• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA SKRIPSI"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN KECELAKAAN

LALU LINTAS DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MUHAMMMAD FEBRY RAMADHAN 120200033

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

PENGATURAN GANTI RUGI YANG DIBERIKAN OLEH PIHAK TERKAIT TERHADAP KORBAN

KECELAKAAN LALU LINTAS DI INDONESIA SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MUHAMMAD FEBRY RAMADHAN 120200033

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. M. Hamdan, SH., M.H.) NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Edi Yunara, SH., M.Hum) (Dr. Marlina, SH., M.Hum) NIP. 196012221986031003 NIP. 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

ABSTRAK

Muhammad Febry Ramadhan* Edi Yunara**

Marlina***

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pengaturan ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas tidak dijelaskan secara terperinci baik dalam pemberian dan penyelesaiannya.

Penelitian tentang pengaturan ganti rugi kepada korban kecelakaan lalu lintas ini diharapkan memberikan kesadaran untuk lebih memberikan hak-hak korban kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan pokok pemikiran diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan mengenai ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas menurut hukum positif di Indonesia dan bagaimana status pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya serta apa saja peran penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).

Pengaturan mengenai ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia sendiri telah diatur dalam pasal 240 b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Status pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya tidaklah mengalami keguguran sebagaimana diatur dalam pasal 235 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Peran penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas sendiri tidaklah terlalu dibutuhkan kecuali adanya permintaan khusus dari salah satu pihak untuk menghindari pertikaian dalam penyelesaian perkara ganti kerugian yang dimaksudkan berlangsung secara damai dan bersifat kekeluargaan.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam saya haturkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan yang diridhoi Allah SWT.

Pada kesempatan ini dengan rendah hati, saya mempersembahkan skripsi yang berjudul, “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia” kepada dunia pendidikan untuk memperluas pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi agar dapat dipergunakan oleh masyarakat di masa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi terutama untuk orang tua penulis yang telah menjadi orang tua terhebat yang selalu mencurahkan kasih sayangnya dan memberikan semangat hidup agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

7. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Para Dosen, serta staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kepada seluruh teman-teman yang selalu menemani dan membantu saya dalam proses pembuatan skripsi saya ini terutama Agung, Ajad, Taufiq, Mamas, Amrul, Umam, Alfian, dan Faisal.

13. Kepada teman-teman seperjuangan Grup E stambuk 2012, Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2012.

14. Kepada Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana, yang telah mendukung dan membantu dalam pengerjaan skripsi ini.

15. Kepada sahabat-sahabat SMA yang terus memberi semangat dan desakan agar selesainya skripsi ini.

16. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi

(6)

ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Nopember 2016

Muhammad Febry Ramadhan (NIM. 120200033)

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan ... 6

2. Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Hukum Pidana ... 7

2. Pengertian Pihak Terkait, Ganti Rugi dan Kecelakaan Lalu Lintas ... 14

3. Pengertian Korban ... 17

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 20

3. Teknik Pengumpulan data ... 22

4. Analisis Data ... 22

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS A. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia ... 25

B. Pengaturan Pemberian Ganti Rugi Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas ... 31

C. Penerapan Pemberian Ganti Kerugian Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas... 39

(8)

BAB III : STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 42 B. Status Pihak Terkait Setelah Memberi Ganti Kerugian

Kecelakaan Lalu Lintas ... 50 C. Pemidanaan Kepada Pihak Terkait Dalam

Kecelakaan Lalu Lintas ... 54 BAB IV : PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN

GANTI RUGI PADA KECELAKAAN LALU LINTAS A. Tugas Dan Wewenang Aparat Penegak Hukum Dalam

Perkara Kecelakaan Lalu Lintas ... 61 B. Pemberian Ganti Rugi Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Dan Hubungannya Dengan Prinsip Restorative Justice ... 71 C. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberian Ganti Rugi

