32
BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat
Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat
yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik - akademis. Sedangkan
istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa
sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan
internasional.30
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.
Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan
internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning
Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari-
Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo
(1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai
(1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh
United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah
indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi
30
33
PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights
of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus
dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan
pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu.
Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang
menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat
tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin
yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan
memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.31
berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.
Dalam skripsi ini,
masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat,
sebagaimana lazimnya ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan - kesatuan
masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing - masing yang telah ada
ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah
tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak 32
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter
Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah
31Ibid
.
32Ibid
34 kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama –
lamanya.33
Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan
masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.34
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan
hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan
geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman
Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan
hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota –
anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam
kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai
tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.35
33
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30
34
Husen Alting, Op. Cit., hlm. 31.
35
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar Maju, 2003), hlm. 108.
Sedangkan, masyarakat atau
persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat
35 sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan
atau pertalian adat.36
Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita
Ruwiastuti,37
Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D.
Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu
magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian
singkat sebagai berikut
bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya
merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan
sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat. Dalam kesadaran
mereka, sumber – sumber agraria selain merupakan sumber ekonomi, juga adalah
perpangkalan budaya. Artinya, kalau sumber – sumber tersebut lenyap (atau
berpindah penguasaan kepada kelompok lain), maka yang ikut lenyap bukan saja
kekuatan ekonomi mereka, melainkan juga identitas kultural.
38
1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada
keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum
masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini
diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan
pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata
dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum
agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada :
36Ibid
. hlm. 109.
37
Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 177.
38
36 Tuhan. Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan
selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat
perubahan.
2) Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap
individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat
secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya
disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada
individu yang terlepas dari masyarakat.
3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan
bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak
dilakukan secara diam-diam atau samar.
4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan
terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan
kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.
H.M. Koesnoe39
1. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan
satu kesatuan yang terorganisir.
menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya
memperhatikan hal – hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi
kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut :
2. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh
pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.
3. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan
(seperti sudah berapa generasi)
39
37
4. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam
kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu
persekutuan hukum.
5. Bagaimana menurut tradisinya asal – usul kelompok itu sehingga merupakan
satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya.
Pengertian masyarakat adat secara konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat
(3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur bahwa masyarakat hukum
adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun
atas dasar keturunan.40
Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di kepulauan
Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah sangat
tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara. Secara historis,
warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang melingkupinya,
sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara
kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya
petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang ditata secara
kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik,
beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, dan
40
38 membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun
berukuran regional.41
Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga
saat ini. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di dalam peraturan
perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk sesuatu yang
sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat adat, masyarakat
hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas
adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama
lainnya.42
Selanjutnya dalam Penjelasan Bab VI UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan
bahwa dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa
di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Persekutuan hukum adat di Aceh disebut dengan gampong.43
41
Saafroedin Bahar, Seri Hak Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta : 2005, Hal. 76-77.
42
Yance Arizona, “Mendefinisikan Indegenous Peoples di Indonesia”
https://www.yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ (diakses tanggal 24 Januari 2015).
43
Ter Haar, Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta : 1960, hlm. 17.
Daerah
– daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenaya dapat dianggap sebagai
daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
mengeanai daerah – daerah itu akan mengingat hak – hak asal usul daerah
39 Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia dinyatakan
dalam beberapa pustaka antara lain : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
van Vollenhoven yang dilakukan antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1918.
Dalam karyanya Adatrecht van Nederlandsch-Indie, van Vollenhoven
menyimpulkan bahwa di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu
daerah (1) Aceh meliputi; Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Siemelu. (2) Gayo,
Alas, Batak, meliputi; Gayo luwes, Tanah Alas, Tanah Batak; Tapanuli Utara
(Batak Pak-pak/Barus, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Toba), Tapanuli
Selatan (Padang Lawas, Angkola, Mandailing) dan Nias. (3) Minangkabau
(Padang Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Tanah Kampar, dan Korintji, dan
Mentawai. (4) Sumatera Selatan meliputi; Bengkulu (Redjang), Lampung (Abung,
Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang), Palembang (Anak
Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Samendo), Djambi (Batin dan Penghulu).
(5) Melayu, meliputi; Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur. (6) Bangka,
Belitung, (7) Kalimantan, meliputi; Dayak, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Pasir,
Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tajan, Dayak Lawangan,
Lepo-Alim, Lepo-Timai, Long Glat, Dayak Maanjai Patai, Dayak Maanjai Siung,
Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung Punan. (8) Minahasa,
Manado. (9) Gorontalo, meliputi; Bolaang, Mongondow, Boalemo. (10) Tana
Toraja, meliputi; Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja
Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai (11) Sulawesi Selatan, meliputi;
Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salaisar, Muna. (12)
Kepulauan Ternate, meliputi; Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan
40 Saparna, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar. (14) Irian Barat,
(15) Kepulauan Timor, meliputi; Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo,
Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Rote, Savu, Bima.
