• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak "

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Volume2,No.2, November2016 Volume2,No.2, November2016

Jurnal Agraria dan Pertanahan

BHUMI Volume 2 Nomor 2 Halaman

-119 260

Yogyakarta 201 November 6

ISSN 2442-6954

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Agraria Julius Sembiring 119-132

Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologis, R. Yando Zakaria 133-150

Problematika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak yang Telah Berakhir Dian Aries Mujiburohman 151-164

Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya (Sebuah Perspektif Teoretik-Resolutif) Sukaryanto 165-178

Reforma Agraria: Momentum Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Mayarakat Kecil dalam Mendukung Ketahanan Pangan, Waryanta 179-193

Pelaksanaan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Bulukumba: Batasan dan Kemungkinan Tasmin Tangngareng & Muhammad Ridha

194-208

Sampai Kapan Pemuda Bertahan di Pedesaan? Kepemilikan Lahan dan Pilihan Pemuda untuk Menjadi Petani

Dwi Wulan Pujiriani, Sri Suharyono, Ibnul Hayat, & Fatimah Azzahra

209-226

Kebijakan Pertanahan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Land Policy Facing Asean Economic Community (MEA)

Hadi Arnowo & Djudjuk Tri Handayani 227-238

Penyediaan Informasi Pertanahan Berbasis Bencana Tanah Longsor di Gunungkidul Aprin Sulistyani, Arief Syaifullah, & Kusmiarto 239-255

Hutan Kemasyarakatan sebagai Alternatif Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan (Review Buku)

(3)
(4)

PENGANTAR REDAKSI

Redaksi menerima cukup banyak naskah yang masuk untuk edisi bulan November ini. Beberapa naskah memiliki topik bahkan judul yang mirip sehingga kami perlu menyeleksinya secara ketat. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada para pengirim naskah dan penulis yang naskahnya kami muat di sini atas segenap proses yang harus dilalui.

Jurnal Bhumi tetap disajikan dalam dua bentuk, yakni publikasi tercetak dan secara online melalui Open Journal System (OJS) yang beralamatkan di: http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/Melalui sistem ini diharapkan lalu lintas pengelolaan jurnal lebih efektif dan tanpa batas, serta dokumentasi proses keredaksian dapat terekam secara otomatis. Hal terpenting adalah jurnal dapat tersebar lebih luas sebab dapat diunduh secara bebas.

Redaksi menyajikan sepuluh artikel terpilih dalam beragam tema. Kami memulai dengan tulisan berjudul Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria, karangan Julius Sembiring. Hak Menguasai Negara (HMN) pada dasarnya adalah hak publik, bangsa sebagai pemilik (Hak Bangsa), yang dikuasakan kepada negara. Inilah prinsipnya, meski sering terjadi kesalahkaprahan bahwa negara memiliki tanah, yang sering disebut dengan istilah Tanah Negara. Negara sebagai pemegang kuasa (Hak Menguasai Negara), berwenang untuk mengatur, mengelola, mengurus dan mengawasi guna memastikan bahwa sumberdaya agraria dapat mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat; memastikan hak perseorangan dan badan hukum; serta memastikan hak ulayat masyarakat. Karena negara tidak dengan sendirinya memiliki tanah, bahkan tanah-tanah di dalam kawasan hutan, maka dengan demikian kawasan hutan dapat terdiri

dari hutan negara dan hutan hak, termasuk hak mayarakat adat. Hal ini mendapat pembahasan dari R. Yando Zakaria dalam judul Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosio-antropologis.

Hak Menguasai Negara ini juga akan diuji sejauh-mana kekuatannya pada pemegang otoritas, khu-susnya BPN/ATR, tatkala dalam kasus tanah bekas HGU misalnya, tanah tersebut akan dilimpahkan kepada siapa dan untuk apa. Jika benar bahwa HMN itu kuat, maka tidak bisa serta-merta ada prioritisasi kepada pihak-pihak tertentu (perusahaan), namun kembali dahulu kepada pemegang otoritas untuk diberikan hak kepada pihak-pihak lain (rakyat) yang secara actual dan potensial lebih membutuhkan sesuai dengan prinsip di atas. Ini mendapat kajian dalam tulisan Problematika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak yang Telah Berakhir, karya Dian Aries Mujiburoh-man. Hubungan antara negara sebagai pemegang hak publik atas nama bangsa sebagaimana di atas, dan negara sebagai institusi pemerintah, menjadi pelik tatkala melalui otoritas yang ada dalam masing-masing kelembagaan (BPN/ATR dengan Pemda, misalnya), sama-sama memproduksi bukti kepunyaan atas tanah. Di sinilah muncul konflik otoritas yang memiliki riwayat kelembagaan berbeda-beda, sekaligus di tingkatan masyarakat berdampak pada perebutan klaim atas pemegang bukti yang dikeluar-kan oleh lembaga yang berbeda tersebut, sebagaimana dikaji oleh Sukaryanto dalam Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya (Sebuah Perspektif Teoretik-Resolutif).

(5)

ASAA

tulisan berjudul Reforma Agraria: Momentum Wujud-kan Kemandirian Ekonomi Mayarakat Kecil Dalam Mendukung Ketahanan Pangan, karya Waryanta; dan Pelaksanaan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa Bukit Indah Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba: Batasan dan Kemungkinan, karya Tasmin Tangngareng dan Muhammad Ridha.

Produksi pangan dan kesejahteraan masyarakat berbasis pertanian tidak dapat terwujud tanpa ketersediaan dan kepastian tenaga kerja produktif yang berkelanjutan. Ini menjadi sorotan tulisan Sampai Kapan Pemuda Bertahan di Pedesaan? Kepemilikan Lahan dan Pilihan Pemuda untuk Menjadi Petani, karya bersama Dwi Wulan Pujiriani, Sri Suharyono, Ibnul Hayat, Fatimah Azzahra. Arah kebijakan pertanahan kita dalam konteks kebijakan regional antara kepentingan rakyat, pasar, dan negara, dibahas dalam Kebijakan Pertanahan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), karya Hadi Arnowo, Djudjuk Tri Handayani.

mengenai kondisi fisik tanah, kami menyajikan tulisan Penyediaan informasi Pertanahan Berbasis Bencana Tanah Longsor di Kecamatan gedangsari Kabupaten Gunungkidul, karya Aprin Sulistyani, Arief Syaifullah, Kusmiarto. Pada bagian akhir jurnal kami menyajikan review buku yang membahas salah satu bentuk dari skema akses hutan oleh rakyat, yakni tulisan Hutan Kemasyarakatan Sebagai Alternatif Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan (Review Buku), karya Randy Pradityo.

Ucapan terima kasih dan penghormatan kepada para mitra bestari: Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si., Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS., dan Dr. Agus Suwignyo yang bersama-sama dengan para reviewer internal bekerja melakukan peninjauan dan pemeriksaan naskah agar senantiasa terjaga kualitasnya.

Demikian yang dapat Redaksi sajikan untuk pembaca. Selamat menelaah.

(6)

Diterima: 3 Oktober 2015 Direview: 21 Oktober 2015 Disetujui: 30 Oktober 2015

HAK MENGUASAI NEGARA ATAS SUMBER DAYA AGRARIA

Julius Sembiring*

Abstract AbstractAbstract

AbstractAbstract: State’s possession of agrarian resources , called as State’s right of control is the authority of the State attained through the atribution principle of the 1945 Constitution. In the National Land Law, the State’s right of control is the delegation of the public’s right to the State to manage resources, and was called as the highest right of the nation. Based on this delegation, the State has the authority to formulate policies, execute regulations, and also to arrange, manage, and control agrarian resources. To avoid misconducts on the implementation of the State’s right of control, the State authorities are limited by 3 (three) aspects, which are: the objective of the right itself for the greatest prosperity of the people; individual right and legal entity; and ulayat right of land of traditional society. On the implementation, State’s right of control was delegated to particular authorities (agrarian/land, forestry, and mining agencies), in which these authorities issuing civil rights such as ‘land right’ and ‘land permit’.

K KK

KKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: state’s right of control, agrarian resources, delegation of authority.

