1
TINJAUAN YURIDIS HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KEPALA BPN NOMOR 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK NOMOR
35/PUU-X/2012
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas - Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
CHOKY APRIANDA LUBIS NIM 110200400
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2
TINJAUAN YURIDIS HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM
ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN
PMNA/KEPALA BPN NOMOR 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN
DENGAN PUTUSAN MK NOMOR 35/PUU-X/2012
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas - Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat - Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
CHOKY APRIANDA LUBIS NIM 110200400
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
Suria Ningsih, S.H., M.Hum. (NIP. 19600214 198703 2002)
Pembimbing I Pembimbing II
3
ABSTRAK
Choky Aprianda Lubis* Affan Mukti** Mariati Zendrato***
Masyarakat hukum adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan unsur terpenting dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian dari Pemerintah secara khusus. Akan tetapi dalam kenyataannya luas wilayah hak ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang – Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Mengingat bahwa kebijakan pertanahan tersebut bersifat pedoman, dan hak ulayat masing-masing daerah mempunyai sifat dan karakteristiknya yang khas, maka pelaksanaan kebijakan hak ulayat tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah masing-masing daerah, dengan mempertimbangkan unsur-unsur lokal dan budaya yang ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara” dalam Pasal 1 angka 6 dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), sertabeberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data tersusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.
Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan hak derogable rights yang diberikan oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Pengakuan itu bila dilihat dari peraturan perundang – undangan terdapat perbedaan - perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan.
Kata kunci : Masyarakat Hukum Adat, Pengakuan Hukum, Hak – Hak Tradisional
*Mahasiswa Fakultas Hukum USU
4
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur penulis hadiahkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada
kedua orang tua, yaitu ayahanda tercinta THAMRINSYAH LUBIS dan ibunda
tercinta MARLINA SIREGAR, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat
atas Tanah Berdasarkan Ketentuan PMNA/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999
Dikaitkan dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012” sebagai salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah
mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak-banyaknya
kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut :
1. Orang tua saya Ayahanda Thamrinsyah Lubis dan Ibunda Marlina Siregar
yang saya cintai, yang selalu mendoakan saya dan menjadi teladan bagi saya
serta menjadi motivasi yang sangat besar untuk bisa meraih kesuksesan.
Kalian adalah inspirasi dan motivasiku untuk melakukan yang terbaik
5
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M, Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Syafruddin, S.H,. M.H., D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Suryaningsih, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., CN selaku Ketua Program
Kekhususan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Affan Mukti, S.H, M.S. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
untuk segala dukungan, nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis, penulis sangat berterima kasih.
9. Ibu Mariati Zendrato, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
untuk segala dukungan, nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis, penulis sangat berterima kasih.
10. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum selaku penasehat akademik saya di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
6 perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta seluruh
pegawai dan stake holder di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
12. Uwak Saya Iriana Siregar alias uwak ana dan Atah Lat yang selalu
mendoakan saya dan memberikan motivasi serta wejangan - wejangan bagi
saya untuk meraih kesuksesan.
13. Adikku tersayang Martha Julisa Lubis dan Keponakanku Silvia Adrian yang
menjadi semangat tersendiri untuk penulis agar bisa menyelesaikan skripsi
ini, semoga abang bisa menjadi abang yang baik bagi kalian.
14. Nek Iyem dan Kek Sorman yang telah memberikan perhatian dan kasih
sayangnya kepada penulis saat ngekost di Karjo dan tetangga2 disekitar
tempat penulis ngekost. Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih. Suatu
saat penulis pasti akan membalasnya.
15. Teman-teman presidium H.M.I Komisariat Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (kabinet Gagak Hitam) Stambuk 011 Pak Fairuz Selow,
Tulang Parholong, Pak Rizky PA, Pak Imam T, Pak Sukri Sahaja, Pak Jepri
Galau, Pak Imam Mafia, Arif Purbo, Ara G, Imron, Mas Deni, Bang Liezer
dll yang banyak membantu saya selama masa perkuliahan dan selalu
memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas dukungan
semangatnya dan semoga kita tetap terus menjalin ukhuwah islamiyah.
16. Adik-adik presidium dan pengurus Gagak Hitam H.M.I Komisariat Fakultas
Hukum Universitas Sumtera Utara baik stambuk 012, 013 dan 014, cholidin,
benk2, bagas, bahrin, fearly, sutan, icha dkk beserta anggota genggonk gina,
amoy dan rina terima kasih atas atensinya yang telah memberikan dukungan
7
17. Organisasi H.M.I Komisariat Fakultas Universitas Sumtera Utara yang telah
menjadi wadah saya dalam menuntut ilmu diluar perkuliahan, yang banyak
menyimpan kenangan baik suka ataupun duka dan semoga kita selalu tetap
dijalan benar dan teguh memegang amanah laksana Si Gagak Hitam.
