• Tidak ada hasil yang ditemukan

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Advokasi

Berbasis Hak

di Industri Ekstraktif:

Bingkai dan Pengalaman dari Negara-Negara Asia Tenggara

Pius Ginting

(3)

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:

Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

ISBN : 978-602-72039-8-3

Penulis

Pius Ginting

Kepala Unit Kajian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Meliana Lumbantoruan.

Manajer Riset dan Pengetahuan, Publish What You Pay Indonesia

Ronald Allan Barnacha

Staf advokasi, Philippines Rural Reconstruction Movement (PRRM)

Peninjau

Christina Hill

Koordinator advokasi pertambangan, Oxfam Australia

Maryati Abdullah

Koordinator Nasional, Publish What You Pay Indonesia

Hak cipta dilindungi Edisi Pertama, 2015

Makalah ini diterbitkan oleh Yayasan Transparasi Sumberdaya Ekstraktif-Publish What You Pay Indonesia, dengan dukungan dari Natural Resource Governance Institute, United Stated Agency for International Development (USAID). Isi makalah adalah tanggung jawab Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan tidak serta-merta mencerminkan pandangan USAID, pemerintah Amerika Serikat, atau Natural Resource Governance Institute (NRGI).

Publish What You Pay Indonesia

(4)

Da ar Isi

Latar Belakang ... 1

Pentingnya Hak Komunitas dalam Rantai Nilai Industri Ekstraktif. ...2

Pentingnya Advokasi Berbasis Hak Komunitas ...4

Defi nisi dan Kerangka Internasional ...5

Pendekatan Berbasis Hak ...5

Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan ...5

FPIC dalam Kerangka Pandangan ICMM... 9

Hak terhadap Informasi ...12

Studi Kasus dari Asia Tenggara ...14

Studi Kasus Indonesia ...15

Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia ...15

Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia ...15

Peran CSO dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas ... 17

Studi Kasus Filipina ...20

Kerangka Regulasi ...20

Konstitusi Filipina 1987 ...20

Undang-undang Hak Asasi Masyarakat Adat 1997 (IPRA) ...21

Perkembangan Terbaru FPIC dalam Undang-Undang Filipina ... 24

Bagi Hasil kepada Masyarakat Adat ...27

Advokasi Komunitas Berbasis Hak Terkait Operasi Industri Ekstraktif ... 28

Perjuangan Berlanjut: Menjunjung Hak-Hak Masyarakat Adat ... 29

Peran Organisasi Masyarakat Sipil ...30

Pengalaman Global ... 33

Studi Kasus Australia ... 33

Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara ... 34

Pelajaran dan Rekomendasi ... 35

Pelajaran tentang Kerangka Regulasi ... 35

Pelajaran tentang Peran CSO dan Pemberdayaan Komunitas ... 35

Pelajaran tentang Kebijakan dan Advokasi Kelembagaan ... 35

(5)

Kata Pengantar

I

ndustri ekstraktif telah memainkan peran yang lebih aktif di negara-negara Asia Tenggara. Dalam hal tersebut, terdapat hak-hak masyarakat yang harus dihormati. Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan berbasis hak asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis hak,. Dalam advokasi berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi dan dihormati dan menganggap hak asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab menggunakannya untuk menciptakan kehidupan komunitas yang konstruktif.

Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan, tingkat kandungan lokal, adanya pemantauan partisipatif yang berkeadilan dalam distribusi pendapatan dari sektor ekstraktif, dan memastikan jaminan pascatambang dengan melakukan rehabilitasi lingkungan untuk memastikan standar keamanan dan lingkungan.

Tulisan ini akan mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus dari pengalaman masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, dalam tulisan ini juga memaparkan pembelajaran dari internasional, yaitu dari Negara Australia dan Norwegia.

Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama segenap pihak yang membantu para penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Terselesaikannya tulisan ini tidak luput dari dukungan USAID, Natural Resource Governance Institute (NRGI), dan terkhusus buat Chritina Hill yang sudah mau memberikan masukan untuk isi tulisan ini, dan terkahir tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk dukungan seluruh rekan-rekan Sekretariat Nasional PWYP Indonesia.

Jakarta, Mei 2015

Maryati Abdullah

(6)

P

endekatan berbasis hak asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis hak, biasanya diasosiasikan dengan advokasi berbasis kebutuhan. Namun, keduanya sebetulnya dapat dibedakan. Di dalam advokasi berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi dan dihormati. Sementara itu, di dalam advokasi komunitas berbasis kebutuhan, sebuah komunitas dipandang sebagai kelompok yang berurusan dengan masalah dan butuh menjadi target tindakan karitatif. Di dalam pendekatan berbasis kebutuhan, sebuah komunitas memandang dirinya sendiri sebagai kelompok yang dirugikan dan memerlukan bantuan. Sebaliknya, pendekatan berbasis hak menganggap hak asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab menggunakannya untuk menciptakan kehidupan komunitas yang konstruktif.

Industri ekstraktif telah memainkan peran yang lebih aktif di negara-negara Asia Tenggara sebagaimana dapat dilihat dari tren data perdagangan di sektor ekstraktif. Menurut data perdagangan, ekspor dan impor intra dan ekstra ASEAN pada 2013 di sektor ekstraktif menduduki tempat kedua tertinggi di dalam total perdagangan terbesar ASEAN. Total nilai perdagangan intra dan ekstra di sektor ekstraktif per 2013 adalah US$493988 juta (nilai ekspor sebesar US$ 220166 juta dan nilai impor sebesar US$273821 juta). Andil nilai perdagangan keseluruhan sektor ekstraktif adalah 19,7% terhadap perdagangan total ASEAN.

Tren tersebut juga terjadi di Indonesia pasca krisis ekonomi 1998 sebagaimana dibuktikan

oleh peningkatan jumlah izin yang pada awalnya kurang dari 4.000 izin di dalam periode sebelum krisis menjadi 10.918 izin pada 2014.1 Nilai ekspor

dari sektor ekstraktif juga mengikuti tren kenaikan dengan nilai ekspor batubara melonjak tajam hingga 600% dari hampir US$4 miliar di 2005 ke US$24 miliar di 2013 seperti ditunjukkan grafi k di bawah ini.

Gambar 1. Nilai Ekspor Tiga Komoditas Mineral

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Namun, meskipun nilai ekonominya besar, aktivitas intensif di sektor industri ekstraktif tidaklah secara otomatis memperbaiki kehidupan warga yang mendiami wilayah di sekitar lokasi pertambangan. Nyatanya, banyak wilayah pertambangan di Indonesia masih terbelakang. Misalnya, Sumbawa Barat, Mimika, Bangka Selatan, Morowali, dan Kutai Barat2. Hingga

batas tertentu, faktor-faktor geografi s di daerah-daerah terpencil menimbulkan tantangan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan agar bisa mengangkat suatu wilayah dari status keterbelakangannya. Tetapi tampaknya industri

1 Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi danSumberdaya Mineral Maret 2014.

2 http://.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal

Latar Belakang

30000

25000

20000

15000

10000

5000

0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

4,354.1

6,085.7 6,681.4 10,485.2

13,817.1

Export Value (US$ 000.000)

U

S$ 000

.000 18,499.4

27,221.9 26,166.3

(7)

ekstraktif justru punya andil terhadap keadaan ini karena meskipun jangka waktu operasi yang lama di daerah-daerah ini, ia tidak mampu menyejahterakan penduduk setempat.

Dalam hal pekerjaan, sektor ekstraktif hanya mempekerjakan 1.555.564 orang (1% dari jumlah seluruh pekerjaan yang ada). Angka ini relatif kecil dibandingkan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang menyerap 35% dari angkatan kerja (Badan Pusat Statistik Indonesia). Menurut Kementerian Perindustrian, dari 2009 sampai 2013 industri ini telah menciptakan sekitar 60.000 lapangan kerja.3

Sektor pertambangan menyerap lebih sedikit tenaga kerja karena industri ekstraktif bergantung pada teknologi mekanis yang tidak membutuhkan banyak orang.

Karena di bawah mekanisme pasar, warga lokal tidak secara otomatis dipekerjakan di industri ekstraktif, namun advokasi berbasis hak wajib diterapkan. Untuk mencegah keterbelakangan komunitas yang menghuni wilayah di sekeliling lokasi industri ekstraktif, konsensus untuk melakukan kegiatan-kegiatan industri ini harus lahir hanya melalui pertimbangan persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan (free informed consent). Banyak komunitas merasa putus asa dan frustrasi karena operasi industri ekstraktif di dalam ruang hidupnya. Industri ekstraktif dipandang sebagai penyebab gangguan di dalam pola kehidupan tradisional mereka, mencemari air, udara dan laut, serta memicu perampasan lahan. Mereka juga mengeluhkan bahwa industri ekstraktif memiliki kekuasaan dan sekutu yang kuat. Oleh karena itu, komunitas merasa mereka tidak memiliki harapan selain menerima dampak negatif industri ekstraktif.

