• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Praktik dan Tantangannya

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 128-135)

Syahrial Martanto Wiryawan

B.2. Pengalaman Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Praktik dan Tantangannya

Pemenuhan hak-hak prosedural bagi saksi dan korban di LPSK merupa kan bentuk layanan yang termasuk tinggi jumlahnya di antara jenis-jenis layanan lainnya, kecuali pada kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu, bisa dikatakan hampir seluruh saksi dan korban yang diterima permohonan perlindungannya, mendapatkan layanan pemenuhan hak pro- se dural. Tabel di bawah ini menggambarkan perkembangan jumlah layanan hak prosedural (ba gi saksi dan korban) dibandingkan layanan lainnya dari tahun 2010-2014.17 Jumlah layanan peme-

nuhan hak prosedural pada tahun berikutnya tidak bnerbeda jauh dari laporan tahun 2014. Tahun 2015 tercatat 385 layanan hak prosedural dan tahun 2016 tercatat 526 layanan pemenuhan hak prosedural yang dilaksanakan LPSK.18

no Jenis layanan 2010 2011 2012 2013 2014

1 Hak Prosedural 68 246 352 261 422

2 Perlindungan Fisik 11 9 76 26 121

3 Bantuan Medis 4 44 131 443 753

4 Bantuan Rehabilitasi Psikologis dan Psikologis 9 62 164 328 392

5 Restitusi 2 5 20 125 202

6 Kompensasi - - - - -

Bentuk-bentuk layanan pemenuhan hak-hak prosedural yang dijalankan LPSK, diberikan sesuai dengan kebutuhan saksi dan korban. Penyesuaian bentuk layanan berdasarkan telaah awal kebutuhan bentuk layanan saksi/korban yang dilakukan pada saat penerimaan permohonan per- lindungan. Sifat layanan hak pro sedural dinamis, sesuai perkembangan dan kebutuhan saksi dan korban. Artinya, dalam pelaksanaan perlindungan nantinya bisa dilakukan penambahan atau pe- ngurangan layanan.

Secara garis besar, bentuk layanan hak prosedural adalah pendampingan terhadap saksi dan korban dalam setiap tahapan pemeriksaan (dari penyelidikan, penyidikan hingga pemeriksaan di persidangan). Pendampingan dilakukan un tuk memastikan saksi dan korban mendapatkan du- kungan penuh dari LPSK da lam memberikan keterangan yang sebenarnya tanpa tekanan atau per- tanyaan menjerat. Saksi dan korban harus mendapatkan jaminan perlindungan saat mem berikan

16 Deinisi undang-undang “Anak yang Berkonlik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah be- rumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Lihat Pasal 1 angka 3 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

17 Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2014. https://www.lpsk.go.id/assets/uploads/iles/7470d 2304eef7ec20ca2e7c6489a79cb.pdf

Pemenuhan Hak-Hak Prosedural Bagi Saksi dan Korban

keterangan, baik pada tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di persidangan sehingga mereka bisa memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik, hakim atau pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan.

Dalam hal ini, saksi dan/atau korban harus diberikan kebebasan dalam memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia ketahui, dengar dan alami sendiri (Lihat Pasal 52 dan 117 KUHAP). Adanya pendampingan dalam tahap pemeriksaan dapat mencegah/mengurangi terjadinya tekan- an-tekanan kepada saksi dan atau korban dalam proses pemeriksaan. Misalnya untuk tidak diperiksa secara terus-menerus selama 24 jam penuh tanpa jeda atau istirahat yang cukup, diperiksa pada waktu malam hari atau tengah malam, diperiksa di bawah ancaman, tekanan atau bentakan-ben- tak an. Pertanyaan dalam kategori menjerat, apabila disebutkan suatu tindak pidana yang tidak di- akui telah dilaku kan atau dialami, dilihat atau diketahui oleh saksi atau tidak dinyatakan oleh sak- si, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka yang demikian itu dianggap sebagai per tanyaan yang bersifat menjerat.19 Selanjutnya KUHAP menyatakan, pertanyaan menjerat tidak

boleh diajukan kepada terdakwa dan juga kepada saksi. Hal itu perwujudan prinsip bahwa kete- rang an saksi ha rus diberikan secara bebas tanpa tekanan dan tanpa ancaman, mengingat pro ses pe meriksaan (cross examination) menjadi kewenangan aparat penegak hu kum lain yang tidak da pat di intervensi oleh pihak lain sehingga diperlukan koor dinasi yang intens dan terbuka dengan pe ne- gak hukum. Pendampingan, termasuk memberikan nasihat hukum oleh LPSK, penting dalam pro ses ini untuk memberikan pemahaman dan memastikan bahwa saksi dan korban yang diajukan da lam proses peradilan memiliki hak untuk menolak menjawab perta nyaan-pertanyaan yang menjerat.

