• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AKIBAT HUKUM KANTOR NOTARIS TIDAK JADI

2. Penetapan surat keputusan PPAT berdasarkan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Peraturan Jabatan PPAT maka yang dimaksud dengan formasi jabatan PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja.

Pengangkatan PPAT dilakukan oleh Menteri di bidang agraria/pertanahan melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penetapan Formasi PPAT, untuk suatu daerah kerja tertentu guna melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu.21 Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat Peraturan Kepala BPN No.1 Tahun 2006) tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Jabatan PPAT, pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa formasi PPAT dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

a. jumlah kecamatan di daerah yang bersangkutan;

b. tingkat perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun;

c. tingkat perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan;

d. jumlah permohonan untuk dapat diangkat sebagai PPAT di daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

e. jumlah PPAT yang sudah ada pada setiap daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

f. lain-lain faktor yang dianggap penting oleh Kepala BPN.

Berdasarkan ke 6 (enam) faktor penentuan dalam penempatan formasi PPAT untuk yang angka 6 yakni lain-lain faktor yang dianggap

21

penting oleh Kepala BPN tergantung pada kondisi atau daerah baru yang mana oleh BPN dianggap perlu untuk diangkat PPAT. Jadi semua tergantung kebijaksanaan kepala BPN.

Formasi PPAT ditetapkan secara periodik dan ditinjau kembali apabila terjadi perubahan pada faktor-faktor penentu tersebut. Ketentuan Pasal 9 Peraturan Kepala BPN No.1 Tahun 2006 menyebutkan:

a. formasi atau kebutuhan dan penunjukkan PPAT Sementara ditetapkan oleh Kepala Badan dengan mempertimbangkan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);

b. dalam hal di daerah kabupaten/kota yang telah ditetapkan oleh kepala BPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 PPATnya telah terpenuhi, maka terhadap Camat yang baru dilantik tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT, kecuali jumlah PPAT yang telah ada berkurang dari jumlah formasi yang telah ditetapkan atau formasinya diadakan perubahan; c. formasi PPAT sementara yang telah ditetapkan, dapat ditinjau kembali

oleh Kepala BPN apabila terdapat perubahan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) di atas.

Berdasarkan ketentuan di atas maka formasi untuk penempatan PPAT penting sekali supaya tidak terjadi persaingan tidak sehat dan dapat ditempatkan seorang PPAT di suatu wilayah berdasarkan kepadatan penduduk dan kesempatan bagi PPAT bekerja dengan tenang.

Ketentuan dalam Pasal 11 Peraturan BPN No.1 thn 2006 menyebutkan bahwa:

a. PPAT diangkat oleh Kepala BPN;

b. untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh BPN Republik Indonesia; c. ujian PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan

untuk mengisi formasi PPAT di kabupaten atau kota yang formasi PPATnya belum terpenuhi.

Adanya persyaratan dari Pasal 11 ini, maka yang bisa diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN. Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan mungkin. Jika ada PPAT Sementara Camat atau Kepala Desa maka tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas dispensasi tersebut.

Ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan BPN No.1 thn 2006 menyebutkan bahwa:

a. sebelum mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh BPN RI yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT;

b. pendidikan dan pelatihan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mendapatkan calon PPAT yang professional dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas jabatannya.

c. Materi ujian PPAT terdiri dari: 1) Hukum Pertanahan Nasional

2) Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan 3) Pendaftaran Tanah

4) Peraturan Jabatan PPAT 5) Pembuatan Akta PPAT, dan 6) Etika profesi.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka untuk menjadi seorang PPAT harus melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkan oleh peraturan tersebut. Karena ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat mutlak untuk dapat diangkat menjadi PPAT.

Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan bahwa “PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya”. Artinya dengan hanya mempunyai satu kantor, seorang PPAT dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan atau bentuk lainnya. B. Rangkap Jabatan Notaris dengan PPAT

Berdasar pada UUJN seorang notaris bisa merangkap jabatan sebagai PPAT, asalkan satu wilayah jabatan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 17 huruf g UUJN yaitu notaris dilarang merangkap jabatan sebagai PPAT di luar wilayah jabatan notaris. Dengan kata lain, seorang notaris diperbolehkan

untuk merangkap jabatan PPAT jika satu wilayah jabatan dengan wilayah jabatan notaris tersebut. Sedang pada ketentuan Pasal 7 Peraturan Jabatan PPAT ayat (1) menyebutkan bahwa “PPAT dapat merangkap jabatan sebagai notaris, konsultan atau penasehat hukum”. Sehingga untuk PPAT merangkap notaris diperbolehkan menurut Peraturan Jabatan PPAT dan tidak dilarang dalam ketentuan UUJN.

