• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PRINSIP UNIDROIT MELALUI HUKUM NASIONAL INDONESIA

Dalam dokumen TUGAS MATA KULIAH INTERNATIONAL COMMERCI (Halaman 41-58)

A. Tujuan Hukum Perdagangan Internasional

Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial. Perbedaan tersebut

menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk.75

Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs andTrade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah:

untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya;

untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara; meningkatkan standar hidup umat manusia; dan

meningkatkan lapangan tenaga kerja.

 untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara;76 dan

 meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.77

Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.

Untuk memenuhi setiap keperluan dalam negaranya, tiap negara seringkali melakukan perdagangan (perdagangan internasional). Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:78

 Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor-faktor

75 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, Hal. 1.

76 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander Goldštajn yang menyatakan: only deliberate regulation on the international level will make it possible to do justice, on the basis of equality, to the interests and general welfare of all members of the international community” (Aleksander Goldštajn, The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 21-22.

77 Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization).

78 Manfaat Perdagangan Internasional, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional diakses pada tanggal 25 November 2009.

tersebut diantaranya kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri;

 Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri;

 Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.

 Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

Era globalisasi membawa pengaruh dalam hukum internasional yakni semakin kuatnya kecenderungan kearah harmonisasi hukum. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melakukan reformasi hukum, termasuk di bidang hukum perdagangan. Pembaharuan hukum ini diharapkan dapat lebih mendorong investor dan pelaku bisnis asing melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia dan pada gilirannya dapat menggerakan perekonomian negara.79

Harmonisasi hukum dibidang perdagangan dan bisnis ini menjadi kebutuhan yang semakin mendesak, karena dalam era globalisasi transaksi bisnis international semakin meningkat intensitasnya maupun kompleksitasnya. Sehingga bagi pelaku bisnis internasional diperlukan pedoman yang dapat dijadikan sebagai pegangan yang pasti dalam transaksi-transaksinya.80

79 http://www.deplu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=120&l=id diakses pada tanggal 20 November 2009.

Adapun peraturan-peraturan hukum yang berbeda antara satu negara dengan negara lain menimbulkan resiko-resiko tambahan tertentu dalam transaksi bisnis international. Disamping itu transaksi international berhadapan dengan berbagai peraturan pemerintah lebih dari satu negara, dan transaksi bisnis international tunduk pada lebih dari satu hukum yang berbeda. Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang kuat dalam batas-batas kemampuannya untuk selalu terbuka melakukan kerjasama baik dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi international termasuk UNIDROIT, dalam upaya mewujudkan suatu unifikasi dan harmonisasi hukum, terutama dibidang hukum dan bisnis.81

Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.82

Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.83

81Ibid.

82 Rafiqul Islam,International Trade Law, Sydney: LBC, 1999, hlm. 1 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN %20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:84

"Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstacle to the development of world trade."

Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka. Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.85Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional.86

Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk

84 United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966,para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, para. 14 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN %20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

85 Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya (apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari. Lihat Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni Bandung, 1977, hlm. 26.

86 United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966,para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, para. 15 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN %20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistemsistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.87

Harmonisasi hukum tidak sedalam unifikasi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).88

Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya. Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya.Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.89

Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan perjanjian/konvensi internasional (international convention); penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam hukum seragam (uniform laws); dan aturan seragam (uniform rules). 90

87 Lihat Chia-Jui Cheng, Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang mengurus hukum perdagangan internasional menggambarkan perbedaan kedua kata tersebut: “While the terms are closely interrelated, "harmonization" may conceptually be thought of as the process through which domestic laws may modified to enhance predictability in crossbordercommercial transactions; and "unification" may be seen as the adoption by States of a common legal standard governing particular aspects of international business transactions.” (http://www.uncitral.org/en-index.htm) diakses pada tanggal 20 November 2009.

88Ibid.

89Ibid.

Dengan berjalannya pembangunan hukum secara bersama-sama, jika negara menggunakan prinsip yang seragam, diharapkan akan tercapai suatu harmonisasi di bidang hukum perdagangan internasional ini. Terdapat beberapa alasan perlunya memperhatikan hukum perdagangan internasional yang terdapat dalam UNIDROIT, antara lain:

 Pertama, hampir semua negara di dunia (sampai sekarang jumlah negara yang melakukan ratifikasi terhadap Konvensi UNIDROIT berjumlah 63 negara) dalam melakukan pembaruan terhadap hukum kontraknya;

 Kedua, prinsip-prinsip UNIDROIT telah memperhitungkan persoalan pembangunan

yang sering dialami oleh negara-negara berkembang, hal ini dapat dilihat dari adanya gross disparity dan prinsip hardship. Hal ini sangat penting, khususnya bagi kontrak jangka panjang;

 Ketiga, prinsip-prinsip UNIDROIT memperhatikan perlindungan pada pihak yang

posisinya lemah dalam membuat kontrak. Hal ini terlihat dalam prinsip perlindungan pihak yang lemah dalam syarat-syarat baku dengan cara terdapat pembelaan diri bagi pihak yang bukan pembuat kontrak baku terhadap kontrak yang tidak seimbang;

