Studi Kasus Australia
Sebagai negara yang memilik sejarah industri ekstraktif yang kuat dan panjang, Australia menjalani perubahan besar terhadap dan memiliki standar maju di dalam penerapan FPIC. Australia meratifi kasi Deklarasi Universal Hak Asasi Masyarakat Adat kendati kebijakan tersebut tidak bersifat mengikat52. Dalam kenyataannya,
pengakuan perusahaan-perusahaan Australia terhadap FPIC masih rendah. Oxfam Australia dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan tersebut mengklaim mereka menghargai hak asasi manusia, para perwakilan perusahaan tidak mendukung FPIC. Dengan demikian hak untuk persetujuan atas dasar informasi oleh Masyarakat Adat dan penduduk lokal yang terdampak industri ekstraktif dipisahkan dari hak-hak asasi manusia.
Oxfam mengkaji pernyataan dari 53 perusahaan ekstraktif yang masuk dalam da ar 200 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Australia (Australian Securities Exchange/ASX 200). Dari 53 perusahaan, hanya 14 yang menerbitkan komitmennya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia di dalam keseluruhan operasinya. Angka ini sangat rendah mengingat 2/3 kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan organisasi non-pemerintah terkait dengan sektor tersebut.
Sebanyak 12 dari 53 perusahaan yang telah dikaji telah mengumumkan komitmennya untuk menghormati hak asasi manusia. Komitmen ini sering ditunjukkan dalam kebijakan hak asasi manusia atau kebijakan komunitas atau kode perilaku (code of conduct) perusahaan. Namun, Australia sesungguhnya telah membuat kemajuan, khususnya di negara bagian Northern Territory, lewat keberadaan hak-hak Tanah Aborigin (Northern Territory Act) yang disahkan pada 1976,
52 http://www.iaia.org/conferences/iaia12/uploadpapers/Final%20 papers%20review%20process/Smith,%20Howard.%20%20Informed%20 consent%20in%20Australia%E2%80%99s%20Northern%20Territory. pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1
sebagai dasar hukum bagi masyarakat Aborigin di sana untuk menggugat hak-hak berdasarkan tradisi atas tanah.
Undang-undang ini adalah regulasi pertama yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak Aborigin. Sekitar 50% tanah Northern Territory dan 85% wilayah lautnya merupakan milik masyarakat Aborigin. Empat dewan didirikan untuk mewakili kepentingan Aborigin atas tanah, yakni Central Land Council, Tiwi Land Council, Northern Land Council, dan Anindilyakwa Land Council. Keempat dewan ini tidaklah sempurna dan persoalan tetap saja terjadi. Lemahnya persepsi untuk melibatkan mereka di dalam konsultasi masih saja menjadi problem utama yang bisa memicu munculnya kasus hukum. Sebagai contoh, beberapa warga Aborigin mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses konsultasi terkait dengan Perjanjian Rio-Tinto Alcan Gove (2011) dan pengembangan sistem pembuangan limbah nuklir. Akhirnya, masyarakat Aborigin melakukan gugatan hukum untuk menyelesaikan kedua kasus tersebut.