Notaris dan PPAT pada dasarnya adalah jabatan yang berbeda. PPAT merupakan singkatan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah. Seorang PPAT belum tentu seorang notaris. Begitu pula sebaliknya, seorang notaris juga belum tentu seorang PPAT. Di Indonesia PPAT adalah seorang pejabat umum yang diangkat oleh kepala BPN untuk membuat berbagai akta tentang pertanahan. Hanya delapan akta yang diurus oleh seorang PPAT.

Akta yang menjadi tanggung jawab PPAT adalah sebagai berikut:22 1. Akta Jual beli

2. Akta Tukar-menukar 3. Akta Hibah

4. Akta Pemasukan dalam perusahaan (inbreng) 5. Akta Pembagian Harta Bersama

6. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/hak milik/hak pakai atas tanah 7. Akta Pemberian Hak Tanggungan

8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Selain delapan akta di atas, PPAT tidak memiliki wewenang untuk membuat akta lain. Sebagai contoh, seorang PPAT tidak bisa membuat sebuah akta tentang pendirian badan hukum atau membuat akta tentang sewa-menyewa. Terdapat tiga macam PPAT, yaitu:23

22

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, op.cit., h.38

23

1. PPAT adalah orang yang sudah menempuh studi kasus tentang PPAT, kemudian mereka akan diuji oleh BPN pusat. Jika lulus mereka sah menjadi pejabat PPAT.

2. PPAT Sementara biasanya dijabat kepala desa atau camat di suatu daerah. Pemerintah mengangkat camat atau kepala desa setempat karena melihat tempat itu tidak terdapat PPAT. PPATS ini akan diberi pelatihan khusus terlebih dahulu hingga memenuhi kualifikasi yang diinginkan pemerintah. 3. PPAT Khusus biasanya hanya bersifat insidentil karena mereka diangkat

jika pemerintah memiliki program tertentu.

Sedangkan akta otentik yang dibuat oleh seorang notaris dapat dibedakan atas:

1. Akta yang dibuat “oleh” (door) notaris atau yang dinamakan “akta relaas

atau “akta pejabat“ (ambtelijke akten) ;

2. Akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan

“akta partij” (partij akten) ;

Pengertian akta partij, adalah akta yang dibuat untuk bukti dan merupakan

keterangan yang diberikan oleh para penghadap, dengan jalan menandatanganinya. Sedangkan akta relaas, adalah akta yang dibuat untuk

bukti mengenai perbuatan (termasuk keterangan yang diberikan secara lisan, tidak menjadi soal apapun isinya) dan kenyataan yang disaksikan oleh notaris di dalam menjalankan tugasnya di hadapan para saksi. Di sini notaris memberikan secara tertulis dengan membubuhkan tanda tangannya, kesaksian dari apa yang dilihat dan didengarnya.

Perbedaan antara Notaris dan PPAT terletak pada wewenang yang dimilikinya. Seorang PPAT memiliki wewenang yang lebih sempit dibandingkan seorang notaris. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Jabatan PPAT, tugas utama seorang PPAT hanya melakukan pembuatan dokumen bukti

peralihan hak serta mengeluarkan akta yang menerangkan status atau kondisi sebidang tanah. Dapat penulis kemukakan beberapa pendapat dari notaris yang juga merangkap jabatan sebagai PPAT yaitu antara lain:

Notaris/PPAT Suyanto, Sarjana Hukum, dalam hal ini mengemukakan pendapatnya:

