• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANS"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Debora Ratri Widaningtyas NIM: 08 9114 055

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

memberikan kekekalan dalam hati mereka” (Pengkhotbah 3:11)

WHAT EVER YOU ARE, BE A GOOD ONE

-Abraham Lincoln-

Bebas seperti burung dan indah seperti pelangi,

karena hidup adalah kepunyaanmu

URIP SEJATINE GAWE URUP

(5)
(6)

vi ABSTRAK

Kebanyakan lansia memilih sendiri dimana mereka tinggal. Banyak lansia yang memilih untuk tinggal sendiri karena anak-anak mereka sudah menikah dan membentuk keluarga. Hal ini menjadi salah satu penyebab lansia rentan terhadap kesepian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda. Pertanyaan penelitian adalah bagaimana proses kesepian dialami lansia yang tinggal di panti wreda, apa penyebab dan akibat dari kesepian dan bagaimana lansia mengatasi kesepian yang mereka alami. Subjek dalam penelitian ini adalah lansia perempuan yang tinggal di panti wreda bejumlah dua orang. Data penelitian diambil dengan cara wawancara semi-terstruktur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologi deskriptif. Kredibilitas diperoleh dengan cara member checking, yaitu dengan mencocokkan kembali data hasil analisis pada subjek untuk mencapai kesesuaian data hasil analisis dengan pengalaman nyata dari subjek. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kesepian yang dialami berawal dari kehilangan pekerjaan selanjutnya kesepian dialami sebagai kehilangan orang-orang yang disayangi. Selain itu, kesepian dialami sebagai ketidakberdayaan karena penurunan fisik, kesepian merupakan efek dari hidup yang jauh dari keluarga dan kesepian dialami karena tidak adanya teman yang memahami. Lansia mengatasi kesepian yang dialami dengan cara berdoa untuk meregulasi emosinya, berbagi dengan teman di panti, menerima dan bersyukur atas keadaan mereka saat ini.

(7)

vii

ABSTRACT

Most elderly chose their own place where they lived. Many elderly who chose to live alone because their children are married and already started their own family. This was one of the reason that the elderly are prone to loneliness. This study aimed to describe the loneliness which experienced by elderly who lived in a nursing home. The research question was how the loneliness were experienced by elderly who lived in a nursing home; what were the causes and consequences of loneliness and how the elderly coped with loneliness that they experienced. Subjects in this study were two elderly women living in nursing home. The research data were collected by semi-structured interviews. This study used qualitative research methods with descriptive phenomenological analysis. Credibility was obtained by the use of member checking, which involved matching the result from data analysis on each subject. The results suggested that: firstly, loneliness experienced in the form of job losses. Eventually, the loss of loved ones also experienced as loneliness. In addition, loneliness also experienced as a helplessness regarding physical limitation, living far away from family and the absence of an understanding friend. The elderly overcame loneliness by praying to regulate their emotions, sharing with friends in nursing home, receiving and be thankful for their current condition.

(8)
(9)

ix

mengijinkan peneliti untuk menikmati kehidupan sampai saat ini, terlebih untuk menyelesaikan karya yang berjudul “Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia yang Tinggal di Panti Wreda Hanna Yogyakarta”.

Karya ini ditulis karena kepedulian peneliti pada lansia yang tinggal sendiri tanpa anak. Peneliti ingin mengetahui bagaimana lansia bejuang untuk bertahan hidup dalam kesendirian.

Peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini berkat dukungan dan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, dengan segenap hati peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing akademik. Terimakasih untuk setiap kesempatan dan bimbingan selama peneliti studi.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Psi., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S., selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk setiap bimbingan, kesabaran, kasih, kebaikan dan keibuan yang peneliti rasakan. I love u like I love my mom.. makasih ibu..

(10)

x tentang kehidupan.

5. Segenap dosen dan karyawan fakultas Psikologi yang telah memberikan kesempatan dan bantuan selama proses kuliah. Terutama untuk bu Agnes, Bu Susan, dan Mbak Etta terimakasih untuk kedekatan yang terbangun dan kesempatan berbagi tentang kehidupan. Pak Didik, terimakasih sudah membuat peneliti terkagum. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji dan Mas Doni, terimakasih untuk setiap bantuan dan keceriaan selama ini, inilah yang membuat peneliti bangga berkuliah di Psikologi Universitas Sanata Dharma.

6. Kedua subjek yang telah bersedia bercerita tentang kehidupannya di panti wreda. Terimakasih atas pengalaman hidup yang subjek berikan, peneliti belajar banyak dari kedua subjek.

7. My best mother, Esther Sri Wahyuni (alm), karya ini buat mama..walaupun mama tidak dapat melihat secara langsung, tapi aku yakin mama bahagia melihat dari sana, anak ragilmu sudah besar ma... I miss u so much... dan kau tak akan pernah tergantikan..

(11)

xi perpanjangan tangan Tuhan.

10. My amazing Remponk Inem, Valle, Devi, Krinyol, Anggito, Beni, Dita, Sari, Hesti, Plenthonk, Anggita, Cik Grace, Valent, Nina, Riana, Vivi, Fla. Terimakasih untuk warna-warni kalian selama ini.

11. Laksita Sepastika Pinaremas yang sudah menjadi teman seperjuangan sampai titik darah penghabisan. Tengs ta, untuk kebersamaan kita, kegilaan kita tentang kualitatif ini, tidak akan terlupakan lah..

12. Yohanes Dedeo Yustiananta yang sudah membuat Septemberku sempurna.. thank you for loving me... terimakasih atas warna dominanmu dalam pelangiku...

13. My besties, Gendut dan Okonk, terimakasih untuk canda dan tawanya. 14. Teman-teman AKSI 2012 (Indro, Popo, Ucil, Rimpi, Widek, Yuti, Wina, Bayu, Gandrink, Dion dll) terimakasih untuk setiap ilmu dalam tawa kita. Teman-teman staff PPKM 2012 dan teman-teman ADT terimakasih untuk setiap pengalaman bersama kalian.

15. Teman-teman satu bimbingan, Sita, Puput, Mila, dan Dita. Terimaksih untuk kebersamaan dan kegalauan dikala menunggu ibu untuk bimbingan. Waktu bersama kalian ga terlupakan deh…

(12)

xii

18. Mas Jaya, yang sudah mengadakan ujian pendadaran bagi peneliti sebelum peneliti menghadapi ujian pendadaran yang sesungguhnya. Terimakasih sudah diajari ngeles, kalo ga ada kamu tau deh mas gimana aku pas ujian..hehe..

19. Heimbach... Tengs untuk abstract-nya heims.. hihihi...

20. Keluarga besar TN yang sudah menjadi penghibur bagi peneliti, hehe.. 21. Semua teman-teman angkatan 2008 dan semua pihak yang sudah

membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

(13)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK .. ... vi

ABSTRACT . ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ... ix

DAFTAR ISI ... ... xiii

DAFTAR TABEL . ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1

A... Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Bagi Subjek ... 10

2. Bagi Pihak Panti Wreda ... 10

(14)

xiv

B. Kesepian ... 16

C. Koping ... . 19

D. Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia yang Tinggal di Panti Wreda ... 21

E. Pertanyaan Penelitian ... 27

BAB III. METODE PENELITIAN ... 29

A. Jenis Penelitian ... 29

B. Fokus Penelitian ... 30

C. Subjek Penelitian ... 30

D. Metode Pengambilan Data ... 31

E. Metode Analisis Data ... 33

F. Kredibilitas Penelitian ... 35

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Pelaksanaan Penelitian ... 38

1. Persiapan Penelitian ... 38

2. Pelaksanaan Penelitian ... 39

B. Profil Subjek ... 41

1. Subjek 1 ... 41

2. Subjek 2 ... 44

C. Hasil Penelitian ... 48

(15)

xv

secara Umum ... 65

D. Pembahasan ... 68

1. Pengalaman dan Proses Kesepian ... 69

2. Koping ... 83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Keterbatasan Penelitian ... 93

C. Saran ... 93

1. Bagi Pihak Panti Wreda ... 93

2. Bagi Keluarga Lansia yang Tinggal di Panti Wreda ... 94

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(16)

xvi

(17)

xvii

Gambar 1 Kerangka Penelitian Pengalaman dan Koping Kesepian

(18)

1 A. LATAR BELAKANG

Kebanyakan lansia memilih sendiri dimana mereka harus tinggal. Ada lansia yang tinggal bersama keluarga, ada yang memilih untuk tinggal sendiri dan ada juga yang memilih untuk tinggal di panti jompo atau panti wreda. Namun, sebagian besar lansia tinggal bersama keluarga mereka (Santrock, 1995/2002). Lansia yang memilih untuk tinggal sendiri atau di panti wreda mayoritas adalah lansia yang ditinggal oleh pasangannya. Lansia yang memilih sendiri untuk tinggal di panti wreda beralasan bahwa mereka dapat melakukan aktivitas dan mengurus dirinya sendiri serta lebih merasa tenang tanpa merepotkan anak-anaknya. Namun ada juga lansia yang menerima atau terpaksa tinggal di panti wreda karena dititipkan oleh anak atau keluarganya karena kesibukan anak dan keluarga sehingga mereka tidak ada waktu untuk merawat lansia. Keluarga atau anak yang menitipkan lansia ke panti wreda, seringkali beralasan bahwa mereka ingin orangtua mereka (lansia) mendapatkan perawatan yang sesuai dengan penurunan-penurunan yang dialami lansia. Menurut mereka, panti wreda lebih mengerti tentang merawat lansia dibanding diri mereka (Nurbyantandaru, 2007).