Berdasarkan Prinsip Restorative Justice ... 77 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.1 Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik tentang data Susenas tahun 2014 dan 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa.2 Transportasi merupakan bagian penting bagi masyarakat dalam menjalankan roda kehidupannya. Semakin menuju ke era globalisasi, maka semakin canggih pula alat transportasi yang hadir untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan alat transportasi ini terjadi sangat pesat. Dahulu dari Kota A ke Kota B harus menunggangi kuda atau delman, beralih menjadi sepeda lalu bertranformasi dalam bentuk sepeda motor dan disempurnakan dengan kehadiran mobil. Selain alat transportasi darat seperti sepeda motor dan mobil, ada juga alat transportasi laut berupa kapal laut, kapal tongkang dan alat transportasi udara yaitu kapal terbang. Namun, diantara alat transportasi yang hadir, alat transportasi darat lebih mendukung mobilitas orang serta barang. Alat transportasi darat memegang peranan yang vital dalam memperlancar pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alat tranportasi darat tersebut di dominasi kendaraan roda dua dan roda empat terutama sepeda motor dan mobil penumpang.

Data Jumlah Perkembangan Kendaraan Unit Bermotor 1987-2015 oleh Badan Pusat Statistik jumlah tersebut dibuktikan dengan angka 128.735.972 unit

1 https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia diakses tanggal 1 April 2016, pukul 23.45

2 https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/960

(10)

kendaraan bermotor.3 Jumlah yang cukup besar antara alat transportasi dan tingkat populasi masyarakat, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas adalah masalah yang kerap terjadi dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kecelakaan yang terjadi dapat disebabkan tingginya mobilitas masyarakat dan padatnya jalan sementara infrastruktur penunjang transportasi tidak mengalami kemajuan yang pesat.

Selain itu, kecelakaan tersebut juga terjadi disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengemudikan kendaraan, seperti menerobos lampu merah, tidak mengenakan helm dan berjalan melawan arah yang tidak hanya berakibat bagi pengemudi itu secara individual tetapi juga bisa berakibat bagi pengguna jalan yang lain. Faktor lain dalam meningkatnya kecelakaan ialah standarisasi pembinaan oleh pihak kepolisian di daerah dalam mengemudikan kendaraan yang amburadul dan tidak kompeten.

Banyaknya jumlah pengemudi kendaraan bermotor yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan juga tidak layak dalam hal berkendara terutama anak sekolah tentu sangat beresiko dalam pelaksanaan kegiatan berlalu lintas.

Lebih lanjut lagi, data dari Kepolisian Republik Indonesia mengumumkan bahwa angka kecelakaan di Indonesia cukup tinggi terutama pada hari-hari libur, akhir pekan dan juga detik-detik perayaan hari besar keagamaan.

Kecelakaan lalu lintas ini bisa berakibat pada kematian dan cacat fisik bagi pengguna jalan. Peristiwa kecelakaan lalu lintas tidak selalu disebabkan oleh kesalahan dari pengemudi, tetapi juga dapat disebabkan kurang memadai

3 http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1415 Data Badan Pusat Statistik Oktober 2015

(11)

infrastruktur penghubung darat yang rusak dan tidak layak jalan. Pelanggaran oleh pengemudi kendaraan bermotor merupakan faktor utama terjadinya sebuah kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran dalam berkendara oleh pengemudi secara otomatis akan menentukan seseorang menjadi tersangka yang dalam hal kaitannya yaitu kasus pemidanaan.

Faktor pendukung lain penyebab kecelakaan di Indonesia selain daripada tingkat kesadaran pengendara kendaraan bermotor, keadaan infrastruktur yang tidak memadai, dan standarisasi pembinaan berkendara ialah alih fungsi jalan oleh pedagang kaki lima. Jalan-jalan yang seharusnya dipergunakan untuk keperluan transportasi dan lalu lintas umum malah beralih fungsi menjadi spot-spot bagi pedagang kaki lima untuk menjajakan jualannya. Alih fungsi jalan oleh pedagang kaki lima ini berperan cukup penting dalam meningkatkan kecelakaan lalu lintas.