“Bidang tugas Notaris dan PPAT adalah berbeda dalam obyek dan subyek dari masing-masing jabatan, tetapi antara keduanya saling berhubungan erat dimana bidang perdata juga mencakup bidang pertanahan, dan demikian pula sebaliknya. Memang antara kedua jabatan tersebut adalah terpisah dan adanya notaris dapat menjadi PPAT adalah karena terdapat pengaturan yang demikian dalam peraturan perundang-undangan dimana pengaturan yang demikian tersebut terjadi karena kebutuhan yang sangat mendesak akan PPAT pada tahun 1960 an yaitu setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 atau dikenal dengan UUPA, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 UUPA tentang Pendaftaran tanah yang pada waktu itu belum cukup terdapat pejabat yang akan melaksanakan pendaftaran tanah, sehingga Notaris juga ditunjuk sebagai PPAT tentunya dengan Pertimbangan keprofesionalan notaris sebagai pejabat umum”.24

Adanya suatu pemikiran atau wacana demikian ini maka Dalam perkembangan selanjutnya peran PPAT dan Notaris ternyata tidak dapat begitu saja dipisahkan karena jasa PPAT yang notaris atau notaris yang PPAT lebih banyak yang diperlukan sesuai dengan perkembangan perekonomian di era globalisasi, terlebih-lebih dibidang perbankan yang mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian negara.

Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh notaris yang juga PPAT yaitu Notaris dan PPAT Nukmayati, Sarjana Hukum berpendapat: “Jabatan Notaris dan PPAT tersebut dalam perkembangannya justru sangat dibutuhkan oleh masyarakat dimana masyarakat membutuhkan pelayanan

24

Ike Musyafiati, R, “Kajian Hukum Pemisahan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dari Jabatan Notaris”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, h.106

yang tepat, cepat dan sederhana, dan pada kenyataannya mereka yang memerlukan jasa PPAT akan mencari Notaris yang juga PPAT”.25

Hal ini juga sesuai dengan penjelasan dari Notaris dan PPAT Muhammad Hafid, Sarjana Hukum menyatakan bahwa:

“Sejak dulu jabatan notaris dan jabatan PPAT memang terpisah tetapi pada perkembangannya sekarang di era globlalisasi justru antara kedua jabatan tersebut lebih tepat apabila dilaksanakan oleh satu orang, agar tugas dan fungsi pelayanan seorang pejabat umum kepada masyarakat tidak terlalu merepotkan karena masyarakat dapat dilayani kebutuhannya akan jasa Notaris maupun jasa PPAT hanya disatu atap atau tepatnya masyarakat mendapatkan pelayanan secara terpadu pada seorang pejabat umum”.26

Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh koridor-koridor aturan. Pembatasan ini dilakukan agar seorang notaris tidak melampaui batas dalam menjalankan praktiknya dan bertanggungjawab terhadap segala hal yang dilakukannya. Tanpa adanya pembatasan, seseorang cenderung akan bertindak sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah membatasi wilayah kerja seorang notaris. Dalam ketentuan Pasal 17 huruf g UUJN juga sudah mengatur bahwa seorang notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Sebagai contoh, seorang notaris yang memiliki wilayah kerja di Yogyakarta tidak dapat membuka praktik atau membuat akta autentik di wilayah Jakarta (batas yuridiksi notaris adalah provinsi).27 25 Ibid, h.107 26 Ibid, h.17 27

C. Akibat Hukum dari Kantor Notaris yang Tidak Jadi Satu (Wilayah Kerja) dengan PPAT

Wilayah jabatan notaris adalah daerah kerja notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan hanya di daerah itulah notaris berwenang untuk memberikan pelayanan hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik. Setiap notaris harus ditentukan wilayah jabatannya, hal ini bertujuan supaya Notaris terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan yang telah ditetapkan dan juga agar para masyarakat yang membutuhkan pelayanan notaris dapat lebih mudah untuk menjumpai notaris yang mereka inginkan baik pada waktu siang maupun pada waktu malam hari, dan disamping itu untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para notaris.28

Pasal 17 butir a UUJN, notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Apabila notaris membuat akta diluar daerah jabatannya, maka akta tersebut hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu:

“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh kedua belah pihak.”

28

T. Muzakkar, “Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya UU. No.30 Tahun 2004”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Medan, 2008, h.31

Pasal tersebut, jelas bahwa suatu surat untuk dapat disebut akta, harus ditandatangani dan jika tidak ditandatangani oleh yang membuatnya, maka surat itu adalah surat bukan akta. Dengan demikian, jelas bahwa tulisan-tulisan yang tidak ditandatangani kendatipun diperuntukkan untuk pembuktian, seperti karcis kereta api, dan lain-lain tidak dapat disebut akta. Tujuan dari keharusan ditandatangani surat untuk dapat disebut akta adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab tandatangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang tidak mungkin sama dengan tandatangan orang lain.