18. Teman-teman Departemen HAN PK Hukum Agraria (depri, ali, puput, moti,
wira, hlebert, liezer, kia, imelda, suenta, reza, seila, novan), grup B serta
seluruh stambuk 2011 (suwito, vincent, rizal, tyan dll) yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu dan della rispita, mentari, lisa, bunga, sonya, fitri yang
telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis untuk
menyelasaikan skripsi ini.
19. Adik-adik yang tergabung dalam playgroup Ki Hajar Cilik pimpinan bang
rahmad yang telah mewarnai hari – hariku dengan canda dan tawa, terima
kasih atas dukungan semangat dan doanya, semoga kita dapat terus menjadi
menjalin silaturahmi dan semoga kalian tidak lupa dengan abang.
20. Adinda Desi, Uci dan Esti (Cabe) dan Nela (Bijik Cabe) yang selalu
memberikan semangat, motivasi dan doanya untuk saya. Maaf selalu ngusilin
kalian. Semoga kita dapat menjadi orang yang mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Amin.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga apa yang telah kita
lakukan mendapat ridho dan mendapat balasan kebaikan dari Tuhan Yang Maha
Esa, Allah SWT. Amin
Penulis memohon maaf kepada kedua Bapak dan Ibu dosen pembimbing,
serta seluruh dosen penguji apabila ada sikap maupun kata yang tidak berkenan di
8 penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masi jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis akan sangat
berterimakasih jika ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi
masyarakat banyak.
Medan, Maret 2015
Penulis,
9
BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT A. Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat ... 21
B. Hak – Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat ... 31
1. Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat ... 39
2. Hak lain Diluar Hak Atas Tanah ... 42
C. Pengakuan Keberadaan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia ... 42
1. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat ... 42
a. Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945 ... 42
b. Menurut TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ... 46
c. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria ... 48
d. Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ... 54
e. Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ... 55
10
2. Perkembangan Masyarakat Hukum Adat ... 60
BAB III TINJAUAN HUKUM MENGENAI HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH A. Hak Ulayat Sebagai Sumber Hak Perseorangan atas Tanah ... 67
1. Pengertian Hak Ulayat ... 67
2. Hak Ulayat Dalam UUPA ... 71
3. Ciri – Ciri Hak Ulayat ... 74
B. Dasar Hak Penguasaan atas Hutan Masyarakat Hukum Adat ... 76
1. Hak Menguasai Sumber Daya Hutan ... 78
2. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Hutan (UU No. 41 Tahun 1999) ... 80
C. Terjadinya Hak Milik Menurut Hukum Adat dan UUPA ... 84
1. Hak Milik Berdasarkan Hukum Adat ... 84
2. Hak Milik Berdasarkan UUPA ... 86
BAB IV HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KEPALA BPN NO. 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK. 35/PUU-X/2012 A. Perkembangan Hak Ulayat Sebelum dan Sesudah Lahirnya PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ... 92
B. Dampak Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat ... 104
C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan atas Penguasaan Tanah Adat oleh Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 ... 108
1. Langkah Strategis Pasca Putusan ... 109
11
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 113
B. Saran ... 115
3
ABSTRAK
Choky Aprianda Lubis* Affan Mukti** Mariati Zendrato***
Masyarakat hukum adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan unsur terpenting dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian dari Pemerintah secara khusus. Akan tetapi dalam kenyataannya luas wilayah hak ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang – Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Mengingat bahwa kebijakan pertanahan tersebut bersifat pedoman, dan hak ulayat masing-masing daerah mempunyai sifat dan karakteristiknya yang khas, maka pelaksanaan kebijakan hak ulayat tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah masing-masing daerah, dengan mempertimbangkan unsur-unsur lokal dan budaya yang ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara” dalam Pasal 1 angka 6 dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), sertabeberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data tersusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.
Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan hak derogable rights yang diberikan oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Pengakuan itu bila dilihat dari peraturan perundang – undangan terdapat perbedaan - perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan.