Pentingnya Hak Komunitas dalam Rantai Nilai Industri Ekstraktif

Industri ekstraktif mungkin menimbulkan beragam dampak lingkungan dan sosio-ekonomi. Industri ekstraktif seharusnya berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan sehingga pengembangan industri ekstraktif seharusnya

3 http://www.pwc.com.au/asia-practice/indonesia/assets/publications/ mineIndonesia-May-2013.pdf, page 28

dipandu oleh tata kelola yang kuat dan prinsip-prinsip yang transparan dari penyerapan kontrak dan lisensi, melalui operasi ladang minyak, hingga pemungutan dan penggunaan akhir dari hasil sewa. Berikut rantai nilai industri ekstraktif:

Bagan1 :Rantai Nilai Industri Ekstraktif

Sumber: E Mayorga Alba, 2009 - EI Value Chain: A comprehensive integrated approach to developing EI

Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Tahap pertama dari rantai tersebut adalah persiapan wilayah pertambangan. Perhatian utama pada tahapan ini ialah hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan “tingkat kandungan lokal” (local content) - termasuk konsultasi lokal dan penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa setempat – adalah aspek kunci di dalam industri ekstraktif. Apabila ditetapkan secara tepat, kewajiban tingkat kandungan lokal bisa meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial dan membantu mengurangi risiko proyek jangka panjang.

(8)

juga menaruh perhatian pada isu-isu terkait penonaktifan ladang minyak dan gas serta tambang yang patut diperhatikan secara cermat, termasuk pemantauan pasca penutupan.

Operasi pasca penambangan dan rehabilitasi lingkungan yang rusak adalah hal krusial untuk memastikan standar keamanan dan lingkungan. Selain itu, kegiatan ekonomi pascatambang juga harus menjadi perhatian. Jika masyarakat sadar akan hak-haknya dan mampu memperjuangkan agar hal itu dipenuhi, isu-isu ini bisa ditangani dengan baik dan mereka tidak akan menjadi warga negara yang lemah dan terus berada dalam ketidakpastian seperti halnya dalam pendekatan karitatif.

Pendekatan berbasis hak di dalam industri ekstraktif vital untuk menjamin bahwa orang-orang ini bisa memperoleh dampak positif dari kehadiran industri tersebut dan ini tidak hanya dirasakan oleh segelintir elit, tetapi juga oleh seluruh komunitas. Penerapan pendekatan

berbasis hak akan mengatasi efek-efek negatif dari kegiatan industri ekstraktif, yang menghasilkan fenomena kutukan sumberdaya (resource-curse phenomenon), karena hak komunitas dilindungi, dihormati dan dipenuhi berdasarkan aturan hukum internasional dan nasional sebagaimana kebutuhannya untuk menerapkan pembangunan partisipatif.

Oleh karena, industri ekstraktif memiliki karakter yang spesifi k, membawa dampak lingkungan yang besar terhadap warga sekitarnya dan mencakup serangkaian kegiatan di bidang pertambangan/ekstraksi, maka pendekatan berbasis hak ideal diberlakukan pada setiap fase kegiatan – (1) di dalam konsensus apakah pertambangan tersebut dilakukan atau tidak; (2) selama produksi, seperti peningkatan produksi dan aspek-aspek lingkungan di seluruh proses produksi; (3) transportasi hasil tambang yang bisa menghasilkan debu sepanjang rute,; dan (4) kegiatan pasca-pertambangan. Fase-fase ini diilustrasikan di dalam gambar berikut.

Gambar 2 : Titik Krusial dalam Siklus Pertambangan bagi FPIC

(9)

Pentingnya

Advokasi Berbasis

Hak Komunitas

A

dvokasi adalah proses pemanfaatan informasi secara strategis untuk mengubah kebijakan yang mempengaruhi hidup masyarakat yang dirugikan (disadvantaged people). Seringkali melibatkan lembaga-lembaga lobi pembangunan dan politik di belahan Utara. Keterampilan advokasi digunakan untuk menggugat kebijakan lokal, nasional dan internasional, memperkuat struktur yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan yang mengendalikan hidup mereka dan membuka kesempatan agar masyarakat dapat terlibat di dalam perubahan kebijakan. Salah satu jenis advokasi dikenal sebagai advokasi berbasis hak komunitas.

Advokasi berbasis hak komunitas telah dipromosikan dan dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Advokasi tipe ini berbeda dengan advokasi yang menawarkan bantuan kepada suatu komunitas tanpa

menyediakan suatu kerangka yang solid mengenai hak-hak masyarakat dan yang memandang mereka sebagai penerima alih-alih objek dengan hak-hak yang kuat.

(10)

Defi nisi & Kerangka

Internasional

Pendekatan Berbasis Hak

Pendekatan berbasis hak bisa dilacak dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan perjanjian lainnya yang membentuk Perundang-undangan Hak Internasional (International Bill of Rights). Hak-hak yang dicakup oleh perjanjian tersebut meliputi hak atas kehidupan, kemerdekaan (liberty) dan keamanan seseorang; hak persamaan di hadapan hukum; hak atas pendidikan dasar secara cuma-cuma; hak atas pekerjaan dan upah yang adil; hak atas kebebasan berpindah tempat, bertempat tinggal dan kebangsaan; kebebasan berpendapat, hati nurani, berkepercayaan, beragama dan hak untuk memiliki dan mengungkapkan pendapat tanpa intervensi. Negara-negara yang telah menyetujui hak-hak asasi manusia yang mendasar ini mempunyai kewajiban hukum dan moral untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Mereka adalah penanggung kewajiban hukum dari hak-hak ini dan harus menghormati kewajiban terhadap warga negaranya. Dengan deklarasi ini, hak komunitas disebut berdasarkan hak asasi manusia.

Pendekatan berbasis hak asasi manusia merupakan kerangka konseptual bagi proses perkembangan manusia yang secara normatif berlandaskan standar-standar hak asasi manusia internasional dan secara operasional diarahkan untuk mempromosikan dan melindungi manusia di dalam permasalahan pembangunan dan menyasar praktik-praktik diskriminasi dan distribusi kekuasaan yang tidak merata yang menghambat kemajuan pembangunan. Di dalam pendekatan hak asasi manusia, rencana, kebijakan dan proses pembangunan ditambatkan pada sistem hak dan kewajiban yang terkait dengannya yang ditetapkan lewat hukum internasional. Dengan demikian, pendekatan ini dapat mempromosikan

keberlanjutan pembangunan, pemberdayaan, khususnya pada kelompok masyarakat yang paling marjinal, untuk berperan serta di dalam perumusan kebijakan guna menuntut pertanggungjawaban terhadap mereka yang berkewajiban untuk bertindak.

Pendekatan berbasis hak mengakui penyebab kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan terletak pada pelanggaran hak-hak masyarakat dan mereka yang hak-hak asasi paling mendasarnya diingkari memiliki posisi secara hukum untuk mengadvokasi demi perubahan. Paradigma ini ditransformasikan dari paradigma yang memandang masyarakat sebagai ‘warga yang membutuhkan’ menjadi paradigma yang memandang bahwa apa yang secara fundamendal dan legal menjadi hak-hak masyarakat diingkari. Oleh karena itu, tugas utama di dalam mengadopsi pendekatan berbasis hak di dalam pembangunan komunitas adalah untuk menentukan bagaimana isu-isu yang diidentifi kasi oleh masyarakat tersebut berkorespondensi dengan hak-hak asasi yang hakiki, dan menggali bagaimana cara terbaik untuk menerapkan hak-hak ini di ranah lokal, nasional dan internasional. Lebih jauh, pendekatan berbasis hak bertujuan untuk memperkuat kemampuan negara untuk memenuhi kewajibannya sebagai penyandang kewajiban (duty bearers) dan memperluas kesempatan dialog yang konstruktif dengan penyandang hak.

Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free,prior and informed consent/FPIC)

(11)

ialah mekanisme dan proses dimana Masyarakat Adat (indigenous peoples/IPs) mengambil keputusan mereka sendiri atau independen kolektif mengenai persoalan-persoalan yang mempengaruhi mereka sebagai perwujudan hak atas tanah mereka, wilayah and sumberdaya; hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (self-determination); dan integritas budaya. FPIC dibuat sebagai suatu perangkat hukum lunak di dalam Deklarasi Masyarakat Adat PBB (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples/ UNRIP). FPIC bertujuan untuk menciptakan dialog dengan masyarakat dan mencapai kesepakatan tentang kapan dan dimana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mungkin memiliki dampak signifi kan pada masyarakat lokal dan lingkungan, dan sifat dari kompensasi dan paket manfaat yang terkait, mengatasi perbedaan kekuasaan dalam negosiasi di mana komunitas-komunitas semuanya terlalu sering memiliki suara yang jauh lebih lemah ketimbang pemerintah dan perusahaan-perusahaan. 4

Meski tidak memiliki defi nisi universal, FPIC umumnya menghendaki agar komunitas-komunitas diberi informasi secara memadai mengenai proyek-proyek pembangunan tepat pada waktunya dan diberikan kesempatan untuk menyetujui atau menolak proyek-proyek ini lepas dari tekanan yang tidak semestinya. FPIC merupakan hak yang disandang Masyarakat Adat berdasarkan hukum internasional dan mengemuka secara luas sebagai prinsip praktik terbaik bagi pembangunan berkelanjutan. FPIC juga bisa dilihat dari tingkat internasional dan regional. Berikut penjelasan dari kerangka tersebut:

I. Tingkat Internasional

Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli di Negara-negara Merdeka (International Labor Organizations’ Convention on Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) - 169/1989 merujuk pada prinsip persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan di dalam konteks

4 Abbi Buxton and Emma Wilson, FP)C and Extractive

)ndustries. ))ED:UK. , hlm.

relokasi Masyarakat Adat dari tanah mereka di pasal 6. Dalam pasal 6, 7 dan 15, konvensi tersebut bermaksud memastikan bahwa tiap upaya yang dilakukan negara telah melalui konsultasi penuh dengan Masyarakat Adat terkait pembangunan, tanah dan sumberdaya. 5

Naskah Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Dra Declaration on the Rights of Indigenous People/UNDD’ (Sub-komisi resolusi 1994/45, tambahan) merupakan instrumen yang mengemuka terkait hak-hak masyarakat asli yang secara eksplisit mengakui prinsip FPIC di dalam artikel 1, 12, 20, 27 dan 30. UNDD mengacu pada hak Masyarakat Adat untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi pembangunan atau menggunakan tanah, wilayah dan sumberdaya lain yang mereka miliki, termasuk FPIC dari negara terkait dengan pembangunan dan pemanfaatkan sumber permukaan dan sumber sub-permukaan seperti:

a) Pasal 10 tentang relokasi paksa;

b) Pasal 12 tentang budaya dan kekayaan intelektual;

c) Pasal 20 terkait tindakan legislatif dan administratif yang diambil oleh negara;

d) Pasal 27 terkait tanah, wilayah dan sumberdaya Masyarakat Adat;

e) Pasal 30 dengan perencanaan pembangunan.6

Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Racial (UN Commi ee on the Elimination of Racial Discrimination/CERD) membuat observasi, rekomendasi dan menghimbau negara untuk ‘memastikan bahwa anggota Masyarakat Adat memiliki hak terkait peran serta yang efektif dalam kehidupan publik dan tidak ada keputusan yang secara langsung berhubungan terhadap hak dan kepentingannya yang diambil tanpa persetujuan atas dasar informasi’ (Rekomendasi Umum XXIII 51 mengenai orang-orang Asli yang diadopsi pada Pertemuan Komite ke 1235, 1997).

5 Ronald busiinge, FPIC Concepts to responsible mining in sustaining rivers and community, http://archive.riversymposium.com/index. php?element=BUSIINGE

(12)

Pada tahun 2000, di dalam kesimpulan observasinya terhadap laporan Australia, CERD menegaskan, rekomendasinya bahwa pihak negara menjamin peran serta yang efektif dari komunitas-komunitas asli di dalam pelbagai keputusan yang mempengaruhi hak-hak mereka atas tanah, sebagaimana dituntut pasal 5C dari Konvensi dan Rekomendasi Umum XXIII dari Komite, yang menekankan pentingnya menjamin ‘persetujuan atas dasar informasi’ dari Masyarakat Adat.7

Konvensi Keanekaragaman Biologis (Convention on Biological Diversity/CBD) 1992 di dalam pasal 8(J) meminta negara-negara yang terikat kontrak menghormati, melestarikan dan mempertahankan pengetahuan, inovasi dan praktik komunitas-komunitas lokal dan asli untuk mempromosikan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemangku kepentingan dari aset tersebut.

Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) 1992 menerima Masyarakat Adat sebagai kelompok utama implementasi Agenda 21. Pasal 22 Deklarasi Rio secara eksplisit menyebutkan bahwa Masyarakat Adat dan komunitasnya dan komunitas lokal lainnya berperan vital di dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan karena pengetahuan dan praktik-praktik tradisional mereka. Negara seharusnya mengakui dan sepatutnya mendukung identitas, budaya dan kepentingan mereka, dan memungkinkan peran serta mereka secara efektif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Agenda 21 dan Prinsip-Prinsi Hutan mengakui: hak-hak adat terhadap tanah dan kekayaan intelektual dan budaya dan mempertahankan praktik adat dan administratifnya; kebutuhan akan partisipasi yang lebih besar; nilai dari keterlibatan mereka di dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.

II. Tingkat Regional

Naskah Deklarasi Amerika tentang Hak-hak Masyarakat Adat dari Organisasi Negara-negara Bagian Amerika (American Declaration on the Rights of Indigenous Peoples of the Organization of American States/‘OAS’)pada

7 Opcit, hlm. 5

pasal XVII dan XXIII menyatakan bahwa negara memperoleh FPIC sebelum persetujuan proyek apapun yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumberdaya Masyarakat Adat, khususnya terkait pembangunan, pemanfaatan atau eksplorasi mineral, air dan sumberdaya.

Komisi Hak Asasi Inter-Amerika (Inter-American Commission on Human Rights/‘IACHR’) telah mengembangkan yurisprudensi yang luas mengenai FPIC. Komisi tersebut telah menyatakan hukum hak asasi manusia Inter-Amerika membutuhkan langkah-langkah khusus untuk menjamin pengakuan terhadap kepentingan khusus dan kolektif Masyarakat Adat yang di dalamnya terdapat pekerjaan dan penggunaan lahan tradisional dan sumberdaya mereka serta hak untuk tidak dicerabut dari kepentingan ini, kecuali dengan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi. Pada 2003, IACHR menyatakan bahwa FPIC secara umum dapat diterapkan pada keputusan negara yang akan membawa dampak kepada tanah Masyarakat Adat dan komunitasnya, seperti pemberian konsesi untuk mengeksploitasi sumberdaya alama di wilayah-wilayah adat8.

Strategi dan prosedur pada isu-isu sosio-budaya yang terkait dengan Lingkungan Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American Development Bank/IADB) 1990 menetapkan bahwa secara umum IDB tidak akan mendukung proyek-proyek yang mengenai tanah dan wilayah kesukuan, kecuali jika disetujui masyarakat suku asli. FPIC sudah disertakan di dalam kebijakan IADB mengenai Transmigrasi Non-Sukarela.

Pada 1998 Dewan Menteri Uni Eropa (European Union/EU) mengadopsi sebuah Resolusi yang berjudul Masyarakat Suku Asli di dalam Kerangka Kerjasama Pembangunan Komunitas dan Negara-negara Anggota. Kerangka tersebut menetapkan bahwa masyarakat asli berhak menentukan jalur pembangunannya sendiri, yang mencakup hak terhadap objek-objek, khususnya di lingkungan tradisional mereka. Hal ini diteguhkan lagi pada 2002 oleh Komisi Europa, yang menyatakan bahwa EU mengartikan penyataan ini setara dengan FPIC.

(13)

Sementara itu, negara-negara di wilayah Asia Tenggara mengadopsi instrumen hak asasi manusia kawasan pertama kali pada 18 November 2012 yang disebut sebagai Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human Right Declaration/AHRD) - Pernyataan Phnom Penh9. AHRD merupakan

tata cara standar pertama, dokumen politik untuk mengkodifi kasikan hak-hak asasi mendasar dan kebebasan fundamental di negara-negara anggota ASEAN yang harus mereka hormati, promosikan dan lindungi. Deklarasi ini juga merupakan perwujudan komitmen para pemerintah ASEAN untuk mengamankan hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental masyarakat ASEAN. AHRD sejalan dengan komitmen ASEAN di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Di sisi lain, pembukaan Naskah Perjanjian ASEAN tentang Akses terhadap Sumberdaya Biologis dan Genetis (Southeast Asian Nations Dra Agreement on Access to Biological and Genetic Resources) 2000 mengakui prinsip fundamental bahwa persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan dari negara anggota dan masyarakat asli serta komunitasnya yang mengejawantahkan gaya hidup tradisional haruslah dijamin sebelum akses dapat terjadi10.

III. Tingkat Nasional

Filipina, Malaysia, Australia, Venezuela, Peru, dan sebagainya memiliki legislasi nasional mengenai persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan Masyarakat Adat untuk seluruh kegiatan yang berdampak pada tanah dan wilayahnya.

Di Filipina Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat (1997) mengakui hak Masyarakat Adat terhadap FPIC untuk semua kegiatan yang mempengaruhi tanah dan wilayahnya termasuk:

a) Eksplorasi, pembangunan dan penggunaan sumberdaya alam;

b) Penelitian bioprospecting;

c) Pemindahan dan relokasi;

d) Eksplorasi arkeologis;

9 AICHR:What you need to know (2nd edition). 2012, The ASEAN Secretariat : Jakarta

10 Makalah Kebijakan. Framework for incorporating indigenous communities within the rules accompanying the Sabah Biodiversity Enactment 2000. November : 2004

e) Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi Masyarakat Adat seperti Perintah Eksektutif 263 (Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas);

f) Masuknya militer.

