• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Korban Penyelundupan Manusia oleh LPSK

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 167-173)

Abdanev Jopa

B.7. Perlindungan Korban Penyelundupan Manusia oleh LPSK

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan, baik dalam bentuk isik, dukungan hak prose dural, fasilitas medis dan psikologis serta pengajuan restitusi/ganti kerugian.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Per ubahan atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan saksi dan kor ban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta be- bas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah dibe- rikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya;

j. mendapat identitas baru;

k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru;

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum;

o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

p. mendapat pendampingan. B.8. Praktik Perlindungan oleh LPSK

Pada awal tahun 2017, berawal dari kerja sama petugas Imigrasi Makassar bersama dengan penyidik Bareskrim dalam melakukan penggerebekan di se buah rumah di Makassar, berhasil mengamankan sembilan orang warga negara Nepal. Demi kepentingan proses hukum, Bareskrim meminta empat orang di antaranya tetap tinggal di Indonesia sebagai saksi, sementara lima orang lainnya dideportasi.

Dari hasil pemeriksaan diketahui empat warga negara Nepal dijanjikan bekerja di Jepang dan Australia melalui Indonesia sebagai negara transit. Da lam perkembanganya, empat orang warga negara Nepal kerap dimintai sejum lah uang yang berkisar antara USD8.000–12.000, namun hingga dilakukan pe nangkapan oleh petugas Imigrasi Makassar bersama penyidik Bareksrim, empat warga negara Nepal itu tidak diberangkatkan. Bareskrim kemudian menetapkan tiga orang pelaku yang terpisah menjadi dua berkas perkara.

Pada 15 Maret 2017, Bareskirm memohonkan perlindungan bagi em pat orang warga ne- gara Nepal dan satu orang Indonesia. Atas permohonan ter se but, LPSK melalui Divisi Penerimaan Permohonan melakukan investigasi dengan hasil di antaranya bahwa ada indikasi para pelaku mempunyai potensi mela kukan ancaman terhadap kelima orang saksi. Sebagai tindak lanjut, melalui Rapat Paripurna LPSK diputuskan memberikan perlindungan kepada lima orang dimaksud. Satu orang warga negara Indonesia dilidungi dalam kapasitasnya se bagai petugas Imigrasi yang melakukan penangkapan. Pada saat diterimanya perlindungan, proses penanganan perkara sudah masuk dalam tahap persidangan.

LPSK melakukan koordinasi dengan Kantor Imigrasi Klas I Jakarta, Rumah Tahanan Detensi Imigrasi (Rudemin) Jakarta, Kantor Imigrasi Klas 1 Kota Makassar dan Rudemin Makassar, mengingat satu orang warga negara Nepal ditempatkan di Rudemin Jakarta dan tiga warga negara Nepal lainya ditempatkan di Rudemin Makassar, demi kepemntingan teknis perlindungan yang diberikan LPSK.

Dalam tiga kali agenda persidangan, LPSK melakukan beberapa bentuk perlindungan di antaranya:

1. melakukan pengamanan, pengawalan dan penjemputan kepada satu warga negara Nepal dari Rudenim Jakarta dan menempatkannya dalam pengamanan LPSK;

2. melakukan pengamanan dan penjemputan kepada tiga warga negara Nepal di Rudenim Makassar;

3. melakukan koordinasi dengan Pengadilan Negeri Makassar terkait perlindungan LPSK; 4. melakukan koordinasi dengan pihak keamanan PN Makassar terkait dengan akses masuk

dan keluar gedung PN Makassar;

5. melakukan koordinasi dengan Sekretaris PN Makassar dalam hal ruang tunggu bagi para saksi;

6. melakukan pengamanan dan pengawalan kepada satu warga negara Nepal dalam agenda pemulangan dari Makassar ke Rudenim Jakarta;

7. melakukan perhitungan restitusi atas korban untuk diajukan kepada jaksa penuntut umum (JPU);

LPSK Dalam Kasus Penyelundupan Manusia, Praktik dan Tantangan

8. melakukan koordinasi dengan pihak Imigrasi terkait agenda pemulangan para korban; 9. melakukan pengamanan dan pengawalan melekat pada saat bersaksi di persidangan

kepada satu orang warga negara Indonesia yang merupakan terlindung LPSK;

10. melakukan koordinasi dengan Kepolisian Resor Kota Makassar dalam hal kerja sama perlindungan isik terhadap satu terlindung warga negara Indonesia;

11. LPSK melakukan koordinasi dengan Kedutaan Besar India, dalam hal me nye diakan pener- jemah bagi empat orang terlindung warga negara Nepal;

12. LPSK memastikan kepulangan terlindung (saksi) ke negara asalnya; dan

13. LPSK berperan aktif menjaga kondisi psikilogis para korban warga ne gara Nepal. B.9. Tantangan

Dalam melakukan perlindungan dalam kasus penyelundupan manusia, LPSK menemukan beberapa tantangan ke depan, di antaranya:

1. Perlunya koordinasi dan komunikasi yang baik dengan pihak Imigrasi dan Rumah Detensi Imigrasi dalam praktik perlindungan yang dilakukan LPSK bagi orang asing yang berada di Detensi Imigrasi.