Kata kunci : Masyarakat Hukum Adat, Pengakuan Hukum, Hak – Hak Tradisional
*Mahasiswa Fakultas Hukum USU
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi
ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka
selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen
perekat” tersebut adalah hukum.1
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.2
Istilah hukum adat (adatrecht) pertama kali diperkenalkan oleh seorang
ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya Berangkat
dari pandangan tersebut, terdapat beberapa penggolongan hukum dari berbagai
kriteria yang dipahami oleh para sarjana. Salah satunya adalah hukum berdasarkan
sumbernya. Hukum berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasi atas undang –
undang, hukum kebiasaan dan hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum traktat,
dan hukum doktrin. Dari empat klasifikasi tersebut, hukum adatlah yang menjadi
salah satu sorotan dalam pembahasan skripsi ini.
(diakses pada tanggal 4 Januari 2015)
13 yang berjudul De Atjehers. Pada awalnya, tidak banyak orang yang mengenal
istilah ini. Namun, sejak van Vollenhoven mempopulerkan adatrecht dalam
bukunya Het Adatrecht van Nederland – Indie.3
Prof. Bushar Muhammad dalam bukunya menyunting pendapat – pendapat
para ahli tentang definisi hukum adat dan menyimpulkan bahwa hukum adat
adalah hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam
hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan
kebiasaan (kesusilaan) yang benar – benar hidup di masyarakat adat karena dianut
dan dipertahankan oleh anggota – anggota masyarakat adat itu, maupun yang
merupakan keseluruhan peraturan – peraturan yang mengenal sanksi atas
pelanggaran dan ditetapkan dalam keputusan – keputusan para penguasa adat.4
Pembahasan mengenai hukum adat tidak akan terlepas dari istilah
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat. Para tokoh masyarakat adat
yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (yang selanjutnya
disebut AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.5
Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan
hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan
wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban. Dalam
3
van Vollenhoven, 1931, Het Adatrech van Nederland – Indie: Tweede Deel, Cetakan Kedua, Leiden. dalam Yanis Maladi, 2009, Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law), Mahkota Kata, Yogyakarta, hlm. 22.
4
Bushar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet. 13. hlm. 19
14 pengertian tanah dalam lingkungan wilayahnya, itu mencakup luas kewenangan
masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni
perairan, tumbuh – tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi
sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Pemahaman ini penting karena pada
umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya difokuskan pada hubungan
hukum dengan tanahnya saja.6
Keberadaan berbagai praktek pengelolaan sumber daya alam oleh
masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara
Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di
Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara.7
6 Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta : Kompas, 2008), hlm, 170.
7
Berkas permohonan pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
Praktek – praktek
tersebut membuktikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan
pengelolaan sumber daya alam secara turun – temurun.
Seiring berkembangnya zaman, yang dahulu tanah ulayat yang di atasnya
terdapat hak ulayat adalah milik sepenuhnya masyarakat hukum adat kini
pemerintah turut campur didalamnya. Landasan yuridis utama dari hal tersebut
sebagai bentuk dari perwujudan pembukaan konstitusi adalah Pasal 33 ayat (3)
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi (tanah), air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar – besarnya digunakan untuk
15
Dalam menjalankan mandat tersebut, maka pada sektor kehutanan sebagai
salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada, pemerintah menyusun Undang –
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut Undang –
Undang Kehutanan). Bagian dasar pertimbangan undang – undang kehutanan
menggambarkan adanya kemajuan, yakni perlunya suatu pengurusan hutan yang
berkelanjutan dan berwawasan mendunia sehingga mampu menampung dinamika
aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, dan budaya serta tata nilai
kemasyarakatan. Namun, apabila ditelaah lebih dalam maka akan terungkap
kontradiksi antara “adat dan budaya serta nilai – nilai kemasyarakatan” di satu sisi
berhadapan dengan “norma hukum nasional” disisi yang lain.
Undang – undang kehutanan telah dijadikan alat oleh negara untuk
mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adat atau
tanah ulayatnya untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, yang selanjutnya
justru atas nama negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal
melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak
serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Undang
– undang tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya.
Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak
yang bersifat turun – temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara
kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses
mereka membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim negara atas
kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih daripada klaim masyarakat hukum
16 diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari
hak negara.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan
pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat
adat yang nyata – nyata masih masih ada didaerah yang bersangkutan. Peraturan
ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak
ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud
dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –
Pokok Agraria. Kebijaksaan tersebut meliputi :
a. Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5),
b. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 2 dan
Pasal 4).