Venezuela mengadopsi sebuah hukum tentang keanekaragaman hayati (biodiversity) pada Mei 2000. Pasal 39 menetapkan bahwa pelestarian keanekaragaman budaya melalui pengakuan dan promosi pengetahuan tradisional (traditional knowledge/TK’ dan Pasal 44 memilik ketentuan bahwa penyandang TK ini dapat menentang penyerahan akses terhadap sumberdaya atau materi genetis atau projek TK di wilayah mereka atau meminta pemberhentian kegiatan yang mereka takutkan akan berdampak terhadap warisan budaya dan keanekaragaman hayatinya11. Negara

bagian Sarawak, Malaysia, menyetujui Ordonansi Pusat Keanekaragaman Hayati Sarawak 1977, dan kemudian regulasi-regulasi Keanekaragaman Hayati Sarawak 1998 (Akses, Koleksi dan Penelitian). Dewan Sarawak bertanggung jawab atas pengaturan akses, koleksi, riset, proteksi, pemanfaatan dan ekspor sumberdaya biologis negara bagian. Pada 2004, Negara Bagian Sabah di dalam ‘Kerangka untuk mempersatukan Masyarakat Adat dengan peraturan-peraturan yang menyertai Undang-undang Keanekaragaman Hayati Sabah 2000’ menciptakan sistem aturan yang menjamin bahwa masyarakat asli akan sepanjang waktu dan senantiasa menjadi pencipta, pengguna dan pemelihara pengetahuan tradisional dan akan secara kolektif menikmati manfaat dari penggunaan pengalaman semacam itu.

Di lima negara bagian Australia, persetujuan tanpa paksaan telah diperoleh melalui Dewan Pertanahan yang dikendalikan masyarakat asli secara hukum di kawasan tambang selama lebih dari 30 tahun. Prosedur persetujuan ini diulas oleh Institut Penelitian Ekonomi dan Industri Nasional pada 1999, yang mendapati bahwa mereka telah sukses di dalam mengawal kontrol masyarakat Aborigin terhadap tanahnya dan juga menetapkan bahwa sebuah proses negosiasi yang

(14)

memungkinkan peningkatan porsi lahan Aborigin di wilayah yang tersedia bagi eksplorasi mineral. Secara keseluruhan, syarat utama FPIC ialah partisipasi. Partisipasi diperlukan karena di dalam proses FPIC keputusan-keputusan yang diambil akan mengarah pada pembangunan sumberdaya yang secara sosial dapat diterima dan secara politik berkelanjutan, sertaakan menyediakan pertimbangan yang berimbang dari pemerintah, perusahaan-perusahaan dan masyarakat sipil.

FPIC tentang Pandangan Kerangka ICMM

Di samping kerangka tersebut di atas, terdapat pula kerangka dan pandangan lain mengenai FPIC. Dewan Internasional Tambang dan Logam (International Council on Mining and Metals/ ICMM) didirikan pada 2001 untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang berkelanjutan di industri tambang dan logam. Sasaran utama ICMM ialah untuk membangun hubungan yang konstruktif antara perusahaan-perusahaan tambang dan logam dengan masyarakat asli berdasarkan asas saling menghormati, keterlibatan yang bermakna, kepercayaan dan manfaat bersama.

Di dalam kerangka ICMM, FPIC meliputi suatu proses dan hasil. Melalui proses ini, Masyarakat Adat: (i) mampu mengambil

keputusan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi; (ii) diberi waktu yang cukup untuk terlibat di dalam pembuatan keputusan proyek sebelum keputusan-keputusan kunci dibuat dan dampaknya terjadi; dan (iii) diinformasikan secara penuh mengenai proyek tersebut serta dampak dan manfaat potensialnya. Hasilnya, masyarakat asli bisa memberi atau menahan persetujuan tanpa paksaan terhadap suatu proyek, melalui sebuah proses yang diusahakan konsisten dengan proses pembuatan keputusan tradisional mereka sembari menghormati hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan berdasarkan pada perundingan dengan itikad baik. Komitmen di dalam pernyataan posisi yang terkait dengan persetujuan tanpa paksaan ini berlaku bagi proyek-proyek baru dan mengubah proyek-proyek yang sudah ada, yang mungkin sekali akan memilik dampak yang signifi kan bagi komunitas Masyarakat Adat. Pernyataan posisi ini tidak berlaku surut. Masyarakat Adat dan bukan Masyarakat Adat kemungkinan akan terdampak secara signifi kan, para anggota boleh memilih untuk memperluas komitmen yang dicantumkan di dalam pernyataan posisi tersebut kepada masyarakat di luar Masyarakat Adat.

Gambar 3: Visi dan Komitmen ICMM

Mengenai kerangka ICMM, seluruh anggota mengakui bahwa:

ICMM member commitments

10 principles for sustainable development + 6 position statements

1. Implement ethical business practices and apply good corporate governance 2. Integrate SD in corporate

decision-making

3. Uphold fundamental human rights

4. Manage risks based on sound science

5/6. Improve environment, health and safety performance continuously 7. Conserve biodiversity &

contribute to integrated land use planning

8. Encourage a life cycle approach to materials management 9. Contribute to community

development

10. Publicy report, independently assure and engage openly and transparently

Mining and Protected Areas Mining: Partnerships for Development Climate Change Mining and Indigenous Peoples

Mercury Risk Management Transparency of Mineral Revenues

ICMM at a glance

ICMM Vision leading mining and

metals companies working together and with others

to strengthen creating value for shareholders while

simultaneously creating value for the communities and societies in which they

operate

Our role: a catalyst for improving enviromental and social performance in the mining and metal’s industry

t

(15)

1. Masyarakat Adat memiliki hubungan yang khusus dan mendalam, dan diidentifi kasikan dengan, tanah dan air dan unsur-unsur ini terikat pada kesejahteraan fi sik, spiritual, budaya dan ekonomi. Mereka juga mungkin mempunyai pengetahuan dan pengalaman tradisional yang berharga di dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Masyarakat Adat di banyak wilayah di seluruh dunia sudah secara historis dirugikan dan mungkin masih sering mengalami diskriminasi, tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian. Proyek-proyek tambang dan logam bisa memiliki imbas positif dan negatif yang signifi kan pada komunitas-komunitas lokal.

2. Kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di proyek-proyek tambang dan logam umumnya diakui sebagai satu atau lebih dari hal-hal berikut: pemilik sertifi kat formal lahan atau kepentingan hukum yang diakui atas lahan atau sumberdaya; penuntut kepemilikan atas lahan atau sumberdaya; secara adat pemilik atau penghuni lahan atau sumberdaya; pengguna lahan atau sumberdaya untuk keperluan-keperluan seperti berburu, memancing, mengumpulkan benih/buah dan obat, atau untuk keperluan spiritual atau ritual; berada dalam objek material atau sumberdaya budaya yang bermakna; berada dalam lanskap yang punya arti khusus karena asosiasi, tradisi atau kepercayaan; anggota dari komunitas setempat yang lingkungan sosial, ekonomi dan fi siknya mungkin dipengaruhi oleh pertambangan dan kegiatan terkait.

3. Masyarakat Adat memiliki hak-hak dan kepentingan-kepentingan individu dan kolektif dan secara internasional diakui bahwa hak-hak mereka ini harus dilindungi oleh pemerintah dan dihormati oleh perusahaan-perusahaan yang terkait. Dua instrumen internasional kunci di dalam bidang ini adalah Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 169 mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli (1989), dan Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP) yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada September

200712. “UNDRIP meletakkan hak-hak yang

seharusnya dicita-citakan oleh negara-negara untuk bisa diakui, dijamin dan dilaksanakan” dan “membentuk sebuah kerangka diskusi dan dialog antara Masyarakat Adat dan Negara.”13

4. Proyek-proyek tambang dan logam yang sukses membutuhkan dukungan jajaran pihak-pihak yang berkepentingan dan terdampak. Ini meliputi baik persetujuan legal formal dan regulatoris yang dianugerahi oleh negara dan dukungan yang luas dari masyarakat setempat yang menerima perusahaan. Masyarakat Adat seringkali memiliki karakteristik budaya, struktur tata kelola dan cara berinteraksi dan membuat keputusan yang menjauhkannya dari penduduk yang bukan masyarakat asli. Hal tersebut menuntut perusahaan-perusahaan untuk terlibat dengan cara-cara yang pantas secara budaya dan menaruh perhatian pada kapasitas, hak-hak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di dalam konteks keterlibatan komunitas yang lebih luas. Negara memiliki hak untuk mengambil keputusan tenang pembangunan sumberdaya menurut aturan hukum nasional yang berlaku, termasuk aturan hukum yang melaksanakan kewajiban negara penerima di bawah hukum internasional. Beberapa negara telah membuat penetapan persetujuan secara eksplisit melalui hukum nasional dan sub-nasional. Akan tetapi di kebanyakan negara, “baik Masyarakat Adat ataupun kelompok penduduk lainnya memperoleh hak untuk memveto proyek-proyek pembangunan yang mempengaruhi mereka”, sehingga FPIC harus dipandang sebagai sebuah “prinsip untuk dihargai setinggi-tingginya di dalam perencanaan dan implementasi”14.