Intisari IntisariIntisari

IntisariIntisari: Penguasaan negara atas sumber daya agraria (SDA) yang disebut dengan hak menguasai negara (HMN) merupakan wewenang yang diperoleh negara berdasarkan prinsip atribusi dari UUD 1945. Dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, HMN tersebut merupakan pelimpahan hak publik berupa amanat untuk mengelola dari Hak Bangsa – sebagai hak yang tertinggi – kepada negara. Atas dasar pelimpahan tersebut, negara berwewenang untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan terhadap SDA. Untuk menghindari kesewenang-wenangan dari HMN tersebut, maka kewenangan negara dibatasi oleh 3 (tiga) hal yaitu: oleh tujuan dari HMN itu sendiri yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat; oleh hak perseorangan dan badan hukum; serta oleh hak ulayat masyarakat adat. Dalam pelaksanaannya HMN itu dilimpahkan pada otoritas tertentu (pertanahan, kehutanan, dan pertambangan) dan kemudian oleh otoritas tersebut diterbitkan hak yang berkarakter perdata seperti ‘hak atas tanah’ dan ‘izin’ kepada pihak tertentu.

Kata kunci Kata kunciKata kunci

Kata kunciKata kunci: hak menguasai negara, sumber daya agraria, pelimpahan wewenang.

*Dosen STPN, Doktor Ilmu Hukum UGM. Email: j_sembiring_2000@yahoo.com

A. Pendahuluan

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, demikian bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini menjadi landasan konstitusional “negara” untuk melakukan penguasaan atas sumber daya agraria1 (SDA) yang lazim disebut dengan Hak Menguasai Negara (HMN).

Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dikemukakan mengenai HMN tersebut, yaitu: (1)

Atas dasar apa negara mempunyai wewenang untuk menguasai SDA? (2) Bagaimanakah konsepsi HMN tersebut? (3) Wewenang apa sajakah yang dimiliki oleh negara atas penguasaan SDA itu? (4) Apakah kewenangan HMN tersebut dapat dilimpahkan dan bagaimanakah proses pelimpahan itu dilakukan? (5) Wewenang apa sajakah yang diperoleh oleh otoritas yang menerima pelimpahan HMN tersebut?

(7)

umum adalah tentang SDA, namun pada bagian tertentu dikhususkan pada tanah, hutan, dan tambang saja.

B. Dasar Penguasaan SDA oleh Negara

Sebagai sebuah negara hukum, maka seluruh tindakan negara haruslah mempunyai dasar kewenangan atau legitimasi. Prinsip negara hukum yang sedemikian rupa disebut ‘asas legalitas’. Penguasaan negara (Indonesia) atas SDA memperoleh legitimasi berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dasar perolehan kewenangan tersebut dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan ‘atribusi’.2 Selain itu, terdapat beberapa teori tentang dasar perolehan kewenangan oleh negara, yang dalam tulisan ini difokuskan pada teori ‘kedaulatan’ dan teori ‘kontrak sosial’.

Menurut teori kedaulatan, ditemukan argumen-tasi hukum bahwa HMN merupakan turunan dari teori kedaulatan (sovereignty theory). Jean Bodin mengatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut maupun ciri khusus dan bahkan menjadi hal yang pokok bagi setiap kesatuan yang berdaulat atau yang dikenal dengan sebutan negara. Tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat mem-batasi kekuasaan negara.

Teori kedaulatan ini kemudian melahirkan teori menguasai negara atas seluruh wilayah dalam kedaulatan negara yang bersangkutan termasuk isinya. Berdasarkan kedaulatan tersebut maka “harta kekayaan (property) yang menjadi hak warga negara tergantung pada diskresi dari pemegang kedaulatan (when property comes to citizens from sovereigns, the right by which citizens hold the prop-erty depends on the discretion of the sovereign)” (Suparjo 2014, 37).

Sebaliknya jika warga negara mendapatkan pemilikan terhadap property melalui usahanya sendiri maka akan tunduk pada tiga prinsip hak yang dimiliki pemegang kedaulatan, yaitu: “The f irst is the right of the sovereign to make laws that oblige citizens to accommodate the use of their

prop-erty to the interest of the state. The second is the right of the state to collect a portion of the citizens’s prop-erty as tribute or taxes. The third is the sovereign’s right to eminent domain” (Suparjo 2014, 37-38).

“Montesquieu (1689-1755) memisahkan secara tegas penguasaan negara tersebut antara konsep imperium versus dominium” (Abrar Saleng 2004,8). “Imperium adalah konsep mengenai the rule over all individuals by the Prince, sedangkan dominium adalah konsep the rule over things by the individuals” (Abrar Saleng 2004,8). “Konsep ini merupakan cikal bakal pembedaan kekuasaan politik dan ekonomi atau pembedaan kedaulatan politik dan ekonomi. Bahkan telah dilembagakan dalam ilmu hukum melalui pembedaan antara rejim hukum publik (political law) dan hukum privat (civil law) dengan obyek yang terpisah satu sama lain” (Abrar Saleng 2004,8).

“Sejalan dengan berkembangnya filsafat Abad Pertengahan yang mencapai puncaknya pada abad ke-19 yang mengagungkan hak milik dan Hukum Perdata, maka perbedaan antara dominium (hak milik) dan imperium (hak penguasa untuk mengatur penggunaan barang-barang) menjadi menghilang dan semuanya disamakan menjadi dominium” (Sunarjati Hartono 1976, 46). Lahirlah apa yang kemudian dikenal dengan ‘domeinleer’, yaitu bahwa tidak ada sesuatu barangpun yang tidak dimiliki, baik oleh perseorangan, maupun oleh negara. Sehingga res communes, res publicae, res sanctae (res sacrae atau res religiosae)3 dimiliki oleh negara (Sunarjati Hartono 1976, 46).

(8)

121

Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

jadi bukan sebagai perorangan atau badan kene-garaan. Hak negara adalah hak kommunes atau hak imperium, yaitu hak menguasai tanah atau penggunaannya” (Iman Soetiknyo 1990, 20).

Dihubungkan dengan beberapa teori tentang negara, yaitu teori individualistis5, teori golongan6, dan teori integralistik7; the Founding Fathers dalam menyusun Dasar Negara dan Konstitusi Negara mengkonstruksikan negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat dengan teori integralistik, se-hingga hubungan negara dengan tanah yang ber-bentuk kommunes tersebut diwujudkan secara abstrak dalam hak yang disebut Hak Bangsa.

Teori lainnya yaitu teori ‘kontrak sosial’ yang menyatakan bahwa negara menguasai tanah (dan SDA lainnya) karena adanya perjanjian yang menyerahkan kekuasaan kepada negara untuk menguasai (mengatur) pemilikan dan penggunaan SDA tersebut. J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan Negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract social) yang esensinya meru-pakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu (Abrar Saleng 2004, 8). “Dalam perjanjian itu setiap individu melepas sebagian kekuasaannya kepada negara. Oleh negara, kekuasaan itu dijalankan tidak tanpa batas (postestas legibus omnibus soluta) namun terikat pada ketentuan hukum alam, hukum Tuhan (leges naturae et devinae) serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii (undang-undang dasar)” (Abrar Saleng 2004, 8).

C. Konsepsi HMN

Iman Soetiknyo (1990, 52-53) menegaskan bahwa wewenang penguasaan oleh negara meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang: (1) di atasnya sudah ada hak-hak perorangan/keluarga, apapun nama hak itu; (2) di atasnya masih ada hak ulayat dan hak-hak semacam itu, apapun nama hak

tersebut; dan (3) di atasnya tidak ada hak-hak tersebut sub a dan b, dan/atau sudah tidak ada pemegang hak-hak tersebut, (misalnya bekas tanah Swapraja, tanah bekas hak-hak Barat, tanah tak bertuan, hutan negara dan lain-lain sebagainya.

Dengan demikian, penguasaan oleh negara yang disebut dengan HMN merupakan hubungan hukum antara negara sebagai subyek dengan SDA sebagai obyek. Hubungan hukum tersebut melahirkan ‘hak’ untuk menguasai SDA dan sekaligus ‘kewajiban’ bagi negara dalam penggunaan SDA tersebut yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian HMN merupakan instrumen, sedangkan dipergunakannya untuk kemakmuran rakyat merupakan tujuan (objectives).”