Undang – undang kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat
yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda
dengan subjek hukum yang lain, sehingga masyarakat hukum adat secara faktual,
kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam kehidupannya. Bahkan,
seringkali hilangnya hak – hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara
sewenang – wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan
masyarakat dan pemegang hak. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa pasal
yang terdapat di dalam Undang – undang kehutanan antara lain Pasal 1 angka 6,
17 serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 67 ayat (1), (2), dan (3) yang
mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat.
Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah milik komunal
atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat
mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka
mengerjakan secara terus – menerus, maka tanah tersebut dapat menjadi Hak
Milik secara individual.8 Hal ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini
merupakan Hak Pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai
milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak
bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka kepada anggota
dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan
dengan syarat – syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal
tersebut.9
Dari judicial review yang dilakukan, maka lahirlah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah menyatakan mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara”
Keberlakuan undang – undang kehutanan berdampak pada kerugian
konstitusional bagi masyarakat hukum adat. Kerugian tersebut membangkitkan
semangat beberapa komunitas dan kesatuan masyarakat hutan yang tergabung
dalam AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu untuk melakukan judicial
review terhadap pasal – pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
8 Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak – Hak atas Tanah di Indonesia : Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm 7.
9
18 dalam Pasal 1 angka 6 sehingga hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat, dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), serta
beberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh
Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Putusan ini maka terbentuklah kembali
keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam
hal kepemilikan hutan adat.
Pada sisi lain, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan sumber –
sumber kehidupan. Hak ulayat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
masyarakat hukum adat menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan
kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu, meraka melakukan dengan
berbagai cara, salah satunya adalah melalui Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan ini
akan sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, maka dapat diturunkan beberapa permasalahan yang menjadi kajian
dalam skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimana perkembangan hak ulayat sebelum dan sesudah lahirnya
PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999
2. Bagaimana dampak Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap keberadaan
19
3. Apakah upaya yang dapat dilakukan atas penguasaan tanah adat oleh
masyarakat hukum adat pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Secara umum tujuan sebuah penelitian adalah untuk mencari atau
menemukan kebenaran atau pengetahuan yang benar.10
1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan Masyarakat Hukum Adat dalam
hukum adat Indonesia serta hak – hak tradisional yang melekat pada
Masyarakat Hukum Adat tersebut.
Adapun yang menjadi
tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
2. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan penyelesaian masalah hak ulayat
masyarakat hukum adat di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan perkembangan Masyarakat
Hukum Adat sebagai pendukung Hak Ulayat dewasa ini.
Disamping itu, penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis, yaitu
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka
mengembangkan dan memperkaya teori hukum yang sudah ada, khususnya
dalam bidang ilmu hukum agraria dan hukum adat.
2. Kegunaan Praktis
20 Hasil penelitian ini ditujukan untuk memberikan kegunaan praktis baik bagi
masyarakat hukum adat maupun pemerintah sebagai acuan untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dalam keterlibatan masyarakat hukum adat dalam
penyelesaian masalah hak ulayat.
D. Keaslian Penulisan
Dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis,
maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan
Ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”. Untuk mengetahui keaslian penulisan,
setelah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada
katalog skripsi departemen hukum agraria Fakultas Hukum USU, tidak
menemukan judul yang sama. Melalui surat tertanggal 11 September 2014 yang
dikeluarkan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa terdapat satu judul yang berkaitan,
yakni “Keberadaan Hak Ulayat di Daerah Tingkat II Kabupaten Dairi
dalam Perkembangannya Dewasa Ini dan Kaitannya dengan UU Nomor 5
Tahun 1960”. Meskipun sama – sama membahas mengenai Hukum Adat namun
fokus pada skripsi tersebut adalah tentang wewenang masyarakat hukum adat di
21 perrtanahan, sedangkan fokus penulisan skripsi ini adalah tentang hak – hak
masyarakat hukum adat atas tanah berdasarkan peraturan perundang – undangan.
Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan – bahan yang
berkaitan dengan masyarakat hukum adat, hak ulayat dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, baik melalui literatur yang diperoleh dari
pemikiran para praktisi, refrensi buku-buku, makalah, hasil seminar, media cetak,
media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak yang
berdasarkan pada asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Bila
dikemudian dari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang
lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta
pertanggungjawabannya.
