukum

perdata terkait dengan kerugian harta benda. Dalam praktiknya, peristiwa kecelakaan lalu lintas pastilah melibatkan pengguna jalan.

Berdasarkan pada pasal 1 angka ke 27 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan pengguna jalan adalah setiap orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas.

Penjabaran pengguna jalan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengemudi;

2. Pejalan Kaki;

3. Jasa Angkutan Umum;

4. Penumpang.

Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan komponen pengguna jalan selalu saja berbuntut panjang pada permasalahan hukum. Tak jarang permasalahan tersebut berakhir di sidang pengadilan. Dalam praktiknya, korban yang mengalami penderitaan akibat kecelakaan tentu berusaha untuk mengembalikan hak-hak yang diderita baik yang sifatnya materiil dan juga inmateriil.

Pada praktiknya apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, korban yang merasa telah dirugikan atas perbuatan tersangka akan menuntut haknya baik secara pidana dan perdata. Meskipun permasalahan kecelakaan lalu lintas yang kaitannya lebih menitik beratkan pada permasalahan pidana yang mengakibatkan korban manusia, hal ini tidaklah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Kecelakaan lalu lintas yang merupakan tindak pidana yang menimpa diri korban dan juga memberikan dampak kerugian baik secara materiil dan inmateriil

dapat digabungkan perkaranya. Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat proses untuk memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan ganti kerugian yang pada hakekatnya merupakan perkara perdata.62

Masalah gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP berbeda dengan apa yang dimaksud dengan ganti kerugian yang diamksud pada Bab XII Bagian kesatu Pasal 95 KUHAP, sebab gudatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada Pasal 98 KUHAP adalah “suatu gugatan ganti kerugian yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang,” jadi gugatan ganti kerugian dalam pengertian ini bersifat asesoir dari perkara yang ada.63

Namun bisa saja permasalahan kecelakaan lalu lintas tidak sampai pada tahap persidangan di meja pengadilan. Bisa saja permalahan tersebut tidak sampai ke meja pengadilan sebab tidak ditemukannya pihak lain yang menyebabkan kecelakaan peristiwa, atau kesepakatan antara pengemudi yang menabrak dan tertabrak merasa hanya masalah senggolan yang tidak menyebabkan kerusakan berarti dan juga kesepakatan dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.

Berdasarkan pada pasal 240 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sendiri mengenai ganti kerugian dalam

62 Leden Marpaung Loc.cit Hal 26.

63 http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/

kecelakaan lalu lintas tertangguh atau ditanggungkan pada pihak yang bertanggung jawab. Baik pihak tertanggung tersebut dapat saja perusahaan angkutan jasa, ataupun pengemudi dari kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan pada putusan pengadilan. Kewajiban mengganti kerugian tersebut juga dapat dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai diantara para pihak. Hal ini diperkuat dengan pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pemberian ganti rugi oleh pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan lalu lintas tidak semata-mata menghilangkan tuntutan pidana yang akan diganjarkan kepadanya. Hal ini sendiri diperkuat dengan pasal 235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi :

“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.”

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa walaupun pengemudi telah bertanggung jawab atas penderitaan korban, tuntutan pidana terhadap dirinya tidak menjadi hilang. Akan tetapi, pertanggung jawaban akan biaya ganti rugi

sangat berpengaruh dalam menentukan putusan atas proses pengadilan terhadap pihak yang bertanggung jawab.

C. Pemidanaan Kepada Pihak Terkait Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Pasal 1 Ayat (3) menjelaskan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Karena itu untuk mewujudkan sebagai negara hukum maka segala penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum.

Sayangnya Indonesia belum secara keseluruhan memiliki hukum nasional yang dibuat oleh bangsa sendiri. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka hukum di Indonesia masih menggunakan hukum-hukum warisan kolonial yang disesuaikan dengan keadaan hukum di Indonesia atau sesuai dengan UUD 1945. Seperti yang tertulis dalam Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Hukum nasional yang merupakan warisan dari zaman kolonial, antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia telah dilakukan kodifikasi.

Sebagian besar dari aturan-aturan pidana telah disusun dalam suatu kitab undang-undang, yaitu KUH Pidana. Sebagian lagi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti peraturan lalu lintas, peraturan tentang tindak pidana terorisme. Selain sudah dikodifikasi, hukum pidana kita juga telah diunifikasi.

Tujuan hukum positif Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea

IV yang berbunyi “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Pemidanaan kepada pihak terkait dalam hal ini ialah tersangka yang menurut putusan pengadilan akibat kelalaiannya menyebabkan terjadinya peristiwa kecelakaan lalu lintas dan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh korban dari kecelakaan tersebut. Apabila merunut pada unsur yang berkaitan dengan definisi kecelakaan, maka kecelakaan lalu lintas tergolong kedalam buku kedua dalam KUH Pidana yang disebabkan karena kelalaian pengemudi tersebut.

Berdasarkan sistem peradilan hukum di Indonesia dan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Berdasarkan sistem peradilan hukum di Indonesia dan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Dokumen terkait