(19)

lansia yang tinggal di panti wreda akan mengalami kesulitan untuk meninggalkan rumah dan benda-benda kesayangannnya bahkan hewan peliharaannya dan tinggal bersama orang-orang baru yang ada di panti. Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang ada di panti. Selain itu, mereka juga merasakan jauh dari keluarga yang biasa ditemuinya setiap hari. Mereka juga harus mematuhi segala peraturan yang ada di panti dan mentaati apa yang dikatakan oleh perawat mereka. Hal inilah yang menimbulkan kesepian bagi lansia (Fakhrurrozi, 2008). Di lain pihak, masyarakat sering membentuk stereotip-stereotip bahwa penyedia layanan perawatan bagi lansia memiliki sikap-sikap negatif pada lansia seperti menjauhi, rasa tidak suka, dan bersungut-sungut dibandingkan sikap positif dan penuh harapan (Santrock, 1995/2002). Hal ini yang sering menjadi sumber masalah bagi para lansia yang tinggal di panti wreda. Selain itu, pihak pengelola panti wreda seringkali mengeluhkan bahwa kunjungan keluarga bagi para lansia yang telah dititipkan di panti wreda dinilai jarang. Padahal kunjungan sangat dibutuhkan oleh para lansia sebagai bentuk dukungan atau perhatian supaya lansia tidak merasa diasingkan (Nurbyantandaru, 2007).

(20)

bangun pagi lalu mandi, membaca koran, lalu ada ibadah sebentar, dan sarapan. Setelah itu, mereka memiliki jam bebas, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka suka. Keluarga dapat menjenguk di jam bebas ini. Para lansia yang tidak dijenguk oleh keluarga, mereka hanya duduk dan menonton TV atau hanya sekedar berbincang bersama teman-teman lansia. Kegiatan di siang hari hanya makan siang dan istirahat. Setelah itu mandi sore dan jam bebas lagi, lalu makan malam dan istirahat kembali. Mereka mengaku bahwa mereka sering merasa bosan karena tidak ada hal baru yang dapat mereka lakukan. Mereka juga mengaku bahwa mereka sering merasa kesepian karena jauh dari keluarga mereka, pasangan mereka juga sudah tiada dan bosan dengan kehidupan di panti. Tidak ada orang selain suster atau perawat yang dapat mereka temui hanya untuk sekedar bercerita. Mereka merasa sudah menjadi orang yang sangat tua dan tidak berguna karena mereka tidak produktif, dalam hal ini mereka sudah tidak dapat melakukan apa yang dulu dapat mereka lakukan.

(21)

berkurang. Ketika kontak sosial berkurang, lansia merasa sendiri dan renta sehingga membuat mereka merasa kesepian (Partini, 2011).

Pada penelitian sebelumnya, berbagai alasan yang dikemukakan oleh lansia tentang kesepian yang mereka alami adalah karena ditinggal mati oleh pasangannya dalam waktu yang sudah cukup lama, anak-anak mereka yang sudah menikah dan hidup terpisah dengan mereka untuk membangun kehidupan yang baru. Ada juga lansia yang memang tidak memiliki keturunan dan sanak saudara yang dekat dengan tempat tinggal lansia itu sendiri. Alasan-alasan tersebut membawa lansia pada perasaan tertekan karena mereka merasa hidupnya seorang diri (Lestari & Fakhrurrozi, 2008).

Menurut Cacioppo, dkk. (2006), pada penelitian yang dilakukan pada berbagai daerah dengan analisis jangka panjang di Amerika, hasilnya menyatakan bahwa kesepian merupakan faktor resiko spesifik bagi simptom-simptom depresi. Kesepian dialami lansia karena keadaan fisik, penghasilan (status ekonomi), status pernikahan dan dukungan sosial yang berubah dan mengalami penurunan. Perubahan-perubahan tersebut meningkatkan faktor resiko terhadap munculnya simptom depresi.

(22)

interaksi sosial menjadi semakin maladaptif. Selanjutnya, orang lain benar-benar berespon secara negatif dan hasilnya adalah negativitas

personal yang semakin bertambah (Baron & Bryne, 2003/2005)

Seseorang yang menyatakan dirinya kesepian cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga, tidak diperhatikan dan dicintai. Rasa kesepian akan semakin dirasakan oleh usia lanjut ketika yang bersangkutan sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan orang banyak. Hilangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial yang terkait dengan hilangnya kedudukan atau perannya dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kesepian pada lansia yaitu perasaan ketidakberdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi usia lanjut miskin, post power syndrome, perasaan tersiksa, perasaan kehilangan, mati rasa dan sebagainya (Partini, 2011).

(23)

dengan baik karena lansia sudah merasa tidak berdaya ketika mengalami kesepian.

Selain menghalangi lansia menjalani tugas perkembangan, kesepian juga menghambat lansia dalam prosesnya mengalami penuaan sukses. Santrock (1995/2002), mengungkapkan bahwa proses penuaan yang berhasil (successfull aging) terkait dengan 3 faktor, yaitu seleksi, optimisasi, dan kompensasi. Seleksi menyatakan bahwa lansia mengalami penurunan kapasitas dan hilangnya fungsi-fungsi tertentu yang mengarah pada penurunan kemampuan. Optimisasi menyatakan bahwa lansia memiliki kemungkinan untuk mempertahankan kemampuan dengan cara latihan dan penggunaan teknologi baru. Kompensasi menjadi relevan ketika tugas kehidupan membutuhkan kapasitas yang lebih tinggi saat ini dari kemampuan lansia yang potensial. Lansia perlu berkompensasi dalam situasi yang menuntut kemampuan fisik dan mental yang tinggi seperti berpikir tentang dan mengingat sesuatu yang baru dengan cepat. Menderita sakit dan kehilangan membuat kebutuhan akan kompensasi menjadi nyata. Kesepian yang membawa perasaan negatif menghambat lansia untuk mencapai penuaan yang berhasil. Sebagai contoh, lansia yang memilki perasaan tidak berdaya kurang mampu melakukan kompensasi yang menuntut kemampuan fisik dan mental yang tinggi.

(24)

yang dilakukan lansia untuk mengatasi kesepian yang dialaminya bisa disebut sebagai koping. Koping adalah suatu cara untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, atau ancaman serta bagaimana seseorang bereaksi ketika menghadapi stress atau tekanan (Siswanto, 2007). Koping yang biasa digunakan lansia untuk mengatasi keadaan yang membuat mereka stres karena penurunan fisik yang berdampak pada psikologis mereka adalah konfrontasi, dukungan sosial, penyelesaian masalah, kontrol diri, penanggulangan peristiwa, penilaian yang positif, menerima tanggung jawab, dan pengingkaran. Koping yang mereka gunakan lebih berfokus pada status emosional (Astuti & Poppy, 2002).

Lansia dapat berusaha untuk menyesuaikan diri dengan melakukan berbagai kegiatan sosial secara aktif, di samping kegiatan keagamaan atau bisa juga masuk dalam organisasi usia lanjut karena saat ini ada beberapa organisasi tersebut seperti PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia) dan Wulan (Warga Usia Lanjut). Lansia dapat mengalihkan rasa kesepiannya tersebut dengan berbagai aktivitas yang dilakukan bersama lansia lain seperti mengikuti kegiatan keagamaan atau organisasi lansia (Handayani, 2007).