E. Tinjauan Perpustakaan
Tinjauan kepustakaan pada umumnya merupakan kumpulan teori yang
dijadikan dasar dalam membuat karya tulis ilmiah. Teori adalah untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta –fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.11 Kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau per
Masalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 12
11 Sukiran, “Kajian Yuridis tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana USU, 2010), hlm. 34.
12
22 1. Hak atas Tanah
Secara etimologis, hak berasal dari bahasa arab yaitu haqq. Kata haqq
adalah bentuk tunggal dari kata huquq yang diambil dari kata haqqa, yahiqqu,
haqqan yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Berdasarkan
pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.13
Tanah adalah permukaan bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4
UUPA. Dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi,
tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang
disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.14
Tanah adalah asset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
Hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus
kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai,
menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang
dihaki. Pemakaiannya mengandung kewajiban untuk memelihara kelestarian
kemampuannya dan mencegah kerusakannya, sesuai tujuan pemberian dan isi
haknya serta peruntukan tanahnya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
wilayah daerah yang bersangkutan.
Arie Sukanti Hutagalung yang menjelaskan bahwa :
13 http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html (diakses pada 15 Januari 2015)
14
23 terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.15
a. Hak Milik
Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 dibedakan
menjadi :
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Hutan
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan,
dan Hak Pengelolaan.
b. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak
Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
24
2. Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli, Soerjono Soekanto
dalam bukunya menyimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk
kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang
cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan.16 Tidak jauh berbeda dengan
pendapat Soerjono Soekanto, dalam Kamus Hukum masyarakat diartikan sebagai
setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas – batas yang dirumuskan dengan
jelas.17
Dari pengertian masyarakat maka kita akan beralih pada pengertian
masyarakat hukum adat. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en
Stelsel van het Adatrecht, merumuskan masyarakat hukum adat sebagai kelompok
– kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki
benda – benda materil dan immaterial.18
Bila merujuk pada peraturan perundang – undangan, tidak sedikit pula
yang memberikan pengertian terhadap masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1 ayat
(3) diatur bahwa pengertian masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
16Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1983), hlm. 91.
17 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition
25 persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.19
Secara internasional sudah cukup populer digunakan istilah Indigenous
Peoples, yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat20 untuk menyebutkan
subjek hak atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesia dikenal
pula istilah masyarakat hukum adat. Rumusan pengertian tentang masyarakat adat
itu sendiri tidaklah tunggal. Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Bangsa
Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara – Negara Merdeka merumuskan bahwa
yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di
negara - negara yang merdeka dimana kondisi kondisi sosial, kultural dan
ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara
tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan
tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.
21
World Bank sendiri memberikan pengertian tentang masyarakat adat itu: the
term indigenous peoples, indigenous ethnic minorites, tribal groups, and
scheduled tribes describe social groups with a social and cultural identity distinct
from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantage in
the development process.22
Menurut Surojo Wignjodipuro, hak persekutuan atas tanah ini disebut hak
pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut ‘beschikkingsrecht’. Istilah ini
19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
20 Abdurahman, Hak Masyarakat Adat atas Tanah di Kalimantan Timur, makalah disampaikan pada Semiloka Tanah Adat di Indonesia dan Permasalahannya, Pusat Penelitian Unika Atma Jaya dan Puslitbang BPN, Jakarta, 1996
21
Myrna Safitri, Pengelolaan Hutan, Akses Masyarakat Lokal dan Perkembangan Gagasannya dalam Kebijakan dan Perdebatan Internasional, P3AE-UI, Depok, 1997, hlm. 14.
22
26 dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain
karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang
dipergunakan semuanya pengertiannya adalah lingkungan kekuasaan, sedangkan
‘beschickkingsrecht’ itu menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan
dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai
terjemahannya ‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan
kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang
dikuasai persekutuan adalah a.l. ‘patuanan’ (Ambon), ‘panyampeto’
(Kalimantan), ‘wewengkon’ (Jawa), ‘prabumian’ (Bali), ‘pawatasan’
(Kalimantan), ‘totabuan’ (Bolaang Mangondow), ‘limpo’ (Sulawesi Selatan),
‘nuru’ (Buru), ‘ulayat’ (Minangkabau).23
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin keterlibatan pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) terssebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra
dan kawan – kawan dalam bukunya hukum tanah, jaminan UUPA bagi
keberhasilan pendayagunaan tanah, menyatakan bahwa :
24
Terry Hutchison menulis pengertian penelitian seperti dikemukakan oleh
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), menurut F. Metode Penulisan
23
Bachtiar Abna dan Dt. Rajo Sulaiman, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat, Lokakarya Regional BPPN Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Padang, 2007, hlm. 5.