Baik peraturan maupun kebijakan pemerintah telah menghambat pelaksanaan FPIC. Kendati Hak-hak Tanah Aborigin menjamin FPIC, aturan tersebut pada dasarnya memaksa masyarakat untuk menolak pertambangan seketika atau membiarkan pertambangan berjalan tanpa menyediakan informasi yang memadai mengenai mineral yang ditambang, dampak serta durasinya. Kebijakan pemerintah memandang bahwa proses analisis mengenai dampak lingkungan hanya konsultasi semata karena persetujuan tanpa paksaan adalah bagian dari proses perjanjian dan kontrak awal.53
53 http://www.iaia.org/conferences/iaia12/uploadpapers/Final%20 papers%20review%20process/Smith,%20Howard.%20%20Informed%20 consent%20in%20Australia%E2%80%99s%20Northern%20Territory. pdf?AspxAutoDetectCookieSupport=1
Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara
Perusahaan-perusahaan minyak datang ke Norwegia pada 1960-an dan pada 2010 pengalaman industri minyak Norwegia agaknya tampil sebagai kesuksesan menyeluruh, dalam artian banyak maksud awal yang sukses. Melalui Statoil, kepemilikan strategis negara, lembaga profesional yang kuat seperti Direktorat Perminyakan dan yang terpenting, pengembangan teknologi secara terus- menerus, Norwegia berhasil menjamin bagian terbesar pendapatan dari industri minyak mengalir ke pemerintah, dan pada akhirnya masyarakat. Selain itu, sejalan dengan bertambahnya jumlah perusahaan transnasional bergerak di sektor minyak, gas dan mineral, Norwegia mencatat atau memiliki investasi yang signifi kan dari dana pensiun (Pension Fund) Norwagia, operasi di wilayah Masyarakat Adat mancanegara seperti Filipina, Canada, Burma, Rusia, Alaska, dan lain sebagainya. Sejumlah proyek tersebut memiliki, atau berpotensi memiliki, dampak negatif yang besar terhadap kemungkinan Masyarakat Adat ini menikmati hak-haknya.
Dalam hal ini, Norwegia telah mengambil beberapa langkah positif untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan yang beroperasi di wilayah Masyarakat Adat di luar negeri di mana ia berkomitmen, misalnya, untuk mengeluarkan perusahaan seperti Barrick Gold, Freeport-Mc-Moran, Rio Tinto dan Samling
Global dari portfolio dana pensiunnya. Norwegia juga mempertimbangkan memperbaiki “panduan upaya memperkuat dukungan bagi Masyarakat Adat di dalam kerjasama pembangunan” tahun 2004 agar bisa lebih mencerminkan Deklarasi Hak- hak Masyarakat Adat PBB, khususnya persyaratan terkait FPIC. Norwegia juga telah secara proaktif mendukung inisiatif seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi yang menuntut penghormatan akan hak-hak masyarakat asli, termasuk kewajiban memperoleh persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan. Selain itu, tanggung jawab Norwegia terhadap Masyarakat Adat yang terkena dampak tindakannya atau aksi korporasi telah diatasi melalui berbagai cara.
Pada 2004 Kementerian Luar Negeri Norwegia mempublikasikan ‘panduan bagi upaya memperkuat dukungan bagi Masyarakat Adat dalam kerjasama pembangunan’, berkomitmen terhadap pendekatan berdasar hak asasi manusia terhadap kerjasama pembangunan yang didasarkan pada Konvensi ILO No. 169. Demikian pula sebuah laporan yang terbit pada 2003 ‘Look North! Challenges and Opportunities in the Northern Areas’ yang dihasilkan oleh komite ahli yang ditunjuk Pemerintah Norwegia. Laporan tersebut memuat rekomendasi yang serupa bahwa ‘perusahaan minyak publik dan swasta di wilayah masyarakat asli harus tunduk pada persyaratan konsultasi dari ILO-169 sebagai dasar kegiatan mereka’.54Laporan tersebut juga menyatakan
bahwa: ‘Sesuai dengan ILO, istilah FPIC menjadi landasan terkait persyaratan perusahaan yang ingin beroperasi di wilayah Masyarakat Adat’55.
54 Lihat Norwegia mendapatiperusahaan publik terbesar Kanada, Barrick Gold, http://www.corpwatch.org/article.php?id=15286 Norwegian government declares Malaysian timber giant an unethical company http://www.culturalsurvival.org/news/malaysia/norwegian-government- declares-malaysian-timber-giant-unethical-company; lihat juga Norway throws out Freeport June 2006 http://www.minesandcommunities. org/article.php?a=220dan Norway blacklists miner Rio Tinto September 2008http://news.bbc.co.uk/1/hi/business/7608097.
55 Look North! Challenges and Opportunities in the Northern Areas’ yang dibuat oleh komite ahli yang ditunjuk Pemerintah Norwegia pada 2003, (selanjutnya Look North! Report) tersedia di: http://www.regjeringen.no/ Rpub/NOU/20032003/032/PDFS/NOU200320030032000DDDPDFS.pdf.