(25)

Penelitian-penelitian sebelumnya belum mengungkap bagaimana dinamika psikologis dari pengalaman proses kesepian dan kopingnya pada lansia. Sebagian besar penelitian yang dilakukan sebelumnya hanya mengungkap tentang sebab dan akibat kesepian dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian sebelumnya tidak menggambarkan pengalaman kesepian secara personal sehingga kurang mampu membantu lansia dengan penanganan khusus sesuai pengalamannya tersebut. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Moore dan Schultz (dalam Crandall, 1989) tentang peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian yang dialami lansia dengan metode kuantitatif. Hasil penelitiannya adalah lansia yang dapat mengontrol kesepiannya dengan baik akan lebih mampu mengatasi kesepiannya tersebut. Penelitian ini tidak mengungkap bagaimana dinamika lansia mengontrol kesepian mereka sehingga tidak dapat memberikan saran bagaimana mengatasi kesepian tersebut secara personal pada subjek, keluarga maupun panti wreda.

(26)

personal lansia. Di masa yang akan datang seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, rentang usia akan semakin panjang. Oleh karena itu, jumlah lansia akan bertambah sehingga masalah kesepian yang mengiringi lansia akan menjadi masalah sosial kalau tidak ada penanganan dengan baik dari sekarang.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai dinamika psikologis pada proses pengalaman kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda. Dengan mengetahui dinamika psikologis, diharapkan peneliti dapat membantu lansia untuk lebih menyadari tentang kesepian yang dialami dan bagaimana cara mengatasinya sehingga mereka dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan kesepian. Hal ini diharapkan supaya lansia dapat menjalani tugas perkembangan dan mengalami penuaan yang berhasil. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pengelola panti wreda dan keluarga yang menitipkan lansia di panti wreda supaya mereka memperhatikan para lansia yang tinggal di panti wreda dengan segala kebutuhan dan masalah lansia.

B. RUMUSAN MASALAH

(27)

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kesepian dialami oleh lansia yang tinggal di panti wreda. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui cara lansia untuk mengatasi kesepian yang dialaminya.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Subjek

Penelitian ini membantu subjek untuk lebih menyadari proses kesepian yang dialami dan cara mereka mengatasinya. Subjek lebih menyadari pengalaman proses kesepian melalui proses member checking yang akan dilakukan bersama peneliti. Dengan menyadari

tentang proses pengalaman kesepian, subjek diharapkan dapat mengatasi kesepiannya tersebut dengan baik.

2. Bagi Pihak Panti Wreda

Penelitian ini membantu pihak panti untuk lebih dapat memperhatikan subjek ketika mereka mengalami kesepian. Dengan mengetahui bagaimana proses kesepian yang dialami serta cara lansia mengatasinya, maka pihak panti dapat mengurangi penyebab kesepian dan membantu mengatasi kesepian.

3. Bagi Keluarga

(28)
(29)

12 A. LANSIA

Menurut Hurlock (1980/1997), usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana orang sudah ‘beranjak jauh’ dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Santrock menyebutnya dengan masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar usia 120-an tahun, memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun (Santrock, 1995/2002).

Papalia membagi lansia dalam tiga kelompok yaitu “lansia muda”, “lansia tua”, dan “lansia tertua”. Secara kronologis, lansia muda merujuk pada orang yang berusia 65 sampai 74 tahun yang biasanya masih aktif, sehat dan masih kuat. Lansia tua berusia antara 75 sampai 84 tahun dan lansia tertua berusia 85 tahun ke atas, lebih mungkin untuk menjadi rapuh dan renta serta mengalami kesulitan untuk mengatur hidup sehari-hari (Papalia, 2008/2009).

(30)

otak), perkembangan sensori (penurunan fungsi alat indera), sistem peredaran darah (bermasalah dengan tekanan darah dan jantung), sistem pernafasan (kapasitas paru-paru menurun) dan seksualitas (perubahan kemampuan seksualitas) (Santrock, 1995/2002).

Perubahan kognitif dijelaskan oleh Horn dan Donaldson, 1980 (dalam Santrock 1995/2002), mereka menyatakan bahwa kecerdasan yang mengkristal (crystallized intelligence) yaitu sekumpulan informasi dan kemampuan-kemampuan verbal yang dimiliki individu meningkat seiring dengan usia. Sedangkan kecerdasan mengalir (fluid intelligence) yaitu kemampuan seseorang untuk berpikir abstrak menurun secara pasti sejak masa dewasa tengah.

Selain itu lansia juga mengalami perubahan secara psikososial. Perubahan psikososial pada lansia dijelaskan dengan teori penuaan sebagai berikut:

a. Teori pemisahan (disengagement theory) menyatakan bahwa orang-orang dewasa lanjut secara perlahan menarik diri dari masyarakat.

(31)

c. Teori rekonsruksi gangguan sosial (social breakdown-reconstruction theory) menyatakan bahwa penuaan dikembangkan

melalui fungsi psikologis negatif yang dibawa oleh pandangan-pandangan negatif tentang dunia sosial dari orang-orang dewasa lanjut dan tidak memadainya penyediaan layanan untuk mereka. Rekonstruksi sosial dapat terjadi dengan mengubah pandangan sosial dari orang-orang dewasa lanjut dan dengan menyediakan sistem-sistem yang mendukung mereka (Kuypers & Bengston, 1973 dalam Santrock 1995/2002).

Menurut Santrock (1995/2002), lansia memiliki kebutuhan yang harus diperhatikan. Kebutuhan-kebutuhan lansia terkait dengan perubahan atau penurunan fisik, kognitif dan sosio-emosional lansia. Terkait dengan perubahan fisik, lansia membutuhkan beaya yang lebih besar dibanding dengan orang berusia di bawah 65 tahun. Lansia menghabiskan banyak waktunya di tempat tidur, banyak mengunjungi dokter, tinggal lebih lama dan sering di rumah sakit, dan mengkonsumsi banyak obat. Selain itu, lansia juga membutuhkan olahraga yang sesuai, diet yang seimbang, diet rendah lemak dan penambahan vitamin (namun studi tentang penambahan vitamin bagi lansia belum dilakukan secara eksperimental).

(32)

dan harapan; menyediakan atau memperjelas suatu rasa akan makna dan meningkatkan aktifitas pendidikan dan ketrampilan perkembangan.

Kebutuhan lansia yang terkait dengan perubahan sosio-emosional adalah adanya dukungan sosial dari pasangan, keluarga, dan orang-orang di sekitar lansia. Mereka akan bahagia ketika mereka menjadi kakek dan nenek, memiliki cucu dan merawat cucu mereka. Lansia akan merasa puas ketika memiliki pendapatan, kesehatan, gaya hidup yang aktif, dan jaringan keluarga dan pertemanan.

Lansia akan mengalami penuaan yang berhasil ketika mereka mengikuti diet yang sesuai, olahraga, pencarian stimulasi mental yang tepat dan memiliki relasi serta dukungan sosial yang baik. Penuaan yang berhasil membutuhkan usaha dan pemecahan masalah yang baik.

(33)

B. KESEPIAN

Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Seseorang sering mengalami kesepian karena merasa berbeda dengan orang lain. Kesepian akan muncul ketika seseorang merasa: tersisih dari kelompoknya, tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, dan seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan (Partini, 2011).

Menurut Baron dan Bryne, (2003/2005), kesepian adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya hubungan yang lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan daripada yang diinginkan oleh orang tersebut. Saat seseorang mengalami kesepian, keadaan emosi dan kognitif tidak bahagia yang diakibatkan karena adanya hasrat akan hubungan yang akrab namun tidak tercapai. Kesepian disertai afek negatif yaitu perasaan depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan yang dihubungkan dengan pesimisme, self-blame, dan rasa malu. Seseorang yang kesepian dianggap sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri pada orang-orang yang mengenal mereka.

(34)

bahwa hubungan kita dangkal, atau kurang memuaskan dibandingkan apa yang kita harapkan. Kesepian terjadi di dalam diri seseorang dan tidak dapat dideteksi hanya dengan melihat orang tersebut.