(16) Bali dan Lombok, meliputi; Tanganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem,
Buleleng. Djembrana, Lombok, Sumbawa. (17) Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, meliputi; Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur,
Surabaya, Madura. (18) Daerah kerajaan (Solo dan Yogyakarta). (19) Jawa Barat,
meliputi; Priangan Sunda, Jakarta dan Banten.44
Di Provinsi Lampung saja, misalnya, terdapat sebanyak 76 kesatuan
masyarakat hukum adat yang disebut marga. Keberadaan marga – marga tersebut
diakui oleh Gubernur melalui SK No. G/362/B.II/HK/96. Dasar keputusan
Gubernur Lampung dalam mengesahkan 76 masyarakat hukum adat di Lampung
adalah hasil – hasil penelitian pakar – pakar dalam adat dan kebudayaan
Lampung.45 Sedangkan di Provinsi NAD, jika mukim dan gampong dikategorikan
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, maka pada tahun 2006 terdapat 669
mukim dan 5958 gampong.46
44
Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Rangkaian Publikasi Hukum Adat dan Etnografi, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961. Hlm. 89-91.
45
Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo, Bagaimana Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, ICRAF Southeast Asia Policy Research Working Paper, Bogor, 2002.
46Aceh Dalam Rangka 2006
, kerjasama BPS dan BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 13.
Keberadaan mukim dan gampong sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat, telah di tetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi NAD dan Qanun Aceh Nomor
41 Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka akan dapat
dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut47
1. Terdapat masyarakat yang teratur;
:
2. Menempati suatu tempat tertentu;
3. Ada kelembagaan;
4. Memiliki kekayaan bersama;
5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan
lingkungan daerah;
6. Hidup secara komunal dan gotong royong.
Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka
dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau
kepemimpinan. Dalam hal ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas
wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai
kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-
hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk
mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang
menjadi tujuan tersebut terwujud.48
Di Indonesia, menurut Sandra Moniaga, kita seharusnya merasa beruntung
dengan adanya masyarakat –masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari seribu
komunitas. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa, karena ada
lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Dan,
ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu
47
Syarifah M, “Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”(Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2010), hlm. 21.
48Ibid
42 pengembangan khasanah Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal – hak lain
yang mereka sumbangkan.49
B.Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat
Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak
Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun
1986 meliputi50
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
:
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi;
4. Hak atas pendidikan;
5. Hak atas pekerjaan;
6. Hak anak;
7. Hak pekerja;
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
9. Hak atas tanah;
10. Hak atas persamaan;
11. Hak atas perlindungan lingkungan;
12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
13. Hak atas penegakan hukum yang adil.
49
Sandra Moniaga, Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No, 10/Tahun II/12 Juni 2002.
50
43 Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling
penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu
ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, di dalam
deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan
sumber daya alam ini diatur :
Pasal 26 ayat (1)
“Mayarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau
sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang
telah digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”
Pasal 26 ayat (2)
“Mayarakat adat memiliki hak
yang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak masyarakat
adat yang paling sering disuarakan, antara lain
untuk memiliki, menggunakan,
mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber
daya-sumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan
pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan
sumber daya sumber daya yang dimiliki dengan cara lain (Pasal 26 ayat 2
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”
Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hak
51
51
Yance Arizona., Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat.
http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_Institute_07-2010.pdf (diakses pada 08 Februari 2015)
44
1. Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola (menjaga,
memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2. Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk
peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat adat;
3. Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem
kepengurusan/kelembagaan adat;
4. Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim pengetahuan
(kearifan) dan bahasa asli.
Tabel 1. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang
No. Peraturan Hak – Hak Masyarakat Adat
1. Undang – Undang Pemerintahan
Daerah
Hak-hak trasisional masyarakat hukum
adat
2. Undang – Undang Hak Asasi
Manusia
a. Pengakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.
b. Identitas budaya masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat.
3. Undang – Undang Kehutanan a. Hak atas hutan adat
b. Mengelola kawasan untuk tujuan
khusus
c. Melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang
45
d. Melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang
Hak Ulayat. Hak ulayat dianggap masih
ada apabila memenuhi tiga unsur:
a. Unsur masyarakat adat
b. Unsur wilayah
c. Unsur hubungan antara
masyarakat tersebut dengan
wilayahnya
5. Undang – Undang Perkebunan Masyarakat adat berhak memperoleh
ganti rugi hak atas tanah mereka yang
digunakan untuk konsesi perkebunan
6. Undang-Undang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Hak-hak masyarakat adat, masyarakat
tradisional, dan kearifan lokal atas
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang telah dimanfaatkan secara
turun-temurun. Diberikan dalam bentuk hak
46
7. Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Keberadaan masyarakat adat, kearifan
lokal, dan hak-hak masyarakat adat
dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Mengenai fungsi hak-hak tradisional H.M. Koesnoe mengemukakan
terdapat empat fungsi yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam
persekutuan masyarakat hukum pedesan (adat) berkenaan dengan menjaga tata
harmoni antara masyarakat dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan,
Fungsi pemeliharaan roh, Fungsi pemeliharaan agama, dan Fungsi pembinaan
hukum adat.52
Mahyuni berpendapat hak-hak tradisional adalah hak-hak yang tercipta
dari, oleh dan untuk masyarakat dalam lingkup dan batas kehidupan masyarakat
yang bersangkutan sebagai warisan dari para leluhur mereka guna
mempertahankan kehidupan secara alami dan berkesinambungan. Prinsip yang Konstitusi tidak menjelaskan hak-hak apa saja yang harus dipenuhi negara
terhadap masyarakat adat. Di dalam konstitusi hak tersebut diistilahkan dengan
hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Sampai saat ini belum ada penjelasan
yang memadai untuk menjelaskan apa saja yang digolongkan menjadi hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat. Diseluruh peraturan perundang-undang yang
ada hanya menyalin saja rumusan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di
dalam konstitusi tanpa memberikan penjelasan.
