• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT

C. Pengakuan Keberadaan dan Perkembangan Masyarakat Hukum

1. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat

b. Menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama

untuk kemanfaatan warganya,

c. Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya.

Keluar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum,

d. Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya, Hak

membentuk adat,

e. Hak menyelenggarakan sejenis peradilan.

C.Pengakuan Keberadaan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di

Indonesia

1. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat

a. Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak – haknya mendapat landasan hukum dalam Undang – Undang Dasar, yang dirumuskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang – Undang Dasar.

“Dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah itu mempunyai susunan asli,

60

54 dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah – daerah itu akan mengingati hak – hak usul daerah tersebut. Negeri di Minangkabau dianggap sebagai salah satu daerah yang bersifat istimewa, keistimewaan negeri ini sudah beradab – adab dikenal orang. Negeri di Minagkabau diberi julukan republik kecil, ada wilayahnya, ada masyarakat, dan ada penguasanya. Penguasa mulai dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Wilayahnya disebutkan dengan tanah wilayah, sudah ada pengaturannya menurut adat, sistem pemerintahannya diatur menurut keselarasan masing – masing. Demikian juga di bidang peradilan, ada peradilan yang lebih dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Itulah beberapa hak usul negeri tersebut seperti dimaksud oleh Penjelasan Pasal II Pasal 18 Undang – Undang Dasar, sebelum diamandemen. Hak asal – usul inilah selama

ini yang dihapus melalui UUPA dengan peraturan lainnya.61

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan Setelah Undang – Undang Dasar diamandemen, mengenai masyarakat hukum adat dalam segi pengakuan, penghormatan, dan perlindungannya dapat berpedoman pada Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang – Undang Dasar perubahan kedua (tahun 2000).

Pasal 18 B ayat (2):

61

Frans Magnis Suseno, dkk, Masyarakat Hukum Adat: Hubungan Struktural dengan Suku Bangsa dan Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia), Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia, 2006, hlm. 5.

55 sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Pasal 28 I ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Kalimat dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang – Undang Dasar tersebut masih ditulis dalam tradisi kemutlakan dan hegemonial serta menunjukkan negara betapa memiliki sekalian kekuasaan (authority) dan kekuatan (power) untuk menentukan apa yang terjadi di NKRI ini, apakah hukum adat masih berlaku atau tidak. Dilihat secara sosiologis hukum dalam memahami ketentuan di atas tidak berangkat dari kemauan dan perintah Undang – Undang Dasar, melainkan dari kenyataan mengenai hukum adat itu sendiri. Kehadiran hukum adat tidak memikirkan dan mempertimbangkan apakah ia akan diakui atau tidak melainkan karena ia harus muncul. Kata – kata “harus muncul” menunjukkan otentitas hukum adat. Pada dasarnya ia muncul dari dalam kandungan masyarakat sendiri secara otonom dan oleh karena itu disebut otentik. Dengan meminjam istilah Hart (1961), maka hukum adat lebih dekat kepada orde “primary of obligation” daripada hukum negara yang dibuat dengan sengaja (purposeful) dan karena itu

lebih dekat kepada orde “secondary rules of obligation”.62

Hukum adat bersemayam dan berkelindan kuat dengan budaya setempat. Kata “budaya” di sini menunjukkan adanya unsur emosional tradisional yang kuat dari hukum adat. Ia juga merupakan hukum yang sarat dengan penjunjungan nilai – nilai (value laden) tertentu. Bahkan di wilayah – wilayah tertentu di Indonesia,

62

56 seperti Aceh, bagi para pemeluknya hukum adat adalah identik dengan hukum agama. Maka dengan menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus

merasa berbudaya.63

1. “Sepanjang masih hidup”. Persyaratan tersebut perlu diteliti dengan seksama

dan hati – hati, tidak hanya menggunakan tolok ukur kuantitatif-rasional, melainkan lebih dengan empati dan partisipasi. Kita tidak semata – mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyelami perasaan masyarakat setempat. Metodelogi yang digunakan adalah partisipatif.