Menurut Weiss (dalam Sears, dkk, 1985/1994), ada dua tipe kesepian yaitu, kesepian emosional (Emotional Loneliness) dan kesepian sosial (Social Loneliness)

a. Kesepian emosional terjadi karena tidak adanya figur kelekatan dalam hubungan intimnya, seperti anak yang tidak ada orangtuanya atau orang dewasa yang tidak memiliki pasangan atau teman dekat. Kesepian emosional dapat terjadi karena kurang adanya hubungan dekat dengan orang lain. Jika individu merasakan hal ini, meskipun dia berinteraksi dengan banyak orang, dia akan tetap merasa kesepian.

b. Kesepian sosial adalah kesepian yang terjadi ketika seorang kehilangan integrasi sosial atau komunitas yang terdapat teman dan hubungan sosial. Kesepian ini disebabkan oleh ketidakhadiran orang lain dan dapat diatasi dengan hadirnya orang lain.

(35)

family) juga akan mengurangi kontak sosial usia lanjut. Perubahan nilai

sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik menyebabkan para usia lanjut kurang mendapatkan perhatian sehingga tersisish dari kehidupan masyarakat. Kesepian, murung, merupakan keadaan yang dihadapi usia lanjut meski tidak dikehendaki oleh usia lanjut (Partini, 2011).

Lansia menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat ketidakadaan anak (Basoff, 1988 dalam Santrock, 1995/2002). Sindrom sarang kosong (empty nest syndrome) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan akan mengalami penurunan karena orangtua memperoleh banyak kepuasan dari anak-anaknya, dan oleh karena itu, kepergian anak dari keluarga akan meninggalkan orangtua dalam perasaan kosong. Sindrom sarang kosong berlaku bagi sebagian orangtua yang tinggal sangat dekat dengan anak-anaknya karena anak-anaknya yang memberikan kepuasan pernikahan.

(36)

Perasaan seperti ini juga dikarenakan peran dan tugas sebagai ibu hilang. Hal ini seiring dengan penurunan fisik yang dialami orangtua khususnya perempuan (termasuk menopause). Kondisi seperti ini sering membawanya pada perasaan bahwa hidupnya sudah tidak bermakna lagi (Partini, 2011).

C. KOPING

Koping berasal dari kata coping yang memiliki makna harafiah pengatasan atau penanggulangan (to cope = mengatasi, menanggulangi). Koping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Koping juga sering dimaknai sebagai cara untuk memecahkan masalah (problem solving). Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk

menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/ luka/ kehilangan/ ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stress/tekanan (Siswanto, 2007).

(37)

Hal yang termasuk koping adalah seluruh hal yang dipikirkan atau dilakukan dalam upaya beradaptasi terhadap stres, berhasil atau tidak.

Ada beberapa koping yang digunakan oleh lansia untuk mengatasi kesepian yang dialaminya. Berikut adalah salah satu jenis koping: pertahanan adaptif yaitu mengubah persepsi mengenai kenyataan bahwa mereka tidak berdaya untuk melakukan perubahan. Bersifat tidak sadar dan intuitif. Vaillant (dalam Papalia, 2008/2009) menyatakan bahwa lansia yang matang, pada masa dewasa awalnya menggunakan pertahanan adaptif yaitu altruisme, humor, penekanan (tetap sabar), antisipasi, dan sublimasi (mengarahkan emosi negatif menjadi pengejaran yang positif) menunjukkan penyesuaian psikologis yang baik.

(38)

tidak melakukan apapun, menunggu sampai anak lebih besar, atau mencoba untuk tidak memikirkannya.

D. PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDA

Moore dan Shcultz (dalam Crandall, 1989) melakukan penelitian tentang bagaimana peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian yang dialami oleh lansia. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel lansia sebanyak 27 laki-laki dan 32 perempuan yang tergabung dalam sebuah organisasi di South Carolina. Pengukuran dilakukan dengan skala UCLA Loneliness (Russell, Peplau, & Cutrona, 1980), skala Self-esteem

(Rosenberg, 1965), skala Zung Depression (Zung, 1965), dan skala mengenai ketertarikan, kebahagiaan, kenyamanan hidup, frekuensi dan durasi kesepian serta peran tanggung jawab terhadap kesepian dan kontrol kesepian yang dilakukan lansia. Hasil pengukuran yang didapat dari peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian berkorelasi positif dengan penurunan kesepian. Lansia yang dapat bertanggung jawab atau dapat dikatakan sadar terhadap kesepian yang dialami dan mengontrol kesepian tersebut mengalami peningkatan harga diri, kenyamanan hidup, dan penurunan depresi.

(39)

lansia perlu memilih langkah atau strategi dengan menghindari kesalahan yang berasal dari dirinya sendiri misalnya merasa tidak berguna lagi karena sudah tua. Tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian bukan sebuah penyebab mengapa lansia harus melakukan hal ini, melainkan konsekuensi yang harus diambil oleh lansia. Peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian dinilai penting karena hal ini membangun strategi koping yang efektif untuk mengurangi kesepian dan meningkatkan rasa mampu pada lansia.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mullins, Johnson, dan Anderson (dalam Crandall, 1989). Mereka meneliti tentang pengaruh keluarga dan teman terhadap pengalaman kesepian yang dialami lansia. Sampel yang diambil sebanyak 131 orang dengan usia rata-rata 62 tahun dan tinggal di sebuah apartemen yang memang disediakan untuk para lansia di Florida city. Apartemen ini sangat bebas, tidak ada komunitas, tidak ada tempat makan malam bersama, tidak menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan. Lansia yang tinggal di apartemen ini sebagian besar masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik dan belum mengalami sakit kronis atau masih dapat berjalan dengan baik.

(40)

jawaban : tidak ada (0), pada kenyataanya tidak pernah (1), satu atau beberapa kali setiap tahun (2), satu kali dalam setiap bulan (3), satu kali setiap minggu (4), beberapa waktu dalam satu minggu (5). Pertanyaan yang kedua, “Umumnya, bagaimana situasi hubungan Anda dengan mereka? Bagaimanakah tentang keinginanmu tentang hubunganmu dengan orang-orang tersebut, apakah cukup dengan hanya bertemu saja atau Anda menginginkan lebih, kurang atau sama antara hubungan Anda dengan anak, cucu, saudara, anggota keluarga yang lain (termasuk orang tua), tetangga, teman dan kenalan lain” dengan pilihan jawaban : tidak relevan (0), tidak cukup banyak (1), sedikit (2), biasa-biasa saja (3), cukup banyak (4), dan banyak (5).

(41)

menjalin hubungan dengan keluarga dan teman yang berpengaruh pada perasaan kesepian.

Hasil diskusi mengindikasikan bahwa adanya perbedaan hubungan antara keluarga dan teman dengan kesepian. Walaupun hubungan dengan keluarga tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kesepian, namun keinginan yang sangat besar untuk berhubungan dengan keluarga berelasi dengan meningkatnya kesepian. Di lain pihak, lansia yang memiliki hubungan yang nyata dengan teman atau tetangga berpengaruh pada menurunnya kesepian. Kesimpulannya, keluarga dan pertemanan memiliki pengaruh terhadap kesepian yang dialami lansia. Ketika lansia memiliki keinginan untuk bertemu dengan keluarga namun tidak tercapai, ada teman yang dapat menggantikan dan mengatasi keinginannya yang tidak tercapai tersebut sehingga kesepian yang dialami lansia menurun.

(42)

sampel sebanyak 95 orang dari 150 orang lansia yang tinggal di panti tersebut. Hasil menunjukkan bahwa 16 orang tidak mengalami kesepian, 66 orang mengalami kesepian ringan, 11 orang mengalami kesepian sedang dan 2 orang mengalami kesepian berat.

Hasil ini didukung oleh hasil observasi yaitu adanya kegiatan rohani yang diwajibkan untuk lansia sehingga lansia mengalami pengalaman spiritualitas yang baik, lingkungan panti yang mendukung dan perawat yang melayani dengan cukup baik. Selain itu, dari hasil wawancara dengan beberapa lansia, para lansia mengungkapkan bahwa ketika mereka merasa kesepian karena jauh dengan keluarga, mereka dapat berbincang-bincang dengan teman lansia yang lain sehingga rasa kesepian dapat terobati. Jenis kesepian yang sering dialami lansia adalah kesepian emosional, kesepian yang merujuk pada kurang adanya hubungan yang dekat dan perhatian dari lingkungan sosialnya (Weiss dalam Sharma, 2002). Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan lansia, lansia mengungkapkan bahwa mereka hanya bergaul dengan sesama lansia saja dan mereka merasa jenuh dengan kegiatan yang ada di panti.

(43)

secara emosional. Kesepian yang dialami lansia memang tidak dapat dihindari, namun lansia dapat menguranginya dengan secara sadar menghadapi dan mengontrol kesepian tersebut. Lansia menjalin hubungan dengan teman sebayanya untuk menggantikan hubungan dengan keluarga yang diinginkan atau dirindukannya.