Penguasaan oleh Negara tersebut tidaklah dalam arti memiliki (eigensdaad), karena apabila hak penguasaan negara diartikan sebagai eigensdaad maka tidak akan ada jaminan bagi pencapaian tujuan hak menguasai tersebut, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Bagir Manan, dalam hal penguasaan oleh negara tersebut, “negara hanya melakukan bestuursdaad dan beheersdaad,” yang memberi kewenangan kepada negara untuk mengatur, mengurus dan memelihara termasuk mengawasi. Jadi hakekatnya “hak menguasai untuk mengurus” atau beheerrecht itu bukanlah sejenis hak keperdataan, melainkan suatu kewajiban sosial bagi orang (corpus) untuk men-jaga dan mengurus, yang dalam konteks Negara disebut kewajiban publik (publiek verplichting atau public responsibility).

(9)

Pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa hutan dan hasil hutan merupakan domein negara, dan kemudian menetapkan sebagian besar wilayah di Indonesia sebagai hutan negara yang pengawasan dan pengelolaannya ada pada Pemerintah. Di bidang pertambangan, berdasarkan asas bahwa pemilikan atas tanah tidak meliputi bahan galian maka untuk menyelidiki dan mengusahakan bahan galian ada pada orang-or-ang yorang-or-ang diberi wewenorang-or-ang menurut ketentuan dalam UU.

Asas domein mempunyai 2 (dua) sifat, yaitu bersifat publiekrechtelijk dan juga privaatrechtelijk. Sifat publiekrechtelijk berasal dari prinsip souvereiniteit (kedaulatan), dimana dengan dikuasainya Indonesia oleh Pemerintah Belanda maka kedaulatan itu berada di tangan Pemerintah Belanda. “Tujuan prinsip tersebut untuk mencegah penjualan tanah yang dilakukan oleh masyarakat hukum kepada orang asing, karena dengan penjualan seperti itu menunjukkan bahwa kedaulatan itu ada di tangan masyarakat hukum tersebut” (Aboesono, tanpa tahun, 34). Sifat privaatrechtelijk didasari pertimbangan bahwa perusahaan asing perlu dibantu untuk dapat mengembangkan usahanya di Hindia Belanda.

Konsepsi HMN tidak lepas dari perkembangan Negara Hukum Kesejahteraan (NHK) yang lahir pada akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknya pasca Perang Dunia II. Konsep NHK merupakan “perpaduan dari Negara Hukum dan Negara Kesejahteraan. “Negara hukum (rechtstaat) ialah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum yang mengharuskan setiap tindakan negara/pemerintah berdasarkan atas hukum” (Abrar Saleng 2004, 9). Sementara itu Negara Kesejahteraan adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan

keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Abrar Saleng 2004, 9).

NHK lahir sebagai reaksi terhadap gagalnya negara Hukum Klasik dan negara Hukum Sosialis yang memiliki perbedaan mengenai dasar dan bentuk penguasaan negara atas sumber daya ekonomi. “Negara Hukum Klasik dengan paham liberalisme mengutamakan pemilikan individu, maka negarapun dikonstruksikan sebagai suatu badan organisasi atau subyek hukum yang dapat mempunyai hak milik atas sumber daya alam. Sebaliknya, pada negara Hukum Sosialis, sumber daya alam dimiliki oleh negara dan menjadi monopoli negara (Abrar Saleng 2004, 10-12). Sewak-tu dilakukan penyusunan UUD 1945, maka konsep NHK juga mempengaruhi the Founding Fathers. Itulah sebabnya, penguasaan negara atau HMN atas SDA dicantumkan pada Bab tentang ‘Kesejahteraan Sosial” dalam UUD 1945.

Dalam Bab tersebut, konsep penguasaan SDA oleh negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (garis bawah dari Penulis). Frasa ‘dikuasai oleh negara’ sebagaimana terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 selanjutnya diikuti oleh UUPA yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. (garis bawah dari Penu-lis). Kedua model penguasaan oleh negara tersebut menunjukkan konsepsi penguasaan pasif (dikuasai oleh negara).

(10)

123

Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

UUPA berbunyi: Hak Menguasai dari Negara (garis bawah dari Penulis) termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bu-mi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hu-bungan hukum antara orang-orang dengan bu-mi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hu-bungan hukum antara orang-orang dan per-buatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Perbedaan wewenang penguasaan negara yang berkonsepsi aktif dan pasif tersebut menunjukkan bahwa:

1. Penguasaan yang berkonsepsi pasif dengan kata ‘dikuasai’ menunjukkan makna sebagai instru-men dari kata dipergunakan (untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat) sebagai tujuan. 2. Kata ‘dikuasai’ yang berkonsepsi pasif tersebut

termasuk di dalamnya kata ‘dipergunakan’ sehingga bentuknya adalah ‘negara menguasai tanah’; jika kata ‘dipergunakan’ tidak meru-pakan bagian dari ‘dikuasai’ maka ditafsirkan negara menguasai pemakaian tanah (Notona-goro 1984, 106).

3. Penguasaan yang berkonsepsi pasif dengan kata ‘dikuasai’ merujuk pada negara sebagai subyek, sementara itu penguasaan yang berkonsepsi aktif dengan kata ‘menguasai’ merujuk pada pemerintah (dalam arti luas) sebagai subyek. 4. Penguasaan negara yang berkonsepsi aktif

dengan kata ‘menguasai’ pada Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut dibatasi dengan kewajiban digunakan untuk mencapai sebesar-besar ke-makmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kese-jahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat 3 UUPA).

Selanjutnya beberapa pasal yang terdapat dalam

UUPA menambahkan kata ‘langsung’ pada kata dikuasai yang berkonsepsi pasif tersebut, yaitu Pasal 28 ayat (1) tentang pemberian Hak Guna Usaha, Pasal 37 tentang terjadinya Hak Guna Bangunan, Pasal 41 ayat (1) tentang Hak Pakai, Pasal 43 ayat (1) tentang pengalihan Hak Pakai, Pasal 49 ayat (2) tentang pemberian Hak Pakai untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci. Seluruh pasal tersebut menggunakan terminologi “tanah yang dikuasai langsung oleh negara”.

Tidak terdapat penjelasan makna kata ‘lang-sung’ dari frasa tersebut, hanya saja di dalam Penje-lasan Umum UUPA, II dinyatakan bahwa:

1. Kekuasaan negara atas tanah yang sudah dipunyai dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mem-punyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pem-batasan-pembatasannya dinyatakan dalam Pasal 4 dan pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam Bab II.

(11)

Penjelasan terhadap penguasaan negara atas tanah baik yang sudah ‘dihaki’ maupun belum (tanah negara) tersebut di atas ditanggapi oleh Oloan Sitorus sebagai tingkat ‘kedalaman’ dari HMN itu. Pengertian ‘kedalaman’ di sini adalah pengaruh dari HMN terhadap ‘hak’ atau ‘kepen-tingan’ dari subyek hukum tertentu yang melekat atas tanah yang dikuasainya (baik penguasaan juridis dan/atau penguasaan fisik).

Pemaknaan atau persepsi dari pengaruh atau ‘kedalaman’ HMN terhadap ‘hak’ dan ‘kepentingan’ tersebut menimbulkan 2 (dua) pemaknaan atau persepsi tentang eksistensi tanah Negara tersebut, yaitu: “... jika kewenangan dari bekas pemegang hak serta merta hilang berarti implikasi HMN terhadap tanah sangat tinggi sehingga status hukum tanah tersebut benar-benar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Artinya segala kewenangan bekas pemegang hak secara langsung menjadi hilang ketika suatu hak atas tanah ber-akhir” (Oloan Sitorus 2008, 8). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wewenang negara yang dikatakan ‘langsung’ atas tanah negara adalah lebih ‘luas’, atau lebih ‘penuh’, atau lebih ‘dalam’ diban-dingkan atas tanah yang bukan tanah negara.