Berdasarkan perumusan Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Dasar terdapat 4 syarat bagi eksistensi hukum adat sebagai berikut :

2. “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Syarat tersebut tidak ditafsirkan

dari segi ekonomi dan politik, melainkan dari kaca mata masyarakat setempat. Penafsiran dari kedua segi tersebut mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan raksas atas nama “perkembangan masyarakat”. Masyarakat akan sulit untuk menghindar dari penetrasi teknologi dan itu akan menimbulkan dinamika di dalam masyarakat tesebut. Yang ingin dikatakan di sini adalah untuk memberi peluang dan dinamika masyarakat setempat itu berproses sendiri secara bebas.

3. “Sesuai dengan prinsip NKRI”. Negara RI dan masyarakat lokal adalah satu

kesatuan tubuh. Keduanya tidak boleh dihadapkan secara dikotomis atau hitam putih. Dipahami, bahwa masyarakat lokal atau adat adalah bagian dari dan darah daging dari NKRI itu sendiri. Penelitian yang dilakukan berdasarkan

63

57 paradigma tersbut akan berbeda daripada yang melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua entitas yang berbeda dan berhadap – hadapan. Metode holistik

akan lebih cocok apabila digunakan paradigma tersebut.64

4. “Diatur dalam undang – undang”. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum.

Apabila negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari –hari tidak akan berjalan dengan produktif. Banyak kejadian telah membuktikan hal itu. Tahun 1960-an di Amerika Serikat terjadi pergolakan sosial dan politik dan memunculkan masalah - masalah baru, ternyata hukum yang ada gagal untuk memberi penyesalan. Contoh ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya melihat ke dalam dirinya sendri dan

berpatokan pada rules dan logic, karena akan menghambat berlangsungnya

proses – proses produktif dalam masyarakat. Negara hukum tidak hanya membutuhkan praksis yang didasarkan pada the logic of the law melainkan juga social reasonableness. Di sini kita diingatkan Renner (1969) dengan kata – kata bahwa the development of the law gradually works out is what is socially reasonable.

b. Menurut Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam

TAP MPR No.IX/2001, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip:

64

58

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum;

d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia;

e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi

partisipasi rakyat;

f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam;

g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik

untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan

kondisi sosial budaya setempat;

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan

antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;

Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinkan rakyat

59 (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan,

penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat.65

c. Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok – Pokok Agraria

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA) adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang – undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Dalam rumusan Pasal 5 ini jelaslah bahwa hukum adat yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka jika kita

65

Yayasan Merah Putih,”Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional, http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/ (diakses pada tanggal 14 februari 2015).

60 penggal – penggal Pasal 5 tersebut maka akan terdapat beberapa statement sebagai

berikut66

1. Pro kepada kepentingan nasional, atau adanya prinsip nasionalitas, artinya

hukum adat itu menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan dalam semua lembaga hak – hak atas agraria tersebut setiap kali akan menonjol, seperti siapa yang boleh mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha.

:

Pasal 9 UUPA jelas – jelas memantapkan statement tersebut dengan kalimat “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas – batas ketentuan Pasal 1 dan 2.”

2. Pro kepada kepentingan negara, dalam artian keluar, negara tidak akan

mengadakan suatu kompromi atau toleransi yang meniadakan hak – hak bangsa Indonesia terutama prinsip nasionalitas tersebut, dan ke dalam, kepentingan negara diatas segala – galanya sehingga kepentingan perorangan harus mengalah jika kepentingan negara menghendakinya.

3. Pro kepada persatuan bangsa, artinya hukum adat menurut versi UUPA itu

menyatakan setiap warga negara Indonesia di manapun dia berada di wilayah tanah air, sama berhak untuk boleh mempunyai hak – hak agraria.