 Keempat, prinsip kebebasan berkontrak dibatasi dengan hukum yang memaksa (mandatory rules) demi kepentingan umum;

 Kelima, prinsip-prinsip UNIDROIT bersifat praktis karena penyusunannya mengakomodasi kepentingan praktek yang dapat menjembatani berbagai kendala perbedaan sistem hukum;

 Keenam, prinsip UNIDROIT mengatur tanggung jawab prakontrak, sehingga itikad

baik harus sudah berlaku sejak saat dilakukannya proses negosiasi. B. Mandatory Rules dalam Hukum Nasional

Untuk melakukan hubungan internasional, diperlukan suatu perjanjian internasional. Cara mengikatkan diri suatu negara ke dalam suatu perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu negara. Terdapat dua sistem, yaitu Civil Law system atau Common Law System. Di dalam sistem hukum Civil Law, penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self

implementing legislation). Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum Common Law, penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional ( self-implementing legislation). 91

Bagi Indonesia yang masih menganut sistem hukum "Civil Law", pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 92

Peratifikasian suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar penerapannya di dalam praktik. Namun demikian dalam proses legislasi di Indonesia, peratifikasian tersebut diwujudkan dalam suatu "Undang-undang Pengesahan". Implementasi undang-undang ratifikasi (pengesahan) tersebut masih harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalam hal objek perjanjian internasional telah dimuat sebagian atau seluruhnya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasi tersebut akan melahirkan suatu undang-undang tentang Perubahan. Jika objek perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di sistem hukum nasional maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru.93

Seperti telah dikatakan sebelumnya, walaupun Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi UNIDROIT, tetapi penggunaan konvensi tersebut dalam hukum nasional merupakan pilihan dan negara masih memiliki kewenangannya untuk melakukan pembatasan terhadap perdagangan atau kerjasama yang dianggap memegang peranan penting terhadap negara. Hal ini tercermin dalam pembatasan terhadap Freedom of Contract, sebagai berikut:

 Sektor ekonomi dimana tidak ada kompetisi

91 Romli Atmasasmita, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi, www.parlemen.net diakses pada tanggal 25 November 2009.

92Ibid.

Di dalam sektor-sektor ekonomi di mana negara berwenang menetapkan kebijaksanaan yang mengecualikan sektor-sektor itu dari persaingan, demi kepentingan umum. Dalam beberapa kasus, barang dan jasa hanya dapat disediakan oleh supplier tertentu, yang biasanya badan publik;

 Pembatasan oleh hukum yang memaksa (mandatory rules)

Hal ini dapat dilihat juga di dalam Pasal 1.4 UNIDROIT Principles.

Mandatory rules yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mencerminkan bahwa sebagai negara yang telah menjadi anggota UNIDROIT, Indonesia tetap memiliki kedaulatannya untuk membuat suatu perundang-undangan sendiri. Beberapa ketentuan yang mencerminkan prinsip mandatory rules antara lain terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, sebagai berikut:

1.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pada dasarnya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999) dibuat untuk mewujudkan demokrasi dalam bidang ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Selain itu, undang-undang ini pula diharapkan dapat menciptakan situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.94

94 Hal ini dapat terlihat dari konsideran Menimbang huruf b dan huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Hal inilah yang menjadi dasar adanya pembatasan prinsip kebebasan berkontrak. Pertimbangan tidak boleh dilakukannya monopoli95 dan persaingan usaha tidak sehat96 menjadikan pihak yang melakukan perjanjian tidak sepenuhnya bebas mengatur usaha mereka. Walaupun hal ini dirasakan membatasi kegiatan berusaha, tetapi dengan pertimbangan adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam perekonomian, pemerintah merasakan perlu untuk melakukan pembatasan ini. UU No. 5 Tahun 1999 mengakui adanya perjanjian97 baik itu dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk tidak tertulis sesuai dengan ketentuan Pasal 1.2 UNIDROIT.

Pembatasan terhadap prinsip kebebasan berkontrak dalam UU No. 5 Tahun 1999 tercermin jelas dalam Bab III mengenai Perjanjian yang Dilarang dan Bab IV mengenai Kegiatan yang Dilarang. Bentuk perjanjian yang dilarang, yaitu oligopoli98,

95 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”.

96 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”

97 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.

98 Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 4 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.

penetapan harga99, pembagian wilayah100, pemboikotan101, kartel102, trust103, oligopsoni104, integrasi vertikal105, perjanjian tertutup106, dan perjanjian dengan pihak luar negeri107. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang, yaitu monopoli108, monopsoni109, penguasaan pasar110, dan persekongkolan111.

Jika diamati lebih jauh, pembatasan ini diciptakan antara lain untuk melindungi konsumen. Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui kontrak yang mereka buat akan berdampak pula pada konsumen dimana kontrak tersebut dijalankan. Mengingat pentingnya pelaksanaan perdagangan (usaha) yang baik, maka

99 Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 5 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”. Pasal 6 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama”. Pasal 7 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 8 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

100 Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 9 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

101 Lihat ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 10 “(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan

Dalam dokumen TUGAS MATA KULIAH INTERNATIONAL COMMERCI (Halaman 41-58)

Dokumen terkait