Konsepsi selanjutnya adalah bahwa HMN dalam sistem Hukum Tanah Nasional merupakan bagian dari hak penguasaan atas tanah sebagaimana terdapat dalam UUPA. Menurut Boedi Harsono (1997, 234) Hak Penguasaan Atas Tanah diatur dalam tata jenjang sebagai berikut:

a. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik; b. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam

Pasal 2, semata-mata beraspek publik; c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang

dise-but dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik; d. Hak-hak perorangan/individual, semuanya

beraspek perdata, terdiri atas:

1) Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak indi-vidual yang semuanya secara langsung

ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;

2) Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, Pasal 49;

3) Hak Jaminan atas Tanah yang disebut Hak Tanggungan, dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51. Hak Bangsa merupakan “hak penguasaan atas tanah (dan sumber daya agraria lainnya) yang tertinggi” (Boedi Harsono 1997, 215), “yang merupa-kan induk semua hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA” (Suparjo 2014, 195), “yang mem-punyai unsur hukum publik berupa amanat untuk mengelola, dan mengandung unsur keperdataan berupa kepunyaan” (Boedi Harsono 1997, 217), Unsur hukum publik dari Hak Bangsa tersebut kemudian pada tingkatan tertinggi didelegasikan8 kepada Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat 1 UUPA). Wewenang yang didelegasikan itulah yang disebut dengan HMN. Pendelegasian tersebut merupakan konstruksi hukum yang dikenal dalam Sistem Hukum Tanah Nasional, yang analog dengan alam pikiran Hukum Adat. “Menurut Hukum Adat, masyarakat hukum adat mempunyai hubungan hukum dengan tanah wilayah beserta isinya yang secara teknis yuridis disebut dengan beschikkings-recht atau hak ulayat. Kewenangan untuk mengatur pemanfaatannya oleh masyarakat hukum adat diserahkan kepada para ketua adatnya”.9

D. Wewenang HMN atas SDA

(12)

125

Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

Pasal 4 UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi; dan Mineral dan Batubara pada Pasal 4 UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Keseluruhan UU tersebut menunjukkan bahwa HMN pada prinsipnya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur atau mengurus penguasaan dan penggunaan SDA tersebut. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang berkarakter publik, artinya penguasaan oleh negara tersebut hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan mengurus penguasaan dan perun-tukan SDA tersebut.

Kewenangan yang berkarakter publik tersebut ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa kewenangan dari HMN meliputi:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang-angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hu-bungan hukum antara orang-orang dan per-buatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kewenangan negara sebagaimana dimaksud pada huruf ‘a’ tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa pasal pada Bab I UUPA, khususnya Pasal 14. Penjabaran wewenang negara pada huruf ‘b’ lebih lanjut diatur dalam Pasal 4, 6-11 dan keten-tuan dalam Bab II UUPA. Sedangkan wewenang negara pada huruf ‘c’ merujuk pada ketentuan Pasal 12, 13, 26 dan 49 UUPA.

Boedi Harsono menjelaskan bahwa pengertian ‘mengatur’ dan ‘menyelenggarakan’ sebagaimana dimaksud pada huruf ‘a’ dilaksanakan oleh lem-baga pembentuk peraturan perundang-undangan seperti TAP MPR, UU/Perpu, PP, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Sementara itu, pengertian ‘menentukan’ dan ‘mengatur’ sebagai-mana dimaksud pada huruf ‘b’ dan ‘c’ merupakan kekuasaan eksekutif oleh Presiden, Menteri dan

pejabat negara lainnya(Boedi Harsono 1997, 239-240).

Dalam perkembangannya konsep penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut mengalami perluasan. Pertim-bangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU No.22 Tahun 2001), Undang-Undang Ketenagalistrikan (UU No. 20 Tahun 2002), Undang-Undang Sumber Daya Air (UU No.7 Tahun 2004) dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No.27 Tahun 2007); menafsirkan bahwa HMN bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheers-daad), dan melakukan pengawasan (toezichthou-dendaad).

1. Merumuskan Kebijakan (beleid)

Di dalam Kamus Hukum, kata beleid (Belanda) diterjemahkan menjadi kebijakan (Indonesia) dan policy (Inggris), (Yan Pramadya Puspa 1977, 130). Di bidang pertanahan dikenal terminologi land policy (kebijaksanaan pertanahan) atau yang lebih populer dengan istilah politik pertanahan.11 Bebe-rapa literatur Hukum Administrasi Negara kadang menterjemahkan kata beleid tersebut menjadi kebijaksanaan. Peraturan ini semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini disebut pula dengan istilah psudo–wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht (hukum bayangan/cermin), (Ridwan HR 2006, 183).

(13)

pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan peraturan adalah peraturan perundang-undangan sebagaimana terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Dengan wewenang regelen tersebut, “peranan pemerintah diperlukan untuk menjamin akses yang adil terhadap tanah sehingga tanah tidak semata-mata digunakan sebagai komoditas”.12

Maria SW. Sumardjono menyatakan bahwa kewenangan negara untuk mengatur itu dibatasi oleh dua hal. “Pertama, pembatasannya oleh UUD sehingga pengaturan itu tidak boleh berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar manusia. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif, yaitu men-jawab pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuannya, yaitu untuk terwu-judnya sebesar-besar kemakmuran rakyat”.13

Dengan demikian, “peraturan perundang-undangan yang dibuat itu harus bersifat netral sekaligus berpihak kepada yang lemah, di lain pihak negara wajib mengawasi pelaksanaan pera-turan itu. Dalam hal terjadi konflik negara harus dapat menjadi wasit yang adil. Namun ketika nega-ra menjadi pelaku, maka ia harus tunduk pada penega-ra- pera-turan yang dibuatnya sendiri”.14

3. Melakukan Pengurusan (bestuursdaad) Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangan-nya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie).15

4. Melakukan Pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham

(sharehol-ding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelem-bagaan melalui negara c.q. Pemerintah menda-yagunakan penguasaannya atas sumber sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besar-nya kemakmuran rakyat.16

Dalam konstruksi hukum agraria kolonial Belanda, ‘beheersrecht’ bukanlah sebuah hak keperdataan, melainkan kewajiban publik Negara Belanda untuk mengurus dan merawat tanah milik negara sebagai harta benda kekayaan (vermogens) tetapnya Negara Belanda (Anonim, 2012, 50).

5. Melakukan Pengawasan (toezichthoudendaad)

Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthouden-daad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat (Lilis Mulyani 2008, 74).

Ada 3 (tiga) macam bentuk pengawasan yaitu: (1) pengawasan hukum, apakah wewenang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (geldelijke controle); (2) pengawasan ad-ministrative (mengukur ef isiensi kerja); dan (3) pengawasan politik, untuk mengukur segi-segi kemanfaatan (doelmatigheid controle) (Abrar Saleng 2004, 173).

(14)

127

Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

dan negara, dan melakukan perubahan syarat-syarat kontrak karya untuk mengantisipasi dampak negatif kegiatan penambangan terhadap ling-kungan hidup yang disertai dengan kewajiban untuk merehabilitasi atau memperkecil dampak negatif demi kepentingan generasi sekarang mau-pun generasi mendatang.

MK menyatakan bahwa dari kelima fungsi HMN tersebut terdapat peringkat antara fungsi yang satu dengan lainnya. Dalam putusan Perkara No. 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kelima peranan Negara/Pemerintah dalam pengertian penguasaan negara itu, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitas-nya untuk mencapai sebesar-besarefektifitas-nya kemak-muran rakyat. Menurut MK, “bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara lang-sung atas SDA agar negara mendapatkan keun-tungan yang lebih besar dari pengelolaan SDA. Peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan” (Yance Arizona 2014, 279).

Selanjutnya agar pelaksanaan HMN itu tidak menimbulkan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM dan menimbulkan kerugian bagi orang dan badan hukum tertentu, maka perlu dilakukan pembatasan terhadap HMN. UUPA di dalam Penjelasan Umum memuat 3 (tiga) pembatasan terhadap HMN, yaitu: (1) oleh tujuan HMN itu sendiri; (2) oleh hak atas tanah seseorang dan badan hukum; (3) oleh hak ulayat masyarakat hukum adat yang secara faktual masih eksis.

Pembatasan oleh tujuannya yaitu ‘dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ berarti bahwa kata dipergunakan itu merupakan tujuan dari pada dikuasai (oleh negara) tersebut (A.P. Parlindungan 1984, 11). Selanjutnya HMN juga

dibatasi oleh hak-hak seseorang dan badan hukum. Penjelasan Umum UUPA menyatakan bahwa “kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Dengan demikian terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luas dan penuh daripada tanah-tanah yang sudah dilekati hak oleh seseorang atau badan hukum. Dengan perkataan lain, negara lebih leluasa men-jalankan kekuasaannya atas tanah yang masih ber-status tanah negara.”