27 organisasi tersebut, Research and Experimental Development as creativity,
origanality, and systematic activity that increases the world’s stock of
knowledge.25 Pernyataan ini menjadi pendorong pentingnya melakukan penelitian
ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam melakukan penelitian tersebut
dibutuhkan metodelogi penelitian yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya. Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing –
masing, sehingga pasti akan ada pelbagai perbedaan26
Oleh karena penelitian yang dilakukan adalah mengenai permasalahan
hukum, maka skripsi ini akan menggunakan metode penelitian hukum, Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.27
Dalam literatur – literatur hukum tentang penelitian hukum banyak
ditemukan variasi tentang pembagian jenis atau tipe penelitian hukum. Namun,
meskipun demikian pengklasifikasian tipe penelitian hukum yang secara umum
adalah sebagai berikut 1. Jenis Penelitian
28
a. Penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap asas –
asas hukum, inventarisasi hukum positif, sistematika hukum, :
25Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 4. Hlm. 30.
26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Cet. 2, CV. Rajawali, 1982), hlm. 1
27
Ibid, hlm. 46
28 sinkronisasi vertikal dan horizontal, hukum inkonkrito, hukum klinis,
sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris yang mencakup penelitian
hukum sosiologis, identifikasi hukum tidak tertulis, dan tentang
efektifitas hukum.
Dari judul skripsi ini yaitu, “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat
Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012” dapat dikatakan bahwa jenis
penelitian ini adalah hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum
dipandang sebagai norma atau kaidah yang otonom terlepas dari hubungan hukum
tersebut dengan masyarakat.29
a. Bahan Hukum Primer
Jenis penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsi
kan secara sistematis, faktual dan akurat terjadap suatu keadaan yang menjadi
objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif.
Dari sudut normatif inilah skripsi ini membahas mengenai peraturan hak- hak
masyarakat hukum adat atas tanah serta putusan mahkamah konstitusi terkait
dengan masyarakat hukum adat.
2. Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini keseluruhan merupakan data sekunder
yang terdiri atas :
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak
yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Undang – Undang
29
29 Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria,
Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
dan peraturan –peraturan lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang masyarakat hukum adat dan masalah hak ulayat seperti buku –
buku, seminar – seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis
ilmiah, dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan
permasalahan skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep – konsep dan
keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran
ilmiah dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan teknik pengumpulan data
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
mengananlisis data secara sistematis melalui buku – buku, surat kabar, makalah
ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang – undangan, dan bahan – bahan
30 4. Analisis Data
Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif
dilakukan guna mendapatkan data yang bersifa deskriptif, yaitu data – data yang
akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi inii dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing –
masing bab terbagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara
sistematik, dan saling berkaitan antara satu sama lain. Urutan singkat atas bab dan
sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang perlunya pembahasan
mengenai hak - hak masyarakat hukum adat atas tanah serta
lahirnya putusan mahkamah konstitusi nomor 35/PUU-X/2012,
rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT
Bab ini menguraikan tentang pengertian dan sejarah masyarakat
hukum adat, hak – hak tradisional masyarakat hukum adat baik hak
31 tanah, pengakuan keberadaan dan perkembangan masyarakat
hukum adat di Indonesia.
BAB III TINJAUAN UMUM HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM
ADAT ATAS TANAH
Bab ini menguraikan tentang hak ulayat sebagai sumber hak
perseorangan atas tanah dimulai dari pengertian hak ulayat, hak
ulayat dalam UUPA dan ciri – ciri hak ulayat, dasar hak
penguasaan atas hutan masyarakat hukum adat, terjadinya hak
milik menurut hukum adat dan UUPA.
BAB IV HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH
BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KBPN NO. 5 TAHUN
1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK NOMOR
35/PUU-X/2012
Dalam bab ini diuraikan mengenai perkembangan hak ulayat
sebelum dan sesudah lahirnya PMNA/Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999, dampak Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat, upaya yang dapat dilakukan
atas penguasaan tanah adat oleh masyarakat hukum adat pasca
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis
terhadap bab – bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dengan
mencoba memberikan saran – saran yang penulis anggap perlu dari
32
BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat
Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat
yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik - akademis. Sedangkan
istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa
sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan
internasional.30
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.
Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan
internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning
Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari-
Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo
(1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai
(1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh
United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah
indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi
30
33 PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights
of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus
dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan
pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu.
Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang
menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat
tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin
yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan
memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.31
berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.
Dalam skripsi ini,
masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat,
sebagaimana lazimnya ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan - kesatuan
masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing - masing yang telah ada
ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah
tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak 32
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter
Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah
31
Ibid.