Lebih lanjut lagi akar dari permasalahan di bidang lalu lintas disebabkan oleh masyarakat yang kurang peduli terhadap terciptanya ketertiban berlalu lintas dan kurang paham mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang secara sadar maupun tidak sadar kurang melakukan pengawasan kepada setiap kendaraan bemotor yang menyalahi aturan dan tidak mempunyai dokumen yang lengkap sehingga layak untuk beredar di jalan raya. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat.4

Kepala Bidang Manajemen Operasional Rekayasa Lalu Lintas Korp Lalu Lintas Mabes Polri Kombes Pol Unggul Sediantoro menuturkan, berdasarkan data

4 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal 20

(12)

Korps Lalu Lintas Mabes Polri hingga September 2015 jumlah kasus kecelakaan lalu lintas mencapai 23.000 kasus.5 Data ini menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas cukup tinggi di Indonesia. Data terbaru yang dikeluarkan, World Health Organization (WHO) menunjukkan India menempati urutan pertama negara dengan jumlah kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara Indonesia menempati urutan kelima.6

Negara Indonesia menegaskan pengaturan tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Undang-undang ini menjadi dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai pidana denda terhadap setiap pelanggaran lalu-lintas secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut.

Kecelakaan lalu lintas pasti memakan korban yang merasa dirugikan oleh pihak tertentu. Korban kecelakaan lalu lintas memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian oleh pihak yang bertanggung jawab dari pihak yang menjadi penyebab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas.7

Pemberian ganti rugi kepada korban kecelakaan lalu lintas oleh pihak tertentu diklasifikasikan kepada kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh korban.

Kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh korban dapat berupa kecelakaan yang

5 http://www.merdeka.com/otomotif/hingga-september-2015-ada-23-ribu-kasus- kecelakaan-di-indonesia.html diakses tanggal 4 April 2016 pukul 23.20 WIB

6 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/4/11/06/nem9nc-indonesia-urutan- pertama-peningkatan-kecelakaan-lalu-lintas diakses tanggal 5 April 2016 pukul 00.20 WIB

7 Pasal 240 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(13)

bersifat ringan, sedang dan berat. Pemberian ganti kerugian kepada korban kecelakaan lalu lintas tersebut dapat diberikan berdasarkan dari putusan pengadilan atau kesepakatan antara pihak yang terlibat.

Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya bersifat ringan sehingga hakim lebih cenderung menjatuhkan pidana denda kepada setiap pelanggar lalu lintas.8 Sementara itu, dalam penerapannya di dalam kehidupan bermasyarakat, banyak sekali dijumpai pihak-pihak yang menjadi korban merasa sangat dirugikan atas terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimpa dirinya tersebut. Korban kecelakaan lalu lintas itu sendiri ada yang menderita kerugian baik dari segi fisik, material dan kejiwaan.

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan penulis diatas, maka penulis tertarik mengambil judul “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tentang ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas menurut hukum positif Indonesia ?

2. Bagaimana status pihak terkait dalam perkara pidana kecelakaan lalu lintas setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya ?

3. Bagaimana peran aparat penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas?

8 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal.24.

(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

a. Untuk dapat mengetahui pengaturan hukum pidana tentang ganti rugi terhadapa korban kecelakaan lalu lintas yang berlaku di Indonesia

b. Untuk dapat mengetahui status pihak terkait dalam perkara pidana setelah memberi ganti kerugian kepada pihak korban atau ahli warisnya

c. Untuk dapat mengetahui peran aparat penegak hukum dalam pemberian ganti rugi pada kecelakaan lalu lintas

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat secara teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap perkembangan ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia”.

b. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada Aparat Penegak Hukum, Pelaku Tindak Pidana, Masyarakat dan Pemerintah.