Ketiga, HMN juga dibatasi oleh keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat yang secara faktual masih ada. Sekiranya kepentingan umum menginginkan hak ulayat, maka perolehan tanah-nya hatanah-nya dapat dilakukan setelah masyarakat hukum adat pemegang hak tersebut “didengar pendapatnya” dalam arti diajak bermusyawarah dan diberikan recognitie. Tegasnya, dalam keadaan biasa, tidak bisa memperoleh tanah ulayat tanpa adanya persetujuan dari masyarakat hukum adat pemegang Hak Ulayat tersebut.17

Terkait dengan pembatasan HMN, Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa dalam hal fungsi ‘mengatur’ dari HMN, maka wewenang untuk mengatur itu dibatasi oleh 2 (dua) hal: pertama, pembatasan oleh Undang-Undang Dasar; dan ke-dua, pembatasan yang bersifat substantif.”18 Pembatasan oleh UUD bermakna pengaturan oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak-hak dasar manusia, tidak boleh bias terhadap kepen-tingan suatu pihak, terlebih jika hal itu menim-bulkan kerugian kepada pihak lain. Seseorang yang harus melepaskan hak atas tanahnya berhak memperoleh perlindungan hukum dan penghar-gaan yang adil atas pengorbanannya itu”.19

(15)

dengan tujuannya, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu kewenangan pembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelega-sikan kepada organisasi swasta karena hal yang diatur berkaitan dengan kesejahteraan umum, sarat nilai pelayanan, tapi dapat terjadi konflik kepen-tingan karena pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat yang juga ikut diwakili kepentingan-nya”.20

E. Pelimpahan Kewenangan HMN

Wewenang penguasaan SDA oleh negara yang merupakan pelimpahan ‘hak publik’ dari Hak Bangsa dapat dilimpahkan kembali. Ragaan berikut menampilkan pelimpahan HMN pada negara dan kemudian oleh negara dilimpahkan kembali pada beberapa otoritas. Oleh otoritas tersebut kemudian dilakukan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA tersebut.

Konsepsi Penguasaan Sumber Daya Agraria

Ragaan tersebut menunjukkan bahwa pengu-asaan negara atas SDA sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diperoleh negara berdasarkan prinsip atribusi21. Atas dasar atribusi tersebut, negara – dalam hal ini Pemerintah– kemudian melimpahkan wewenang penguasaan dan pengelolaan SDA kepada beberapa otoritas berdasarkan undang-undang. Otoritas tersebut adalah: hutan oleh otoritas kehutanan; mineral dan batu bara serta minyak dan gas bumi oleh otoritas pertambangan; tanah oleh otoritas pertanahan22;

pesisir oleh otoritas wilayah pesisir; sumber daya air oleh otoritas perairan; dan udara, sampai saat ini belum diatur dengan undang-undang sehingga belum diatur otoritas yang berwenang. Di dalam tulisan ini hanya ditinjau wewenang-wewenang yang terdapat pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan.

Pelimpahan HMN atas SDA pada otoritas kehutanan melahirkan kewenangan untuk mene-tapkan kawasan hutan23 melalui Keputusan Menteri Kehutanan, sedangkan pelimpahan HMN atas SDA pada otoritas pertambangan melahirkan kewe-nangan untuk menetapkan Wilayah Pertambangan (WP)24 atas SDA berupa Mineral dan Batubara. WP terbagi atas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)25, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)26, dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN)27. Sementara itu, atas SDA berupa Minyak dan Gas Bumi Otoritas Pertambangan berwenang mene-tapkan Wilayah Kerja (WK).

Kewenangan untuk menetapkan ‘kawasan’ oleh Otoritas Kehutanan, dan ‘Wilayah’ oleh Otoritas Pertambangan tersebut merupakan wewenang yang berkarakter publik, yaitu wewenang untuk melakukan pengaturan dalam penggunaan dan pemanfaatan SDA berupa hutan dan tambang tersebut. Sementara itu, Otoritas Pertanahan tidak diberi kewenangan untuk menetapkan kawasan atau wilayah tertentu sebagai wilayah kewe-nangannya, sama halnya dengan otoritas yang mengelola sumber daya air dan wilayah pesisir. Hanya saja, otoritas pertanahan diberi kewenangan untuk memberikan Hak Pengelolaan28 yang berkarakter ‘publik’ kepada subyek hak tertentu (instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD).

(16)

129

Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu. Sementara itu, izin penggunaan hutan adalah izin pinjam pakai kawasan hutan yang bermaksud menggunakan hutan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan di luar kehutanan. Izin penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dengan skema ‘pinjam pakai’.

Di dalam Wilayah Kerja (minyak dan gas bumi), Otoritas Pertambangan berwenang menerbitkan Izin Usaha dan Kontrak Kerja Sama (KKS). Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengang-kutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. KKS adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak ker-ja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploi-tasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Di dalam Wilayah Pertambangan, Otoritas Pertambangan berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Menurut UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu IUP Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; dan IUP Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruk-si, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Otoritas Pertanahan, yang tidak berwenang menetapkan kawasan atau wilayah tertentu, mem-punyai wewenang untuk menerbitkan ‘hak atas tanah’ dalam hal penguasaan, pemilikan, penggu-naan dan pemanfaatan tanah. Dalam rejim Hukum Tanah Nasional, hak atas tanah yang berkarakter perdata yang diterbitkan oleh Otoritas Pertanahan adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Selain itu, hak atas tanah yang berkarakter publik yang diterbitkan oleh Otoritas Pertanahan adalah Hak Pengelolaan.

F. Catatan Akhir

HMN merupakan kewenangan untuk mengu-asai SDA yang diperoleh oleh negara melalui pelimpahan hak publik dari Hak Bangsa. Atas dasar kewewenang tersebut, negara mengeluarkan kebijakan, membuat pengaturan, melakukan pengurusan, pengelolaan dan pengawasan terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan SDA. Dalam pelaksanaan ‘menguasai’ itu, HMN dibatasi oleh tujuannya serta oleh hak-hak lain yang telah ada atas SDA.

Perlu menjadi catatan tentang konsepsi HMN atas SDA seperti kehutanan dan pertambangan. Catatan tersebut meliputi 2 (dua) hal, yaitu: per-tama, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi menurut UUPA adalah Hak Bangsa. Oleh karena itu pertanyaannya adalah apakah dalam peraturan perundang-undangan lain seperti kehutanan dan pertambangan juga menempatkan Hak Bangsa sebagai hak yang tertinggi. Kedua, menurut UUPA HMN merupakan pelimpahan hak publik dari Hak Bangsa kepada negara untuk melakukan ‘penge-lolaan’ SDA tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah konsepsi pelimpahan tersebut juga merupakan konsepsi yang melatarbelakangi penguasaan SDA lainnya dalam peraturan perundang-undangan tentang kehutanan dan pertambangan. Mencer-mati peraturan perundang-undangan tentang Kehutanan dan Pertambangan tidak terlihat adanya konsepsi pelimpahan hak publik dimaksud.

Oleh karena itu, agar pelaksanaan HMN tersebut sesuai dengan cita hukum negara Kesatuan Republik Indonesia maka seyogianya dilakukan persamaan konsepsi dan persepsi tentang HMN serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait.

Endnote

(17)

di bawah laut) seperti minyak, gas, emas, biji besi, timah, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain; (e) udara. Jenis sumber daya agraria ini tidak saja merujuk pada ruang di atas bumi dan air tetapi juga materi udara (CO²) itu sendiri; lihat M.T. Felix Sitorus “Lingkup Agraria” dalam Endang Suhendar et al (Penyunting), 2002, Menuju Keadilan Agraria. 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penerbit Akatiga, Bandung, hlm. 35.

2 Menurut Indroharto, atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dalam konteks ini dari UUD kepada Negara, lihat Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 104.