Bentuk lainnya dengan memastikan hak-hak saksi dan korban dalam administrasi peradilan terpenuhi, terkait hak atas informasi atas perkembangan penanganan kasus, putusan, atau dalam hal terpidana bebas. Pemenuhan hak prosedural terkait informasi tersebut, misalnya berguna bagi penelahaan potensi ancaman terhadap saksi/korban dari terpidana setelah yang bersangkutan menjalani hukuman. Dalam kondisi tertentu, saksi dan korban atas dasar per tim bangan adanya inti- midasi atau potensi ancaman, akses informasi terha dap identitas saksi dan korban ditutup se hingga penyampaian kesaksian bisa dila kukan tanpa hadir langsung di pengadilan, melainkan melalui kesaksian yang dibacakan penuntut umum atau kesaksian melalui sarana elektronik audio visual (telekonferensi atau video konferensi).

Terkait saksi pelaku (justice collaborator), dapat dilakukan beberapa tin dakan prosedural, seperti pemisahan pemberkasan antara saksi pelaku de ngan tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkap. Sedangkan bagi pelapor beritikad baik (whistle blower), me miliki hak perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan yang disampaikan kepada penegak hukum.

Sebagai deskripsi pengalaman LPSK dalam melaksanakan hak prose dural dalam persi dang- an, yaitu Kasus I dengan terlindung RAH yang disidang kan di pengadilan militer di Sumatera, dan Kasus II dengan tujuh orang korban yang disidangkan di pengadilan negeri di Jawa Barat. Kasus I, RAH adalah korban dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual dengan terdakwa sebanyak tu juh orang prajurit. Hasil Keputusan LPSK Nomor: A.240/KEP/RP-LPSK/II/2016 dan A.241/KEP/ RP-LPSK/II/2016 tanggal 20 Februari 2017, menyatakan me nerima permohonan perlindungan dengan layanan pemenuhan hak prosedural kepada RAH dan ibunya berupa pendampingan selama menjalani pemeriksaan, bantuan medis dan psikologis untuk pemulihan korban RAH. Pen- dampingan untuk penguatan secara psikologis/mental korban RAH dilakukan LSM setempat, se- kaligus bantuan hukum berupa pendampingan oleh advokat setempat. Sidang dilaksanakan pa da

tanggal 5 Juni 2017 sesuai standar operasional prosedur di LPSK. Tim pendamping sebelum pe lak- sanaan sidang akan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terkait pelaksanaan pendam- pingan kepada ketua pengadilan setempat yang ditembuskan kepada majelis hakim yang meng- adili perkara yang bersangkutan.

Sidang yang dijadwalkan jam 08.00 pagi, baru dimulai pukul 10.00. Peng unduran itu dika- renakan alasan menunggu pengacara terdakwa. Secara umum kondisi persidangan kondusif na- mun kurang representative, mengingat ruang tunggu korban (yang akan bersaksi) berdekatan dengan ruang tunggu para terdakwa yang berjumlah tujuh orang. Dengan pertimbangan situasi itu da pat memengaruhi psikologis korban, lalu korban ditempatkan di luar gedung pengadilan sambil Tim Pendamping LPSK meminta kepada ketua pengadilan untuk bisa menyediakan ruang tunggu yang representatif. Ketua pengadilan melalui kebijakannya menyediakan salah satu ruang yang kemudian difungsikan sebagai ruang tunggu bagi korban.

Waktu persidangan tiba dan korban dipanggil ke ruang persidangan untuk bersaksi, korban bersama tim pendamping dari LPSK masuk ke ruang si dang. Pada saat persidangan akan dimulai, hakim ketua meminta para tim pen damping untuk ke luar ruang sidang, dengan pertimbangan kasus asusila, sidang dilakukan tertutup. Tim pendamping menyampaikan penjelasan terkait tu gas dan fungsi LPSK dalam konteks pendampingan berikut dasar hukumnya dan me nyatakan kebe- ratan atas perintah hakim. Namun, ketua majelis hakim bersikukuh atas keputusannya tersebut. Atas pertimbangan menghargai peng adil an, tim pendamping dari LPSK ke luar dari ruangan persidangan.

