• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia

Dalam dokumen PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANS (Halaman 38-44)

BAB I. PENDAHULUAN

D. Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia

Moore dan Shcultz (dalam Crandall, 1989) melakukan penelitian tentang bagaimana peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian yang dialami oleh lansia. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel lansia sebanyak 27 laki-laki dan 32 perempuan yang tergabung dalam sebuah organisasi di South Carolina. Pengukuran dilakukan dengan skala UCLA Loneliness (Russell, Peplau, & Cutrona, 1980), skala Self-esteem (Rosenberg, 1965), skala Zung Depression (Zung, 1965), dan skala mengenai ketertarikan, kebahagiaan, kenyamanan hidup, frekuensi dan durasi kesepian serta peran tanggung jawab terhadap kesepian dan kontrol kesepian yang dilakukan lansia. Hasil pengukuran yang didapat dari peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian berkorelasi positif dengan penurunan kesepian. Lansia yang dapat bertanggung jawab atau dapat dikatakan sadar terhadap kesepian yang dialami dan mengontrol kesepian tersebut mengalami peningkatan harga diri, kenyamanan hidup, dan penurunan depresi.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa lansia tidak dapat menghindari kesepian, dengan kata lain, lansia rentan terhadap kesepian. Oleh karena itu untuk meringankan kesepian yang dialami,

lansia perlu memilih langkah atau strategi dengan menghindari kesalahan yang berasal dari dirinya sendiri misalnya merasa tidak berguna lagi karena sudah tua. Tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian bukan sebuah penyebab mengapa lansia harus melakukan hal ini, melainkan konsekuensi yang harus diambil oleh lansia. Peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian dinilai penting karena hal ini membangun strategi koping yang efektif untuk mengurangi kesepian dan meningkatkan rasa mampu pada lansia.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mullins, Johnson, dan Anderson (dalam Crandall, 1989). Mereka meneliti tentang pengaruh keluarga dan teman terhadap pengalaman kesepian yang dialami lansia. Sampel yang diambil sebanyak 131 orang dengan usia rata-rata 62 tahun dan tinggal di sebuah apartemen yang memang disediakan untuk para lansia di Florida city. Apartemen ini sangat bebas, tidak ada komunitas, tidak ada tempat makan malam bersama, tidak menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan. Lansia yang tinggal di apartemen ini sebagian besar masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik dan belum mengalami sakit kronis atau masih dapat berjalan dengan baik.

Pengukuran dilakukan dengan skala UCLA Loneliness dan wawancara menggunakan instrumen yang dimodifikasi dari Andersson (1984). Ada dua pertanyaan pilihan yang diajukan yaitu : “Normalnya, berapa kali Anda biasanya bertemu dengan anak, cucu, saudara, dan anggota keluarga lainnya atau teman dan kenalan lainnya?” dengan pilihan

jawaban : tidak ada (0), pada kenyataanya tidak pernah (1), satu atau beberapa kali setiap tahun (2), satu kali dalam setiap bulan (3), satu kali setiap minggu (4), beberapa waktu dalam satu minggu (5). Pertanyaan yang kedua, “Umumnya, bagaimana situasi hubungan Anda dengan mereka? Bagaimanakah tentang keinginanmu tentang hubunganmu dengan orang-orang tersebut, apakah cukup dengan hanya bertemu saja atau Anda menginginkan lebih, kurang atau sama antara hubungan Anda dengan anak, cucu, saudara, anggota keluarga yang lain (termasuk orang tua), tetangga, teman dan kenalan lain” dengan pilihan jawaban : tidak relevan (0), tidak cukup banyak (1), sedikit (2), biasa-biasa saja (3), cukup banyak (4), dan banyak (5).

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lansia yang tidak memiliki anak dan cucu lebih tidak merasa kesepian dibanding lansia yang memiliki anak dan cucu. Di antara hubungan yang ada tersebut, kuantitas hubungan lansia dengan keluarga tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesepian. Di sisi lain, hubungan yang baik dengan tetangga dan teman memperlihatkan penurunan kesepian. Penemuan ini menjadi sebuah wawasan baru bagi beberapa ahli. Frekuensi hubungan dengan keluarga yang cukup tinggi berhubungan dengan penurunan kesepian. Selain itu, kesepian akan menurun ketika lansia memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya daripada hubungannya dengan keluarga. Isu keterpisahan relasi dalam diskusi penelitian difokuskan pada keinginan subjektif untuk

menjalin hubungan dengan keluarga dan teman yang berpengaruh pada perasaan kesepian.