3 res communes, res publicae adalah barang-barang yang berada di luar lalu lintas perdagangan dan meru-pakan bagian dari res extra commercium. Res communes adalah barang-barang, termasuk tanah, yang menurut kodratnya dipergunakan untuk keperluan umum dan tidak dapat dimiliki (udara, air, sungai, dan sebagainya); res publicae adalah barang-barang yang menurut kodratnya dipergunakan untuk keperluan negara; dan res sanctae (res sacrae atau res religiosae) adalah barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan suci. Lihat Notonagoro, 1984, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indone-sia, Penerbit Binacipta, Jakarta, hlm. 13; Sunarjati Hartono, 1976, op.cit., hlm. 45; dan Iman Sutiknyo, 1990, Politik Agraria Nasional. Hubungan Manusia dengan Tanah yang berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 22. 4 Terdapat 3 (tiga) model konsepsi hubungan negara

dengan tanah yaitu: (1) Negara sebagai subyek yang dapat dipersamakan dengan perorangan yang bersifat privaatrechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium; (2) Negara sebagai subyek dalam kedudukannya sebagai negara yang bersifat publikrechtelijk. Hak negara adalah hak do-minium juga, di samping itu dapat digunakan hak publik; dan (3) Negara sebagai subyek yaitu sebagai personifikasi rakyat, jadi bukan sebagai perorangan atau badan kenegaraan. Hak negara adalah hak kom-munes atau hak imperium, yaitu hak menguasai tanah atau penggunaannya”, lihat Iman Soetiknyo, 1990, op.cit., hlm. 20.

5 Aliran pikiran yang menyatakan bahwa negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan, sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke (abad ke 17), Jean Jacques Rousseau (abad ke 18), Herbert Spencer (abad ke 19), H.J. Laski (abad ke 20). Menurut aliran pikiran ini, negara ialah

ma-syarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontraknya antara seluruh seseorang dalam masya-rakat itu (contract social). Susunan hukum negara yang berdasar individualisme terdapat di negeri Eropah Barat dan di Amerika; lihat Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Yayasan Prapanca, hlm., 110. 6 Disebut juga class theory sebagaimana diajarkan

oleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat dari sesuatu golongan (sesuatu klasse) untuk menindas klasse lain. Negara ialah alatnya golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain, yang mempunyai kedudukan yang lembek. Negara kapitalis, ialah perkakasnya bour-geoisie untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan negara agar kaum buruh dapat ganti menindas kaum bourgeoi-sie. Lihat ibid, hlm.110-111.

7 Teori integralistik diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel, dll. (abad ke 18 dan 19). Menurut pikiran ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan ma-syarakat yang integraal, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang pal-ing besar, tidak menganggap kepentpal-ingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin kese-lamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persa-tuan yang tak dapat dipisah-pisahkan; lihat ibid, hlm.111.

(18)

131

Julius Sembiring: Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria: 119-132

Pendekatan Multidisipliner), Badan Penerbit FHUI, Jakarta, hlm. 24.

9 Maria S.W. Sumardjono, “Kewenangan Negara .... ibid, hlm. 25.

10 UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 dibaca-kan pada tanggal 18 Februari 2015.

11 Politik pertanahan diartikan sebagai jawaban atas pertanyaan, apa: yang dilakukan dengan tanah yang ada, akan digunakan untuk apa, dengan tujuan apa dan hal-hal apa yang harus diadakan atau dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Lihat Boedi Har-sono, “Kerangka Persoalan dan Pokok-Pokok Kebi-jakan Pertanahan Nasional” dalam Anonim, 1994, Laporan Seminar “Permasalahan dan Tantangan Poli-tik Pertanahan Dalam PJP II”, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, 29 Oktober 1994, hlm.39.

12 Maria SW.Sumardjono, “Kewenangan Negara … op.cit, hlm.23.

13 ibid, hlm.25-26. 14 ibid, hlm. 33. 15 ibid, hlm.74. 16 ibid, hlm. 74.

17 Oloan Sitorus dalam http://

gubukhukum.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diunduh pada tgl.11 Februari 2014 jam 05.50.

18 Maria SW. Sumardjono, “Kewenangan Negara … op.cit., hlm.25.

19 ibid, hlm. 25. 20 ibid, hlm.25-26.

21 Disebut juga atribusi dari original legislator dalam hal ini MPR, lihat Ridwan HR, 2006, op.cit, hlm.104. 22 Otoritas pertanahan memperoleh kewenangan untuk menguasai dan mengelola pertanahan melalui Peraturan Presiden, untuk yang terkahir lihat Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik In-donesia. Pasal 2 Perpres ini berbunyi: BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerin-tahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelumnya kewenangan otoritas pertanahan diatur dengan Peraturan Pre-siden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Perta-nahan Nasional. Pasal 2 Perpres tersebut berbunyi: Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perta-nahan secara nasional, regional dan sektoral. 23 Dimaksudkan dengan Penetapan Kawasan Hutan

adalah Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/MENHUT-II/ 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan seba-gaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :P.62/ Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Di dalam Peraturan tersebut ditegaskan bahwa Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan penun-jukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan yang meliputi proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. 24 Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang

memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi peme-rintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional (Pasal 1 angka 29 UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara)

25 WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi (Pasal 1 angka 30 UU No.4 Tahun 2009 ten-tang Mineral dan Batubara).

26 WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat (Pasal 1 angka 32 UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara)

27 WPN adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional (Pasal 1 angka 33 UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara)

(19)

Daftar Pustaka

Aboesono, tanpa tahun, Sedjarah Hukum dan Politik Agraria di Indonesia. Djilid 1 (Djaman Pendjadjahan), Akademi Agraria di Jogjakarta. Anonim, 2012, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Pengelolaan Tanah Negara Bagi Kesejahteraan Rakyat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta.

Arizona, Yance, 2014, Konstitusionalisme Agraria, Penerbit STPN Press, Yogyakarta.

Harsono, Boedi, “Kerangka Persoalan dan Pokok-Pokok Kebijakan Pertanahan Nasional” dalam Anonim, 1994, Laporan Seminar “Perma-salahan dan Tantangan Politik Pertanahan Dalam PJP II”, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, 29 Oktober 1994.

——, 1997, Hukum Agraria Nasional. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta. Hartono, Sunaryati, 1976, Capita Selecta

Per-bandingan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. HR. Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mulyani, Lilis, “Pengelolaan Sumber Daya Alam di

Mata Mahkamah Konstitusi: Analitis Kritis Atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Alam” dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 10 Nomor 2 Tahun 2008. Notonagoro, 1984, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Penerbit Binacipta, Jakarta.

Parlindungan, A.P., 1984, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit Alumni, Bandung.

Puspa, Yan Pramadya, 1977, Kamus Hukum. Esisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia dan Inggeris, Penerbit Aneka Ilmu, Semarang. Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan,UII

Press, Yogyakarta.

Sitorus, M.T Felix, “Lingkup Agraria” dalam Endang

Suhendar, Satyawan Sunito, M.T. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta dan Arya Hadi Dharmawan (Penyunting), 2002, Menuju Keadilan Agraria. 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penerbit Akatiga, Bandung.

Sitorus, Oloan, Ig. Indradi, Rakhmat Riyadi, Sapar-diyono, Deden Dani Saleh dan Dominikus B. Insantuan, 2008, “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara” dalam Bhumi, Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008.

Suhendar, Endang, Satyawan Sunito, M.T. Felix Sitorus, Arief Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Penyunting), 2002, Menuju Keadilan Agraria. 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penerbit Yayasan Akatiga, Bandung. Sumardjono, Maria S.W., “Kewenangan Negara

Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara” dalam Suparjo Sujadi, 2011, Pergulatan Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional (Suatu Pen-dekatan Multidisipliner), Badan Penerbit FHUI, Jakarta.

Suparjo, 2014, Manifestasi Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara Dalam Politik Hukum Agraria Pasca Proklamasi 1945 Hingga Pasca Reformasi 1998 (Kajian Teori Keadilan Amartya K. Sen), Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Sutiknyo, Iman, 1990, Politik Agraria Nasional. Hubungan Manusia dengan Tanah yang berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada Univer-sity Press, Yogyakarta.

Yamin, Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Yayasan Prapanca.

Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Padjadjaran.