(44)

E. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimana proses pengalaman kesepian yang dialami lansia di Panti Wreda?

(45)

Cara (koping) lansia mengatasi kesepian yang

dialaminya. Latar belakang tinggal di

panti wreda

Kondisi kesepian di panti wreda : pengalaman dan proses kesepian lansia selama

tinggal di panti wreda.

(46)

29 A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami suatu Central Phenomenon, suatu proses atau kejadian, suatu fenomena, atau suatu

konsep yang kompleks untuk diuraikan variabel-variabel yang menyertainya (Creswell, 1998). Menurut Bogdan dan Tylor (dalam Moleong, 2006), metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.

Metode kualitatif memiliki kelebihan dalam mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menginterpretasi pengalaman personal dan sosial partisipan (Smith, 2008/2009). Oleh karena itu, peneliti memilih untuk menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran mengenai pengalaman kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda Hanna.

(47)

dan tinggal di panti wreda. Data berupa hasil wawancara dipakai sebagai sumber utama untuk mendapatkan gambaran pengalaman kesepian yang dialami lansia.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada bagaimana pengalaman kesepian dialami oleh lansia. Bagaimana proses kesepian itu muncul, saat terjadinya kesepian dan dampak dari kesepian. Setelah peneliti mengetahui bagaimana proses kesepian dialami lansia, selanjutnya peneliti ingin mengetahui tentang bagaimana lansia mengatasi kesepiannya tersebut. Strategi seperti apakah yang dipilih dan dilakukan oleh lansia untuk mengatasi kesepiannya selama tinggal di panti wreda.

C. SUBJEK PENELITIAN

(48)

lansia yang masih dapat berkomunikasi dengan baik. Kedua subjek penelitian memiliki karakteristik yang sangat berbeda sehingga dapat memunculkan proses pengalaman (dinamika psikologis) dan cara mengatasi kesepian yang sangat berbeda.

D. METODE PENGAMBILAN DATA

(49)

tentang hal-hal yang lebih detail mengenai pengalaman tersebut. Berikut adalah tabel daftar pertanyaan dalam panduan wawancara:

Tabel 1

Panduan Wawancara No. Panduan Pertanyaan

1. Apa alasan nenek tinggal di panti ini?

2. Bagaimana perasaan nenek selama tinggal di sini? Apa saja yang nenek alami selama tinggal di panti?

3. Pernahkah nenek merasa kesepian? Kesepian yang seperti apa yang nenek alami

4. Bagaimana hubungan nenek dengan keluarga? Bagaimana hubungan nenek dengan lingkungan sekitar panti: perawat, karyawan, dan teman-teman lansia yang lain?

5. Lalu apa yang nenek lakukan ketika nenek merasa kesepian?

Berdasarkan metode pengumpulan data diatas, peneliti menyusun sebuah rancangan pengambilan data sebagai berikut:

1. Peneliti mengajukan proposal penelitian ke panti wreda Hanna Yogyakarta untuk meminta persetujuan dari pengurus panti bahwa peneliti akan mewawancarai lansia yang tinggal di panti. 2. Setelah mendapat ijin, peneliti mencari subjek penelitian, yaitu

lansia yang masih dapat berkomunikasi dengan baik.

(50)

4. Sebelum wawancara dimulai, peneliti melakukan rapport terlebih dahulu supaya wawancara berlangsung dengan baik dan subjek dapat mengungkapkan cerita dengan terbuka.

5. Saat wawancara berlangsung, peneliti menggunakan digital recorder berupa handphone untuk merekam wawancara dan

secarik kertas untuk menulis wawancara. Peneliti menulis wawancara untuk membantu peneliti saat penulisan verbatim. 6. Peneliti mendengarkan hasil wawancara dan membuat verbatim

untuk selanjutnya dianalisis.

7. Hasil analisis dikroscekkan kepada subjek untuk mendapatkan kredibilitas penelitian ini.

E. METODE ANALISIS DATA

Metode analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis fenomenologi deskriptif. Analisis ini bertujuan untuk menangkap sedekat mungkin bagaimana fenomena tersebut dialami di dalam konteks terjadinya fenomena tersebut (Smith, 2008/2009). Metode analisis ini sesuai dengan tujuan peneliti yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang proses kesepian yang dialami lansia secara pribadi dan bagaimana lansia mengatasi kesepian tersebut. Ada beberapa tahap yang harus ditempuh peneliti dalam analisis data yaitu (Smith, 2008/2009):

(51)

sisi global dari data. Peneliti membaca keseluruhan data yang diperoleh (verbatim). Peneliti mencoba untuk memahami cerita yang diceritakan subjek.

2. Menemukan unit makna dari deskripsi sebelumnya. Tahap ini menekankan pada rangkuman sehingga memberikan penjelasan terhadap masalah-masalah implisit. Pada tahap ini, peneliti memberikan deskripsi terhadap isi dari verbatim yang memiliki makna yang sesuai dengan tujuan penelitian.

3. Mentransformasi data yang implisit, khususnya dalam makna psikologis. Pada tahap ini, unit makna ditransformasi menjadi data yang lebih umum lalu menemukan urutan terjadinya pengalaman sehingga ditemukan proses pengalaman yang terjadi. Deskripsi isi yang sudah ditemukan pada tahap sebelumnya, selanjutnya ditransformasi sehingga peneliti menemukan data yang lebih umum. Data yang lebih umum mengungkapkan pikiran, perasaan dan perilaku subjek. Data-data umum tersebut dikelompokkan berdasarkan pikiran, perasaan dan perilaku. Selanjutnya, peneliti berusaha menemukan alur atau proses pengalaman tersebut terjadi. 4. Menemukan struktur dasar pengalaman dari proses pengalaman

(52)

kesepian. Di dalam setiap proses terdapat bagaimana pikiran, perasaan dan perilaku subjek. Selain itu, peneliti menemukan bagaimana subjek mengatasi kesepian yang dialami.

Tahap-tahap analisis data ini bertujuan untuk menemukan struktur dasar pengalaman kesepian yang dialami subjek. Bagaimana kesepian dialami subjek, proses pengalaman kesepian ditemukan dari sebelum subjek mengalami kesepian, saat subjek mengalami kesepian dan kesepian tersebut dirasakan sebagai apa. Pada proses pengalaman tersebut, peneliti menemukan dorongan-dorongan yang muncul ketika subjek mengalami kesepian. Selanjutnya, peneliti berusaha menemukan bagaimana subjek mengatasi kesepian yang dialami.

F. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas merupakan pengganti konsep validitas pada penelitian kualitatif. Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan yang menyangkut kualitas data penelitian kualitatif. Kredibilitas penelitian kualitatif dapat dilihat pada keberhasilan penelitian untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan masalah. Laporan atau deskripsi mendalam termasuk di dalamnya menjelaskan mengenai aspek-aspek dan interaksi berbagai aspek menjadi ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005).

(53)

tertentu yang menjamin subjek diidentifikasi dan dideskripsikan secara akurat. Peneliti harus menguraikan secara jelas sehingga pembaca dapat mengerti bahwa data penelitian tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas tersebut (Poerwandari, 2005). Validitas penelitian kualitatif dicapai tidak melalui manipulasi variabel melainkan melalui orientasi dan upayanya mendalami dunia empiris dengan metode yang cocok untuk pengambilan dan analisis data (Stangl & Sarantoks dalam Poerwandari, 2005).

Kredibilitas penelitian ini dilakukan dengan cara validitas argumentatif. Validitas argumentatif dilakukan supaya hasil temuan dapat diterima sesuai dengan data mentah (Poerwandari, 2005). Peneliti menganalisis hasil wawancara dengan detail dan membahas hasil analisis sesuai dengan pertanyaan penelitian. Peneliti berusaha menguraikan hasil wawancara dan analisisnya dengan bahasa yang jelas tanpa mengurangi isi dari analisis tersebut. Hasil wawancara dan analisis dikroscekkan kembali pada subjek, apakah sudah sesuai dengan cerita yang diungkapkan subjek. Hal ini dilakukan peneliti agar tidak terjadi salah penafsiran. Proses ini disebut member checking yaitu subjek diminta untuk membaca ulang hasil analisis yang dilakukan peneliti (Creswell, 2009/2012).