Atas peristiwa tersebut, tim pendamping menyampaikan keberatan ke pada ketua peng- adilan. Dasar untuk meminta pendamping ke luar dari ruang sidang karena dikhawatirkan informasi yang sensitif akan bocor, dinilai tidak berdasar karena pendampingan telah dilakukan sejak penyidikan dan pen dam ping bertanda tangan di tiap halaman berita acara pemeriksaannya. Pada saat itu juga saksi/korban ditanyakan oleh tim pendamping, apakah yang ber sang kutan keberatan dan tidak bersedia jika diperiksa di persidangan tanpa pen dampingan, korban menyatakan akan tetap meneruskan persidangan karena ber bagai pertimbangan. Seandainya korban menyatakan tidak bersedia, tim pen damping akan membawa pulang saksi/korban tersebut. Merespon peris- tiwa tersebut, LPSK mengirimkan surat kepada Ketua Mahkamah Agung pada 12 Juni 2017 (No mor Surat R-1798/1.3/LPSK/06/2017) yang pada intinya meminta perhatian dari pimpinan Mah kamah Agung terkait peristiwa penolakan majelis hakim terhadap pendamping korban yang se dang me- laksanakan tugasnya. Atas surat tersebut, Mahkamah Agung merespon dengan cepat melalui surat tertanggal 11 Juli 2017 Nomor 1795/PAN/HK.04/7/2017 perihal penjelasan. Pada inti nya, setelah mem pelajari dan meneliti permasalahan tersebut. Mahkamah Agung menyatakan, ber dasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, LPSK berwenang melakukan pendampingan saksi/korban dalam proses peradilan. Oleh karenanya tidak terdapat alasan bagi majelis hakim untuk menolak keha diran dan memerintahkan petugas LPSK ke luar ruang sidang dengan alasan persidangan di- nyatakan tertutup untuk umum.

Kasus II, LPSK memberikan perlindungan kepada tujuh korban tindak pidana perdagangan orang dan kekerasan seksual yang diperdagangkan melalui jaringan internet lewat sebuah grup media sosial dengan empat orang terdakwa. Berdasarkan Keputusan LPSK Nomor: A.1516/KEP/ RP-LPSK/XI/2016 s/d A.1522/KEP/RP-LPSK/XI/2016 tanggal 14 November 2016, LPSK menerima per- mohonan perlindungan tujuh orang korban dengan bentuk layanan pemenuhan hak pro sedural bagi saksi/korban, berupa pemeriksaan melalui video konferensi atau telekonferensi. Pertimbangan dalam memberikan layanan hak prosedural be rupa pemeriksaan saksi/korban melalui video kon-

Pemenuhan Hak-Hak Prosedural Bagi Saksi dan Korban

ferensi atau telekonferensi di dasarkan karena enam orang korban masih berusia di bawah 18 tahun dan ka rakter kasusnya, jika si korban sampai terekspose ke publik, dikhawatirkan me mengaruhi psikologis dan sosiologis kepada korban dan keluarganya.

Segera setelah pelimpahan berkas dari penyidik ke jaksa rampung, LPSK berkoordinasi dan menyampaikan saran kepada kejaksaan untuk melaksanakan pemeriksaan saksi/korban melalui video konferensi atau telekonferensi. Usulan itu disambut kejaksaan, namun ketetapan untuk bisa atau tidaknya acara peme riksaan, diputuskan oleh hakim. Selanjutnya pada saat proses persidangan di mulai, jelang pemeriksaan saksi/korban, LPSK mengajukan surat untuk ber koor dinasi dengan ketua pengadilan dan majelis hakim terkait permohonan pe me rik saan saksi/korban melalui video konferensi atau telekonferensi. Pada koor di nasi tersebut, dengan landasan pemeriksaan anak saksi/ anak korban se ba gai ma na diatur Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di se tujui untuk pemeriksaan saksi/korban anak menggunakan sarana video konferensi.

Hari persidangan pun ditentukan dan para korban dijadwalkan menyam paikan keterangan/ kesaksiannya pada tanggal 6 Februari 2017. Sehari sebelum persidangan dilaksanakan, atas izin ketua pengadilan, Tim LPSK menyiapkan perangkat video konferensi di pengadilan, berupa pe ma- sangan video kamera, perangkat suara dan mixer yang akan mengatur lalu lintas konferensi. Tim LPSK juga memastikan tidak ada celah bagi pengunjung pengadilan untuk da pat melihat saksi/ korban di ruang tunggu, ruang pemeriksaan dan ruang si dang utama dimana hakim, jaksa, advokat ser ta terdakwa berada. Semua kaca ruangan di tiga ruang itu ditutup sementara.