Oloan Sitorus dalam http://

(20)

Diterima: 3 April 2016 Direview: 12 Oktober 2016 Disetujui: 03 November 2016

STRATEGI PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT

(HUKUM) ADAT: SEBUAH PENDEKATAN SOSIO-ANTROPOLOGIS

1

R. Yando Zakaria*

Abstract: Abstract: Abstract:

Abstract: Abstract: Arizona (2015b) reported that in the last mid-2015, there were lots of local regulation products intended as instruments to recognize the rights of indigenous people. Eventhough 40% of these products contain arrangements of the area, lands and communal forests, in reality, total area that have been effectively possessed by local communities were insig-nificant. According to Arizona (2015a), this condition occurred because the advocacy agenda trapped by the complexity of the diversity of the subjects and objects of the indigenous rights to be recognized and protected. This article was not about to argue that conclusion. However, this paper believes that the trap of complexity and diversity of the subjects and objects of the recognition of indigenous rights was enabled by three factors. First, the stakeholders within those complexity of definition came from generic concepts; second, failed to approach subjects and objects of the rights as a socio-antrophology reality at field level; and third, this problem was worsen by the stakeholders that barely have a proven instrument in finding sociologi-cal-anthropological reality. This article aims to fill those gaps.

K KK

KKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsds: Strategy, Recognition, Indigenous Peoples, socio-anthropologicalds Intisari:

Intisari: Intisari:

Intisari: Intisari: Arizona (2015b) melaporkan bahwa tengah tahun 2015 lalu ada banyak produk hukum daerah yang dimakudkan sebagai instrument hukum pengakuan hak-hak masyarakat adat. Namun, meski 40% produk hukum daerah itu berisi pengaturan tentang wilayah, tanah dan hutan adat, di tingkat lapangan, total luas yang telah benar-benar efektif dikuasi masyarakat adat relatif sangat sedikit. Menurut Arizona (2015a), hal itu terjadi, antara lain, agenda advokasi terjebak oleh kerumitan keragaman subyek dan obyek hak-hak adat yang akan diakui dan dilindungi. Tulisan ini tak hendak membantah kesimpulan itu. Namun, tulisan ini percaya bahwa jebakan kerumitan keragaman subyek dan obyek pengakuan hak-hak masyarakat adat itu dimungkinkan oleh tiga hal. Pertama, para-pihak terjebak dengan perdebatan definisi dari beberapa konsep yang memang bersifat generik; kedua, alpa mendekati subyek dan obyek hak itu sebagai realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan; dan ketiga, masalah ini diperumit oleh para-pihak nyaris tidak memiliki instrument yang teruji dalam menemukan realitas sosiologis-antropologi dimaskud. Tulisan ini disusun untuk mengisi kekosongan-kekosongan itu.

Kata K Kata KKata K

Kata KKata Kunciunciunciunciunci: Strategi, Pengakuan, Masyarakat Hukum Adat, sosio-antropologis

* Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar Pem-baruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta; dan pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pe-merintahan, FISIPOL UGM. Email: r.y.zakaria@gmail.com

A. Pendahuluan

Dalam dua darsa warsa terakhir telah hadir puluhan produk hukum, baik Nasional maupun Daerah, yang dimaksudkan untuk mengakui dan

menghormati hak-hak masyarakat (hukum) adat.2

Hal ini diawali dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 1999 (Permenag 5/1999), kebijakan pertama yang ‘mengatur’ pengakuan hak masyarakat adat atas tanah pasca pengaturan di bawah tingkat konstitusi dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA 5/1960). Permenagraria 5/1999 telah memungkinkan lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat.

(21)

dilaporkan Arizona (2015b), hingga tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan advokasi hukum daerah dalam

jumlah yang hampir sama.3 Produk-produk hukum

daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1)

pengembangan/penguatan lembaga adat;4 (2)

pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum

adat;5 (3) pengakuan terhadap keberadaan suatu

masyarakat hukum adat;6 dan (4) pengakuan

sebagai unit pemerintahan.7

Namun, pada kesempatan yang lain Arizona (2015b) melaporkan pula bahwa meski 40% produk hukum daerah itu berisi pengaturan tentang

wilayah, tanah dan hutan adat,8 di tingkat lapangan,

total luas yang telah benar-benar efektif dikuasi masyarakat adat baru sekitar 13.500 hektar saja.

Sekedar perbandingan, menurut kalkulasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), apa yang mereka sebut sebagai hutan adat itu diper-kirakan mencapai angka 40 Juta ha, atau hampir sekitar 25% dari total kawasan hutan di

Indone-sia.9 Lalu apa yang keliru hingga capaian itu

demi-kian rendahnya? Menurut Arizona (2015a), rendah-nya kinerja pembaruan hukum pengakuan hak-hak masyarakat adat, jika dapat dikatakan begitu, salah satu penyebabnya adalah karena, di satu sisi, agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terjebak pada kerumitan ke-ragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen hukum yang tersedia; dan di sisi lain, seringkali produk hukum daerah itu hanya bersifat deklaratif semata.

Tulisan ini tak hendak membatah data dan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Sebaliknya tulisan ini ingin menyediakan perspektif pelengkap untuk lebih memahami dinamika pengakuan hak-hak masyarakat adat. Hal ini akan dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut:

(a) Apakah masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu memang hanya merujuk pada suatu realitas sosial yang tunggal

seba-gaimana yang banyak dipersepsikan banyak pihak selama ini?

(b) Pengakuan semacam apa pula yang sudah dihasilkan yang berdasarkan konsepsi tentang masyarakat hukum adat yang demikian itu? (c) Apakah setiap jenis atau bentuk hak

masya-rakat adat hanya merujuk pada satu unit sosial saja?

(d) Apakah hak masyarakat adat atas tanah hanya mencakup hak-hak yang bersifat komunal saja? (e) Apakah dalam sistem tenurial masyarakat adat itu tidak dikenal hak-hak yang bersifat indi-vidual?

(f ) Apakah hak ulayat selalu bersifat publik dan tidak bisa bersifat privat?

(g) Bagaimana strategi pengakuan hak-hak masya-rakat (hukum) adat yang lain, seperti

penga-kuan terhadap ‘agama tradisi’ seperti Arat

Sabulungan (Mentawai), Parmalim (Batak),

atau Marapu (Sumba) misalnya? Apakah

me-mang harus mengakui subyek hukumnya (baca: penghayat ‘agama-agama asli’ itu), sebagai-mana trend yang terjadi pada proses pengakuan hak-hak atas tanah saat ini, atau cukup dengan mengakui eksistensi ‘agama tradisi’ itu sendiri? Pada bagian akhir tulisan ini akan dicoba pula menjawab pertanyaan yang lebih teknis. Yakni, (a) produk-produk hukum macam apa saja yang

diperlukan untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat itu?

(b) apakah cukup dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat deklaratif atau juga dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih teknis?

Tawaran ini, jika dapat dikatakan begitu, dituju-kan agar para pihak yang sebenarnya peduli dengan masa depan masyarakat (hukum) adat dapat keluar dari jebakan perdebatan tentang pilihan definisi antara terma masyarakat hukum adat atau masya-rakat adat yang nyaris menjadi kontra-produktif

itu (Sirait, et.al., 2005; Sumardjono, 2008; Arizona,

(22)

135

Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150

2011; Zakaria, 2012; Roewiastoeti, 2014; Saf itri & Uliyah, 2014; dan Andiko & Firmansyah, 2014).

B. Realitas subyek, obyek, dan jenis hak-hak masyarakat (hukum) adat yang majemuk

Secara hukum, pengakuan (hak) mensyaratkan pengenalan tentang subyek, obyek, dan jenis hak yang akan diakui itu sendiri. Contohnya adalah sertipikat atas sebidang tanah. Sertipikat sebagai tanda bukti hukum akan memuat kejelasan tentang siapa subyek hukum (perorangan atau kelompok); atas sebidang tanah tertentu (sebagai obyek pengakuan hak); dengan jenis hak yang diakui itu apakah berupa hak milik atau hak guna usaha atau jenis hak lainnya sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Tanpa pengetahuan yang clear tentang

subyek, obyek, dan jenis hak maka proses penga-kuan secara hukum itu tidak akan efektif dan hanya akan terperangkap pada situasi yang bersifat jar-gonistis belaka.

Dengan demikian, subyek mengacu pada pihak yang memiliki hak; sementara obyek hak adalah sesuatu yang di-hak-i oleh subyek. Sedangkan jenis hak merujuk pada berbagai bentuk kemungkinan keberlakuan hak itu ke dalam pribadi penyandang hak (bisa tunggal ataupun bersama) maupun yang juga mengikat pihak lain di luar pribadi penyan-dang hak. Namun, tergantung pada obyek hak yang akan diakui, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, boleh jadi pengakuan itu tidak perlu sampai pada pengakuan pada subyek dan jenis haknya. Cukup pengakuan atas obyek-nya saja.