5. Negara juga mempunyai peran penting yang harus ia mainkan di dalam mengikutsertakan Masyarakat Adat. Mereka mungkin terlibat dalam menentukan komunitas mana saja yang harus dianggap asli, membentuk proses untuk

12 Per October 2012, 22 negara telah meratifi kasi ILO 169 yang bersifat mengikat secara hukum di negara-negara tersebut.

13 Sebagaimana dinyatakan dalam UN Development Group’s Guidelines on Indigenous Peoples’ Issues (2008).

(16)

mencapai FPIC dan menentukan bagaimana ini terkait dengan proses-proses yang diatur untuk memastikan peran serta komunitas di dalam pengambilan keputusan. Mengingat peran mereka di dalam menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat dengan masyarakat yang lebih luas, negara juga punya tugas penting di dalam mencari resolusi dari perselisihan pendapat yang mungkin timbul antara Masyarakat Adat dan perusahaan untuk mencapai FPIC.

6. Di beberapa negara, istilah asli (indigenous) mungkin kontroversial dan istilah-istilah setempat yang kurang lebih setara mungkin digunakan (seperti masyarakat suku asli/ tribal peoples, masyarakat pertama/fi rst peoples, masyarakat pribumi/native people, dan masyarakat aborigin. Di dalam situasi lainnya, mungkin tidak ada pengakuan akan pelecehan oleh negara, atau istilah tersebut mungkin memiliki asosiasi negatif sehingga menghalangi orang untuk mengakui identitas asli.

Terlepas dari konteks lokal, para anggota ICMM menolak segala bentuk diskriminasi atau kekurangan yang terkait dengan budaya, identitas, kerentana dan akan berusaha menerapkan prinsip-prinsip yang diejawantahkan di dalam pernyataan posisi ini terhadap kelompok-kelompok yang memperlihatkan apa yang umumnya diterima sebagai ciri-ciri Masyarakat Adat. 15

ICMM juga memiliki komitmen di dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan ICMM di mana perusahaan-perusahaan anggota ICMM berkomitmen untuk:

1. Terlibat dengan Masyarakat Adat yang punya potensi terkena dampak, dengan tujuan: (i) menjamin bahwa pembangunan proyek tambang dan logal memelihara penghormatan terhadap hak-hak, kepentingan, aspirasi, budaya dan penghidupan masyarakat asli yang berbasis sumberdaya alam; (ii) menyusun proyek-proyek untuk menghindari dampak

15 Sebagaimana didefi nisikan adalam ILO 169 dan diringkas dalam bagian section 1.3 dari ICMM’s Good Practice Guide: Indigenous Peoples and Mining (2010).

yang merugikan dan meminimalisir, mengelola atau memberi ganti rugi dampak-dampak ikutan yang tak terhindarkan; dan (iii) memastikan manfaat dan kesempatan yang berkelanjutan bagi Masyarakat Asli melalu pengembangan proyek-proyek tambang dan logam.

2. Memahami dan menghormati hak-hak, kepentingan dan perspektif Masyarakat Adat terkait sebuah proyek dan dampak potensialnya. Kajian dampak sosial dan lingkungan atau analisis sosial dasar akan dikerjakan untuk mengidentifi kasi siapa saja yang mungkin terkena dampak dari suatu proyek dan juga sifat dan jangkauan dampak potensial pada Masyarakat Adat dan komunitas-komunitas yang punya potensi terimbas. Pelaksanaan kajian semacam ini seharusnya bersifat partisipatoris dan inklusif untuk membantu membangun pemahaman lintas budaya antara perusahaan-perusahaan dan komunitas-komunitas, serta mendukung sasaran sebagaimana digambarkan pada komitmen 1 di atas.

(17)

ketika terjadi perselisihan pendapat atau kebuntuan sebagaimana digambarkan oleh komitmen 6 di bawah ini. Rencana tersebut harus mendefi nisikan apa yang merupakan persetujuan tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat yang akan terkena dampak secara signifi kan. Keterlibatan dan proses konsultasi yang disepakati harus diterapkan lewat kerjasama dengan komunitas-komunitas adat yang potensial terkena dampak, melalui cara yang menjamin partisipasi mereka secara proposional di dalam pembuatan keputusan.

4. Pekerjaan untuk memperoleh persetujuan tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat untuk proyek-proyek baru (dan berlaku untuk proyek-proyek yang sudah ada) terletak pada lahan yang secara tradisional dimiliki oleh atau di bawah penggunaan adat Masyarakat Adat dan kemungkinan besar akan memiliki imbas besar terhadap Masyarakat Adat, termasuk dimana relokasi Masyarakat Adat dan/atau dimana warisan budaya yang kritis akan terkena dampak secara signifi kan akan terjadi16. Proses-proses persetujuan tanpa

paksaan harus berfokus untuk mencapai kesepakatan yang menjadi dasar suatu proyek (perubahan atau proyek yg sudah ada) untuk terus dilanjutkan. Proses-proses ini seharusnya tidak memberikan hak veto terhadap individu-individu atau sub-kelompok maupun menuntut dukungan persetujuan penuh dari Masyarakat Adat yang berpotensi terkena dampak (kecuali jika dimandatkan secara hukum). Proses-proses persetujuan tanpa paksaan seharusnya tidaklah menuntut perusahaan-perusahaan untuk menyetujui aspek-aspek di luar kendali mereka.

5. Berkolaborasi dengan pejabat berwenang yang bertanggung jawab untuk mencapai hasil yang konsisten dengan komitmen-komitmen di dalam pernyataan posisi ini, dalam situasi dimana pemerintah bertanggung jawab mengelola kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat dengan membatasi campur tangan perusahaan. Dimana pemerintah setempat menuntut para anggota untuk mengikuti proses-proses yang sudah disusun

16 Relokasi Masyarakat Adat dan dampaknya terhadap warisan budaya krisits haruslah dihindari sejauh yang dimungkinkan.

untuk mencapai hasil melalui pernyataan posisi ini, para anggota ICMM tidak diharapkan menjalani proses-proses yang paralel.

6. Mengantisipasi kemungkinan bahwa perbedaan pendapat akan muncul, yang dalam beberapa kasus mungkin mengarah pada kemunduran atau penundaan di dalam mencapai kesepakatan yang sedang dirundingkan dalam itikad baik. Perusahaan-perusahaan dan komunitas-komunitas yang potensial terkena dampak harus menyetujui ujian yang masuk akal atau kesempatan untuk kembali ke awal, yang akan diterapkan manakala perbedaan pandangan muncul. Hal ini mencakup mencari pertimbangan atau nasihat dari pihak-pihak yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Pada saat komitmen 4 berlaku dan persetujuan tanpa paksaan tidak dicapai kendati seluruh pihak sudah mencoba usaha terbaiknya, untuk menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan Masyarakat Asli dan masyarakat yang lebih luas, pemerintah mungkin menetapkan bahwa suatu projek harus diteruskan dan memerinci ketentuan-ketentuan yang harus berlaku. Di dalam keadaan semacam ini, para anggota ICMM akan menentukan apakah mereka seharusnya tetap terlibat di dalam sebuah proyek.

Hak terhadap Informasi

Informasi merupakan kebutuhan fundamental baik bagi individu maupun masyarakat secara luas. Hak terhadap informasi juga dipandang sebagai hak asasi manusia yang hakiki dan juga esensi dari tata kelola yang baik dan demokrasi yang bekerja dengan baik. Kebebasan informasi (Freedom of Information/FOI) punya peran kunci di dalam mendukung pengawasan terhadap pemerintah dan pengelolaan informasi yang tepat adalah bagian dari upaya untuk menciptakan masyarakat yang melek informasi. Seluruh badan publik, termasuk legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bertanggung jawab untuk menjamin kebebasan informasi, dan tanggung jawab ini juga meluas hingga ke organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat di dalam menghantarkan jasa-jasa publik17.

(18)

Hak terhadap informasi juga merupakan ide dasar di balik gerakan yang lebih luas bagi pemerintahan yang terbuka dan akuntabel yang saat ini mendapatkan daya dorong dan pengakuan yang lebih luas. Perkembangan yang patut diperhatikan di wilayah ini adalah digulirkannnya Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka (Open Government Partnership) pada 2011 yang berpotensi membuka kesempatan baru bagi masyarakat sipil untuk mendesak pengakuan dan penghormatan yang lebih besar bagi hak terhadap informasi.

Secara umum, hak terhadap informasi mencakup hak untuk:

1. Memeriksa pekerjaan, dokumen dan rekaman.

2. Membuat catatan, ringkasan atau kopi dokumen atau rekaman yang sah.

3. Mengambil sampel materi yang sah.

4. Memperoleh informasi dalam bentuk material cetak, disket, fl oppy, pita, video, dan kaset atau di dalam bentuk elektronik apapun atau melalui materi cetak.