Sedangkan akibat hukum apabila kantor notaris tidak jadi satu dengan kantor PPAT, hal ini dimungkinkan. Akan tetapi apabila notaris sering meninggalkan tempat kedudukannya yang jelas akan terkena ketentuan Pasal 17 huruf (b) yaitu: “Notaris dilarang meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7(tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah”. Hal ini bertujuan agar masyarakat mendapat pelayanan dari kantor notaris dalam kaitannya untuk pembuatan akta.

Selain itu notaris yang bersangkutan akan dikenakan sanksi kedisiplinan dari Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) karena dianggap melakukan larangan dalam Kode Etik Notaris yang mempunyai kantor perwakilan atau kantor cabang. Seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 4 angka 1 Kode Etik Notaris yang berbunyi, “dilarang mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan”

Jika seorang notaris mempunyai kantor lebih dari 1 (satu) atau kantor Notaris tidak jadi satu wilayah kerja dengan kantor PPAT maka hal ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT ataupun notaris tersebut. Wilayah jabatan notaris mengikuti wilayah kerja PPAT. Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan apabila ada seorang notaris mempunyai kantor notaris di kota Gresik, sedangkan kantor PPAT-nya berada di kota Lamongan. Maka hal ini dianggap sebagai kantor cabang atau kantor perwakilan dari kantor notaris yang ada di Lamongan. Karena wilayah jabatan notaris melingkupi wilayah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Sedangkan wilayah kerja PPAT hanya melingkupi wilayah kabupaten saja. Dalam kasus di atas dimana kantor Notaris yang ada di kota Gresik masih berada dalam satu wilayah jabatan dengan daerah kerja kantor PPAT yang ada di kota Lamongan yaitu propinsi Jawa Timur. Keterkaitan antara tempat kedudukan notaris dengan wilayah jabatan notaris dapat diartikan bahwa notaris mempunyai wilayah kerja satu propinsi dari tempat kedudukannya, artinya, notaris dapat saja membuat akta di luar tempat kedudukannya selama masih berada pada propinsi yang sama. Tetapi notaris juga dapat membuat akta dengan datang ke kota atau kabupaten lain dalam provinsi yang sama. Tetapi apabila dilihat dari segi Kode Etik Notaris Pasal 3 angka (8) yang berbunyi “Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tesebut merupakan satu-satunya kantor bagi notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari”, jelas bahwa notaris tersebut telah melanggar Kode Etik Notaris yang dikeluarkan

oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI). Disamping itu, apabila kantor notaris menjadi satu dengan wilayah kerja kantor PPAT maka masyarakat lebih mudah untuk menjumpai notaris atau PPAT tersebut sesuai dengan waktu yang diinginkan dalam rangka untuk pembuatan akta.

38

A. Tinjauan Umum Tentang Wilayah Kerja Notaris dan PPAT 1. Wilayah jabatan Notaris menurut UUJN

Daerah jabatan notaris adalah daerah kerja notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan hanya di daerah itulah notaris berwenang untuk memberikan pelayanan hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik.

Wilayah jabatan notaris menurut Pasal 18 ayat 2 UUJN notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Keterkaitan antara tempat kedudukan notaris dengan wilayah jabatan notaris dapat diartikan bahwa notaris mempunyai wilayah kerja satu propinsi dari tempat kedudukannya, artinya notaris dapat saja membuat akta di luar tempat kedudukannya selama sepanjang masih berada pada propinsi yang sama.

2. Wilayah Kerja PPAT menurut Peraturan Jabatan PPAT

Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT maka, dapat dijelaskan bahwa wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk wilayah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar

penunjukkannya. Apabila sebelum berlakunya Peraturan Jabatan PPAT ini seseorang PPAT mempunyai wilayah kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada Peraturan Jabatan PPAT ini (wilayah kerjanya melebihi satu wilayah kerja kantor pertanahan) maka PPAT tersebut harus memilih salah satu dari wilayah kerja tersebut atau setelah 1 (satu) tahun wilayah kerja PPAT tersebut sesuai denah tempat kantor PPAT tersebut berada. Daerah kerja PPAT telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Jabatan PPAT adalah sebagai berikut :