Merujuk pada United Nation Declaration on The

Rights of Indigenous Peoples (UNRIP), obyek atau-pun jenis hak-hak masyarakat adat yang harus diakui dan dihormati itu sangatlah beragam. Mulai dari hak untuk menentukan nasib sendiri (yang mencakup hak menentukan pilihan tentang jalan hidup; menentukan, mengembangkan rencana dan urutan kepentingan bagi pemanfaatan tanah,

wilayah, dan sumber daya mereka (Pembangunan); hak menentukan hubungan lembaga pemerintahan mereka dengan pemerintah pusat atau negara, dan seterusnya, hingga hak atas tanah, wilayah, dan sumberdaya alam; hak turut serta (partisipasi) dan hak untuk mendapat Informasi; hak Budaya; serta

hak atas keadilan.10

Pertanyaannya, apakah masing-masing obyek dan/atau jenis hak itu merujuk pada satuan sosial (social unit) yang sama? Untuk menjawab per-tanyaan tersebut, mari kita lihat kerangka berfikir yang ada pada Putusan MK 35 Tahun 2012, kebijakan tertinggi dan termutakhir yang berkaitan dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat (hukum) adat sebagaimana yang diamatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia Pasal 18B

ayat 2.11 Singkatnya putusan itu mengatur bahwa

‘hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah bagian dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; hak masyarakat adat diakui jika masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah’.

Mari kita coba kaitkan ketentuan yang demikian itu pada kasus hutan adat yang dapat saja berupa dan/atau berada pada tanah ulayat orang Minang-kabau di Sumatera Barat. Subyek hak atas obyek hak yang berupa tanah ulayat itu sangatlah

be-ragam, yakni kaum/buah gadang, suku, buek, atau

pun nagari (Franz von Benca-Beckmann (2000); K. von Benda-Beckmann (2000); Warman (2010). Demikian pula, jenis tanah ulayat juga sangat beragam. Yakni tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat nagari. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dibutuhkan satu Pera-turan Daerah — dan/atau Keputusan Gubernur

atau Bupati/Walikota — untuk setiap kaum/buah

gadang, suku, buek, atau pun nagari, agar

masing-masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang

(23)

Peme-rintah di negeri ini untuk memenuhi amanat kon-stitusi.

Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nilai-nilai positifnya, implementasi Putusan 35/2012 perlu dilengkapi dan/atau didekati dengan perspektif sosio-antropologis. Hal ini diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud justru menjadi sumber malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat di negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, pada saat yang bersamaan Putusan MK 35/2012 itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 yang telah memberatkan masyarakat adat.

C. Perspektif sosiologi dan antropologi sebagai alat bantu

Manusia adalah mahluk sosial. Begitu adagium yag berlaku. Oleh sebab itu manusia selalu terlibat dalam suatu sistem kehidupan kolektif. Koentja-raningrat (1979: 150) mengatakan bahwa ciri-ciri kehidupan kolektif itu ditandai oleh (a) pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam sub-kesatuan dan/atau golongan individu dalam kolektf untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup; (b) ketergantungan individu kepada individu lain sebagai akibat pembagian kerja; (c) kerjasama antar-individu yang disebabkan karena sifat keter-gantungan; (d) komunikasi antar-individu untuk melakukan kerjasama; dan (e) diskriminasi terha-dap individu-individu lain yang berada di luar kolek-tiva dimaksud.

Dalam kajian sosiologi dan antropologi,

unit-unit sosial yang disebut urang samadeh, (sa-) paruik,

(sa-) kaum, (sa-) saku, atau juga (sa-) nagari, lewu, suku besar, suku kecil, sebagaimana yang dikenal dalam kelompok etnik Minangkabau dan Dayak di Kalimantan Tengah adalah bentuk-bentuk kolektiva manusia menurut pandangan emik yang dikenal oleh orang Minangkabau dan komunitas orang Dayak yang ada di Kalimantan Tengah itu sendiri. Pada konteks kelompok etnik yang lain tentu kita akan menemukan susunan satuan-satuan

kolektiva yang lain lagi.

Secara etik, yakni menurut pandangan dari luar, kolektiva-kolektiva manusia itu ada yang disebut, di mulai dari satuan yang lebih besar hingga yang lebih kecil, adalah negara; sukubangsa atau

kelom-pok etnik (etnik groups); desa (dalam konteks ini

adalah community, bukan village, dan sering

diter-jemahkan sebagai komunitas); kelompok-kelom-pok kekerabatan; dan berbagai bentuk kategori sosial, golongan sosial, kelompok sosial lannya, hingga perkumpulan yang terbentuk oleh satu atau lebih kepentingan bersama para anggotanya. Misalnya, yang berdasarkan kesamaan agama tertentu, ras, atau ciri-ciri pembeda dan/atau kepen-tingan lainnya (Koentjaraningrat, 1979: 154 – 177).

Konsep-konsep kolektiva manusia yang berda-sarkan hubungan kekerabatan adalah apa yang disebut sebagai keluarga batih atau keluarga inti,

rumahtangga, keluarga luas, kindred, klen, fratri,

dan moeti.

(24)

137

Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat ...: 133-150

D. Susunan masyarakat hukum adat yang beragam

Kompleksitas dalam menentukan unit sosial dalam mengakui hak masyarakat (hukum) adat tertentu akan bertambah jika dikaitkan dengan susunan masyarakat adat yang beragam pula. Ilustrasi dari Minangkabau di atas hanya satu saja dari banyaknya variasi yang ada. Dalam pustaka terkait dengan kajian-kajian tentang hukum adat, persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat itu dapat terbentuk oleh faktor genealogi (hu-bungan kekerabat, hu(hu-bungan keturunan, hu(hu-bungan darah), faktor kesamaan tempat (tinggal), atau gabungan dari keduanya (Soekanto & B. Taneko, 1983).

Variasi karakter masyarakat hukum adat ber-dasarkan dasar-dasar pembentuknya itu tentu juga akan berpengaruh langsung pada perlu tidaknya pengakuan secara hukum dan/atau bentuk instru-ment hukumnya. Ambilah contoh susunan masya-rakat hukum adat yang terbentuk oleh dasar genea-logis sebagaimana yang terjadi pada sistem marga pada orang Batak, misalnya. Pertanyaannya, apa-kah perlu instrument hukum khusus untuk

penga-kuan keberadaan marga itu? Sejauh ini, apakah ada pelarangan terhadap sistem marga itu hingga dibtuhkan suatu peraturan perundang-undangan untuk mengakuai eksistensinya?

Selain keberagaman berdasarkan faktor-faktor pembentukannya, keberagaman dapat pula muncul sebagai akibat dari perbedaan tentang apa yang disebut Koentjaraningrat (1970) sebagai ‘tipe-tipe sosial budaya’. Dalam konteks ini kita akan mene-mukan komunitas-komunitas yang hidup dalam sistem berburu dan meramu hingga masyarakat perdesaan dengan irigasi teknis yang modern. Maka, dalam memahami suatu sistem tenurial sebagai suatu sistem yang kompleks itu misalnya, kita perlu pula awas terhadap ‘tipe-tipe

sosial-budaya’ yang menjadi setting sosial-budaya di mana

sistem tenurial yang akan diakui dan dihormati itu berada.

Dengan demikian, pola-pola penguasaan sumberdaya alam sebagaimana yang terdapat pada

masyarakat Minangkabau misalnya, di mana ulayat

nagari telah menjadi batas-batas f isik sekaligus

sosial dengan kesatuan ulayat nagari yang lainnya

lagi, tentu tidak bisa dibawa untuk memahami

Gambar

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Persil
Tabel 3. Ketentuan Besaran Prosentase untuk
Tabel 1: Impor Pangan Indonesia Tahun 2013
Tabel 2:  Sebaran Lokasi Reforma Agraria
+7

Referensi

Dokumen terkait

Undang – Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Dalam Negeri

(1) Hak Ulayat dan serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) PMNA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menentukan bahwa “hak ulayat adalah

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum