• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS MATA KULIAH INTERNATIONAL COMMERCI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS MATA KULIAH INTERNATIONAL COMMERCI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MATA KULIAH

INTERNATIONAL COMMERCIAL CONTRACT

PROPOSAL MAKALAH

PRINSIP KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM

INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE

LAW

(UNIDROIT) DAN PEMBATASANNYA MELALUI HUKUM

NASIONAL

Dosen:

Prof. Dr. Felix Oentoeng Soebagjo, S.H., LL.M

Fatmah Jatim, S.H., LL.M

Disusun Oleh:

Sylviana Kusuma Lestari

0806478475

No Absensi 22

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Judul

Globalisasi terjadi hampir di semua bidang kehidupan masyarakat. Globalisasi di bidang ekonomi dapat digambarkan dengan adanya suatu situasi dimana terjadi hubungan saling ketergantungan diantara pihak dalam hal ini negara-negara di dunia sebagai subjek hukum internasional. Ketergantungan tersebut secara tidak langsung terbentuk sebagai akibat dari upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional tiap negara melalui perdagangan internasional. Berkembangnya perdagangan internasional saat ini memberikan dampak yang luas pada segala aspek kehidupan yang lain, antara lain perkembangan dalam pembuatan kontrak jual beli internasional.

Terdapat hubungan yang erat antara perdagangan internasional dengan kontrak internasional. Transaksi perdagangan internasional tertuang dan tertutup dalam kontrak internasional, karena itu perkembangan (hukum) kontrak internasional sedikit banyak bergantung kepada perkembangan transaksi perdagangan internasional berikut hukum yang mengaturnya.1

Kontrak dalam melakukan perdagangan internasional merupakan suatu bagian yang penting dalam transaksi internasional, oleh karena itu secara alamiah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penjualan telah lama menjadi perhatian. Keanekaragaman peraturan nasional tiap negara memberikan suatu kebutuhan tersendiri akan adanya suatu peraturan yang bersifat universal dan internasional.

Pembentukan suatu konvensi internasional pada dasarnya bertujuan agar terciptanya suatu harmonisasi hukum atau aturan-aturan dalam perdagangan internasional. Terdapat beberapa perjanjian yang terkait dengan kontrak internasional, antara lain konvensi tentang jual beli internasional, yaitu United Nation Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi CISG 1980) dan konvensi tentang prinsip-prinsip kontrak internasional, yaitu Principles of International Commercial Contracts dalam The International Institute for the Unification of Private

Law (Konvensi UNIDROIT 1994). Seperti halnya konvensi CISG2, UNIDROIT pun

1 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 9.

2Latar belakang dibuatnya konvensi semata-mata karena adanya beberapa faktor yang berpengaruh

(3)

berupaya menciptakan suatu harmonisasi agar perbedaan hukum nasional tidak menjadi rintangan atau kendala bagi para pihak pembuat perjanjian dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), maka dapat dikatakan bahwa Indonesia mengakui adanya konvensi tersebut dan bersedia menjalankan ketentuan-ketentuan dalam konvensi dimaksud. Walaupun begitu, prinsip UNIDROIT pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Sarjana terkemukan yang merupakan pakar bidang hukum ini, yaitu Profesor Bonnel menyatakan prinsip UNIDROIT ini sekedar instrument yang memiliki kekuatan ‘pengaruh’ saja (persuasive value).3

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis akan membahas mengenai “Prinsip Dalam International Institute For The Unification Of Private Law (UNIDROIT) Dan Penerapannya Melalui Hukum Nasional”.

B. Pokok-Pokok Permasalahan

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:

transaksi perdagangan internasional. Faktor atau perkembangan yang cukup penting adalah semakin meningkatnya transaksi perdagangan oleh masyarakat bangsa-bangsa, khususnya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perdagangan ini yang sifatnya lintas batas dirasa perlu sebagai ‘topik’ yang harus pertama-tama dibahas ‘dalam suatu konvensi yang menyeluruh. 2. Adanya perbedaan sistem hukum di dunia. Faktor kedua adalah karena adanya berbagai macam sistem hukum yang berbeda-beda yang mengatur kontrak perdagangan. Adanya pluralisme hukum kontrak ini dipandang tidak begitu kondusif bagi perdagangan internasional. Karenanya masyarakat internasional merasakan kebutuhan adanya suatu perangkat hukum kontrak yang harmonis (seragam). Pandangan ini yang menjadi latar belakang lahirnya Konvensi tersurat dalam preamble Konvensi. Preamble antara lain menyatakan: “Being of the opinion that the adoption of uniform rules which govern contracts for the international sale of goods and take into account the different social, economic and legal system would contribute to th removal of legal barriers in international trade and promote the development of international trade, ...”. 3. Kelemahan dua Konvensi Den Haad 1964. Ketiga adalah adanya kecaman terhadap 2 konvensi terdahulu tentang kontrak internasional yang telah dibuat sejak tahun 1964 (konverensi diplomatik di Den Haag) oleh the International Institute for the Unification of Private Law

(UNIDROIT), yaitu: a. Konvensi tentang hukum yang berlaku terhadap jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law of the International Sales of Goods atau ULIS), dan b. Konvensi tentang pembentukan kontrak jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts for the International Sales of Goods).

(4)

1. Apa tujuan Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata)?

2. Bagaimana pengaruh prinsip-prinsip dalam UNIDROIT terhadap hukum nasional?

C. Metode Laporan

1.7.1 Tipe Laporan

Penulis menggunakan metode laporan yuridis normatif dalam melakukan penyusunan laporan. Laporan yuridis normatif merupakan laporan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.4 Metode laporan yuridis normatif, yaitu berupa laporan hukum

tentang asas-asas hukum yang dilakukan terhadap kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam bahan hukum primer dan yang berkembang melalui pembahasan dalam bahan hukum sekunder serta yang dapat ditemukan dalam bahan hukum tersier. Kajian hukum normatif akan menghasilkan laporan yang bersifat preskriptif, yaitu berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang ada. Pendekatan yang digunakan dalam laporan ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu bertujuan untuk memahami latar belakang dari suatu konsep hukum.

Penulis menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder sebagai acuan dalam penulisannya. Data sekunder, antara lain mencangkup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil laporan yang berwujud laporan.5 Data

sekunder yang digunakan terdiri dari:

4Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Laporan Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 295.

(5)

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.6 Adapun

bahan hukum primer yang dimaksud adalah berupa kebijakan terutama yang berkaitan dengan ketentuan International Institute for The Unification of Private Law (UNIDROIT). Bahan hukum primer tersebut terdiri dari:

a) UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts 1994; b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;

e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan;

f) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata).