52
47 terkandung di dalam hak-hak tradisional dimaksud adalah hak untuk
mempertahankan hidup secara biologis, sosial, nilai-nilai budaya maupun
kepercayaan mereka.53 Sedangkan Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian
hak-hak tradisional sebagai hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan
dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal – usul
(geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek-obyek adat lainnya, hak atas tanah
ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.54
Hak-hak tradisional yang merupakan hak derogable rights yang diberikan
oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh
pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak
sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Berikut ini adalah beberapa hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia yang keberadaannya ditetapkan
dalam beberapa peraturan perundangan55
1. Hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan
:
Terkait dengan masalah hutan adat di dalam undang-undang kehutanan
dijelaskan bahwa Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, termasuk di dalamnya hutan-hutan
yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat,
hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai
oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai
konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi
53
Mahyuni, “Pengakuan Dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta
Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan”. Makalah.
tanggal 11 Februari 2015)
54
Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.,
Loc.Cit
48 keluasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan
pemungutan hasil hutan.
2. Hak ulayat dan penguasaan tanah ulayat
Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air dalam Pasal 6 ayat (3) tetap diakui sepanjang masih ada dimana penguasaan
negara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat
masyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu, sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Hak pengelolaan atas ladang atau perkebunan
Pengelolaan hak atas tanah untuk usaha perkebunan sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan tetap
harus memperhatikan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi
serta kepentingan nasional.
4. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam
Pasal 63 ayat (1) huruf t yang berbunyi Pemerintah bertugas san berwenang untuk
49 hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian di dalam Pasal 63
ayat (2) huruf n juga dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi bertugas dan
berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada
tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana lingkungan hidup pada
tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal
63 ayat (3) huruf k bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berugas dan berwenang
untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengelolaan lingkungan hidup
pada tingkat Kabupaten/Kota.
5. Pengelolaan wilayah pesisir
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil menyatakan bahwa
Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat
tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
telah dimanfaatkan secara turun-temurun.
Hak-hak tradisional sebagaimana diatur dalam beberapa undang-undang
sejatinya adalah merupakan hak konstitusional juga karena pengakuan terhadap
hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya…”. Oleh karena itu semua hak tradisional masyarakat
50 Dalam perkembangannya, hak-hak tradisional masyarakat hukum adat
yang ada berpotensi dilanggar. Oleh karena itu, kesatuan masyarakat hukum adat
dapat menjadi Pemohon sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam UUD
NRI Tahun 1945 maupun undang-undang lain. Selanjutnya Mahkamah
berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum ada beserta hak-hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :
a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-perundangan.
Berikut akan dipaparkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang
dikelompokaan atas dua, yakni hak atas tanah masyarakat hukum adat dan hak
diluar hak atas tanah masyarakat hukum adat :
1. Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya
memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersumber pada
pandangan yang bersifat religius magis. Hubungan yang bersifat religius magis ini
menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah
tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang
hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di
51 ulayat, dan dalam literatur hak ini oleh Van Vollenhoven disebut
beschikkingsrecht.56
Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat berlaku ke luar dan ke dalam57
56
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1981), hlm. 103.
57Ibid
, hlm. 104.
Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak
diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan; hanya dengan seizin persekutuan
karena serta setelah membayar pancang, uang pemasukan (Aceh), mesi (Jawa)
dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan
(masyarakat hukum) dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta
menggunakan tanah wilayah persekutuan atau masyarakat hukum. Berlaku
kedalam, karena persekutuan sebagai suatu persekutuan yang berarti semua warga
persekutuan bersama-sama sebagai satu keseluruhan melakukan hak ulayat
dimaksud dengan memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan
binatang lain yang hidup diatasnya. Hak persekutuan ini pada hakekatnya
membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai
perseorangan. Pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan.
Bushar Muhammad dalam bukunya menyatakan bahwa terdapat empat hal
yang menjadi objek hak ulayat, yakni : tanah (daratan); air (perairan seperti
misalnya: kali, danau, pantai bersama perairannya); tumbuh-tumbuhan yang hidup
secara liat (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar,
52 Persekutuan masyarakat hukum adat dalam memelihara dan
mempertahankan hak ulayat dilakukan dengan cara58
a. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah
kekuasaannya itu. Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan
secara sempurna, lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut, tempat
tinggalnya tersebar dalam pendukuhan – pendukuhan kecil atau apabila dae
rah persekutuan tersebut, meliputi tanah – tanah kosong yang luas. :
b. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Petugas – petugas itu sering
disebut jarring (Minangkabau), teterusan (Minahasa), kepala kewang
(Ambon), lelipis lembukit (Bali). Disamping petugas khusus ini, biasanya
diadakan pula patroli perbatasan.
c. Dilakukannya surat-surat pikukuh atupun piagam yang dikeluarkan oleh
raja-raja dahulu, yang dikeluarkan sebagai keputusan hakim – hakim keraja-rajaan
ataupun hakim – hakim pemerintah kolonial Belanda dahulu atau oleh
pejabat- pejabat pamong praja lainnya yang berwenang.
Wilayah kekuasaan (beschikkingebied) persekutuan itu adalah milik
persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas
wilayah ini adalah tidak diperbolehkan. Dalam kenyataannya terdapat
pengecualian-pengecualian, oleh karenanya di atas tadi ditegaskan pada dasarnya
bersifat tetap.59
58Ibid
., Hlm. 105
59Ibid
53
2. Hak Lain diluar Hak Atas Tanah
Menurut Teuku Djuned, setiap persekutuan masyarakat hukum adat
mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa kewenangan dan hak-hak60
a. Menjalankan sistem pemerintahan sendiri,
:
b. Menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama
untuk kemanfaatan warganya,
c. Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya.
Keluar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum,
d. Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya, Hak
membentuk adat,
e. Hak menyelenggarakan sejenis peradilan.
C.Pengakuan Keberadaan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di
Indonesia
1. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
a. Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak – haknya mendapat
landasan hukum dalam Undang – Undang Dasar, yang dirumuskan dalam
penjelasan Pasal 18 Undang – Undang Dasar.
“Dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah itu mempunyai susunan asli,
60
54 dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah – daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah – daerah itu
akan mengingati hak – hak usul daerah tersebut. Negeri di Minangkabau dianggap
sebagai salah satu daerah yang bersifat istimewa, keistimewaan negeri ini sudah
beradab – adab dikenal orang. Negeri di Minagkabau diberi julukan republik
kecil, ada wilayahnya, ada masyarakat, dan ada penguasanya. Penguasa mulai dari
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Wilayahnya disebutkan dengan tanah
wilayah, sudah ada pengaturannya menurut adat, sistem pemerintahannya diatur
menurut keselarasan masing – masing. Demikian juga di bidang peradilan, ada
peradilan yang lebih dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Itulah
beberapa hak usul negeri tersebut seperti dimaksud oleh Penjelasan Pasal II Pasal
18 Undang – Undang Dasar, sebelum diamandemen. Hak asal – usul inilah selama
ini yang dihapus melalui UUPA dengan peraturan lainnya.61
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan Setelah Undang – Undang Dasar diamandemen, mengenai masyarakat
hukum adat dalam segi pengakuan, penghormatan, dan perlindungannya dapat
berpedoman pada Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang – Undang
Dasar perubahan kedua (tahun 2000).
Pasal 18 B ayat (2):
61
55 sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 28 I ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.”
Kalimat dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang – Undang Dasar tersebut masih
ditulis dalam tradisi kemutlakan dan hegemonial serta menunjukkan negara
betapa memiliki sekalian kekuasaan (authority) dan kekuatan (power) untuk
menentukan apa yang terjadi di NKRI ini, apakah hukum adat masih berlaku atau
tidak. Dilihat secara sosiologis hukum dalam memahami ketentuan di atas tidak
berangkat dari kemauan dan perintah Undang – Undang Dasar, melainkan dari
kenyataan mengenai hukum adat itu sendiri. Kehadiran hukum adat tidak
memikirkan dan mempertimbangkan apakah ia akan diakui atau tidak melainkan
karena ia harus muncul. Kata – kata “harus muncul” menunjukkan otentitas
hukum adat. Pada dasarnya ia muncul dari dalam kandungan masyarakat sendiri
secara otonom dan oleh karena itu disebut otentik. Dengan meminjam istilah Hart
(1961), maka hukum adat lebih dekat kepada orde “primary of obligation”
daripada hukum negara yang dibuat dengan sengaja (purposeful) dan karena itu
lebih dekat kepada orde “secondary rules of obligation”.62
Hukum adat bersemayam dan berkelindan kuat dengan budaya setempat.