Hasil diskusi mengindikasikan bahwa adanya perbedaan hubungan antara keluarga dan teman dengan kesepian. Walaupun hubungan dengan keluarga tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kesepian, namun keinginan yang sangat besar untuk berhubungan dengan keluarga berelasi dengan meningkatnya kesepian. Di lain pihak, lansia yang memiliki hubungan yang nyata dengan teman atau tetangga berpengaruh pada menurunnya kesepian. Kesimpulannya, keluarga dan pertemanan memiliki pengaruh terhadap kesepian yang dialami lansia. Ketika lansia memiliki keinginan untuk bertemu dengan keluarga namun tidak tercapai, ada teman yang dapat menggantikan dan mengatasi keinginannya yang tidak tercapai tersebut sehingga kesepian yang dialami lansia menurun.

Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai pengalaman kesepian yang dialami lansia di panti wreda ditemukan bahwa lansia hanya mengalami kesepian yang ringan karena lingkungan panti yang cukup kondusif untuk para lansia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Juniarti, dkk (calon perawat) tahun 2008 di Panti Tresna Wreda Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai jenis dan tingkat kesepian pada lansia yang tinggal di panti tersebut. Pengukuran dilakukan menggunakan skala UCLA Loneliness dengan 20 pertanyaan, 11 pertanyaan yang menunjukkan kesepian dan 9 pertanyaan menunjukkan tidak kesepian. Subjek yang diambil sebagai

sampel sebanyak 95 orang dari 150 orang lansia yang tinggal di panti tersebut. Hasil menunjukkan bahwa 16 orang tidak mengalami kesepian, 66 orang mengalami kesepian ringan, 11 orang mengalami kesepian sedang dan 2 orang mengalami kesepian berat.

Hasil ini didukung oleh hasil observasi yaitu adanya kegiatan rohani yang diwajibkan untuk lansia sehingga lansia mengalami pengalaman spiritualitas yang baik, lingkungan panti yang mendukung dan perawat yang melayani dengan cukup baik. Selain itu, dari hasil wawancara dengan beberapa lansia, para lansia mengungkapkan bahwa ketika mereka merasa kesepian karena jauh dengan keluarga, mereka dapat berbincang-bincang dengan teman lansia yang lain sehingga rasa kesepian dapat terobati. Jenis kesepian yang sering dialami lansia adalah kesepian emosional, kesepian yang merujuk pada kurang adanya hubungan yang dekat dan perhatian dari lingkungan sosialnya (Weiss dalam Sharma, 2002). Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan lansia, lansia mengungkapkan bahwa mereka hanya bergaul dengan sesama lansia saja dan mereka merasa jenuh dengan kegiatan yang ada di panti.

Dari hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kesepian yang dialami lansia yang tinggal di Panti Wreda disebabkan oleh adanya keinginan untuk berhubungan dengan keluarga namun pada kenyataannya keluarga jauh dari lansia. Keinginan ini membuat lansia merasa tidak memiliki hubungan dengan orang lain dan kurang adanya perhatian yang ditujukan pada lansia sehingga lansia mengalami kesepian

secara emosional. Kesepian yang dialami lansia memang tidak dapat dihindari, namun lansia dapat menguranginya dengan secara sadar menghadapi dan mengontrol kesepian tersebut. Lansia menjalin hubungan dengan teman sebayanya untuk menggantikan hubungan dengan keluarga yang diinginkan atau dirindukannya.

Penelitian sebelumnya hanya mengungkap faktor-faktor penyebab, akibat dan cara mengatasi kesepian yang dialami lansia secara kuantitatif. Penelitian sebelumnya kurang dapat memberikan saran secara personal bagi lansia yang mengalami kesepian sesuai dengan pengalamannya. Pada penelitian ini, peneliti berusaha mengungkap bagaimana proses pengalaman kesepian dialami lansia dan bagaimana lansia mengatasi kesepiannya tersebut dengan metode kualitatif. Proses pengalaman akan diungkap dari sebelum hingga kesepian dialami oleh subjek. Proses pengalaman kesepian mengacu pada dinamika psikologis yang dialami subjek secara personal sehingga membantu subjek untuk lebih menyadari proses kesepiannya melalui member checking. Ketika subjek sudah menyadari proses kesepian yang dialami, subjek akan lebih mudah mengatasi kesepian yang dialami. Hasil penelitian ini juga dapat membantu pengelola panti wreda dan keluarga subjek supaya lebih memperhatikan kebutuhan dan masalah yang dihadapi subjek.

Dalam dokumen PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANS (Halaman 38-44)

Dokumen terkait