Ada beberapa prinsip hak terhadap kebebasan informasi yang dikemukakan oleh rezim nasional maupun internasional yang harus dipertimbangkan, seperti:

Pertama-tama, penyingkapan maksimal (maximum disclosure) yang terdiri atas praduga bahwa seluruh informasi yang dipegang badan publik tunduk pada penyingkapan dan bahwa praduga ini boleh dilampaui hanya di dalam keadaan-keadaan yang sangat terbatas. Lebih jauh, prinsip ini merangkum alasan mendasar yang mendasari konsep kebebasan informasi itu sendiri dan idealnya ia seharusnya ditetapkan di dalam Konstitusi untuk memperjelas bahwa akses terhadap informasi resmi adalah hak mendasar. Tujuan sampingan legislasi seharusnya adalah untuk mengimplementasikan penyingkapan maksimal di dalam praktik. Badan-badan publik memiliki kewajiban untuk menyingkap informasi dan setiap anggota masyarakat memilik hak yang bersesuaian untuk menerima informasi.

Kedua, kewajiban untuk mengumumkan prinsip dan badan publik yang wajib menyiarkan informasi. Kekebasan informasi menyiratkan

tidak hanya badan publik tersebut mengabulkan permintaan informasi, melainkan juga menyiarkan dan menyebarkan secara luas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan kepentingan publik, hanya terhadap batasan-batasan yang proporsional terhadap sumberdaya dan kapasitas. Informasi harus disiarkan dan bergantung pada badan publik terkait. Hukum harus menetapkan baik kewajiban umum untuk menyiarkan informasi dan kategori-kategori kunci informasi yang harus disiarkan. Badan-badan publik harus berkewajiban untuk menyiarkan informasi dalam kategori sebagai berikut:

a) Informasi operasional mengenai bagaimana badan publik tersebut berfungsi, termasuk biaya, tujuan, akun yang diaudit, standar, capaian, dan seterusnya, khususnya dimana badan tersebut menyediakan jasa langsung kepada publik;

b) Informasi berdasarkan permintaan apa saja, keluhan atau tindakan langsung yang diambil oleh anggota masyarakat terkait dengan badan publik tersebut;

c) Panduan yang melalui keberadaannya para anggota masyarakat dapat melayangkan masukan bagi proposal kebijakan dan perundang-undangan;

d) Tipe informasi yang dipegang badan tersebut dan bentuknya; dan

e) Isi dari keputusan atau kebijakan apa saja yang mempengaruhi publik, bersama dengan alasan-alasan bagi keputusan tersebut dan materi latar belakang mengenai pentingnya merumuskan keputusan tersebut.

(19)

Studi Kasus dari

Asia Tenggara

Studi Kasus Indonesia

Sejarah Partisipasi Warga Negara di era reformasi (misalnya pada anggaran, pembuatan kebijakan publik, perencanaan pembangunan nasional serta pada sektor industri ekstraktif juga menyebutkan momentum pembentukan hukum Keterbukaan Informasi Publik, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, Hukum Lingkungan serta Keputusan Mahkamah Konstitusi diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan Keputusan Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada judicial review

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Hukum dan keputusan lain Mahkamah Konstitusi pada judicial review UU Kehutanan.

Di bawah rezim Soeharto, komunitas dan para aktivis pendamping melakukan kegiatan-kegiatan advokasi dengan membantu komunitas secara langsung mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya. Salah satu contoh kasus di bidang industri ekstraktif ialah yang terkait dengan kasus tambang PT Freeport Indonesia. Merespons protes keras warga Amungme terhadap hilangnya ruang hidup mereka, PT Freeport Indonesia menyepakati Perjanjian Januari 1974. Kelahiran Perjanjian Januari disebut-sebut sebagai peristiwa bersejarah bagi suku ini karena perjanjian tersebut menjadi perjanjian formal antara Freeport dan warga Amungme di bawah pengawasan rezim Soeharto yang diwakili oleh pemerintah provinsi Papua. Dengan kesepakatan ini, suku Amungme harus secara sukarela melepaskan tanahnya untuk dijadikan kawasan pertambangan dan sebagai gantinya, Freeport akan menyediakan berbagai fasilitas sosial dan kesempatan bekerja. Fasilitas-fasilitas tersebut dibangun dalam lima tahun dan menghabiskan US$14 juta per tahunnya.

Amiruddin (2003) menyatakan bahwa isi perjanjian tersebut secara substansial tidak membawa perbaikan apapun bagi kehidupan

suku Amungme karena pelaksanaannya sangatlah tergantung pada rencana pemerintah daerah, pemerintah pusat dan Freeport. Alhasil, orang-orang Amungme tidak lebih dari sekadar objek pembangunan baik bagi pemerintah maupun Freeport18. Kasus ini membuktikan bahwa dana

bantuan yang diberikan kepada komunitas tidaklah efektif jika warganya diposisikan sebagai objek bantuan atau aksi karikatif alih-alih sebagai pihak yang hak-haknya harus dipenuhi. Situasi ini bisa makin bertambah buruk manakala dana bantuan kian menipis. Persoalan yang dihadapi suku Amungme ini sulit dihindarkan karena di bawah rezim Soeharto, ruang partisipasi warga sangatlah terbatas. Kegiatan pertambangan adalah keniscayaan oleh komunitas sesuai dengan UU No. 11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan.

Perubahan politik yang berhembus pasca lengsernya Soeharto membuka jalan bagi penguatan hak-hak komunitas seperti yang ditetapkan melalui TAP MPR No. IX/2011 mengenai Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Terkait dengan industri ekstraktif, hak-hak masyarakat untuk berpartisipasi tertuang dalam UU Kehutanan, UU Minyak dan Gas, UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Upaya ini juga diperkuat melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU Kehutanan.

Yang tak kalah penting ialah keberadaan UU No. 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral baru menetapkan apakah kontrak-kontrak pertambangan termasuk kategori informasi publik atau tidak pada 2013. Akibatnya, komunitas masih harus berjuang

(20)

untuk mengetahui apakah hak-haknya dijamin di dalam kontrak pertambangan yang dibuat oleh pemerintah dan perusahaan. Sumberdaya mineral dan batubara dimiliki oleh negara dan diklaim digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi nyatanya, negara mengontrolnya dan tidak menawarkan kesempatan yang luas bagi partisipasi warga.

Pendekatan berbasis hak-hak komunitas di industri ekstraktif sangatlah sulit diterapkan di negara yang tidak demokratis dan tidak memberikan ruang bagi komunitas untuk benar-benar berpartisipasi. Menyusul jatuhnya rezim orde Baru, kesempatan pun tersedia bagi masyarakat untuk membela hak-haknya melalui pendekatan ini. Advokasi yang dipimpin oleh masyarakat sipil kemudian mendesakkan perubahan peraturan, antara lain TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan ini menyatakan bahwa pembaruan Agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip di antaranya:

a. Menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;

b. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;

c. Mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat dan keberagaman budaya bangsa yang berdasarkan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Pendampingan masyarakat menggunakan pendekatan berbasis hak terus berlanjut melalui uji materi terhadap beberapa aturan, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU Kehutanan, yang bertujuan untuk memastikan hak-hak komunitas sebagaimana dituangkan di situ secara tegas mengakui hak-hak masyarakat. Oleh karena itu, advokasi terhadap masyarakat dilakukan bukan sekadar karena mereka membutuhkan, melainkan juga untuk mencari hak-hak apa saja yang dilanggar, memulihkan hak-hak tersebut dan mengukuhkannya di dalam aturan, misalnya lewat uji materi perundang-undangan. Kegiatan-kegiatan paralegal dan pemberian informasi tentang hak-hak warga yang terdampak oleh industri ekstraktif pun menjadi mungkin.

Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia

Pada masa pemerintahan Soeharto, UU No. 11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ialah kebijakan pengelolaan sumberdaya esktratif yang paling penting. Undang-undang ini tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk melaksanakan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi. Jika negara telah menetapkan sebuah kawasan untuk menjadi lokasi pertambangan, penduduk yang tinggal di sekitarnya haruslah mengalah dan menerimanya. Pendekatan advokasi masyarakat berdasarkan hak tidak mungkin diterpakan karena pemerintah menganggap persetujuan rakyat terhadap rencana pertambangan tersebut tidaklah perlu. Pemerintah mengklaim pertambangan ditujukan untuk melayani kepentingan publik kendati dikelola oleh pihak swasta.

Setelah kejatuhan Soeharto, perjuangan komunitas untuk melindungi ruang hidupnya dari kegiatan ekstraktif menguat. Izin-izin pertambangan yang dikeluarkan selama periode ini makin banyak, sehingga partisipasi warga semakin penting, mulai dari tuntutan masyarakat di lapangan hingga perubahan kebijakan dan upaya hukum. Diantaranya ialah uji materi terhadap UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk bisa membuka partisipasi warga. Kesuksesan masyarakat sipil lainnya adalah uji materi terhadap UU Kehutanan yang memungkinkan Masyarakat Adat mengelola hutan secara penuh di bawah hukum adat sebagai bagian dari haknya. Dengan dipraktikkannya prinsip-prinsip ini, industri ekstraktif yang hendak memanfaatkan hutan Masyarakat Adat harus tunduk dengan mekanisme FPIC agar dapat memperoleh persetujuan warga.

Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia

(21)

terdiri dari 4 lapisan: (1) Konstitusi, (2) TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (3) beberapa Undang-undang yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan, minyak dan gas, kehutanan) beserta Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, dan (4) Keputusan Mahkamah Konstitusi, termasuk mengenai pertambangan mineral dan batubara serta kehutanan.

Konstitusi

• Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Pasal 27 ayat2)

• Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak bisa diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. (Pasal 28H ayat 4)

• Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.(Pasal 28H ayat 1)

• Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat 3)

TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Reformasi agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia,

mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan mengoptimalkan partisipasi rakyat.

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Setiap orang berhak:

c. Memperoleh salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-undang ini; dan/atau

d. Menyebarluaskan Informasi Publik Mineral dan Batubara

Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab; secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, serta berwawasan lingkungan;

(Pasal 10).

UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

1. Kontrak kerjasama wajib memuat antara lain, pengembangan masyarakat sekitar dan menjamin hak-hak Masyarakat Adat; (Pasal 11)

2. Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada: tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik Masyarakat Adat;

(Pasal 33)

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.

(2) Masyarakat dapat:

a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan,

pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

(22)

Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral danBatubara (Keputusan MK No. 32 Tahun 2010)

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang frasa “… memperhatikan pendapat masyarakat” dalam tidak dimaknai “wajib melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.”

Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi UU No. 41 Tahun 1999 (Keputusan MK No. 35 Tahun 2012)

Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Keputusan ini menghentikan monopoli penguasaan negara atas hutan dan memberikan landasan hukum bagi Masyarakat Adat untuk mengelola kawasan hutan.

Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan hidup telah menggunakan sarana regulasi ini untuk memperkuat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan bagi warga. Tetapi, Indonesia masih memerlukan aturan-aturan yang lebih rinci, konkret dan mampu melindungi hak-hak warga lewat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.

Peran Organisasi Masyarakat Sipil

(OMS) dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas

Kasus Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta

Masyarakat Kulonprogo umumnya hidup dari bertani. Mereka menghabiskan waktu luangnya dengan beternak, seperti lembu, kambing dan bebek, dan pada umumnya mereka memiliki ternak. Mereka juga menanam pisang dan manga di pekarangan. Warga hidup bergotong royong, misalnya dengan membersihkan jalan bersama-sama.

Pada 2005 sebuah rencana untuk membuka penambangan pasir besi pun mengemuka dan ditolak oleh sebagian besar warga. Persetujuan terhadap usulan tersebut hanya diberikan oleh mereka yang tinggal di luar daerah yang direncanakan sebagai wilayah pertambangan. Rencana tersebut akan berdampak pada tiga kecamatan, yakni Galur, Panjatan and Wates.

(23)

Salah satu warga yang bernama Maryanto mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti bertani karena mereka lebih suka menjadi petani daripada penambang pasir. Mereka tidak perlu memperoleh ijazah maupun berurusan dengan jadwal kerja yang ketat. Apa yang mereka kerjakan juga berhasil menciptakan lapangan kerja bagi warga lainnya. Buruh pemetik cabai dari ketiga kecamatan yang terkena dampak bersatu padu dan menghadang rencana penambangan tersebut. Mereka mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) pada April 2006.

Perusahaan yang mereka hadapi adalah PT Jogja Magasa Iron yang memperoleh Kontrak Karya (KK/Contract of Work) yang ditandatanganinya dengan pemerintah Republik Indonesia pada 4 November 2008. Proyek tambang pasir besi di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini dinyatakan akan membangun industri pembuatan besi terpadu. Kontrak kerja ini ialah yang pertama di Pulau Jawa dan merupakan kontrak karya pertama yang dikeluarkan sejak krisis ekonomi dan penyelenggaraan otonomi daerah.

Naskah kontrak karya tersebut telah direkomendasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun demikian, warga di sekitar wilayah tambang yang direncanakan tersebut tidak pernah dilibatkan atau dimintai persetujuannya sebelum kontrak tersebut dibuat.

Saham PT Jogja Magasa Iron 30 persen dimiliki perusahaan Indonesia, PT Jogja Magasa Mining, dan 70 persen dipegang oleh perusahaan asal Australia, Indo Mines Limited. Cadangan besi yang ditemukan dalam pasir besi di lokasi tersebut berjumlah 33.6 juta ton Fe dan produksinya direncanakan mencapai 1 juta ton per tahun. Cadangan ini diperoleh dari konsentrat pasir besi. Proyek ini akan menambang bagan galian pasir besi dengan sistem tambang terbuka (open pit) dan hasilnya akan diolah menjadi konsentrat untuk kemudian menghasilkan besi kasar (pig iron) dengan kandungan Fe>94%. Menurut rencana, perusahaan tersebut akan memulai kegiatan penambangan pada 2011 dan memproduksi besi

kasar pada 2012. Namun, karena protes warga petani, proyek tersebut hingga kini belum beroperasi.

Pada tahap konstruksi perusahaan akan menyerap 5.000 tenaga kerja lokal, sementara di fase awal produksi ia akan mempekerjakan 3.000 orang. Angka ini lebih rendah dari jumlah petani yang akan terkena dampak investasi ini yaitu 50.000 orang, sehingga ini berarti industri pertambangan tersebut tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi warga.

Investasi dari perusahaan tersebut secara total akan mencapai US$1,1 miliar, yang terdiri dari US$5 juta untuk persediaan (bahan baku), US$ 6 million untuk pemasangan rel (rail sliding), US$350 juta untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik 350 megawa (MW), US$10 juta untuk fasilitas pelabuhan dan US$600 juta untuk investasi pertambangan. Proyek ini diharapkan setiap tahun menyumbang US$20 juta ke penerimaan negara melalui setoran pajak, US$ 11,25 juta dari royalti, US$7 juta dari pendanaan lokal dan US$55 juta melalui pengeluaran operasional.

Pada 10 tahun pertama PT Jogja Magasa Iron diperkirakan akan menyumbang 1,5% dari penjualannya masing-masing ke pemerintah daerah dan ke pengembangan komunitas (community development), yang setelah periode tersebut akan ditingkatkan menjadi 2%. Kendati demikian, tawaran ini dinilai tidak dapat menyejahterakan warga dan mereka lebih memilih bertani di lahan tepian pantai. Komunitas tersebut mempertahankan ruang hidupnya dari pertambangan melalui penolakan langsung yang disampaikan ke instansi pemerintah terkait dan pendidikan terhadap warga.

Komunitas menyatakan:

(24)

di bawah ancaman karena kebijakan pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk menambang pasir besi dan membangun pabrik baja di wilayah yang dihuni oleh dan menyediakan mata pencaharian bagi penduduknya. Hanya dengan mengetahui rencana ini saja, pertambangan ini telah memicu konfl ik antara masyarakat dan pemerintah, tanpa akhir di depan mata”19.

Proses yang menetapkan ruang hidup mereka sebagai kawasan tambang tidak bersesuaian dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Kontrak Karya PT Jogja Magasa Mining dibuat tatkala Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyatakan bahwa wilayah pesisir didesain sebagai kawasan pertanian, pariwisata dan perikanan. Komite khusus RTRW 2009 dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara jelas menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak diperuntukkan bagi pertambangan. Berlawanan dengan keputusan ini, pemerintah provinsi dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral secara sepihak menunjukkan sebagai wilayah pertambangan.

Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang dikendalikan oleh kekuasaan feodal sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2012. Warga yang menolak penambangan menghadapi intimidasi dan kriminalisasi. Sekelompok orang menyerang pos penjagaan dan poskamling yang didirikan warga. Insiden ini terjadi pada 2008. Sekitar 200 orang bersenjata merusak fasilitas-fasilitas umum, seperti poskamling, pos ronda dan rumah-rumah warga. Polisi menindak pelaku sebagai respons terhadap aduan warga, tetapi tidak menyasar para pelaku utama, menurut laporan lanjutan warga kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat

19 http://325.nostate.net/library/position-paper-summary.pdf

(DPR). Selain ke polisi, warga juga melaporkan insiden perusakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun sayangnya, mereka tidak dapat memperoleh hasil sesuai yang diharapkan.

Kemudian pada 2000, warga setempat dikriminalisasi dengan dakwaan melanggar Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu merampas kebebasan hak orang lain. Tukijo, salah satu pemimpin yang mengorganisir perjuangan warga melawan pertambangan pasir besi tersebut, divonis bersalah dan ia dihukum dengan kurungan tiga tahun penjara.