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer.7 Sedangkan yang dimaksud dengan bahan

hukum sekunder dalam hal ini adalah bahan kepustakaan yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain majalah, jurnal ilmiah, Koran dan lain sebagainya. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari:

a) Buku-buku tentang International Institute for The Unification of Private

Law (UNIDROIT);

b) Buku-buku tentang hukum internasional c) Buku-buku tentang perdagangan internasional; d) Buku-buku tentang perdata internasional; e) dan lain-lain.

6Bambang Sunggono, Metodologi Laporan Hukum, Cetakan Ketujuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Januari 2005, hlm. 113.

(6)

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.8 Bahan

hukum tersier tersebut terdiri dari: a) Kamus umum Bahasa Indonesia; b) Kamus istilah hukum;

c) Kamus hukum perdagangan internasional; d) Kamus Bahasa Inggris-Indonesia;

e) Black’s Law Dictionary; f) www.unidroit.org g) www.google.com; h) dan lain-lain.

1.7.2 Analisis Data

Data yang dikumpulkan dari laporan kepustakaan akan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif, yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif, yaitu metode analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari penelitin kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Cara yang digunakan dalam melakukan analisis adalah induktif, yaitu menyimpulkan hasil laporan dari hal yang bersifat khusus ke hal yang sifatnya umum.

1.7.3 Tahap Laporan

Langkah-langkah yang ditempuh dalam laporan ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap, sebagai berikut:

1) Tahap Persiapan, yaitu dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan

(7)

usulan laporan dalam bentuk proposal makalah, lalu dilakukan konsultasi demi penyempurnaan;

2) Tahap Pelaksanaan, dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

a) Tahap laporan kepustakaan, dilakukan pengumpulan data sekunder dengan cara studi dokumen;

b) Tahap penyelesaian, dilakukan berbagai kegiatan, antara lain melakukan analisa terhadap bahan-bahan kepustakaan yang ada, mencari korelasi antara bahan-bahan kepustakaan, penulisan laporan, dan konsultasi. Setelah itu dilakukan penyusunan laporan akhir.

D. Kerangka Landasan Teori

Sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional, Schmitthoff berpendapat bahwa otonomi (kebebasan) para pihak adalah dasar bagi hukum perdagangan internasional:9

“the outonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be build. The national sovereign has, as we have seen, no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, …”

Ada tiga alasan mengapa prinsip ini signifikan:10

1. Aturan ini merupakan dasar yang hakiki bagi para pihak untuk dapat membuat atau menandatangani suatu kontrak. Dengan aturan dasar ini pula memungkinkan para pihak untuk membuat atau merancang muatan-muatan kontrak yang belum ada sebelumnya;

2. Prinsip ini penting untuk menciptakan suatu kebutuhan akan kepastian di dalam hubungan-hubungan dagang;

9 Huala Adolf, op.cit., hlm. 20.

(8)

3. Prinsip party autonomy dibutuhkan dan relevan karena prinsip ini berfungsi pula untuk melindungi keinginan atau harapan-harapan para pihak di dalam melangsungkan usaha dagangnya.

Dengan tepat Clive M. Schmitthoff menegaskan bahwa dengan prinsip otonomi ini pula para pihak dapat mengembangkan, menginovasi atau menciptakan bentuk-bentuk kontrak baru yang mereka inginkan dan sepakati. Pengakuan terhadap kebebasan berkontrak ini telah mengembangkan, memperluas, bahkan menciptakan bentuk-bentuk baru di bidang kontrak. Schmitthoff mengemukakannya sebagai berikut:11

“…the area of contract law is, subject to exception and restriction, governed by optional law. Founded in the principle of the autonomy of the parties’ will. This is the area in which a transnational law of international trade has developed and can be furter evolved. This law is essentially founded on a parallelism of acion in the various legal systems, in an area in which we have seen, the sovereign national state in not essential interested. The aim of this parallelism of action is to facilitate the conduct of international trade by establishing uniform rules of law for it. In some international activities the need for such rules is stronger than others.”

Perlu dikemukakan bahwa kebebasan berkontrak sifatnya adalah tidak mutlak. Ada batas-batas yang memagarinya. Batas-batas tersebut, antara lain adalah tidak boleh disimpanginya aturan-aturan hukum nasional (yang sifatnya publik). Batas ini dikenal dalam hukum latin yang berbunyi pacta privata juri publico derogare non possunt.12

Pembatasan kepentingan umum terhadap prinsip ini dikemukakan pula oleh Professor Yntema, sebagai berikut:13

“…the principle of party autonomy in the law of contract is subject to various restriction in the different municipal laws and is not interpreted elsewhere in the same manner; these restriction are mainly imposed for reasons of public policy or in the public interest.”

Prinsip ini sebenarnya lahir dari pemikiran hukum alam dengan pemukanya Hugo Grotius. Menurut Grotius, prinsip ini disebut juga dengan teori kekuatan moral

11Ibid., hlm. 21.

12Ibid., hlm. 22.

(9)

dari suatu janji (the theory of the inherent moral force of a promise). Berdasarkan teori ini, suatu janji secara moral adalah mengikat.14

Prinsip ini termuat juga dalam Pasal 25 AB (Algemene Bepalingen Van Wegeving). Pasal ini menyatakan bahwa ‘orang dengan perbuatan atau perjanjiannya tidak boleh menghilangkan kekuatan dari peraturan-peraturan hukum dari ketentuan umum atau kesusilaan.15

Pada hakikatnya pembuatan kontrak merupakan salah satu sistem pembuatan hukum dalam hubungan keperdataan. Kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.16 Pada pembuatan kontrak terdapat unsur proses seperti terdapat

dalam pembuatan undang-undang.17 L.J Van Apeldoorn menyatakan bahwa perjanjian

atau kontrak dikelompokkan ke dalam faktor yang membantu pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal tertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan perjanjian atau kontrak karena keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu mengikat. Hingga batas-batas tertentu para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak bertindak seperti pembentuk undang-undang, yaitu untuk mengikatkan diri diantara mereka sendiri.18

Pembuatan kontrak walaupun menganut prinsip kebebasan berkontrak tetapi terdapat suatu pembatasan-pembatasan tertentu dalam pembuatan kontrak tersebut. Pembatasan ini antara lain demi kapentingan nasional atau kepentingan negara. Teori kepentingan negara atau disebut juga teori governmental interest analysis dipelopori oleh Prof. Brainerd Currie.