32
34 kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama –
lamanya.33
Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan
masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.34
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan
hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan
geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman
Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan
hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota –
anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam
kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai
tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.35
33
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30
34
Husen Alting, Op. Cit., hlm. 31.
35
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar Maju, 2003), hlm. 108.
Sedangkan, masyarakat atau
persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat
35 sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan
atau pertalian adat.36
Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita
Ruwiastuti,37
Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D.
Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu
magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian
singkat sebagai berikut
bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya
merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan
sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat. Dalam kesadaran
mereka, sumber – sumber agraria selain merupakan sumber ekonomi, juga adalah
perpangkalan budaya. Artinya, kalau sumber – sumber tersebut lenyap (atau
berpindah penguasaan kepada kelompok lain), maka yang ikut lenyap bukan saja
kekuatan ekonomi mereka, melainkan juga identitas kultural.
38
1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada
keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum
masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini
diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan
pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata
dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum
agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada :
36
Ibid. hlm. 109.
37
Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 177.
38
36 Tuhan. Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan
selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat
perubahan.
2) Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap
individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat
secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya
disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada
individu yang terlepas dari masyarakat.
3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan
bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak
dilakukan secara diam-diam atau samar.
4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan
terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan
kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.
H.M. Koesnoe39
1. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan
satu kesatuan yang terorganisir.
menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya
memperhatikan hal – hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi
kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut :
2. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh
pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.
3. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan
(seperti sudah berapa generasi)
39
37
4. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam
kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu
persekutuan hukum.
5. Bagaimana menurut tradisinya asal – usul kelompok itu sehingga merupakan
satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya.
Pengertian masyarakat adat secara konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat
(3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur bahwa masyarakat hukum
adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun
atas dasar keturunan.40
Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di kepulauan
Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah sangat
tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara. Secara historis,
warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang melingkupinya,
sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara
kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya
petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang ditata secara
kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik,
beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, dan
40
38 membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun
berukuran regional.41
Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga
saat ini. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di dalam peraturan
perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk sesuatu yang
sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat adat, masyarakat
hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas
adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama
lainnya.42
Selanjutnya dalam Penjelasan Bab VI UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan
bahwa dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa
di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Persekutuan hukum adat di Aceh disebut dengan gampong.43
41
Saafroedin Bahar, Seri Hak Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta : 2005, Hal. 76-77.
42
Yance Arizona, “Mendefinisikan Indegenous Peoples di Indonesia”
https://www.yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ (diakses tanggal 24 Januari 2015).
43
Ter Haar, Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta : 1960, hlm. 17.
Daerah
– daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenaya dapat dianggap sebagai
daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
mengeanai daerah – daerah itu akan mengingat hak – hak asal usul daerah
39 Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia dinyatakan
dalam beberapa pustaka antara lain : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
van Vollenhoven yang dilakukan antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1918.
Dalam karyanya Adatrecht van Nederlandsch-Indie, van Vollenhoven
menyimpulkan bahwa di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu
daerah (1) Aceh meliputi; Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Siemelu. (2) Gayo,
Alas, Batak, meliputi; Gayo luwes, Tanah Alas, Tanah Batak; Tapanuli Utara
(Batak Pak-pak/Barus, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Toba), Tapanuli
Selatan (Padang Lawas, Angkola, Mandailing) dan Nias. (3) Minangkabau
(Padang Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Tanah Kampar, dan Korintji, dan
Mentawai. (4) Sumatera Selatan meliputi; Bengkulu (Redjang), Lampung (Abung,
Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang), Palembang (Anak
Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Samendo), Djambi (Batin dan Penghulu).
(5) Melayu, meliputi; Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur. (6) Bangka,
Belitung, (7) Kalimantan, meliputi; Dayak, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Pasir,
Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tajan, Dayak Lawangan,
Lepo-Alim, Lepo-Timai, Long Glat, Dayak Maanjai Patai, Dayak Maanjai Siung,
Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung Punan. (8) Minahasa,
Manado. (9) Gorontalo, meliputi; Bolaang, Mongondow, Boalemo. (10) Tana
Toraja, meliputi; Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja
Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai (11) Sulawesi Selatan, meliputi;
Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salaisar, Muna. (12)
Kepulauan Ternate, meliputi; Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan
40 Saparna, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar. (14) Irian Barat,
(15) Kepulauan Timor, meliputi; Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo,
Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Rote, Savu, Bima.