4. Pro kepada sosialisme Indonesia, artinya di sini bahwa pengertian sosialisme

Indonesia tersebut sebagai Pancasila.

66

61

5. Bahwa seterusnya hak – hak adat itu tunduk kepada ketentuan umum diatur

oleh UUPA oleh peraturan sejenis yang lebih tinggi, berarti UUPA atau peraturan lain yang diterbitkan akan merupakan hukum yang umum, sedangkan hak – hak adat itu akan tunduk kepada perubahan atau penetapan dari hak – hak agraria yang akan dituangkan dalam undang – undang atau peraturan pemerintah lainnya, sehingga akan menyesuaikan kepada hukum umum yang diatur oleh pemerintah, dan tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan hukum umum yang sengaja diadakan untuk itu.

6. Bahwa sebagai ciri khusus dari UUPA, lembaga hukum agama (Islam) sudah

merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UUPA tersebut artinya sudah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya tanah wakaf.

Didalam pasal ini sebagaimana yang tercantum didalam mukadimah dari LN. 1960-104 yang menyatakan bahwa hukum adat diberikan kembali sebagai dasar hukum yang sudah lama tidak mendapatkan kedudukan pada masa Pemerintahan Kolonial, dengan demikian setelah kemerdekaan Republik Indonesia, maka tidak dimungkinkan adanya dualisme hukum dan tentu adanya reorientasi terhadap pelaksanaan hukum Indonesia yang akan mampu serta dapat

memahami jiwa dari hukum adat tersebut.67

Didalam penjelasan umum III dalam konsiderans/berpendapat huruf c disebutkan hukum adat sebagai hukum tanah nasional dengan sebagian terbesar rakyat Indonesia dengan demikian hukum adat yang oleh UUPA dijadikan sebagai dasar Hukum tanah Nasional tersebut, bukan hukum adatnya golongan timur asing menurut pengertian C. van Vollenhoven dan juga bukan hukum adat

67

62 menurut pengertian Kusumadi Pudjosewojo, melainkan hukum aslinya golongan Pribumi, oleh karena itu tidak ada alasan untuk meragukan bahwa yang dimaksudkan dengan UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan yang mengandung unsur – unsur Nasional yang aslinya yaitu sifat kemasyarakatakan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi

oleh suasana keagamaan.68

Seyogyanya dapat diterima hukum adat seperti yang dikatakan oleh Boedi Harsono “hukum adat yang disaneer” atau oleh Sudargo Gautama disebutkannya sebagai Hukum Adat yang “diretool”.Namun setidak – tidaknya seperti yang disinggung adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat – sifatnya yang khusus

daerah dan diberi sifat nasional.69

Dengan demikian didalam Pasal 5 ini dapat disimpulkan bahwa agraria yang berlaku berdasarkan hukum adat bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku demi kepentingan bangsa dan negara atau dengan kata lain hukum adat dapat menyesuaikan dengan situasi dan keadaan yang berkembang ditengah – tengah masyarakat, sehingga tidak dimungkinkan lagi dikembangkan hukum adat yang murni yang selama ini kita pelajari, contoh sederhana tentang pewarisan yang berdasarkan Matrilinial (keibuan) di Minangkabau Sumatera Barat seseorang anak laki – laki tidak mempunyai hak atas sebidang tanah, namun sebaliknya di masyarakat suku batak atau karo yang berdasarkan Patrilinial (Kebapaan) yang lebih berhak atas tanah

68

Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta, 1975.

69

63 adalah anak laki – laki (patrilinial), dengan demikian didalam ketentuan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tidak akan membedakan antara anak laki – laki dan

perempuan untuk memperoleh hak atas tanah.70

Pasal 3 ini jika dikaitkan kepada Pasal 58 UUPA yang mengakui masih berlakunya hak – hak ulayat maupun hak – hak lain sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum diatur khusus, maka apa yang menjadi petunjuk yang diatur oleh Pasal 3 ini jika dipenggal akan menjadilah dia sebagai

Konsep kepemilikan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat tertanam dalam UUPA. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

71

a. Bahwa hak ulayat itu masih terdapat dalam masyarakat dan masih ada atau

(masih merupakan kenyataan hidup) artinya hak ulayat itu masih berfungsi dalam masyarakat dan masih dipatuhi oleh masyarakat sebagai suatu lembaga dalam masyarakatnya.