Sehari sebelum persidangan, para saksi/korban dikumpulkan untuk di beri kan pengarahan yang materinya berupa pengenalan prosedur persidangan, etika dalam persidangan dan teknis video konferensi. Pada hari pelaksanaan, sidang dengan agenda keterangan saksi/korban berlang- sung lancer. Sterilisasi dilakukan di area dekat ruang tunggu saksi dan ruang pemeriksaan, yang ter pisah dari ruang sidang utama dilakukan. Setiap pergerakan dari ruang ke ruang, wajah saksi/ korban ditutup dengan topeng untuk menghindari pengambilan gam bar secara sembunyi-sem- bunyi. Secara keseluruhan sidang berjalan baik. Saksi/korban didampingi selama proses peme rik- saan. Sinergi penyidik, penun tut umum dan hakim, berjalan baik dan memuaskan. Terakhir, rekam- an penuh proses persidangan diserahkan kepada pengadilan sebagai dokumentasi yang secara hukum merupakan hak dari pengadilan.

Dari dua contoh kasus tersebut, tergambar bagaimana dinamika peme nuhan hak-hak pro- sedural bagi saksi dan korban dalam praktik. Ternyata tidak semua penegak hukum memahami hak- hak saksi dan korban dalam proses acara pidana. Di sisi lain, terdapat pula penegak hukum yang memiliki pengetahuan dan perspektif yang komprehensif mengenai hak-hak saksi dan korban yang memerlukan tindakan prosedural yang berasal dari otoritas yang dimilikinya.

C. PENUTUP

Potret mengenai hak-hak prosedural bagi saksi dan korban pada tataran konsep, penormaan pada peraturan perundang-undangan dan praktiknya di Indo nesia, memberikan kesadaran dan wawasan bahwa pemenuhan hak-hak pro sedural saksi dan korban bukan menjadi tugas dan tang- gung jawab Lem ba ga Perlindungan Saksi dan Korban semata. Namun, dibutuhkan peran dan ke- sa daran dari penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim melalui kewenang annya yang diberikan undang-undang untuk mewujudkannya dalam penegakan hukum.

Kembali pada akar konsep dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak prosedural saksi dan korban, maka perlu dipertimbangkan uraian berikut:

dan diberikan penghormatan atas martabatnya, termasuk dalam proses wawancara selama pemeriksaan, mulai dari proses penye lidikan, penyidikan, penuntutan hingga persidangan. 2. Pengejawantahan prinsip non-diskriminasi terhadap orang yang menjadi saksi atau korban

dalam semua segi pada pelaksnaan administrasi per adilan pidana.

3. Proses peradilan pidana selayaknya memberikan ruang bagi saksi dan kor ban untuk berperan serta, dimana peranan saksi dan korban penting untuk menghindari perasaan bahwa mereka hanya dimanipulasi un tuk ke pentingan pembuktian semata. Beberapa sistem hukum telah me ma suk kan dan mengakui pandangan korban (victim opinion termasuk vic tim impact statement) sebagai bagian dalam tahapan acara peradilan pidana.

4. Elemen mendasar untuk menghormati martabat saksi dan korban adalah jaminan adanya perlindungan yang efektif bagi orang yang akan bersaksi dengan menerapkan prisnsip “tidak merugikan/membahayakan” (do no harm) dan memastikan keamanan mereka sebe- lum, selama dan setelah proses peradilan.

Pemenuhan Hak-Hak Prosedural Bagi Saksi dan Korban

daFtar PuStaka Black’s Law Dictionary, Tenth Edition, West Publishing Co, 2014.

Council of Europe, Procedural Protective Measures for Witnesses Training Manual for Law- Enforcement Agencies and The Judiciary., Council of Europe Publishing, 2006.

Larry Alexander, Are Procedural Rights Derivate Substantive Rights?, Law and Philoshopy, Kluwer Academic Publishers, 1998.

Lorraine Wolhuter, Meil Olley, and David Denham, Victimology, Victimisation and Victims’ Rights, Routledge, 2009.

Ministry of Justice, Code of Practice for Victims of Crime, Ministry of Justice - United Kingdom, 2013. Nancy Flowers et al, The Human Rights Education Book; Efective Practices for Learning, Action, and

Change, The Human Resource Center and The Stanley Foundation, University of Minnesota 2000.

UNODC, Good Practices for the Protectionof Witnesses in Criminal Proceedings Involving Organized Crime, UNODC Vienna, 2008.

Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2014. Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2015. Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2016.

Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 128-135)