(16) Bali dan Lombok, meliputi; Tanganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem,
Buleleng. Djembrana, Lombok, Sumbawa. (17) Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, meliputi; Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur,
Surabaya, Madura. (18) Daerah kerajaan (Solo dan Yogyakarta). (19) Jawa Barat,
meliputi; Priangan Sunda, Jakarta dan Banten.44
Di Provinsi Lampung saja, misalnya, terdapat sebanyak 76 kesatuan
masyarakat hukum adat yang disebut marga. Keberadaan marga – marga tersebut
diakui oleh Gubernur melalui SK No. G/362/B.II/HK/96. Dasar keputusan
Gubernur Lampung dalam mengesahkan 76 masyarakat hukum adat di Lampung
adalah hasil – hasil penelitian pakar – pakar dalam adat dan kebudayaan
Lampung.45 Sedangkan di Provinsi NAD, jika mukim dan gampong dikategorikan
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, maka pada tahun 2006 terdapat 669
mukim dan 5958 gampong.46
44
Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Rangkaian Publikasi Hukum Adat dan Etnografi, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961. Hlm. 89-91.
45
Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo, Bagaimana Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, ICRAF Southeast Asia Policy Research Working Paper, Bogor, 2002.
46
Aceh Dalam Rangka 2006, kerjasama BPS dan BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 13.
Keberadaan mukim dan gampong sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat, telah di tetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi NAD dan Qanun Aceh Nomor
41 Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka akan dapat
dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut47
1. Terdapat masyarakat yang teratur;
:
2. Menempati suatu tempat tertentu;
3. Ada kelembagaan;
4. Memiliki kekayaan bersama;
5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan
lingkungan daerah;
6. Hidup secara komunal dan gotong royong.
Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka
dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau
kepemimpinan. Dalam hal ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas
wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai
kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-
hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk
mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang
menjadi tujuan tersebut terwujud.48
Di Indonesia, menurut Sandra Moniaga, kita seharusnya merasa beruntung
dengan adanya masyarakat –masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari seribu
komunitas. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa, karena ada
lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Dan,
ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu
47
Syarifah M, “Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”(Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2010), hlm. 21.
48
42 pengembangan khasanah Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal – hak lain
yang mereka sumbangkan.49
B.Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat
Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak
Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun
1986 meliputi50
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
:
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi;
4. Hak atas pendidikan;
5. Hak atas pekerjaan;
6. Hak anak;
7. Hak pekerja;
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
9. Hak atas tanah;
10. Hak atas persamaan;
11. Hak atas perlindungan lingkungan;
12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
13. Hak atas penegakan hukum yang adil.
49
Sandra Moniaga, Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No, 10/Tahun II/12 Juni 2002.
50
43 Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling
penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu
ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, di dalam
deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan
sumber daya alam ini diatur :
Pasal 26 ayat (1)
“Mayarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau
sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang
telah digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”
Pasal 26 ayat (2)
“Mayarakat adat memiliki hak
yang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak masyarakat
adat yang paling sering disuarakan, antara lain
untuk memiliki, menggunakan,
mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber
daya-sumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan
pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya sumber daya yang dimiliki dengan cara lain (Pasal 26 ayat 2
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”
Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hak
51
51
Yance Arizona., Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat.
http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_Institute_07-2010.pdf (diakses pada 08 Februari 2015)
44
1. Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola (menjaga,
memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2. Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk
peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat adat;
3. Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem
kepengurusan/kelembagaan adat;
4. Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim pengetahuan
(kearifan) dan bahasa asli.
Tabel 1. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang
No. Peraturan Hak – Hak Masyarakat Adat
1. Undang – Undang Pemerintahan
Daerah
Hak-hak trasisional masyarakat hukum
adat
2. Undang – Undang Hak Asasi
Manusia
a. Pengakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.
b. Identitas budaya masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat.
3. Undang – Undang Kehutanan a. Hak atas hutan adat
b. Mengelola kawasan untuk tujuan
khusus
c. Melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang
45
d. Melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang
Hak Ulayat. Hak ulayat dianggap masih
ada apabila memenuhi tiga unsur:
a. Unsur masyarakat adat
b. Unsur wilayah
c. Unsur hubungan antara
masyarakat tersebut dengan
wilayahnya
5. Undang – Undang Perkebunan Masyarakat adat berhak memperoleh
ganti rugi hak atas tanah mereka yang
digunakan untuk konsesi perkebunan
6. Undang-Undang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Hak-hak masyarakat adat, masyarakat
tradisional, dan kearifan lokal atas
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang telah dimanfaatkan secara
turun-temurun. Diberikan dalam bentuk hak