Yang dimaksud dengan interest (kepentingan) dalam teori ini sebenarnya adalah kepentingan dari negara (governmental interest) yang sistem hukumnya relevan dengan pokok perkara untuk memberlakukan hukumnya dalam penyelesaian pokok perkara yang sedang dihadapi yang dapat disimpulkan dari kebijakan hukum (policies) di dalam

14Ibid., hlm. 23.

15Ibid., hlm. 23.

16 Pasal 1338 BW.

17 Misalnya Pasal 1338 BW menyatakan bahwa Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pembuatnya yang berarti proses pembuatan kontrak dapat dianalogikan dengan proses pembuatan undang-undang walaupun dalam pengertian mikro.

18 Taryana Sunandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian

(10)

kaedah hukum lokal yang bersangkutan. Adanya kebijakan-kebijakan tertentu yang melatarbelakangi pemberlakuan suatu kaidah hukum lokal atau domestik itulah yang mendasari kepentingan dari negara yang bersangkutan untuk memberlakukan hukumnya dalam perkara.19

E. Kerangka Konsepsional

Untuk menghindarkan perbedaan pengertian terhadap istilah-istilah yang dipergunakan dalam laporan ini, berikut ini diberikan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut.

Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi ( accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan ( ap-proval). (Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).

Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. (Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).

Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. (Pasal 1 Angka 13 Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. (Pasal 1 Angka 14 Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).

(11)

Industri Dalam Negeri adalah keseluruhan produsen dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis dengan barang terselidik dan atau barang yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, atau produsen yang secara kolektif menghasilkan bagian terbesar dari total produksi barang sejenis dalam negeri. (Pasal 1 Angka 4 Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor).

F. Sistematika Penulisan

Dalam laporan ini, penulis membagi ke dalam empat bab yang terdiri dari:

1. Bab I, yang merupakan pendahuluan, menguraikan latar belakang pemilihan judul, pokok-pokok permasalahan, metode penelitian, kerangka landasan, kerangka konsepsional, dan sistematika penulisan yang dipergunakan.

2. Bab II, akan membahas mengenai International Institute For The Unification Of Private Law (Unidroit) Secara Umum, yaitu Sejarah UNIDROIT dan Prinsip dalam UNIDROIT.

3. Bab III, akan membahas Penerapan Prinsip UNIDROIT Melalui Hukum Nasional Indonesia, yaitu Tujuan Hukum Perdagangan Internasional dan Mandatory Rules dalam Hukum Nasional dikaitkan dengan peraturan-peraturan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

(12)

BAB II

INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (UNIDROIT) SECARA UMUM

A.Sejarah UNIDROIT

The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. UNIDROIT dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.20 Prinsip-prinsip hukum UNIDROIT merupakan

prinsip-prinsip umum bagi kontrak komersial international yang bisa diterapkan kedalam aturan nasional, atau dapat dipakai oleh pembuat kontrak untuk mengatur transaksi-transaksi komersial international sebagai pilihan hukum.

Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum privat, khususnya hukum komersial

(13)

(dagang) di antara negara atau di antara sekelompok negara. Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.21

Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu, prinsip–prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan dalam menafsirkan ketentuan hukum kontrak yang tidak jelas. Dari segi formal, prinsip ini menghindari penggunaan terminologi khusus yang digunakan dalam sistem hukum tertentu. Cara penyusunan prinsip-prinsip UNIDROIT menggunakan model dari Restatement of the Law of Contracts (RLOC) yang dibuat oleh American Law Institute (ALI), yang didirikan pada tahun 1923.

Memang ada kalanya berlaku suatu prinsip hukum umum, prinsip hukum ini diketahui melalui suatu tinjauan maupun inventarisasi atas berbagai hukum nasional untuk menemukan prinsip yang secara umum berlaku di berbagai negara. Salah satu contoh prinsip hukum umum adalah pacta sunt servanda, yaitu suatu prinsip yang menentukan bahwa persetujuan mengikat para pihak dan harus dihormati. Namun, dalam praktik kerap timbul kesulitan dalam penggunaan prinsip hukum umum sebagai sumber lex mercatoria.22

Pada kepustakaan hukum komersial, hukum kebiasaan internasional yang berkembang dalam praktik dan telah diadopsi ke dalam konvensi internasional, dapat dikategorikan ke dalam lex mercatoria.23 Dalam pengertian secara linguistik lex

mercatoria diambil dari bahasa Latin, yang berarti hukum perniagaan atau komersial.24

Pada umumnya di dalam beberapa kepustakaan istilah lex mercatoria diberikan

21 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN %20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

22 Taryana Soenandar, op. cit., hlm. 24

23Ibid., hlm. 8

(14)

pengertian sebagai hukum yang seragam25 (uniform law) yang keberadaanya diterima

oleh komunitas komesial di berbagai negara.

Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional. Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.26

Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.27

Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang bersangkutan. Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.28

Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di Columbia Law School,

25 Namun, kata “seragam” dikritik bahwa sulit untuk mewujudkan suatu hukum perdata yang seragam dan berlaku di berbagai Negara. Menurut Alan D. Rose mengatakan bahwa lebih tepat digunakan istilah “harmonisasi”. Lihat Alan D. Rose,The Chalenges for Uniform Law in the Twenty-First Century, Uniform Law Rview, NS-Vol.1, 1996, hlm. 9-25 . Sedangkan pakar lain, Berthold Goldman mendefinisikan lex mercatoria sebagai: a set of principles and customary rules spontaneously referred to or elaborated in a framework of international trade, without reference to a particular national system of law. Lihat Vanessa L.D Wilkinson, The New Lex Mercatoria, Reality or Academic Fantasy?, Journal of International Arbitration, Vol,2 No. 2, Juni, 1995 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http:// www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN

%20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

26 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN %20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

27 Lihat Chia-Jui Cheng, dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip

dan Konsepsi Dasar, op.cit.

(15)

mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum). Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal rules).29

Pada hakikatnya pembuatan kontrak merupakan salah satu sistem pembuatan hukum dalam hubungan keperdataan. Kontrak akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, pada pembuatan kontrak terdapat unsur proses seperti pada pembuatan undang-undang. L.J. van Apeldoorn30 menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak

dikelompokkan ke dalam faktor yang membantu pembentukan hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal tertentu pembentukan hukum atau undang-undang dapat dianalogikan dengan perjanjian atau kontrak karena keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu mengikat. Sampai dengan batasan tertentu, para pihak dalam perjanjian atau kontrak bertindak sebagai pembentuk undang-undang. Perbedaanya adalah apabila perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya sedangkan undang-undang mengikat bagi semua warga Negara.