(25)

Studi Kasus Filipina

Kerangka Regulasi

Masyarakat Adat Filipina terdiri dari sejumlah besar suku bangsa asli yang tinggal di negara tersebut. Mereka adalah keturunan penduduk asli Filipina. Mereka tidak tersapu kolonisasi berabad-abad oleh Spanyol dan Amerika Serikat di Kepulauan Filipina, dan sepanjang proses tersebut mereka mempertahankan adat-istiadat dan tradisi mereka. Masyarakat Adat Filipina telah mencapai langkah signifi kan di dalam upaya melindungi wilayah kekuasaan leluhur mereka beserta identitasnya. Kendati berhadapan dengan marjinalisasi politik dan ekonomi, mereka berhasil mendapatkan traksi hukum di dalam perjuangan mempertahankan diri dari beragam ancaman.

Pada 1997, Kongres Filipina mengesahkan Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples’ Rights Act/IPRA Law) atau Undang-undang Republik No. 8371, yang mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat budaya adat/Masyarakat Adat, menetapkan mekanisme implementasi, menyisihkan dana dan mencapai tujuan-tujuan lainnya20. Undang-undang ini mengakui hak

Masyarakat Adat untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyediakan mekanisme perlindungan wilayah kekuasaan leluhur Masyarakat Adat dan segala sumberdaya yang terkandung di dalamnya. IPRA mengadopsi konsep “persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan” (FPIC) sebagai alat untuk membentengi hak-hak Masyarakat Adat dan memberi mereka ruang untuk berbicara tentang persoalan-persoalan yang berimbas pada mereka. FPIC di dalam konteks ini menuntut agar komunitas Masyarakat Adat diperlengkapi dengan informasi yang memadai dan dapat diakses, dan bahwa konsensus ditentukan sesuai dengan hukum adat dan praktik-praktik Masyarakat Adat bebas dari segala bentuk manipulasi maupun koersi dari luar. IPRA menuntut agar FPIC diperoleh sebelum

20 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples’ Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371 (1997)

proses ekstraksi sumberdaya dilakukan di wilayah kekuasaan leluhur dan tanah adat mereka. Jika berjalan secara efektif, FPIC melambangkan alat yang kritis untuk mewujudkan penentuan nasib sendiri (indigenous self-determination), mempromosikan partisipasi warga di dalam pembuatan keputusan dan memitigasi risiko konfl ik di sekitar proyek sumberdaya alam.

Sayangnya, meski ada aturan keras yang berlaku, Masyarakat Adat di Filipina menghadapi kendala-kendala yang cukup berarti dalam merealisasikan haknya untuk memberi atau menahan FPIC. Catatan kebijakan ini menggambarkan perlindungan hukum kunci bagi FPIC di Filipina maupun rintangan bagi efektifnya pelaksanaan FPIC di masa lalu. Selain itu, catatan kebijakan ini juga menyoroti corak pelaksanaan aturan yang diadopsi pemerintah pada 2012 untuk mempromosikan implementasi FPIC yang lebih baik di masa mendatang.

Konstitusi Filipina 1987

Konstitusi Filipina mengandung ketentuan eksplisit mengenai perlindungan hak-hak Masyarakat Adat. Konstitusi ini menjamin hak-hak Masyarakat Adat terhadap ranah kekuasaan leluhur dan tanah. Konstitusi 1987 memperlihatkan pergeseran kebijakan “dari asimilasi dan integrasi menuju pengakuan dan pelestarian.21

Berikut pasal-pasal yang relevan dari Konstitusi tersebut:

• Bagian 22 dari Pasal II. Negara mengakui dan mempromosikan hak-hak komunitas budaya adat ada di dalam kerangka kesatuan nasional dan pembangunan.

• Bagian 5 dari Pasal VI. Selama tiga masa berlaku berturut-turut setelah diratifi kasinya Konstitusi ini, setengah dari kursi partai

(26)

dialokasikan dan akan dialokasikan bagi para perwakilan masyarakat adat da ar22 ,

sebagaimana ditetapkan oleh hukum, melalui seleksi atau pemungutan suara dari buruh, petani, kaum miskin kota, komunitas budaya adat, perempuan, kaum muda, dankelompok lainnya yang serupa seperti ditetapkan hukum, kecuali kelompok keagamaan.

• Bagian. 5 dari Pasal. XII. Negara, tunduk pada ketentuan Konstitusianal kebijakan dan program pembangunan nasional, akan melindungi hak-hak masyarakat budaya adat di tanah leluhur mereka untuk memastikan kesejahteraan ekonomi, sosial dan budayanya.

• Kongres mungkin mempersiapkan kondisi yang memungkinkan penerapan hukum adat yang mengatur hak milik atau hubungan-hubungan yang menentukan kepemilikannya dan luas wilayah kekuasaan leluhur.

• Bagian 6 dari Pasal XIII. Negara akan menerapkan prinsip-prinsip pembaruan agraria atau penatalayanan (stewardship), kapan saja dapat diterapkan sesuai dengan Undang-undang, dalam disposisi atau pemanfaatan sumberdaya alam lainnya, termasuk tanah di ranah publik yang sedang disewakan atau dalam konsesi yang cocok untuk pertanian, tunduk pada hak sebelumnya, hak atas rumah dan pekarangan dari penghuni skala kecil, dan hak terhadap tanah leluhur mereka.

• Bagian 17 dariPasal XIV. Negara akan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak budaya masyarakat adat untuk menjaga kebudayaan, tradisi, dan institusi mereka. Hal ini akan menjadikan pengakuan hak-hak tersebut dimasukkan dalam rencana dan kebijakan nasional.

• Bagian 12 dari Pasal XVI. Kongres mungkin membentuk badan konsultasi untuk memberikan nasihat kepada Presiden mengenai kebijakan-kebijakan yang berdampak pada komunitas budaya adat, yang mayoritas anggotanya akan berasal dari komunitas semacam itu.

22 Menurut Konstitusi, perwakilan daftar partai berjumlah 20% dari jumlah total perwakilan di daftar tersebut.

Undang-undang hak asasi Masyarakat Adat 1997 (Indigineous Peoples’ Rights Act/IPRA)

Mantan president Fidel Valdez Ramos memprakarsai pertemuan-pertemuan badan legislatif dan eksekutif wilayah dan masyarakat sipil untuk merumuskan satu agenda pembangunan bersama. Agenda ini menjadi kerangka komprehensif pemerintah di dalam mengentaskan kemiskinan. Sebuah “da ar hal-hal yang dapat dikerjakan” (doable list) dirumuskan, memprioritaskan agenda sektor-sektor dasar melalui capaian konsensus dan proses kolaborasi konsultatif dari badan-badan pemerintah nasional dan masyarakat sipil. Agenda ini telah menjadi “Agenda Reformasi Sosial” (Social Reform Agenda/SRA)23”. SRA ialah seperangkat reformasi

utama yang terpadu untuk memperbaiki proses-proses demokratis dan memungkinkan warga negara untuk a) memenuhi kebutuhan dasar dan menjalani kehidupan yang layak; b) memperluas andil sumberdaya yang darinya mereka bisa hidup atau meningkatkan hasil dari kerja; dan c) memungkinkan mereka untuk berperan serta secara efektif di dalam proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hak-hak, kepentingan dan kesejahteraan mereka.24 SRA

menghasilkan berbagai undang-undang yang penting, termasuk IPRA.

IPRA melaksanakan ketetapan konstitusi yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak dan kepentingan Masyarakat Adat terkait wilayah kekuasaan leluhur mereka25. Penegakan

IPRA yang menonjol menandai pergeseran dua paradigma di dalam cara pemerintah memandang Masyarakat Adat. Pertama, hal ini menggugat gagasan bahwa negara memonopoli pelaksanaan undang-undang. IPRA mengakui sistem hukum Masyarakat Adat yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan, mengidentifi kasi luas wilayah kekuasaan leluhur, dan dapat dijadikan

23 Carlos Bueno, The Social Reform Agenda, MetroPost

24 United Nations, Social Aspects of Sustainable Development in the Philippines (April 1998)

Gambar

Gambar 1. Nilai Ekspor Tiga Komoditas Mineral
Gambar 2 : Titik Krusial dalam Siklus Pertambangan bagi FPIC
Gambar 3: Visi dan Komitmen ICMM

Referensi

Dokumen terkait

Apakah anda mempunyai permasalahan dengan lingkungan bergaul anda

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan anak

Titik yang berpotongan antara garis beban dan garis kurva dioda disebut titik Q yang akan menunjukkan nilai sebenarnya dari arus dioda dan tegangan dioda untuk

- UMPER berhak menghubungi dan meminta pertanggungjawaban dari pihak panitia jika terdapat pelanggaran dalam penggunaan ruangan terkait kebersihan, kerapian,

Penerapan metode demonstrasi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA tentang energy dan gerak benda.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Using ELISA, Bcl-2 protein was measured in postmortem temporal cortex (Brodmann area 21) from the Stanley Foundation Neuropathology Consortium in control, schizophrenic, bipolar,

Konsep yang digunakan adalah pengambilan region of interest (ROI) dari video, dilakukan background subtraction untuk mendapatkan latar depan, deteksi kendaraan