Pasal 12 ayat (2) Peraturan Jabatan PPAT tentang daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Pemerintah Kota, dan juga di atur pada Pasal 13 ayat (1) serta ayat (2) Peraturan Jabatan PPAT adalah sebagai berikut :

a. Pasal 13 ayat (1) : apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi dua atau lebih wilayah Kabupaten/Pemerintah Kota, maka dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan Kabupaten/Pemerintah Kota. Sebagai daerah kerja dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten atau Pemerintah Kota daerah Tingkat II baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten atau Pemerintah Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.

b. Pasal 13 ayat (2) : Pemilihan Daerah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/Pemerintah Kota daerah Tingkat I yang baru.

Serta diatur juga dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Jabatan PPAT yaitu :

a. Pasal 14 ayat (1) : Formasi ditetapkan oleh Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional

b. Pasal 14 ayat (2) : apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi maka Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional menetapkan wilayah tersebut tertutup pengangkatan PPAT.

Maksud dari Pasal 14 ayat (2) tersebut di atas : Dengan adanya penetapan formasi ada suatu daerah Kabupaten atau Wilayah Daerah Tingkat II akan dapat dibatasi penempatan PPAT pada suatu daerah, sehingga daerah lain yang masih tersedia lowongannya dapat diisi, maka tujuan penetapan pemerataan PPAT dapat tercapai.

B. Kendala-Kendala Internal dalam Menjalankan Rangkap Jabatan Notaris yang Tidak Satu Kantor Dengan PPAT

1. Pelayanan notaris menjadi tidak optimal dikarenakan notaris akan sering meninggalkan tempat kedudukan untuk berada di kantor PPAT yang tidak jadi satu dengan kantor notaris

Hal ini karena wilayah kerja PPAT di luar kantor notaris tetapi hanya dalam satu wilayah jabatan notaris. Notaris akan semakin banyak

meninggalkan tempat kedudukan untuk berada di kantor PPAT yang di luar wilayahnya, hal ini tidak diperbolehkan oleh UUJN yang telah mengatur dalam Pasal 17 UUJN yang menjelaskan bahwa Notaris hanya berkedudukan di suatu tempat di kota atau kabupaten, dan memiliki kewenangan wilayah jabatan seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Notaris hanya memiliki 1 (satu) kantor tidak boleh membuka cabang atau perwakilan dan tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan dari luar tempat kedudukannya, yang artinya seluruh pembuatan akta harus sebisa mungkin dilaksanakan di kantor notaris kecuali pembuatan akta-akta tertentu.

2. Biaya-biaya operasional kantor menjadi lebih banyak, karena ada 2 (dua) kantor. Yaitu Notaris dan PPAT (satu wilayah jabatan)

Apabila notaris yang tidak satu kantor dengan PPAT atau kantor notaris berada di luar wilayah kerja PPAT, maka terdapat 2 (dua) kantor yang dijalankan. Hal ini dapat berdampak pada membengkaknya biaya-biaya operasional, yang mana biaya-biaya-biaya-biaya tersebut adalah biaya-biaya untuk menggaji karyawan, biaya untuk transportasi atau perjalanan notaris untuk menjalankan praktik di 2 (dua kantor) yang berbeda tempat, biaya operasional sehari-hari ataupun tiap bulannya yang wajib dikeluarkan (peralatan kantor, Pajak Bumi dan Bangunan, listrik, telepon, air, dsb).

Karena tingginya biaya operasional yang dikeluarkan oleh Notaris dan PPAT, hal ini berbentur dengan semakin banyaknya persaingan antar Notaris dan PPAT di suatu wilayah tersebut. Maka hal ini memaksa

Notaris dan PPAT tersebut mengatur strategi untuk menurunkan harga jasa dari pada umumnya. Padahal Notaris dan PPAT tersebut mau tidak mau harus mengeluarkan biaya operasional yang tinggi karena mempunyai dua kantor yang berbeda tempat.

C. Kendala-Kendala Eksternal dalam Menjalankan Rangkap Jabatan Notaris dan PPAT Yang Tidak Satu Wilayah Kerja.

1. Persaingan baik untuk PPAT maupun Notaris menjadi tidak sehat

Dokumen terkait