Sebagaimana arti lex mercatoria yang telah dijelaskan di atas yakni hukum komersial, oleh karena itu doktrin ini berkaitan dengan hukum kontrak komersial, yaitu hukum kebisaan dalam masyarakat bisnis dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kontrak bisnis. Dilihat dari tahapannya, kontrak dibuat dengan 3 (tiga) tahap, yaitu tahap negosiasi, tahap pembuatan kontrak, dan tahap pelaksanaan kontrak.

Sebelum melakukan negosiasi, kedua belah pihak harus memenuhi syarat untuk menjamin keabsahan dalam menutup suatu kontrak. Namun, UNIDROIT tidak mengatur ketentuan yang membatasi validitas kontrak seperti masalah kedewasaan, immoralitas, dan kepentingan umum, karena hal itu dianggap sebagai bagian dari hukum nasional masing-masing negara.Melalui penelitian dan upaya yang cukup lama, pada tahun 1971 UNIDROIT berusaha menelaah prinsip lex mercatoria agar dapat dihimpun menjadi dokumen autentik. Baru pada tahun 1994 berhasil disusun prinsip-prinsip umum yang dikenal dengan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs), yang kemudian oleh para pakar dikategorikan ke dalam the New Lex Mercatoria.

29 Lihat Katarina Pistor, dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip

dan Konsepsi Dasar, op.cit.

(16)

Melihat tujuan utama UNIDROIT yaitu mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang penting mengingat perkembangan teknologi baru dalam praktek-praktek perdagangan yang memerlukan aturan hukum baru. Biasanya aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karena itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar perdagangan internasional. 31

Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk mau menerimanya. Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai organisasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNIDROIT menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.32

Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).33

Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai perjanjian atau konvensi internasional, antara lain sebagai berikut:34

Convention relating to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the

International Sale of Goods (The Hague 1964);

Convention relating to a Uniform Law on the International Sale of Goods (The

Hague, 1964);

International Convention on the Travel Contract (Brussels, 1970);

31 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op. cit.

32Ibid.

33Ibid.

(17)

Convention providing a Uniform Law on the Form of an International Will

(Washington, 1973);

Convention on Agency in the International Sale of Goods (Geneva, 1983);

UNIDROIT Convention on International Financial Leasing (Ottawa, 1988);

UNIDROIT Convention on International Factoring (Ottawa, 1988);

UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Rome,

1995);

Convention on International Interests in Mobile Equipment (Cape Town, 2001);

Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on

Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).

B.Prinsip dalam UNIDROIT

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNIDROIT 2004 (UNIDROIT Principles) terdiri dari 10 Chapter dan 184 Articles. Sistematika UNIDROIT Principles terdiri dari Preamble (Pembukaan), Chapter 1 : General Provision (Ketentuan-ketentuan Umum)35

dan Chapter 2 : Formation and Authority of Agents (Pembentukan Perjanjian dan Kewenangan Agen), Chapter 3 : Validity (Validitas/Keabsahan Perjanjian), Chapter 4 : Interpretation (Penafsiran Persyaratan Perjanjian), Chapter 5 : Content and Third Party Right (Isi Perjanjian dan Hak Pihak Ketiga), Chapter 6 : Performance (Pelaksanaan Perjanjian), Chapter 7 : Non – Performance (Wanprestasi dan akibat-akibatnya), Chapter 8 : Set – Off (Penjumpaan Hutang), Chapter 9 : Assigment of Right, Transfer of Obligation, Assigment of Contract (Pengalihan Hak, Pengalihan Kewajiban dan Pengalihan Perjanjian), Chapter 10: Limitation Periods (Tenggang Waktu Daluarsa).

Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang

35 Ketentuan-ketentuan Umum UNIDROT Principles terdiri dari 12 artikel: 1.1 Freedom Of Contract, 1.2 No Form Required, 1.3 Binding Character Of Contract, 1.4 Mandatory Rules, 1.5 Exclusion Or Modification By The Parties, 1.6 Interpretation And Supplementation Of The Principle, 1.7 Good Faith And Fair Dealing, 1.8 Inconsistent Behavior, 1.9 Usage And Practices, 1.10 Notice, 1.11 Definitions, 1.12

(18)

(internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini. Beliau menyatakan:36

The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.” Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.37

Prinsip utama UNIDROIT Principles, selain mewarnai pemberlakuan hampir seluruh asas yang ada di UNIDROIT Principles, juga dianggap sebagai salah satu tiang utama dari suatu tata ekonomi internasional yang terbuka, berorientasi pasar, dan kompetitif adalah bahwa para pelaku bisnis bebas untuk menentukan kepada siapa mereka akan menawarkan atau dari siapa mereka akan memperoleh pemasokan barang atau jasanya dan bagi mereka terbuka kemungkinan untuk secara bebas bersepakat tentang persyaratan-persyaratan setiap transaksi yang mereka adakan.

Pasal selanjutnya adalah mengenai Binding Character of Contract dalam Pasal 1.3 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:

A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be modified or terminated in accordance with its term or by agreement or as otherwise provided in these Principles.”

36 Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and

Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut“Commercial Law”)dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, op. cit.

(19)

Perjanjian yang sah adalah mengikat para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau diakhiri sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan atau ditentukan sebaliknya dalam UNIDROIT Principles.

Pasal ini mencerminkan asas Pacta Sunt Servanda yang menetapkan bahwa “perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Asas ini baru mengikat apabila:

 Persetujuan telah dicapai oleh para pihak (sesuai Chapter 2 UNIDROIT Principles38)

dan tidak melanggar syarat-syarat sahnya kontrak (sesuai Chapter 3 UNIDROIT Principles39);

 Telah memenuhi persyaratan- persyaratan sahnya kontrak yang ditetapkan di dalam

kaidah-kaidah memaksa untuk sahnya kontrak yang berlaku pada hukum nasional atau hukum internasional.

Inti dari Pacta Sunt Servanda dalam Pasal 1.3. UNIDROIT Principles adalah sebuah kontrak dapat dirubah atau diakhiri kapanpun para pihak menyepakatinya. Jadi artinya, modifikasi atau pengakhiran kontrak tanpa ada kesepakatan hanya dapat diajukan sebagai alasan yang sah apabila sesuai dengan persyaratan kontrak, atau bila secara tegas dimungkinkan di dalam prinsip-prinsip UNIDROIT Principles.

Walaupun Pasal 1.3 pada dasarnya berprinsip bahwa “Sebuah kontrak hanya mengikat para pihak pembuatnya”, namun UNIDROIT Principles mengakui adanya situasi-situasi tertentu di mana kaidah hukum nasional menentukan bahwa kontrak dapat membawa akibat hukum pada pihak ke-3.