2. Pengaturan secara teknis mengenai penempatan warga negara asing yang menjadi saksi, perlu dilakukan MoU dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara LPSK-Imigrasi yang lebih kongkrit terkait penanganan per lin dungan terhadap warga negara asing.

a. UU Nomor 6 Tahun 2011 dalam Pasal I angka 33 menyebutkan Rumah Detensi Imigrasi memiliki unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian.

b. UU Nomor 6 Tahun 2011 dalam Pasal 83 mengatur penempatan warga negara asing dalam Rumah Detensi Imigrasi jika:

1) berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki izin tinggal yang sah atau memiliki izin tinggal yang tidak berlaku lagi;

2) berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki dokumen perjalanan yang sah; 3) dikenai tindakan administratif keimigrasian berupa pemba talan izin tinggal

karena melakukan perbuatan yang berten tangan dengan peraturan perundang- undangan atau meng ganggu keamanan dan ketertiban umum;

4) menunggu pelaksanaan deportasi; atau

5) menunggu keberangkatan keluar wilayah Indonesia karena ditolak pemberian tanda masuk.

c. Dari beberapa ketentuan di atas dapat diambil kesimpulan bah wa penempatan war ga negara asing dalam Rumah Detensi Imi grasi adalah mereka yang mempunyai kesa- lahan administratif, te tapi jika dilihat kembali sebenarnya UU Nomor 6 Tahun 2011 mem buka ruang penempatan warga negara aisng sebagai korban penyelundupan ma nusia sebagaimana tertuang dalam pasal 87 yang mengatur:

1) Korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia yang berada di wi- layah Indonesia ditempatkan di dalam Rumah Detensi Imigrasi atau di tempat lain yang ditentukan.

2) Korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia sebagaimana dimak- sud pada ayat (1) mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan Deteni pada umumnya. atau di tempat lain yang ditentukan. (2) Korban perdagangan

orang dan Penyelundupan Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) men- da patkan perlakuan khusus yang berbeda dengan Deteni pada umumnya. a) Dalam penjelasan Pasal 87 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“tempat lain” adalah tempat peng inapan, perumahan atau asrama yang ditentukan oleh menteri.

3) Berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 87 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Ke imi- grasian dan pelaksanaan perlindungan yang dilakukan oleh LPSK, perlu di bahas dan diatur di dalam PKS tentang penanganan saksi (warga asing), ter utama yang berada di Detensi Imigrasi.

3. Ketidakpahaman warga negara asing yang menjadi saksi terkait dengan proses hukum di Indonesia

Dalam perlindungan yang dilakukan, LPSK menemui kendala dimana pada awalnya empat orang warga negara Nepal mengancam un tuk mogok bicara dan tidak akan memberikan keterangan dalam persi dangan. Hal itu dilakukan karena empat warga negara Nepal tidak men dapatkan informasi terkait proses persidangan dan alasan tidak diper kenankan kembali ke negaranya karena keharusan memberikan kesaksian dalam persidangan. Hal lain berupa keluhan tentang penem patan di Rumah Detensi Imigrasi yang notabenenya merupakan tempat bagi para warga negara asing bermasalah.

4. Perlunya melakukan pemetaan dan membangun hubungan diplomatik dengan negara- negara yang rentan terhadap kejahatan penyelundupan orang.

a. Pengalaman LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap war ga negara Myan- mar, LPSK melakukan koordinasi dengan Kedu bes Myanmar dan melakukan koor- dinasi dengan Pemerintah Myanmar terkait tugas LPSK. Hal ini menjembatani ke- inginan para warga negara Myanmar yang bisa pulang ke negaranya menunggu jad wal persidangan. LPSK juga mendapatkan jaminan dari Peme rintah Myanmar ter- kait kepastian para warga negara tersebut hadir untuk memberikan keterangan persi- dangan di Indonesia.

b. Terkait penanganan korban warga negara Nepal, LPSK tidak dapat melakukan koor- dinasi dengan Pemerintah Nepal akibat tidak adanya hubungan diplomatik, se hingga harus memaksa meraka menunggu di Indonesia saat menjalani proses hukum dari tahap penyelidikan hingga persidangan.

5. Perlunya dibuat MoU dan PKS yang lebih teknis terkait penanganan kejahatan penye lun- dupan manusia.

a. Indonesia telah mempunyai UU Nomor 21 Tahun 2007 yang mengatur khusus tentang tindak pidana perdagangan orang.

b. Dalam aturan khusus tentang kejahatan penyelundupan manusia, dapat diatur tentang penanganan korban, penempatan korban selama menunggu proses hukum dan hak untuk dapat meminta ganti kerugian/restitusi.

C. PENUTUP

Beberapa pengalaman dan hambatan yang ditemui LPSK dalam membe rikan perlindungan kepada para korban penyelundupan manusia, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan diskusi bersama sebagai perbaikan pena ngan an perlindungan LPSK ke depan.

LPSK Dalam Kasus Penyelundupan Manusia, Praktik dan Tantangan

daFtar PuStaka

Castle, Alan. 1997. Transnational Organized Crime and International Security, Working Paper No 19. Institute of International Relations the University of British Columbia.

Muller, Gerhard O. W. 1998. Transnational Crime, Deinitions and Concepts, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter.

Syamsul Asri dan Achmad. Analisis Pola Jaringan & Modus Operandi People Smuggling di Provinsi Sulawesi Selatan.

Sumber lain:

http://www.unhcr.org/igures-at-a-glance.html

Convention Againts Transnational Organized Crime di Palermo pada tahun 2000.

Naskah Akademis Traicking Perdagangan Manusia, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI Tahun 2007.

http://www.unodc.org/unodc/en/human-traicking/index.html?ref=menuside, diakses pada 10 Oktober 2017.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Menentang Penyelundupan Migran

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 167-173)