Kata “budaya” di sini menunjukkan adanya unsur emosional tradisional yang kuat
dari hukum adat. Ia juga merupakan hukum yang sarat dengan penjunjungan nilai
– nilai (value laden) tertentu. Bahkan di wilayah – wilayah tertentu di Indonesia,
62
56 seperti Aceh, bagi para pemeluknya hukum adat adalah identik dengan hukum
agama. Maka dengan menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus
merasa berbudaya.63
1. “Sepanjang masih hidup”. Persyaratan tersebut perlu diteliti dengan seksama
dan hati – hati, tidak hanya menggunakan tolok ukur kuantitatif-rasional,
melainkan lebih dengan empati dan partisipasi. Kita tidak semata – mata
melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan
menyelami perasaan masyarakat setempat. Metodelogi yang digunakan adalah
partisipatif.
Berdasarkan perumusan Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Dasar
terdapat 4 syarat bagi eksistensi hukum adat sebagai berikut :
2. “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Syarat tersebut tidak ditafsirkan
dari segi ekonomi dan politik, melainkan dari kaca mata masyarakat setempat.
Penafsiran dari kedua segi tersebut mengandung resiko untuk memaksakan
(imposing) kepentingan raksas atas nama “perkembangan masyarakat”.
Masyarakat akan sulit untuk menghindar dari penetrasi teknologi dan itu akan
menimbulkan dinamika di dalam masyarakat tesebut. Yang ingin dikatakan di
sini adalah untuk memberi peluang dan dinamika masyarakat setempat itu
berproses sendiri secara bebas.
3. “Sesuai dengan prinsip NKRI”. Negara RI dan masyarakat lokal adalah satu
kesatuan tubuh. Keduanya tidak boleh dihadapkan secara dikotomis atau hitam
putih. Dipahami, bahwa masyarakat lokal atau adat adalah bagian dari dan
darah daging dari NKRI itu sendiri. Penelitian yang dilakukan berdasarkan
63Ibid
57 paradigma tersbut akan berbeda daripada yang melihat NKRI dan masyarakat
adat sebagai dua entitas yang berbeda dan berhadap – hadapan. Metode holistik
akan lebih cocok apabila digunakan paradigma tersebut.64
4. “Diatur dalam undang – undang”. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum.
Apabila negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka
kehidupan sehari –hari tidak akan berjalan dengan produktif. Banyak kejadian
telah membuktikan hal itu. Tahun 1960-an di Amerika Serikat terjadi
pergolakan sosial dan politik dan memunculkan masalah - masalah baru,
ternyata hukum yang ada gagal untuk memberi penyesalan. Contoh ini
menunjukkan bahwa hukum tidak hanya melihat ke dalam dirinya sendri dan
berpatokan pada rules dan logic, karena akan menghambat berlangsungnya
proses – proses produktif dalam masyarakat. Negara hukum tidak hanya
membutuhkan praksis yang didasarkan pada the logic of the law melainkan
juga social reasonableness. Di sini kita diingatkan Renner (1969) dengan kata
– kata bahwa the development of the law gradually works out is what is
socially reasonable.
b. Menurut Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam
TAP MPR No.IX/2001, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya
sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya
agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan
pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip:
64Ibid
58
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman
dalam unifikasi hukum;
d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi
partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/
sumber daya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik
untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan
antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam;
j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik
59 (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan
kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP
MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh
pemerintah dalam hal Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi,
dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat.65
c. Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok – Pokok Agraria
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –
Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA) adalah produk hukum yang
pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa
dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang – undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama”.
Dalam rumusan Pasal 5 ini jelaslah bahwa hukum adat yang berlaku atas
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka jika kita
65
60 penggal – penggal Pasal 5 tersebut maka akan terdapat beberapa statement sebagai
berikut66
1. Pro kepada kepentingan nasional, atau adanya prinsip nasionalitas, artinya
hukum adat itu menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga negara
Indonesia saja yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air dan ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan dalam semua
lembaga hak – hak atas agraria tersebut setiap kali akan menonjol, seperti
siapa yang boleh mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha. :
Pasal 9 UUPA jelas – jelas memantapkan statement tersebut dengan kalimat
“Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan dengan bumi,
air dan ruang angkasa, dalam batas – batas ketentuan Pasal 1 dan 2.”
2. Pro kepada kepentingan negara, dalam artian keluar, negara tidak akan
mengadakan suatu kompromi atau toleransi yang meniadakan hak – hak
bangsa Indonesia terutama prinsip nasionalitas tersebut, dan ke dalam,
kepentingan negara diatas segala – galanya sehingga kepentingan perorangan
harus mengalah jika kepentingan negara menghendakinya.
3. Pro kepada persatuan bangsa, artinya hukum adat menurut versi UUPA itu
menyatakan setiap warga negara Indonesia di manapun dia berada di wilayah
tanah air, sama berhak untuk boleh mempunyai hak – hak agraria.
4. Pro kepada sosialisme Indonesia, artinya di sini bahwa pengertian sosialisme
Indonesia tersebut sebagai Pancasila.