Pada dasarnya prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT tidak secara tegas mencantumkan jual beli internasional sebagai objek dasar pengaturan. Hal ini dapat dilihat dari Purpose of the Principles yang terdapat dalam preamble UNDROIT, sebagai berikut:40

 Berupaya untuk menciptakan suatu aturan yang berimbang. Dengan adanya aturan

yang berimbang tersebut diharapkan para pihak yang terlibat dalam perdagangan

38 Lihat Chapter 2 UNIDROIT Principles mengenai Formation And Authority Of Agents.

39 Lihat Chapter 3 UNIDROIT Principles mengenai Validity.

(20)

internasonal yang berlatar belakang tingkat ekonomi dan sistem politik, bahkan sistem hukum yang berbeda dapat menggunakannya;

 Tujuan lainnya yang juga penting adalah bahwa sistem UNIDROIT ini dapat

digunakan oleh para pihak manakala mereka menemukan jalan buntu dalam menentukan hukum mana yang akan dipilih terhadap kontrak mereka. Kebuntuan ini karenanya dapat diselesaikan dengan kesepakatan para pihak untuk memilih prinsip kontrak UNIDROIT ini;

 Adalah bahwa prinsip UNIDROIT dapat digunakan oleh para pihak untuk

menafsirkan sesuatu hal (klausul) dalam kontrak yang menimbulkan sengketa karena adanya perbedaan penafsiran diantara para pihak;

 Fungsi lainnya dari prinsip UNIDROIT ini adalah bahwa prinsip-prinsip hukum

kontrak yang terdapat di dalamnya dapat dimanfaatkan sebagai pegangan bagi para pihak perancang hukum di negara-negara di dunia dalam merancang hukum kontraknya. Bahkan dalam preamble juga dinyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan perjanjian internasional lainnya yang dibuat setelah adanya prinsip UNIDROIT, untuk mengacu kepada prinsip-prinsip kontrak UNIDROIT.

Tujuan dibuatnya prinsip-prinsip UNIDROIT adalah untuk menentukan aturan umum bagi kontrak komersial internasional. Prinsip ini berlaku apabila para pihak telah sepakat bahwa kontrak mereka tunduk pada prinsip tersebut dan pada prinsip hukum umum (general principles of law), lex mecantoria41, dan sejenisnya.42

Prinsip-Prinsip UNIDROIT memberikan solusi terhadap masalah yang timbul ketika terbukti bahwa tidak mungkin untuk menggunakan sumber hukum yang relevan dengan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu, prinsip-prinsip UNIDROIT digunakan sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan dalam menafsirkan hukum kontrak yang tidak jelas. Apabila tidak ditemukan aturannya dalam hukum yang berlaku (governing law), maka prinsip-prinsip UNIDROIT dapat digunakan sebagai

41 Lex mercatoria atau disebut juga hukum pedagang dapat juga dijelaskan sebagai sistem prinsip dan peraturan nasional yang umumnya diterima dalam perdagangan internasional. Hal ini termasuk kebiasaan perdagangan secara internasional karena mereka sudah menjadi bagian dari kontrak perdagangan internasional baik karena implikasi maupun karena pencantuman. Dalam konteks yang sama, ketentuan kontrak yang standar jika secara konsisten digunakan dalam perdagangan tersebut, dapat dianggap sebagai limpahan dari lex mercatoria.

(21)

solusi, sehingga menjadi instrumen hukum tambahan karena prinsip-prinsipnya diambil dari kebiasaan dan praktik yang seragan dalam hukum internasional.43

Agar orang dapat memahami prinsip-prinsip UNIDROIT, maka para pembuatnya mengemukakan beberapa hal berikut ini44:

 Tujuan pembuatan UNIDROIT Principles, adalah membentuk seperangkat

aturan-aturan yang seimbang dan dapat digunakan di seluruh dunia, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan dalam tradisi hukum, dan kondisi ekonomi dan politik dari negara-negara yang menerapkannya;

 Dikaitkan dengan substansinya UNIDROIT Principles umumnya bersifat fleksibel,

mengikuti perkembangan-perkembangan ekonomi dan teknologi yang dapat mempengaruhi praktek perdagangan transnasional;

 Dari segi bentuk formalnya, UNIDROIT Principles menghindarkan diri dari

penggunaan terminologi yang dikenal di dalam beberapa sistem hukum tertentu saja;

 Dari segi penegakannya UNIDROIT Principles sebagai suatu pranata yang tidak

melibatkan persetujuan pemerintah negara-negara nasional, bukanlah merupakan suatu pranata yang mengikat (binding instrument), dan karena itu daya mengikatnya tergantung pada kewenangan persuasif yang ada di negara-negara tersebut.

Terdapat prinsip-prinsip utama dalam UNIDROIT, yaitu prinsip kebebasan berkontrak, prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing), prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat, prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) atau melalui tindakan, prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk, prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan, prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku, prinsip syarat sahnya kontrak, prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity), prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku, prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship), prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur).45

43Ibid., hlm. 10.

44Bayu Seto Hardjowahono, Kontrak-Kontrak Bisnis Transnasional dan UNIDROIT Principles of

International Commercial Contracts, Sebuah Pembuka Wawasan, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2006, hlm. 13-14.

(22)

1.Prinsip kebebasan berkontrak

Prinsip kebebasan berkontrak begitu tercermin dalam pernyataan Pasal 1.1 UNIDROIT Principles yang merupakan dasar dari prinsip kebebasan berkontrak, sebagai berikut:

“The parties are free to enter into a contract and to determine its content”. Prinsip ini ditekankan sebagai dasar dari prinsip perdagangan internasional. Kebebasan disini adalah bebas untuk menyatakan dengan siapa pihak tersebut akan membuat kontrak, bebas menentukan barang yang akan diperdagangakan, bebas untuk melakukan negosiasi, bebas untuk memilih forum (choice of forum) maupun memilih hukum (choice of law) yang akan dipergunakan dalam kontrak.

Prinsip kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1.1 UNIDROIT Principles ini pada dasarnya menegaskan adanya kebebasan para pihak untuk membuat kontrak sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, sedangkan pengaturan di Indonesia tentang prinsip kebebasan berkontrak terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 BW yang menyatakan bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian di Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.46

Asas konsensualisme juga duanut oleh prinsip-prinsip UNIDROIT, sebagai prinsip dasar kontrak internasional. Kontrak internasional memang harus menganut asas konsensual karena dalam hubungan transaksi bisnis internasional para pihak tidak langsung bertemu secara fisik tetapi menggunakan berbagai sarana telekomunikasi. Dewasa ini berkembang berbagai sarana hukum kontrak yang

(23)

memperjanjikan jual beli barang, yang barangnya sendiri belum ada tetapi harganya telah disepakati, bahkan sudah dibayar.47

Prinsip UNIDROIT bertujuan untuk mengharmonisasi hukum kontrak komersial di Negara-negara yang menerapkannya, sehingga materi terfokus pada persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian ruang lingkup yang diatur oleh Prinsip UNIDROIT adalah kebebasan berkontrak.48 Dasar pemikirannya adalah

bahwa apabila kebebasan berkontrak tidak diatur maka dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, maka akan hilanglah makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri.