(15)

D. Keaslian Penelitian

Judul “Pengaturan Ganti Rugi Yang Diberikan Oleh Pihak Terkait Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia” ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya penulis sendiri. Penulis menyusun skripsi ini adalah terkait ganti rugi dalam tindak pidana lalu lintas dan berdasarkan dari referensi Tinjauan Pustaka.

E. Tinjauan Pustaka

I. Pengertian Hukum Pidana

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poniale.9 Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.10 Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai :

1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;

2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;

9 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Idomesia, (Bandung : Sinar Baru, 1984), hal.1-2

10 Ibid, hal.3

(16)

3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.11

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut :

1. Dalam arti luas:

Hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

2. Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak untuk mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peratuan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana dalam aeri objektif (ius poenale). Dengan kata lain, ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

Lebih lanjut lagi, Moeljatno menjelaskan hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

11 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal.9

(17)

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.12

Berdasarkan pendapat-pendapat menurut para ahli tersebut, dapatlah kita tarik benang merah yang menjelaskan hukum pidana itu sendiri, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang :

1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;

3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);

4. Cara mempertahankan/ memberlakukan hukum pidana.13

Tindak pidana dikenal dengan istilah straafbar feit, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisinya, begitupula dengan KUHP yang tidak menjelaskan secara rinci pengertian dari Straafbaar Feit tersebut. Strafbaar feit berasal dari bahasa belanda yang dibagi atas dua kata yaitu straafbaar yang berarti dapat dihukum dan feit memiliki pengertian sebagian

12 Moeljatno, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal.1

13 Ekaputra, Muhammad. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, hal. 5

(18)

dari suatu kenyataan, sehingga makna harfiah perkataan strafbaar feit adalah sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum,14 akan tetapi penjatuhan suatu hukuman tidak dapat dilakukan tanpa adanya seseorang yang melakukan perbuatan tersebut, Hal ini sejalan dengan pendapat Jonkers, ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”15 adapun istilah yang muncul saat kata Strafbaar Feit diterjemahkan yaitu : Tindak Pidana, Delik, Perbuatan Pidana, Peristiwa Pidana.16

a. Tindak Pidana

Kata Tindak Pidana ditemukan dalam aturan pidana di Indonesia, antara lain ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Komariah E. Sapradjaja menggunakan istilah tindak pidana dan mengartikannya sebagai suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.17 Pakar lain yang menggunakan kata Tindak Pidana

14 Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Cetakan ke IV, Bandung, Hal. 181.

15 Adami Chazawi, 2001, Pembelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Bagian 1, Jakarta, Hal. 75.

16 Tongat, 2002, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press, Hal. 101.

17 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Jakarta, Prenada Media, Hal. 26.

(19)

adalah Satochid Kartanegara, Menurutnya tindak pidana diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk mana ia dapat dipidana.18

b. Delik

Berasal dari bahasa latin Delictum yang dapat dipakai untuk mengartikan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Utrecht meskipun beliau juga menggunakan istilah lain yaitu peristiwa pidana untuk mengartikan strafbaar feit yaitu peristiwa pidana.19

c. Perbuatan Pidana

Moeljatno, ia mengartikan Strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana, ia menuliskan bahwa perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Moelijatno tidak setuju dengan penggunaan istilah tindak pidana karena menurutnya kata “tindak”

lebih pendek dari “perbuatan” sehingga hanya menunjukan suatu keadaan kongkrit saja.20

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.21 Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke

18 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Hal. 209.

19 Adami Chazawi, Op.cit, Hal.68.

20 Leden Marpaung, 1991, Unsur- Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 3.

21 P.A.F, Lamintang, Hal. 193.

(20)

dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.22

Hukum pidana juga termasuk ke dalam hukum publik, hal ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh Hazewinkel-Suringa yakni hukum publik

22Ibid, Hal. 194.

(21)

adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci sifat hukum publik dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka akan ditemukan ciri-ciri hukum publik yaitu:

1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan;

2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan.

Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa;

3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya negara/ penguasa wajib menuntut seseorang tersebut;

4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana objektif atau hukum pidana positif.23

II. Pengertian Pihak Terkait, Ganti Rugi dan Kecelakaan Lalu Lintas Pengertian pihak terkait yang termasuk ialah pengemudi, pemilik, perusahaan angkutan umum, perusahaan asuransi dan pemerintah. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki surat izin mengemudi.24

Pemilik ialah :

23Ibid. Hal. 8

24 Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(22)

a. Orang atau badan atas nama siapa tanda nomor untuk kendaraan bermotor itu dituliskan yaitu :

1. Orang pribadi;

2. Badan baik yang bersifat badan hukum atau tidak termasuk perusahaan negara;

3. Perkumpulan-perkumpulan;

4. Yayasan;

5. Koperasi;

6. Firma atau perseroan lainnya

b. Orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar negeri;

c. importir, dealer dan orang-orang atau badan-badan pemegang kendaraan bermotor yang belum mendapat tanda nomor Polisi Lalu lintas Indonesia.25

Perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/ atau barang dengan kendaraan bermotor umum.26 Perusahaan asuransi adalah lembaga yang menyediakan berbagai polis asuransi untuk melindungi seseorang atau nasabahnya dari berbagai macam resiko kerugian dengan cara membayar premi secara teratur, perusahaan asuransi bekerja dengan cara menyatukan resiko dari sejumlah pemegang polis asuransi.

Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain

25 Pasal 1 Ke-2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 Tentang Sumbangan Wajib Istimewa Tahun 1962 Atas Kendaraan Bermotor

26 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(23)

karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana.

Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.27

Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.28

Kecelakaan lalu lintas merupakan bahaya potensial akibat meningkatnya kegiatan dalam sektor ekonomi, khususnya perhubungan darat. Kerugian yang ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas tidak saja kerugian materil tetapi juga menyebabkan luka ringan, luka berat, cacat tubuh yang permanen, bahkan meninggal dunia.

Berdasarkan Pasal 93 PP Nomor 43 Tahun 1993 menyatakan bahwa korban kecelakaan lalu lintas dapat berupa :29

27 http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html diakses tanggal 9 April 2016, pukul 18.00 WIB

28 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(24)

1. Korban mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.

2. Korban luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, adalah orang yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.

3. Korban luka ringan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf c, adalah korban yang tidak termasuk dalam ayat (3) dan ayat (4).

III. Pengertian Korban

Berdasarkan pengaturan hukum di Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekontruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik ditingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.

Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa

29 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal 93.

(25)

kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban. Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut.

Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang di rugikan.30 Muladi sendiri memandang pengertian bahwa korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.31

Definisi korban tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.32 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.33

30 Arif Gosita, masalah korban kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, hlm 63

31 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, hlm 108

32 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

33 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(26)

Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.34 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.35

Berdasarkan pada pengertian-pengertian korban di atas, korban pada dasarnya bukan saja orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri/

kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

34 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi

35 Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

(27)

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.36

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Jenis dan Sifat Penilitian

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris adalah penelitian dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).

Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah pengaturan ganti rugi yang diberikan oleh pihak terkait terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa penerapan,

36 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2005, hlm. 42-43

(28)

pelaksanaan dan pengaturan hak yang berkaitan tentang korban kecelakaan lalu lintas.

2. Sumber Data

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam

penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5205), Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan Peratuan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : semua dokumen yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang- Undang (RUU), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

(29)

dan bahan hukum sekunder, misalnya : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.37

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang erkaitan dengan penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripisi ini adalah sebagai berikut :

37 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 113-114

(30)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar yang didalamnya dijelaskan mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengaturan tentang ganti rugi, pengaturan ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas dan penerapan pemberian ganti rugi oleh pihak terkait dalam perkara kecelakaan lalu lintas.