66
61
5. Bahwa seterusnya hak – hak adat itu tunduk kepada ketentuan umum diatur
oleh UUPA oleh peraturan sejenis yang lebih tinggi, berarti UUPA atau
peraturan lain yang diterbitkan akan merupakan hukum yang umum,
sedangkan hak – hak adat itu akan tunduk kepada perubahan atau penetapan
dari hak – hak agraria yang akan dituangkan dalam undang – undang atau
peraturan pemerintah lainnya, sehingga akan menyesuaikan kepada hukum
umum yang diatur oleh pemerintah, dan tidak boleh menyimpang dan
bertentangan dengan hukum umum yang sengaja diadakan untuk itu.
6. Bahwa sebagai ciri khusus dari UUPA, lembaga hukum agama (Islam) sudah
merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UUPA tersebut artinya
sudah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya tanah wakaf.
Didalam pasal ini sebagaimana yang tercantum didalam mukadimah dari
LN. 1960-104 yang menyatakan bahwa hukum adat diberikan kembali sebagai
dasar hukum yang sudah lama tidak mendapatkan kedudukan pada masa
Pemerintahan Kolonial, dengan demikian setelah kemerdekaan Republik
Indonesia, maka tidak dimungkinkan adanya dualisme hukum dan tentu adanya
reorientasi terhadap pelaksanaan hukum Indonesia yang akan mampu serta dapat
memahami jiwa dari hukum adat tersebut.67
Didalam penjelasan umum III dalam konsiderans/berpendapat huruf c
disebutkan hukum adat sebagai hukum tanah nasional dengan sebagian terbesar
rakyat Indonesia dengan demikian hukum adat yang oleh UUPA dijadikan sebagai
dasar Hukum tanah Nasional tersebut, bukan hukum adatnya golongan timur
asing menurut pengertian C. van Vollenhoven dan juga bukan hukum adat
67
62 menurut pengertian Kusumadi Pudjosewojo, melainkan hukum aslinya golongan
Pribumi, oleh karena itu tidak ada alasan untuk meragukan bahwa yang
dimaksudkan dengan UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum aslinya
golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak
tertulis dan yang mengandung unsur – unsur Nasional yang aslinya yaitu sifat
kemasyarakatakan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi
oleh suasana keagamaan.68
Seyogyanya dapat diterima hukum adat seperti yang dikatakan oleh Boedi
Harsono “hukum adat yang disaneer” atau oleh Sudargo Gautama disebutkannya
sebagai Hukum Adat yang “diretool”.Namun setidak – tidaknya seperti yang
disinggung adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat – sifatnya yang khusus
daerah dan diberi sifat nasional.69
Dengan demikian didalam Pasal 5 ini dapat disimpulkan bahwa agraria
yang berlaku berdasarkan hukum adat bukanlah merupakan hukum adat yang
murni akan tetapi hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang dapat
menyesuaikan dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku demi kepentingan
bangsa dan negara atau dengan kata lain hukum adat dapat menyesuaikan dengan
situasi dan keadaan yang berkembang ditengah – tengah masyarakat, sehingga
tidak dimungkinkan lagi dikembangkan hukum adat yang murni yang selama ini
kita pelajari, contoh sederhana tentang pewarisan yang berdasarkan Matrilinial
(keibuan) di Minangkabau Sumatera Barat seseorang anak laki – laki tidak
mempunyai hak atas sebidang tanah, namun sebaliknya di masyarakat suku batak
atau karo yang berdasarkan Patrilinial (Kebapaan) yang lebih berhak atas tanah
68
Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta, 1975.
69
63 adalah anak laki – laki (patrilinial), dengan demikian didalam ketentuan UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 tidak akan membedakan antara anak laki – laki dan
perempuan untuk memperoleh hak atas tanah.70
Pasal 3 ini jika dikaitkan kepada Pasal 58 UUPA yang mengakui masih
berlakunya hak – hak ulayat maupun hak – hak lain sejenis yang tidak
bertentangan dan selama belum diatur khusus, maka apa yang menjadi petunjuk
yang diatur oleh Pasal 3 ini jika dipenggal akan menjadilah dia sebagai
Konsep kepemilikan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat tertanam
dalam UUPA. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan : “Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.”
71
a. Bahwa hak ulayat itu masih terdapat dalam masyarakat dan masih ada atau
(masih merupakan kenyataan hidup) artinya hak ulayat itu masih berfungsi
dalam masyarakat dan masih dipatuhi oleh masyarakat sebagai suatu lembaga
dalam masyarakatnya.
:
b. Harus disesuaikan dengan kepentingan nasional, artinya ada prinsip
nasionalitas, yaitu sungguhpun diketahui menurut hukum adat ada sejumlah
justiabelnya menurut hukum adat masih berhak atas tanah hak – hak adat di
70
Affan Mukti, Pembahasan Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ( Medan : USU Press, 2010), hlm.38.
71
64 daerah asalnya, namun karena mereka bukan lagi warga negara Indonesia
maka hak – hak mereka menjadi terdinding.
c. Harus disesuaikan dengan kepentingan negara, apa yang dimaksud dengan
pro kepentingan negara tersebut.
d. Harus berdasarkan kepada persatuan bangsa, artinya hak ulayat itu selama ini
melayani hanya orang yang menjadi anggota suku itu saja dan orang luar
sukunya hanya boleh mempunyai sesuatu hak setelah membayar suatu
rekognisi (atau di suku Batak dinamakan Pago – Pago).
Dalam setiap konsep ini maka setiap warga negara Indonesia di manapun dia
berada di dalam wilayah Indonesia sama berhak dengan lain – lain suku
bangsa untuk mempunyai hak – hak Agraria.
e. Akhirnya bahwa Hak Ulayat itu seterusnya untergeordnet kepada undang –
undang maupun peraturan lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah
Indonesia. Dengan demikian biarpun hak ulayat itu adanya sebelum UUPA,
namun kemudian harus seirama dan sejalan dan tunduk kepada ketentuan
ketentuan umum yang dibuat untuknya dalam konteksnya keberlakuannya di
Indonesia.
Dalam pengertian ini dengan jelas bahwa hak ulayat adalah milik
masyarakat hukum adat. Pemahaman serupa juga dianut oleh UUPA dengan
mengatakan bahwa masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat dilarang
untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha (HGU) atau menolak
pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan makanan dan pemindahan
65 UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek
yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada
tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek.72
d. Menurut Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Undang – Undang Nomor No.39 tahun 1999 boleh dibilang sebagai
operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak
masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU
No.39 Tahun 1999, menyebutkan:
1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat, dan pemerintah.
2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang
secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat
hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan
penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan
memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk
ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas
budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata
dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan
72
66 dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang
berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
e. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-undang kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum
adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan
masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur73
a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap);
:
b) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya;
c) Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang
masih ditaati;
e) Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Terdapat dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat
hukum adat74
, yakni : Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan juga bahwa
penguasaan hutan oleh ngeara bukan merupakan kepemilikan, namun negara
memberi sejumlah kewenangan kepada pemerintah, termasuk kewenangan untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang
kehutanan. Hak menguasai negara membawa konsekuensi dimasukkannya hutan
yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan
67 atas tanah menurut UUPA, tetapi juga mencakup hutan yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat atau yang biasa disebut dengan hutan adat.
Kedua, dimasukannya hutan negara tidak lantas meniadakan hak-hak
masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun,
masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan keberadaannya
lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan apabila
masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 syarat, yakni :
1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap);
2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3) ada wilayah hukum adat yang jelas;
4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
5) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
f. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang
bertugas mengawal konstitusi secara langsung turut serta dalam penegakan hak –
hak asasi manusia. Hal ini merupakan hakikat pengertian dari konstitusi itu sendiri
sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi yang melindungi hak-hak asasi
manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang yang hidup dalam
negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi pada essensinya adalah untuk
membatasi kekuasaan yang ada dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa dan
68 manusia secara menyeluruh, maka peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi
langsung sebagai aparatur penegak hak asasi manusia secara menyeluruh.75
Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar, terlebih dahulu harus jelas kedudukan hukum
(Legal Standing) yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyebutkan,
yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu undang-undang, yaitu
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan
perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kesepuhan Cisitu.
76
a) Perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama); :
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c) Badan hukum publikatau privat;
75
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op.Cit. hlm. 75.
76
69
d) Lembaga Negara.
Beberapa pasal yang menjadi dalil pertimbangan hak konstitusional yang
dimiliki pemohon adalah Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2)77, Pasal 28D ayat
(1)78, Pasal 28G ayat (1)79, Pasal 28I ayat (3)80, dan Pasal 33 ayat (3)81
Berdasarkan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan
putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing) serta
dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, Mahkamah
mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon dan
menurut Mahkamah, Pemohon I adalah badan hukum privat yang peduli
memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat, sedangkan Pemohon II dan
Pemohon III adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara potensial
dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal Undang-Undang Kehutanan yang
dimohonkan pengujian, dan apabila dikabulkan maka kerugian konstitusional
seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga terdapat
beberapa pasal dalam Undang-Undang Kehutanan yang menjadi dasar kerugian
hak-hak konstitusional pemohon.
77
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945).
78
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945).
79
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dancharta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan daricancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (Pasalc28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945).
80
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945).
81
70
Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 memberi pengertian masyarakat hukum adat
sebagaimana tertulis dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
yakni “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yng diatur dalam Undang-undang”. Norma ini juga terdapat dalam
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik.
Satcipto Rahardjo mengungkakan empat klausula yuridis yang menjadi
kriteria eksistensi masyarakat hukum adat disertai komentarnya sebagai berikut82
a) “Sepanjang masih hidup”
:
Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari
dalam, dengan menyalami perasaan masyarakat setempat (pendekatan
partisipatif).
b) “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”
Syarat ini mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan
raksasa atas nama “perkembangan masyarakat”. Tidak memberi peluang
untuk membiarkan dinamika masyarakat setempat berproses sendiri secara
bebas.
c) “Sesuai dengan prinsip NKRI”
82
71 Kelemahan paradigm ini melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua
antitas yang berbeda dan berhadap-hadapan.
d) “Diatur dalam undang-undang”
Indonesia adalah Negara berdasar hukum, apabila dalam Negara yang
demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan
sehari-hari tidak akan berjalan dengan produktif. Hukum yang selalu ingin mengatur
ranahnya sendiri dan merasa cakap untuk itu telah gagal (bila tidak
melibatkan fenomena sosial lainnya).