Oleh karena itu UNIDROIT berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan hukum dan kepentingan ekonomi lainnya. Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam lima bentuk prinsip hukum, yaitu:

a. Kebebasan menentukan isi kontrak;

Selain bebas untuk menentukan pihak dalam membuat kontrak, kebebasan berkontrak juga memperbolehkan pihak-pihak tersebut untuk memilih hukum yang akan mereka gunakan. Tidak adanya suatu paksaan dalam UNIDROIT untuk menggunakan hukum tersebut dalam setiap kontrak internasional yang dibuat, prinsip UNIDROIT pada dasarnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun.49

Dari bentuknya, pilihan hukum dapat berupa pilihan secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu klausul kontrak, pilihan secara diam-diam atau tersirat, kesepakatan para pihak untuk menyerahkan pilihan hukum kepada pengadilan, dan ketetapan para pihak untuk tidak memilih atau membuat klausul pilihan hukum.50

47 Taryana Soenandar, op. cit., hlm. 102.

48 Perkembangan prinsip-prinsip hukum komersial internasional (lex mercatoria) dikaitkan dengan beberapa aspek pembaruan hukum kontrak di Indonesia: suatu kajian terhadap prinsip-prinsip CISG dan UNIDROIT, Tesis Taryana Soenandar, 2001, hal 74

49 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, op. cit., hlm.93.

(24)

Klausul pilihan forum (choice of forum) merupakan salah satu klausul yang cukup penting dalam pembuatan suatu kontrak, walaupun terkadang klausul ini sering tidak dicantumkan oleh para pembuat kontrak. Seperti halnya inti dari prinsip kebebasan berkontrak, penempatan klausul ini tergantung dari kesepakatan para pihak apakah akan menggunakan klausul tersebut dalam kontrak mereka.

b. Kebebasan menentukan bentuk kontrak;

Prinsip-prinsip UNIDROIT menentukan kesederhanaan dalam pembuatan kontrak dengan menegaskan bahwa kontrak tidak perlu tertulis. Hal ini tercantum dalam Pasal 1.2 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:

“Nothing in these Principles requires a contract, statement or any other act to be made in or evidenced by a particular form. It may be proved by any means, including witnesses”.

Ketentuan yang menyatakan bahwa pembuatan kontrak ini dapat dilakukan secara tidak tertulis bisa terjadi karena berdasarkan sejarah adanya hukum perdagangan internasional yang disebabkan oleh hukum para pedagang yang sifatnya hukum kebiasaan atau lex mercatoria.

Kalimat pertama dari Pasal 1.2 UNIDROIT Principles tersebut memberi perhatian pada adanya sistem hukum nasional yang mewajibkan persyaratan formal untuk substansi kontrak atau untuk pembuktian adanya kontrak. Kalimat kedua menetapkan berlakunya kebebasan para pihak untuk menggunakan segala upaya untuk membuktikan adanya kontrak (termasuk bukti lisan). Pembatasan terhadap Kebebasan Mengenai Bentuk Perjanjian :

 Kebebasan para pihak dalam menentukan bentuk perjanjian dibatasi oleh

hukum yang seharusnya berlaku;

 Artinya hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan Hukum Perdata

(25)

Dalam masa ini, para pedagang sendiri yang menentukan bentuk dan isi kontrak yang mereka sepakati, karenanya lex mercatoria sebenarnya adalah lembaga hukum yang tumbuh karena adanya kebutuhan para pedagang guna menuangkan kesepakatan yang telah dicapai diantara mereka. Hannu Honka51

menggambarkan kehadiran lembaga hukum ini dengan uraian, sebagai berikut: “Lex Mercatoria does not devire its authority from formal legislative activities, such as conventions, but rather from acceptance of the need for a basic international order in contract law. It includes general principles of contract law”

Seiring dengan perkembangan waktu yang menyebabkan berkembangnya pula transaksi di bidang perdagangan internasional memberi dampak terhadap bentuk kontrak perdagangan. Banyaknya hal-hal yang harus diatur dan pembatasan-pembatasan yang disepakati oleh para pihak menyebabkan bentuk kontrak secara tidak tertulis menjadi mustahil untuk digunakan.

Adanya prinsip kebebasan para pihak untuk berkontrak (party autonomy) didukung oleh kemajuan teknologi memberikan peluang semakin berkembangnya bentuk kontrak yang digunakan oleh para pihak. Prinsip kebebasan berkontrak ini adalah prinsip yang dapat menembus formalitas-formalitas dan dengan prinsip inilah hukum kontrak internasional berkembang dengan pesat dan member peluang untuk para pihak secara kreatif menemukan bentuk kontrak kontrak dengan berbagai variannya.

Secara umum dari segi bentuknya, kontrak internasional dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikut:52

 kontrak awal (pra kontrak atau Memorandum of Understanding-MoU);

 kontrak di bidang jual beli barang dan jasa;

51 Hannu Honka, Harmonization of Contract Law through International Trade: A Nordic Perspective, Tulane Europe and Civil Law Forum, 1996, hlm. 154 dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan

Internasional: Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar,

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/1%20HUKUM%20PERDAGANGAN %20INTERNASIONAL%20Prinsip-prinsip%20dan%20Konsepsi%20Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2009.

(26)

 kontrak di bidang perwakilan (Agency and Distributorship Agreement);

 kontrak di bidang waralaba;

 kontrak di bidang lisensi dan alih teknologi;

 kontrak di bidang usaha patungan (Joint Ventures Contract);

 kontrak di bidang pembangunan ekonomi (Economic Development

Agreement).

c. Kontrak mengikat sebagai undang-undang;

Perjanjian yang sah adalah mengikat para pihak. Perjanjian tersebut hanya dapat diubah atau diakhiri sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian atau dengan persetujuan atau ditentukan sebaliknya dalam, hal ini tertuang dalam Pasal 1.3 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:

A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be modified or terminated in accordance with its terms or by agreement or as otherwise provided in these Principles”.