(54)

de-briefing) untuk meningkatkan keakuratan data. Strategi ini melibatkan

interpretasi lain selain interpretasi dari peneliti sehingga dapat menambah validitas penelitian (Creswell, 2009/2012). Dalam hal ini, peneliti berdiskusi dengan rekan peneliti dan dosen pembimbing.

Peneliti tertarik dengan topik penelitian yaitu pengalaman dan koping kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda karena pada awalnya peneliti merasa peduli dengan para lansia. Para lansia yang sudah renta dan hidup sendiri karena anak-anaknya sudah menikah. Selain itu, peneliti juga memiliki nenek yang tinggal sendirian karena suaminya sudah meninggal dan anak-anaknya sudah berkeluarga. Peneliti tertarik dengan kehidupan para lansia yang tinggal sendirian, bagaimana para lansia berjuang untuk tetap bertahan hidup. Oleh karena itu munculah ide penelitian ini, kesendirian lansia rentan terhadap munculnya kesepian. Lalu bagaimana para lansia menghadapi kesepian di masa tuanya. Selanjutnya, peneliti ingin membantu para lansia untuk hidup dengan lebih produktif dengan cara memberi gambaran mengenai kesepian yang mereka alami dan bagaimana mereka menghadapi kesepian tersebut.

(55)

38 A. PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Persiapan Penelitian

Peneliti menyusun proposal penelitian mengenai gambaran proses pengalaman kesepian lansia yang tinggal di panti wreda. Peneliti melakukan wawancara awal untuk menemukan fenomena kesepian yang dialami lansia di panti wreda. Setelah wawancara awal, peneliti menemukan data bahwa lansia mengalami kesepian. Data wawancara awal dimasukkan oleh peneliti sebagai latar belakang penelitian dalam proposal penelitian. Proposal penelitian diajukan sebagai alat perijinan untuk mengambil data di panti wreda Hanna Yogyakarta. Proposal diterima oleh pengurus panti wreda Hanna Yogyakarta. Peneliti memilih panti wreda Hanna Yogyakarta karena birokrasi perijinan mudah didapatkan dan subjek penelitian sesuai dengan penelitian yang diharapkan peneliti. Peneliti juga melampirkan surat ijin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma untuk alat perijinan yang lebih formal.

(56)

Peneliti berkunjung beberapa kali sebelum pengambilan data untuk membangun rapport dengan subjek penelitian supaya proses pengambilan data berlangsung dengan baik dan lancar. Saat membangun rapport, subjek memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan peneliti mengenai penelitian yang akan melibatkan subjek sebagai partisipan dalam penelitian. Peneliti meminta persetujuan kepada subjek untuk diwawancarai sesuai dengan tujuan penelitian. Peneliti berusaha membangun suasana yang nyaman ketika berbicara dengan subjek supaya ketika pengambilan data, suasana yang terbangun adalah suasana yang santai sehingga subjek dapat bercerita tentang banyak hal mengenai pengalaman kesepian yang dialami. 2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dengan cara wawancara dilakukan oleh peneliti dengan jadwal sebagai berikut :

Tabel 2

Jadwal Wawancara

Hari, tanggal Waktu

Subjek 1 Rabu, 14 Maret 2012 16.00-17.30 WIB Rabu, 21 Maret 2012 16.00-17.00 WIB Subjek 2 Selasa, 8 Mei 2012 16.00-18.00 WIB Selasa, 26 Juni 2012 16.00-17.00 WIB

(57)

suasana wawancara yang santai, seperti ‘ngobrol dengan nenek sendiri’. Setelah terbangun suasana yang santai, peneliti mulai

bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan wawancara. Hal ini perlu dilakukan supaya subjek dapat bercerita dengan terbuka tentang kehidupan subjek terutama tentang pengalaman kesepian yang dialami subjek selama tinggal di panti wreda.

Pada subjek 1 wawancara pertama dilakukan di ruang TV dan wawancara kedua dilakukan di depan kamar subjek. Wawancara pertama berlangsung dengan baik, subjek bercerita banyak tentang kehidupan subjek sebelum di panti wreda bersama anak-anaknya, latar belakang subjek masuk panti wreda, kehidupan di panti wreda dan pengalaman kesepian yang dialami subjek. Pada wawancara kedua, subjek lebih banyak bercerita tentang pengalaman kesepian yang dialami dan bagaimana subjek mengatasi kesepiannya.

(58)

B. PROFIL SUBJEK 1. Subjek 1

a. Deskripsi Subjek

(59)

membeli sebuah rumah untuk tempat tinggalnya dan anak-anaknya di Jember.

A termasuk orang yang cukup keras dan ‘ceplas-ceplos’ dalam berbicara. Bahasa sehari-hari yang dipakai A adalah bahasa Jawa Timur. Tidak sedikit orang yang pernah berbincang dengan A tersinggung dengan kata-katanya, padahal sebenarnya A adalah orang yang baik dan cukup bijaksana. A sering memberi makanan yang ia punya untuk lansia lain. A juga sangat peduli pada sahabatnya yang sedang kesusahan dan kesakitan.

Dalam kehidupan sehari-hari, untuk bergerak kemanapun, A menggunakan kursi roda karena A mengalami stroke dan kelumpuhan tubuh bagian kiri. A membutuhkan bantuan perawat untuk naik ke tempat tidur dan mandi. Namun, saat makan A tidak membutuhkan bantuan siapapun, A merasa sanggup makan sendiri. Kegiatan A sehari-hari adalah menonton TV, berbincang dan bercanda dengan lansia yang lain. Selain itu, A juga selalu mengikuti kegiatan yang diadakan panti seperti kebaktian setiap pagi dan senam lansia. Senam lansia yang dilakukan di panti dengan posisi lansia duduk di bangku sehingga A masih dapat mengikuti senam lansia.

b. Latar belakang kehidupan subjek di panti wreda

(60)

Kelumpuhan ini membuat A harus menggunakan kursi roda untuk bergerak kemanapun. A juga memerlukan bantuan untuk tidur dan mandi. Pada waktu A mengalami stroke, anak laki-laki masih mengenyam bangku kuliah di Yogyakarta, sedangkan A masih tinggal di Jember. Anak laki-laki bermaksud untuk memindahkan A ke Yogyakarta supaya dekat dengannya dan adiknya yang juga sekolah di Yogyakarta. A menyetujui maksud anak laki-lakinya, yaitu tinggal di Yogyakarta. Karena anak laki-laki masih ‘ngekos’, A dimasukkan ke sebuah panti wreda yaitu panti wreda Hanna Yogyakarta. Sampai saat ini, A sudah tinggal di panti wreda hanna sekitar empat tahun. Anak laki-laki beranggapan bahwa A akan lebih terawat ketika berada di panti wreda. Setelah beberapa bulan, anak laki-laki lulus dan menikah.

(61)

sedangkan anak perempuan belum mampu membayar beaya panti. Oleh sebab itu, sampai saat ini A belum membayar beaya panti selama kurang lebih dua tahun.

Sejak anak laki-lakinya tidak memberi kabar pada A dan tidak membayar beaya panti, A menjadi orang yang kurang sehat secara psikologis. A menjadi sering murung dan melamun. Ketika dikunjungi orang lain, A selalu menceritakan tentang anak laki-lakinya yang sangat ia banggakan dan cintai namun tega meninggalkan A. A sempat memiliki keinginan dan sudah mencoba untuk bunuh diri, namun tidak berhasil karena diketahui oleh perawat. A juga pernah mencoba untuk melarikan diri dari panti. Selain itu, A juga berniat untuk merusak panti karena ia membenci pihak panti. A merasa diperlakukan tidak baik oleh perawat semenjak ia tidak membayar selama dua tahun terakhir. A menjadi orang yang kurang baik diantara lansia yang lain, ia memiliki pikiran-pikiran yang buruk pada orang lain. A sangat merindukan anak laki-lakinya yang sangat ia sayangi dan banggakan.

2. Subjek 2

a. Deskripsi Subjek

(62)

merupakan keturunan Keraton Mangkunegaran Solo. B tidak memiliki suami atau tidak berkeluarga. Semasa mudanya B merupakan seorang single fighter yang kerja keras. B sangat menikmati kehidupan kerjanya. B memutuskan untuk tidak memiliki suami karena sulit memilih pasangan hidup yang harus sesuai dengan kriteria keluarga Keraton. Oleh karena itu, B merasa tidak tertarik untuk mencari pasangan hidup dan lebih memilih untuk bekerja.