BAB III : STATUS PIHAK TERKAIT SETELAH MEMBERI GANTI KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

Di dalam bab ini akan diuraikan tentang tindak pidana kecelakaan lalu lintas, status dan pemidanaan kepada pihak terkait setelah pemberian ganti kerugian kepada korban kecelakaan lalu lintas.

BAB IV : PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERIAN GANTI KERUGIAN PADA KECELAKAAN LALU LINTAS Dalam bab ini akan dibahas mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum dan upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam pemberian ganti kerugian kepada korban dan kaitannya antara pihak terkait melalui prinsip restorative justice.

(31)

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambil dari bab-bab sebelumnya, dan juga berisi saran-saran yang berkaitan dengan hal-hal yang dikaji di dalam penulisan skripsi.

(32)

BAB II

PENGATURAN TENTANG GANTI RUGI TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Pengaturan Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.38 Mustafa Kamal Pasha menyatakan adanya tiga ciri khas negara hukum, yaitu :

1) Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM;

2) Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak, 3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.39

Negara hukum biasa disebut rechtstaat memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan

tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

2. Adanya pembagian kekuasaan Negara ;

3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.40

Berdasarkan pada ciri-ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa negara hukum adalah negara yang mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan penguasa negara dengan ketentuan yang berlaku dan disusun dalam suatu peraturan tertulis. Penjelasan diatas adalah cikal bakal atas pemikiran Plato yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Cita Plato tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya yaitu Aristoteles. Aristoteles

38 Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

39 http://www.seputarpengetahuan.com/2014/09/ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para-ahli- hukum.html

40 Ni’matul Huda, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, UII Press Yogyakarta, 2005, hal.9

(33)

berpendapat bahwa suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.

Salah satu bentuk penyelenggaraan yang baik dalam pemerintahan yang diatur menurut hukum ialah pengaturan hukum terhadap ganti rugi. Pengaturan hukum terhadap ganti rugi sendiri ialah bagian dari hukum privat yang tercakup dalam hukum perdata. Tetapi dalam pengaturannya di Indonesia, ada beberapa pengaturan ganti rugi yang berkaitan dengan hukum pidana.

Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebih menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditur akibat kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:

1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.

2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur.

3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.

Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana, namun di antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut.41 Sanksi ganti kerugian, menurut Schafer telah dikenal sejak masa hukum primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya

41 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, 1981, Bandung, Hal.113

(34)

“personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari.42 Pada masa ini terlihat, sanksi ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban.

Bentuk pengaturan lain terhadap ganti rugi dapat ditemui dalam KUHPerdata mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Suatu perbuatan melawan hukum dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum apabila memenuhi 4 syarat yakni :

1.

Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

2.

Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

3.

Bertentangan dengan kesusilaan

4.

Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.43

Menurut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib

42 Atmasasmita Romli, Tindak Pidana, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 1992, PT.

Eresco, Bandung, Hal.1

43 Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003, Jakarta, Hal.117

(35)

membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.44 Ganti rugi dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup sendiri adalah untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup dalam upaya pemulihan lingkungan yang disebabkan oleh pihak penanggung jawab usaha yang mencemarkan atau melakukan pengrusakan lingkungan baik secara di sengaja ataupun tidak.

Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.45

Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat proses untuk memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan ganti kerugian yang pada hakekatnya merupakan perkara perdata.46

Berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP, Penggabungan perkara Gugatan ganti rugi dilakukan jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh pihak Pengadilan telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan adanya penggabungan perkara gugatan ganti rugi pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan pada waktu yang sama diperiksa serta diputus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Tentunya penggabungan ini akan menguntungkan korban karena dengan cara ini

44 Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup

45 http://radityowisnu.blogspot.co.id/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html diakses tanggal 3 Mei 2016 pukul 22.00 WIB

46 Leden Marpaung, 1997, Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 80.

(36)

kompensasi atas kerugian terhadap korban akan dapat didapatkan dengan cepat, murah dan sederhana.47