Dalam melakukan analisa terhadap pelaksanaan kontrak (performance of contract), sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) masalah hukum, sebagai berikut:53

 Apakah telah dilakukan pelaksanaan kontrak sepenuhnya. Hal ini tergantung

dari apakah sudah dilaksanakan syarat kontrak. Jika terpenuhi, berarti kontrak telah sukses dan selesai;

 Adakalanya terjadi ingkar janji oleh dalah satu pihak, maka perlu dilihat apakah

ingkar janji itu ada alasan pemaafnya. Alasan pemaaf dapat berupa karena berlakunya klausul eksemsi (effect of exception clauses), terjadinya perubahan atau pengakhiran kontrak dengan persetujuan (variation or termination by agreement), dan pengakhiran kontrak karena kegagalan;

 Apakah telah terjadi pelanggaran kontrak. Hal ini perlu dilihat dari syarat

kontrak, pelaksanaannya, penyelesaian perselisihan, dan anti rugi bagi pihak yang tak bersalah.

Kebanyakan sistem hukum mengakui bahwa konsekuensi dari prinsip kebebasan berkontrak berarti para pihak bebas untuk memasukan klausul yang

(27)

mewajibkan mereka melakukan renegosiasi kontrak apabila terjadi perubahan keadaan yang mengakibatkan kesulitan. Keberatan sementara orang terhadap klausul itu karena menimbulkan ketidakpastian hukum.54

Jika para pihak sepakat untuk mengadakan renegosiasi maka dapat terjadi 3 (tiga) kemungkinan. Pertama, mereka mungkin sepakat bahwa kontrak yang ada dikesampingkan dan kemudian menegosiasi kesepakatan yang seluruhnya baru. Kedua, mereka membatalkan persyaratan kontrak yang lama dan menggantinya dengan yang baru, cara ini dikenal dengan istilah novasi (novation). Ketiga, mereka membiarkan kontrak yang ada tetapi mengubah beberapa syaratnya yang disebut variation dari kontrak asli.55

Hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:56

 Hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan

permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya;

 Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan

persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.

54Ibid., hlm. 122.

55Ibid., hlm. 122.

(28)

d. Aturan memaksa sebagai pengecualian

Walaupun sesuai dengan Pasal 1.1 UNIDROIT Principles dan Pasal 1338 BW ditegaskan adanya jaminan atas kebebasan berkontrak, tetapi untuk tetap menjamin ketertiban umum dan kepentingan nasional, tidak boleh dilupakan pula aturan memaksa sebagai pengecualian. Prinsip-prinsip UNIDROIT memberikan tempat bagi aturan yang memaksa (mandatory rules) baik yang berasal dari hukum domestik, maupun dari hukum internasional yang dapat menghalangi kebebasan berkontrak,57 hal ini terdapat dalam Pasal 1.4 UNIDROIT Principles:

“Nothing in these Principles shall restrict the application of mandatory rules, whether of national, international or supranational origin, which are applicable in accordance with the relevant rules of private international law”.

Tidak ada satu ketentuan pun dalam UNIDROIT Principles yang dapat menghalangi penerapan aturan-aturan memaksa, baik berasal dari national, internasional maupun supranasional, yang dipakai sesuai dengan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang relevan. Kaidah-kaidah hukum memaksa (mandatory rules) yang diberlakukan oleh negara dalam hukum nasionalnya, atau untuk melaksanakan suatu konvensi internasional, atau yang digunakan oleh sebuah organisasi internasional, tidak dapat dikesampingkan oleh asas-asas UNIDROIT Principles.

Bila para pihak memasukkan prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai syarat dalam kontrak maka syarat-syarat itu tidak dapat mengesampingkan kaidah memaksa dari lex cause atau lex fori atau negara ketiga yang memiliki kaitan yang erat dengan kontrak. Bila (khususnya dalam proses pengadilan dan/atau arbitrase) asas-asas UNIDROIT Principles diberlakukan sebagai hukum yang berlaku, maka UNIDROIT Principles tidak dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa dari sistem hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan pendekatan HPI.

(29)

Ada beberapa kategori aturan yang dianggap sebagai hukum yang memaksa oleh prinsip-prinsip UNIDROIT, yaitu:58

 Aturan hukum memaksa yang berlaku dalam prinsip-prinsip UNIDROIT

sendiri;

 Aturan memaksa yang berlaku apabila prinsip-prinsip UNIDROIT dipilih

sebagai hukum yang mengatur kontrak;

 Aturan memaksa berdasarkan HPI yang relevan.

Dalam Pasal 1.5 UNIDROIT Principles menyatakan:

“The parties may exclude the application of these Principles or derogate from or vary the effect of any of their provisions, except as otherwise provided in the Principles”

Dari ketentuan di atas dapat ditarik tiga unsur pokok, yaitu:

 Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai pilihan hukum dan tidak bersifat memaksa;

 Penggunaan prinsip-prinsip UNIDROIT dapat dikesampingkan atau

dimodifikasi baik secara tegas, atau diam-diam;

 Apabila para pihak sudah menundukan diri pada prinsip-prinsip UNIDROIT,

maka mereka harus tunduk pada aturan yang memaksa dari prinsip-prinsip hukumnya.

e. Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran kontrak, yaitu:59

 Penafsiran prinsip-prinsip UNIDROIT berbeda dengan penafsiran terhadap

kontraknya;

 Dalam menafsirkan prinsip-prinsip UNIDROIT harus memperhatikan sifat

internasional dan tujuannya;

 Dimungkinkan adanya penambahan terhadap ketentuan dari prinsip-prinsip

UNIDROIT.

58Ibid., hlm. 40.

(30)

Karena tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dalam rangka upaya harmonisasi, maka ketika melakukan penafsiran harus memperhatikan sifat internasional, sehingga dalam memahami istilah dan konsep yang dipakai haruslah dilihat secara otonom, misalnya tidak menggunakan terminologi yang digunakan dalam hukum domestik tertentu. Sebab prinsip-prinsip UNIDROIT merupakan hasil studi komparatif dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum dan budaya yang berbeda, sehingga substansinya merupakan hasil kompromi dari berbagai sistem hukum. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal 1.6 ayat (1) UNIDROIT Principles, sebagai berikut:

“In the interpretation of these Principles, regard is to be had to their international character and to their purposes including the need to promote uniformity in their application”

2.Prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)

Walaupun dinyatakan bebas untuk menentukan isi kontrak, tetapi segala hal yang dicantumkan di dalam kontak tersebut harus berdasarkan dengan prinsip bonafide. Berdasarkan prinsip ini, apa yang telah disepakati para pihak, maka kesepakatan itu harus dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik.60 Hal ini sesuai

dengan ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT Principles mengenai Good Faith and Fair Dealing, sebagai berikut:

“(1) Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade; (2)The parties may not exclude or limit this duty.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1.7 UNIDROIT Principles tersebut, ada tiga unsur itikad baik dan transaksi jujur, yaitu:

1. Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak; 2. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UNIDROIT ditekankan pada praktek

perdagangan internasional;

3. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.