Dengan demikian, masyarakat hukum adat dapat melakukan atau
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selaku
pemohon pengujian undang-undang) selama masyarakat hukum adat tersebut
masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan RI.
2. Perkembangan Masyarakat Hukum Adat
Perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini
merosot tajam sejak tahun 1960, seiring dengan meningkatnya kepentingan negara
terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah
ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa.
Dengan berbagai peraturan perundang-undangan, Negara mengembangkan
berbagai kebijakan, yang intinya adalah mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat
72 dapat dikatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan negara yang
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional
serta hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.83
Sejak reformasi bergulir tahun 1998 sudah banyak peraturan perundang -
undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat
atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasar lainnya. Berbagai produk
legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari konstitusi sampai peraturan
desa. Pada level konstitusi misalkan dipertegas dengan keberadaan Pasal 18B ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945. Kemudian sejumlah undang-undang khususnya yang
terkait dengan sumber daya alam berisi pengakuan atas keberadaan hak-hak
masyarakat adat. Seakan tidak lengkap sebuah peraturan bila tidak berisi
pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini sangat Masyarakat hukum adat tidak hanya berdiam diri terhadap pengurangan,
pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. Di seluruh
Nusantara telah terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga
masyarakat hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk dalam
mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu. Mereka tidak berada
pada posisi membela diri, karena tidak mempunyai akses pada kekuasaan, baik
pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif.
83
73 dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dan para
pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak mengatur ulang
hubungan antara masyarakat adat dengan negara. Reposisi hubungan antara
masyarakat adat dengan negara nampak dalam semboyan yang dikumandangkan
pada saat pendirian AMAN pada tahun 1999: “Bila negara tidak mengakui kami,
maka kami tidak mengakui negara.”84
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Meskipun
Permenag itu mengatur bahwa penyelesaian hak ulayat masyarakat adat dapat
diulakukan dengan Perda, tetapi pada kenyataanya diterjemahkan bahwa Perda
dapat dipakai untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas
tanah. Politik pengakuan (politic of recognition) menjadi kata kunci dalam
memperlakukan masyarakat adat pada situasi kontemporer.
Tidak berhenti pada level nasional, pada level daerah pun terdapat
sejumlah inisiatif serupa. Hal sejalan dengan semangat desentralisasi dan juga
diinspirasikan oleh lahirnya Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1999 tentang
85
Latief Fariqun
mendefinisikan pengakuan sebagai86
84
Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan
Hukum
:
“… pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara” (Fariqun, 2007:81).
85
Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan
Hukum
86
74 Pergeseran paradigma itu tidak lagi memposisikan masyarakat hukum adat
sebagai kelompok tradisional yang perlu dimodernkan dengan tolak ukur orang
kota, yang ‘mendesak’ perubahan pola sosial ekonomi masyarakat adat ke dalam
kategori kesejahteraan menurut penguasa. Hal ini sejalan pula dengan semangat
zaman yang melampaui paham linearitas dari tradisional ke modern. Dalam
paham lama ini, semua masyarakat adat harus dimodernkan, diubah gaya hidup
dan cara produksinya menjadi sebuah model tunggal yang mudah dikendalikan.87
Cara pandang bahwa semua masyarakat dapat direkayasa agar berubah
dari tradisional ke modern sudah mulai ditinggalkan. Diganti dengan pandangan
bahwa masyarakat akan menentukan sendiri perubahannya sebagai sebuah subjek
yang memiliki sejarah, peradaban dan kepentingannya masing-masing.88
memiliki kapasitas daya tahan dan daya lenting yang kuat ketika menghadapi
perubahan. Oleh karena itu, istilah pemberdayaan perlu mendapatkan porsi yang
pas sehingga tidak malah meremehkan masyarakat hukum adat, tetapi disisi lain Hal ini
sejalan dengan paradigma post-modern yang bertujuan menyediakan keberagaman
agar masing-masing subjek dapat berinteraksi dalam ruang sosial yang bersaing.
Cara pandang bahwa masyarakat hukum adat merupakan subjek yang
lemah dan perlu diberdayakan sudah mulai bergeser. Istilah pemberdayaan
beranjak dari asumsi bahwa masyarakat hukum adat merupakan kelompok yang
lemah, lumpuh, tidak tahu apa-apa, tidak tahu mana yang baik untuk
kepentingannya sendiri, sehingga perlu dibantu berjalan mengarungi
kehidupannya. Padahal, sudah diakui secara global bahwa masyarakat hukum adat
87Ibid
.
88Ibid