B bekerja di sebuah perusahaan kapal di Surabaya kurang lebih selama 30 tahun. B sering bertugas keluar negeri dan dilakukan sendiri. B termasuk wanita yang kuat dan tangguh karena sanggup hidup dan bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri. B juga dikenal sebagai orang yang baik, ramah dan berwibawa oleh orang-orang disekitarnya. Oleh karena itu banyak orang yang menyayangi B, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

(63)

Keponakannya juga sering menelpon B untuk menanyakan kabarnya.

Setelah pensiun, B sempat mengalami sakit keras yaitu kanker dan jantung. B berhasil sembuh dari penyakit kanker getah bening yang dideritanya. B berjuang untuk sembuh dengan bantuan kemoterapi. B sangat bersyukur dan bangga karena berhasil sembuh dari penyakit kanker ganas yang sudah memasuki stadium empat. B berhasil sembuh karena bantuan dari kakaknya yang bekerja sebagai dokter. Keponakannya juga membantu merawat B selama masa pemulihan.

Dalam kehidupan sehari-harinya, B dikenal sebagai seorang yang berwibawa, bijaksana dan dihormati serta disayangi. Banyak anak-anak yang datang mengunjungi B untuk didoakan supaya berhasil dalam ujian. B disayangi oleh banyak orang termasuk mahasiswa yang datang untuk melakukan penelitian di panti wreda. Perawat dan pengurus panti juga sangat menghormati B, karena kewibawaan B dan pengetahuannya tentang panti. B sudah tinggal di panti wreda selama kurang lebih sembilan tahun.

b. Latar belakang kehidupan subjek di panti wreda

B pensiun pada usia 55 tahun. Setelah pensiun B merasa stress dan bingung karena harus mengubah kebiasaan, dari bekerja

(64)

hidupnya selanjutnya, ia tidak tahu harus malakukan apa. B sempat keliling dunia untuk menghabiskan waktunya. B juga sempat tinggal bersama saudaranya di Bali selama dua tahun dan di Jakarta bersama adinya. Namun setelah itu, B mengalami sakit kanker ganas dan berhasil sembuh dari sakitnya tersebut. Setelah sembuh benar, B berusaha mencari tempat untuk dirinya tinggal. B merasa menjadi beban bagi saudara yang ditumpanginya.

B menemukan sebuah panti di Yogyakarta yaitu panti yang dimiliki pemerintah di daerah jalan Kaliurang. B sempat tinggal beberapa bulan di sana, namun B merasa tidak betah, lalu B mencoba mencari panti wreda yang lainnya hingga B menemukan panti wreda Hanna Yogyakarta. B pindah ke panti wreda Hanna, lalu tinggal disana kurang lebih sudah sembilan tahun sampai saat ini. B merasa sudah betah dan cocok tinggal di panti wreda Hanna dan ingin menghabiskan masa tuanya di panti wreda Hanna.

(65)

menjadi orang yang murung, B justru menjadi seorang yang kuat dan tegar. B mengisi hari-harinya dengan bercanda bersama lansia, perawat dan pengurus panti. B dikenal sebagai lansia yang mengetahui banyak hal tentang kehidupan di panti sehingga para pengunjung selalu bertanya banyak hal tentang panti pada B. Hal ini disebabkan oleh keramahan dan kewibawaan B pada orang lain serta kebaikannya pada semua orang yang datang pada B.

C. HASIL PENELITIAN 1. Subjek 1

Subjek 1 (A) adalah seorang single parent yang bekerja keras demi anak-anaknya sebelum A tinggal di panti wreda. Suami A meninggal dunia ketika anak-anaknya masih kecil. A sangat menyayangi anak-anaknya terutama anak laki-lakinya sehingga A rela banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya.

“saya dulu di Singapore..saya dulu jadi PRT, jagain anaknya temenku yang kerja disana..” (167-169)

”Iya, kerja disana..suamiku kan meninggal pas anak-anak juga masih kecil mbak..jadi ya saya harus banting tulang sendiri untuk menghidupi anak-anak saya. Nek liat pesawat tu rasane pengen mulih, anak-anakku masih kecil-kecil, mas Andre masih kelas 4, adeknya kelas 2 SD. Ga tega aku mbak ninggal anakku cilik-cilik..aku 1 tahun mbak di sana..trus mbangun rumah pelan-pelan..dulunya saya ikut adik saya sepeninggal suami saya..” (175-191)

(66)

tak langganke becak nek meh sekolah. Tak golekno duit ben mas Andre isa kuliah ning sastra inggris kuwi mbak..” (115-124)

“Padahal mas Andre itu yang nyekolahin aku..aku kan single parent mbak, tak rewangi dadi buruh cuci dulu waktu mas andre masih SMA..” (641-646)

Pada tahun 2003, A mengalami sakit stroke, pada waktu itu anak laki-lakinya masih kuliah di Yogyakarta. Anak laki-laki bermaksud membawa A tinggal bersamanya di Yogyakarta, namun anak laki-laki membawa A untuk tinggal di panti wreda Hanna Yogyakarta. A merasa terpaksa tinggal di panti wreda. Alasan ini yang mengawali proses kesepian yang dialami A.

“Aku stroke sejak tahun 2003 mbak, makane anakku mbek adikku setuju aku di pondoke ning kene..” (460-463)

“Saya sudah 3 tahun di sini mbak, dulu tu aku yo setuju-setuju aja mbak ditaruh ndek sini, adikku yo setuju suruh tanda tangan sama mas Andre. Pas itu mas Andre sudah skripsi, ya kaya mbak ini..trus pikirnya lebih enak nek maminya tinggal di jogja sama dia, tapi saya di taruh di sini karena dia masih ngekos.” (196-207)

Setelah lulus kuliah, anak laki-laki menikah. Awal menikah, anak laki-laki dan istrinya masih sering menjenguk A, setelah itu anak laki-laki menghilang.

(67)

“Tinggalnya ya disini, di jogja, tapi sekarang ga tau

dimana...ditelpon ga pernah dijawab, ga ngekei kabar mbak..” (49-53)

“anakku wes ilang..”(327)

A sangat kehilangan anak laki-laki yang sangat disayangi. A merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi karena anak laki-laki yang A sayang meninggalkannya. Kesepian yang dialami A sebagai rasa kehilangan anak yang sangat A sayangi, sehingga A merasa tidak berarti.

“wes kelangan anak, wes ra berguna mbak uripku” (450-451)

“wes putus asa mbak..ga ana gunane aku urip, anakku yo wes ra kelingan karo aku...” (465-467)

“Nek mikirno mas Andre kieh wes sedih tenan aku mbak, yo kuwi sing marakke aku murung, frustasi, wes ga nduwe semangat dinggo urip.. Trus nek wes kakean pikiran ngono kuwi, darah tinggiku njuk munggah..aku kan punya darah tinggi mbak.. jadi sebenarnya ga boleh banyak pikiran..tapi yo pye ra akeh pikiran mbak..mas Andre ra tau ngekei kabar..ra tanggung jawab, kudune kan sing bayar pondokan iki kan deweke mbak, sing tanggung jawab ngenehi pangan kan anakku lanang, trus tanggung jawab obat mbak lina..” (583-603)

“soalnya untuk apa aku hidup, anakku yang tak sayangi wes ninggalno aku, wes durhaka..” (636-639)

(68)

“Gara2 mantuku kae, mas Andre jadi suka bohong sama saya. Jadi ga nurut sama saya, berubah..mantuku kuwi kurang ajar mbak..” (75-79)

“mas Andre kuwi didukunno mbek mantuku mbak.. dukune sampe 3..mas Andre manut banget kok nek mbek istrinya..” (219-223)

A merasa dendam pada mantunya dan mendoakan mantunya celaka. Kemarahan pada mantunya adalah peneguhan rasa kehilangan anak yang sangat disayang.

“ben dioyak trus nek ada sing dendam, ben dipateni wae. Ben mbak, nek karo mantuku kuwi ra papa ben matek, diperkosa wong 7 utawa 8 trus dipateni. Ben mantuku mati” (107-113)

“yo gara-gara mantuku kuwi mbak..ben tak dongakno dipateni wong sisan de e..” (478-480)

Selama dua tahun sampai sekarang, setelah anak laki-laki meninggalkan A, beaya hidup untuk tinggal di panti tidak dibayar lagi oleh anak laki-laki.

“Saya itu sudah 2 tahun tidak membayar pondokan di sini, dulu yang bayar anak saya yang laki-laki, tapi bar kuwi wes ga dibayar mbak.” (69-73)

(69)

menderita di tempat tinggalnya sendiri, lingkungan yang tidak baik dan tidak ada pertolongan.