(31)

Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing, contohnya :61

 seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan

kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;

 suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu

kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;

 apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak,

baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.

3.Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat

Dalam hal ini, UNIDROIT memberikan pedoman bagaimana hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam Pasal 1.8 UNIDROIT Principles:

“A party cannot act inconsistently with an understanding it has caused the other party to have and upon which that other party reasonably has acted in reliance to its detriment”

Ketentuan di atas mengandung hal-hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa:

 Praktek kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;

 Praktek kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;

 Praktek kebiasaan yang disepakati;

 Praktek kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;

 Praktek kebiasaan yang tidak benar;

 Praktek kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum.

Apabila praktek kebiasaan telah disepakati untuk diberlakukan terhadap suatu transaksi, maka hukum kebiasaan akan mengesampingkan ketentuan umum yang bertentangan dengan kebiasaan itu. Alasannya adalah karena hukum kebiasaan setempat mengikat para pihak sebagai syarat-syarat yang mengatur kontrak secara

61 http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html diakses tanggal

(32)

keseluruhan. Pengecualian diberikan hanya terhadap ketentuan yang bersifat memaksa.62

4.Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) Hal ini tertuang dalam Pasal 2.1.1 UNIDROIT Principles, sebagai berikut:

“A contract may be concluded either by the acceptance of an offer or by conduct of the parties that is sufficient to show agreement”

Inti dari ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:

 penawaran dan penerimaan;

 perilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.

Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dengan tercapainya kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan kontrak. Konsep tentang penawaran dan penerimaan digunakan untuk menentukan apakah dan kapankah para pihak telah mencapai kata sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi yang cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan penerimaannya, sehingga sulit untuk menentukan kapan kata sepakat itu terjadi.63

5.Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk

Larangan untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk dalam Pasal 2.15 UNIDROIT Principles tentang Negotiation in Bad Faith, sebagai berikut:

“(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement; (2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the other party; (3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party”.

Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :64

62 Hal ini diperkuat pula dengan ketentuan dalam Pasal 1.5 UNIDROIT.

63 Lihat juga ketentuan dalam Pasal 4.1 mengenai Intention of the parties.

64 http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html diakses tanggal

(33)

 Kebebasan negosiasi;

 Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;

 Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

6.Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan

Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada kemungkinan mereka memanfaatkan rahasia tersebut untuk keuntungannya. Pasal 2.1.16 UNIDROIT Principles mengatur kewajiban menjaga kerahasiaan:

“Where information is given as confidential by one party in the course of negotiations, the other party is under a duty not to disclose that information or to use it improperly for its own purposes, whether or not a contract is subsequently concluded. Where appropriate, the remedy for breach of that duty may include compensation based on the benefit received by the other party”

Dari ketentuan dia atas, dapat disimpulkan bahwa para pihak pada dasarnya tidak wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada informasi yang memiliki sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan dimungkinkan adanya kerugian yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan kata lain, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan informasi mana yang bersifat rahasia dan tidak.

7.Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku

Praktek menggunakan kontrak baku dapat dilihat dalam Pasal 2.1.19 UNIDROIT Principles, yaitu:

(34)

-2.1.22. (2) Standard terms are provisions which are prepared in advance for general and repeated use by one party and which are actually used without negotiation with the other party”

Pasal dia atas mengandung ketentuan, sebagai berikut:

 Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat baku, maka

berlaku aturan umum tentang pembentukan kotrak dengan tunduk pada UNIDROIT Principles Pasal 2.1.20 sampai 2.1.2265;

 Syarat baku merupakan aturan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk

dipergunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak yang secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lain.

8.Prinsip syarat sahnya kontrak

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3.1 UNIDROIT Principles, yaitu:

“These Principles do not deal with invalidity arising from (a) lack of capacity; (b) immorality or illegality”

Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip UNIDROIT tidak mengatur ketidakabsahan yang timbul dari tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki kewenangan, amoralitas dan ilegalitas.

Tidak mungkin semua dasar syarat sahnya kontrak yang ditemukan dalam berbagai sistem hukum nasional dipakai dalam ruang lingkup prinsip UNIDROIT. Alasan pengecualian ini mengingat baik karena kompleksitas yang melekat pada masalah status, kewenangan, dan kebijaksanaan publik serta perbedaan yang ekstrem mengenai bagaimana hal itu diberlakukan dalam hukum domestik.66

65 Ketentuan UNIDROIT Principles Pasal 2.1.20 tentang Surprising terms (1) No term contained in

standard terms which is of such a character that the other party could not reasonably have expected it, is effective unless it has been expressly accepted by that party. (2) In determining whether a term is of such a character regard shall be had to its content, language and presentation.”, Pasal 2.1.21 tentang Conflict between standard terms and non-standard terms “In case of conflict between a standard term and a term which is not a standard term the latter prevails”, Pasal 2.1.22 tentang Battle of forms “Where both parties use standard terms and reach agreement except on those terms, acontract is concluded on the basis of the agreed terms and of any standard terms whichare common in substance unless one party clearly indicates in advance, or later and without undue delay informs the other party, that it does not intend to be bound by such a contract”.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam paper ini, ditampilkan juga pemodelan yang digunakan dalam penganalisisan data dengan menggunakan algoritma C4.5 dan C4.5 berbasis PSO, kemudian dibandingkan

Sentra Promosi merupakan tempat yang disediakan bagi masyarakat yang memiliki produk olahan susu untuk dijual dengan penawaran 3 jenis ruang retail yang

Judul : Upaya Masyarakat Lokal dalam Menjaga Keamanan dan Kenyamanan Wisatawan di Desa Adat Ubud (Studi Tindakan Sosial dalam Pariwisata).. Ringkasan

Penerapan paradigma pendidikan pada ranah proses belajar mengajar, adalah sebuah syarat utama dalam tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebagaimana telah

Asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu yang mengandung sejumlah besar senyawa yang terbentuk oleh proses pirolisis komposisi bahan kayu seperti selulosa,

Jika pembayaran ke penerima berdasarkan Permintaan Transfer Uang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal penerimaan Bank dari Minta Uang Transfer, Bank

Memberikan bekal untuk pengajaran tentang agama Islam berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama tentang Munakahat,