:

b. Harus disesuaikan dengan kepentingan nasional, artinya ada prinsip

nasionalitas, yaitu sungguhpun diketahui menurut hukum adat ada sejumlah justiabelnya menurut hukum adat masih berhak atas tanah hak – hak adat di

70

Affan Mukti, Pembahasan Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ( Medan : USU Press, 2010), hlm.38.

71

64 daerah asalnya, namun karena mereka bukan lagi warga negara Indonesia maka hak – hak mereka menjadi terdinding.

c. Harus disesuaikan dengan kepentingan negara, apa yang dimaksud dengan

pro kepentingan negara tersebut.

d. Harus berdasarkan kepada persatuan bangsa, artinya hak ulayat itu selama ini

melayani hanya orang yang menjadi anggota suku itu saja dan orang luar sukunya hanya boleh mempunyai sesuatu hak setelah membayar suatu rekognisi (atau di suku Batak dinamakan Pago – Pago).

Dalam setiap konsep ini maka setiap warga negara Indonesia di manapun dia berada di dalam wilayah Indonesia sama berhak dengan lain – lain suku bangsa untuk mempunyai hak – hak Agraria.

e. Akhirnya bahwa Hak Ulayat itu seterusnya untergeordnet kepada undang –

undang maupun peraturan lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian biarpun hak ulayat itu adanya sebelum UUPA, namun kemudian harus seirama dan sejalan dan tunduk kepada ketentuan ketentuan umum yang dibuat untuknya dalam konteksnya keberlakuannya di Indonesia.

Dalam pengertian ini dengan jelas bahwa hak ulayat adalah milik masyarakat hukum adat. Pemahaman serupa juga dianut oleh UUPA dengan mengatakan bahwa masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat dilarang untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha (HGU) atau menolak pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan makanan dan pemindahan penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan menggunakan konsep tersebut,

65 UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada

tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek.72

d. Menurut Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Undang – Undang Nomor No.39 tahun 1999 boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39 Tahun 1999, menyebutkan:

1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam

masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat

dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.

Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan

72

66 dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

e. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Undang-undang kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan

masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur73

a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap);

:

b) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya;

c) Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang

masih ditaati;

e) Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Terdapat dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat

hukum adat74

73

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op. Cit., hlm. 33.

74

Rikardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 94

, yakni : Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan juga bahwa penguasaan hutan oleh ngeara bukan merupakan kepemilikan, namun negara memberi sejumlah kewenangan kepada pemerintah, termasuk kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Hak menguasai negara membawa konsekuensi dimasukkannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan demikian, cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak

67 atas tanah menurut UUPA, tetapi juga mencakup hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau yang biasa disebut dengan hutan adat.

Kedua, dimasukannya hutan negara tidak lantas meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun, masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan keberadaannya lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan apabila masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 syarat, yakni :

1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap);

2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3) ada wilayah hukum adat yang jelas;

4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih

ditaati; dan

5) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

f. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi secara langsung turut serta dalam penegakan hak – hak asasi manusia. Hal ini merupakan hakikat pengertian dari konstitusi itu sendiri sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi yang melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang yang hidup dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi pada essensinya adalah untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa dan memformulasikan perlindungan hak-hak dasar warga negara atau hak-hak asasi

68 manusia secara menyeluruh, maka peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi

langsung sebagai aparatur penegak hak asasi manusia secara menyeluruh.75

Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, terlebih dahulu harus jelas kedudukan hukum (Legal Standing) yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 51 ayat

Dokumen terkait