Masalah gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Bab XIII Pasal 98 KUHAP berbeda dengan apa yang dimaksud dengan ganti kerugian yang dimaksud pada Bab XII Bagian kesatu Pasal 95 KUHAP, sebab gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada Pasal 98 KUHAP adalah “suatu gugatan ganti kerugian yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak pidana atau gugatan ganti kerugian bukan akibat penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang,” jadi gugatan ganti kerugian dalam pengertian ini bersifat asesoir dari perkara yang ada.48

Pasal 1365 KUHPerdata telah mengakomodasikan ketentuan tersebut yang berbunyi, “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karena itu menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian”.49

Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya :

“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau

47 http://www.lbh-apik.or.id/penyelesaian-95-seri-55-penggabungan-perkara-gugatan-ganti- kerugian-pada-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan.html diakses tanggal 2 Juni 2016 pukul 22.29 WIB 48

Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, hal. 213.

49 http://www.legalakses.com/gugatan-ganti-rugi-karena-pmh/ diakses tanggal 3 Mei 2016 pukul 21.44 WIB

(37)

karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Dalam hal penggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana, KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang isinya sebagai berikut :

“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.

Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat- lambatnya sebelum hakim mxenjatuhkan putusan.”

Berdasarkan pasal tersebut, maka kita dapat menggabungkan gugatan ganti kerugian tersebut dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Penggabungannya wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo paling lambat sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Jadi, sehubungan perkara pidana masih dalam tahap pemeriksaan Kepolisian, maka kita harus menunggu hingga pemeriksaan dilakukan di Pengadilan untuk dapat mengajukan gugatan tersebut. Sekalipun melalui proses yang berbeda, kedua cara tersebut didasarkan pada satu dasar hukum yang sama, yaitu Pasal 1365 KUHPer, yang isinya:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Secara rinci untuk adanya penggabungan perkara diperlakukan tiga syarat, yaitu:

(38)

1) Adanya perbuatan terdakwa terbatas hanya yang menjadi dasar dakwaan.

2) Timbulnya kerugian akibat perbuatan tersebut.

3) Adanya permintaan dari orang yang merasa dirugikan kepada hakim.

Salah satu pengaturan yang berkaitan dengan ganti rugi juga terdapat dalam pemberian ganti rugi pada korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

B. Pengaturan Pemberian Ganti Rugi Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas

Perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu lintas bukanlah hal baru, dimana pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah atur dalam Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86) lalu diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1951 Tentang Perubahan & Tambahan Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 Nomor 86). Dalam perkembangannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menjadi Undang- Undang pertama yang mengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia setelah Indonesia Merdeka. Seiring waktu Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan kini telah berubah menjadi Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas & Angkutan Jalan.

Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian.

Kecelakaan yang ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar

(39)

sesama kendaraan bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.50

Salah satu hal yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut mengatur perihal kecelekaan. Kecelakaan Lalu Lintas dalam undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3, yakni :

1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang,

2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3. Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi

“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

50 Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI, 1992, halaman. 1

(40)

Namun, ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.51

Perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia termuat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perlindungan hukum terhadap korban tersebut menyangkut hak- hak yang di dapatnya apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas sebagaimana tercantum dalam pasal 240 tentang hak yang didapatkan korban kecelakaan lalu lintas ialah :

a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;

b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan

c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.52

51 Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

52 Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(41)

Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab ialah tindakan insentif berupa menolong korban, membawa ke rumah sakit dan membiayai perawatan korban selama berada dirumah sakit ataupun, baik perawatan jalan ataupun rawat inap yang bermaksud demi kesembuhan korban akibat kecelakaan lalu lintas tersebut. Namun demikian, tindakan pertolongan pertama tersebut tidak keseluruhannya dalam bentuk pengobatan medikal di rumah sakit. Hal ini terjadi bila ada kesepakatan spontan antara tersangka dan korban yang lebih memilih menuju dukun patah terdekat. Kesepakatan spontan antara pihak tersangka dan korban dalam praktiknya di lapangan dapat kita simpulkan sebagai wujud pelaksanaan hak atas korban kecelakaan lalu lintas.

Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sementara sebelumnya dalam Pasal 234 dijelaskan bahwa:

1. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.

2. Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

(42)

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan pengemudi.

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau;

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.53

Bunyi pasal 234 diatas menjelaskan kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepada pihak Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan untuk memberikan biaya ganti kerugian kepada Penumpang dan Pemilik Barang dan/ atau pihak ketiga yang mana dikarenakan kelalaian pengemudi. Hal ini menjelaskan bahwa pihak-pihak yang disebutkan diatas bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan barang yang diderita baik penumpang atau pemilik barang. Pertanggung jawaban dari pihak-pihak yang disebutkan diatas disesuaikan kembali menurut tingkat kesalahan akibat kelalaian tersebut. Selain beban mengganti kerugian kepada korban kecelakaan, pihak- pihak tersebut juga dibebankan untuk mengganti kerusakan jalan dan perlengkapan jalan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengemudi.

Dalam hal-ihwal kecelakaan lalu lintas, korban berhak mendapatkan santunan atas peristiwa tersebut. Santunan yang didapat korban kecelakaan lalu lintas berasal dari perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang memberikan santunan kecelakaan lalu lintas adalah Jasa Raharja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib

53 Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(43)

Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.54

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan kecelakaan dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ialah :

1. Korban yang berhak atas santunan yaitu

Setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan;

2. Jaminan Ganda

Kendaraan bermotor Umum (bis) berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi korban diberikan jaminan ganda;

3. Penumpang mobil plat hitam

Bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti antara lain mobil pariwisata , mobil sewa dan lain-lain, terjamin oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965;

4. Korban Yang mayatnya tidak diketemukan

54 https://www.jasaraharja.co.id/tentang-kami/sejarah diakses 28 Juli 2016 pukul 10.00 WIB

(44)

Penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada Putusan Pengadilan Negeri.

Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan dana kecelakaan lalu lintas ialah :

1. Korban Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu :

a. Setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, contoh : Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor;

b. Setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaran bermotor yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi;

2. Tabrakan Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor :

a. Apabila dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi mapupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965;

b. Apabila dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum diketahui pihak-pihak pengemudi yang menjadi penyebab kecelakaan

Referensi

Dokumen terkait

Bagi perusahaan pajak merupakan beban yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada negara yang berdampak pada penurunan laba bersih yang dihasilkan selama satu

Pembuatan Bioetanol dari Mahkota Buah Nenas Varietas Queen dengan Menggunakan Mikroba Saccharomyces cerevisiae.. (Eliciah Furi Ningrum, 2015, 46 Halaman, 5 Tabel, 12 Gambar,

Berdasarkan pengalaman tim ahli geosains dari PT PGE, data geologi memiliki peranan yang cukup besar yakni sebesar 40%, kemudia untuk data geokimia dan geofisika

Menurut penuturan juru kunci dari makam Mbah Djomotersebut, bahwa beberapa tahun yang lalu terjadi sebuah peristiwa yakni keluarnya ikan gabus dari makam Mbah Djomopada saat

Batas nilai similarity diambil dari pengujian yang telah dilakukan untuk semua query, dan menghasilkan nilai similarity untuk query yang relevan dengan dokumen tafsir adalah

Namun, menurut adat kebiasaan masyarakat dan juga melihat dari beberapa akibat yang ditimbulkan, hal tersebut sangat merugikan terutama terhadap pihak perempuan yang

a. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain,dipidana karena telah melakukan penganiayaan berat dengan dipidana penjara paling lama delapan tahun. Jika perbuatan

4) Menu : adalah sistem penanganan request melalui URL. 5) Module : Website drupal dapat ditambah dengan modul-modul tertentu sesui keperluan. Modul adalah salah