“Aku wes menderita mbak, nek dimandiin sama suster yang itu (menunjuk salah satu suster), aku sudah pernah di siram air panas pas mandi..kan kalau mandi pakai air anget to mbak..itu air e masih panas disiramno mbek aku..” (243-251)

“aku udah bilang,.. suster, ditambahin air dingin, airnya masih kepanasan..sustere malah jawab, wes kana adus dewe wae nek kakean permintaan, 2 tahun ra mbayar we kakean permintaan..” (256-262)

“aku ki kerep dirasani mbek suster-suster nek aku rung bayar 2 tahun” (266-268)

“Gara-gara aku ora mbayar 2 tahun ki, saiki aku dijejerno karo wong edan..kamarku dipindah trus dijejerne karo wong edan, soalnya kan ada yang baru, lha aku yang dipindah, soalnya aku sing durung bayar 2 tahun..” (605-612)

Akibatnya, A merasa tidak betah tinggal di panti wreda. A merasa sangat menderita.

“Aku dah 3 tahun ya mbak di sini, rasane wes ga karuan..aku menderita banget mbak, ga betah aku di sini..” (236-239)

“wes pokoke ga betah aku mbak di sini, dah putus asa...sustere jahat-jahat..” (315-317)

“wes ga betah aku ning kene, menderita mbak...” (358-359)

(70)

melakukan apapun seperti ketika A masih berjuang untu menghidupi anaknya. Kehilangan anak membuat A tidak memiliki daya lagi.

“wis tuwa ra isa ngapa-ngapa..ini kan tangan sama kaki saya yang sebelah kiri ini udah lumpuh, ga bisa gerak gara-gara stroke..” (451-456)

“sudah ga bisa apa-apa juga, mau ngapa-ngapain juga sudah tidak bisa..sudah lumpuh begini, ya bisanya Cuma duduk-duduk gini” (775-779)

A merasa terasing dan hidupnya seorang diri di panti. A tidak memiliki teman untuk berbagi yang sesuai dengan harapannya. Kesepian sebagai bentuk kesendirian yang dialami A karena A tidak tinggal jauh dari anak dan keluarganya. Di lingkungan panti, A juga tidak mendapatkan teman yang sesuai dengan harapannya, teman yang dapat mendengarkan keluh kesahnya.

“ngrasa nek aku urip kok dewean..” (448-449)

“aku juga punya sahabat itu, tapi aku yo sok-sok jengkel mbek sahabatku kuwi, pelit banget mbak wonge, nek aku lagi butuh uang untuk beli obat, dia ga pernah ngasi..padahal nek de e sakit, aku mesti nukokno de e obat..trus dia tu juga sering cerita kalau suster-suster itu nggrenengi aku..aku tambah mangkel mbak..” (430-442)

“Ya malah dikompor-kompori..dia bilang kalau aku sering dirasani sama perawat-perawat di sini, karna aku ga bayar 2 tahun..malah ditambahi mangkel aku mbak..wes kesel mangkel je malah ditambahi mangkel..” (688-696)

(71)

Sebenarnya, A sangat merindukan anak laki-laki kesayangannya karena A sangat mencintai anak laki-lakinya. Perasaan rindu terhadap anak adalah perasaan yang muncul karena A kehilangan anak laki-laki. Perasaan rindu yang belum pernah terobati sejak anak laki-laki meninggalkannya membawa A merasa kesepian. A sangat berharap anak laki-laki datang dan menghilangkan rindu sekaligus kesepian yang dialami A.

“aku kangen banget mbak sama mas Andre..dia tu tak eman, tak sayang...aku gemati banget mbak nek karo mas Andre...” (470-474)

“mbak lina tadi juga ngabarin mas Andre, suruh datang jenguk saya, tapi katanya belum bisa datang, karena istrinya sakit, terus anaknya juga sudah mau masuk TK..” (575-581)

Perasaan kesepian yang dialami A membuat A semakin merasa menderita dan putus asa. Hal ini mendorong A untuk melakukan percobaan bunuh diri dan melarikan diri dari panti wreda. Menurut A, jika A meninggal, A akan terbebas dari penderitaan dan tidak lagi merepotkan orang lain.

(72)

“Mending mati wae aku mbak, nek mati kan wes bebas, ra ana pikiran, ga ngrepoti wong liya..wes pengen mati tenan aku mbak..” (614-619)

“Wes putus asa tenan aku mbak, nek wes putus asa ki anane ming pikiran setan...pengin bunuh diri wae mesti..wes kaya setan..” (648-652)

“minggat barang aku mbak jam 12 malem, aku nggoleki kunci belakanng itu di dapur, ketemu trus aku buka, pas kuwi padahal udan deres banget, aku ga tau kalau depan pintu itu ada got, aku jatuh njuk ditulungi mbek orang di situ, trus dilaporna ke panti nek ada oma yang melarikan diri, ga sida aku minggat mbak, padahal wes kudanan deres banget..” (302-313)

“saking mangkele mbak, aku wes nglumpukno watu sak kresek, aku pengin ngancurno kaca-kaca jendela kuwi, pengin tak ancurin kabeh mbak, mangkel aku..” (352-358)

Ketika A mencoba untuk bunuh diri dan melarikan diri dari panti, usahanya selalu dapat dihentikan oleh pihak panti.

“meh nggantung di pintu itu, dah tak geser kursinya, tapi ketauan, rafiaku di rampas.. .. Aku juga dah pernah ngiris-ngiris tangan pakai cutter, tapi ketauan trus disita cutternya..” (290-300)

“trus dilaporna ke panti nek ada oma yang melarikan diri, ga sida aku minggat mbak..” (302-313)

A sudah tidak dapat merasakan apapun ketika mencoba bunuh diri. A merasa seperti orang gila dan setan.

“wes kaya setan” (652)

(73)

Namun, setelah melakukan percobaan bunuh diri, A menyadari bahwa tindakan tersebut salah, sehingga A memohon ampunan pada Tuhan.

“Tapi nek wes kelingan yo sadar aku mbak, nek itu salah.. Mohon ampun mbak sama Tuhan, aku sudah melakukan dosa, ora bersyukur...doa aku mbak..nangis-nangis di depan Tuhan..” (654-664)

A berusaha untuk meredam keinginannya untuk bunuh diri yang diakibatkan oleh perasaan kesepian yang dialaminya dengan cara berdoa, menjerit dan menangis. A berdoa supaya A memiliki daya untuk menjalani hidupnya. Selain itu, A juga menangis dan menjerit supaya A merasa lega.

“aku sering ke kamar mbak, sendirian trus aku nangis, nangis sendirian trus aku berdoa, berdoa terus..” (500-503)

“aku jerit-jerit tiga hari tiga malam..ga mandeg mbak. (796-798) ...seneng to mbak, lega rasanya...kaya bebas dan puas..” (808-810)

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Penelitian Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia
Gambar 2. Skema Alur Tema Subjek 1 : A
Gambar 3. Skema Alur Tema Subjek 2 : B
Tabel 4  Verbatim Wawancara Subjek 1 : A
+3

Referensi

Dokumen terkait

Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut menimbulkan perasaan-perasaan tertekan pada tokoh Pance, seperti rasa takut, rasa tidak percaya diri, dan

Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut menimbulkan perasaan–perasaan tertekan pada tokoh Arimbi,seperti rasa takut, rasa tidak percaya diri, dan

Menurut Syam’ani (2011) dalam Narullita (2018), lansia yang mengalami harga diri rendah memiliki perasaan malu, kurang percaya diri, minder, tidak berguna, rendah diri,

Dalam mengatasi masalah kesepian pada lansia dapat menggunakan plant therapy karena terapi tersebut akan mempengaruhi emosional seseorang serta menimbulkan perasaan

Untk tingkat kesepian sosial yaitu 16 orang lansia mengalami kesepian sosial tingkat ringan dan 6 orang men galami kesepian tingkat sedang, dari hasil ini

)lien dengan perilaku bunuh diri 'enderung mengalami keputusasaan, menyalahkan diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, perasaan tertekan, insomnia yang menetap,

Perbandingan Tingkat Kesepian Pada Lansia Di PSTW Khusnul Khotimah Pekanbaru dan Lingkungan Keluarga Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan tingkat kesepian

Ketiga, perilaku lansia yang mengalami kesepian dan usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kesepian tersebut berimplikasi pada penerapan konseling Islam, khususnya dari sisi