• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Penelitian : Sebuah Kisah, Dua Hari di Tiga Desa

Dalam dokumen Komunitas Karo di Kawasan Relokasi Siosar (Halaman 25-37)

Saya beranjak ke suatu tempat yang sangat dingin, Siosar tepatnya. Saya bisa melihat hamparan padi ladang dan pepohonan di sepanjang perjalanan. Ada yang sesuatu yang menarik bagi saya, ada banyak cairan berwarna kuning ke-orenan terbungkus dalam plastik es batangan sedang menggelantung di pohon-pohon jeruk itu. Cairan itu berfungsi untuk menghalau hama serangga yang bisa saja mengganggu tanaman jeruk. Pantas saja disana seperti bergemul bintik-bintik kecil dari kejauhan. Angin yang berhembus menyapu wajah saya, hanya ini bagian tubuh yang tidak ditutup. Terkadang saya merasa kesulitan bernafas sehingga beberapa kali saya harus melindungi hidung saya dari terpaan angin.

Tiba-tiba kak Dina menghentikan sepeda motornya di gapura yang bertuliskan

“Kawasan Relokasi Siosar”. Saya menyempatkan diri untuk mengambil foto di

gapura ini, gapura yang sudah tiga kali di cat dari sejak awal dibangunnya. Gapura yang sangat populer bagi para wisatawan ini, sering sekali dipenuhi coret-coretan, itulah mengapa gapura ini di cat berulangkali.

Gambar 1.1. Gapura Selamat Datang di Kawasan Relokasi Siosar

Sumber: Peneliti

Melaju lebih jauh lagi, tiba-tiba kak Dina berhenti menyapa seseorang yang dikenalnya. Seorang lelaki tua yang juga seumuran dengan bapak yang dikenal kak Dina sedang bersama dengannya. Mujurnya, ternyata beliau-beliau ini masing-masing adalah kepala desa dan pengurus desa. Beliau ini ternyata cukup ramah menerima kedatangan saya untuk melakukan penelitian di desanya, desa Simacem. Karena saya beragama Kristen, beliau mengarahkan saya untuk tinggal dengan keluarga yang

beragama Kristen. Baginya, peneliti akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan warga yang se-agama. Jadi akan lebih etis dan tidak banyak yang harus diubah-sesuaikan. Beliau tiba-tiba teringat dengan seorang bidan yang tinggal sendiri di rumahnya. Akhirnya beliau menaruh perhatian pada tempat bidan itu sebagai tempat saya tinggal nantinya.

Kedua beliau ini lalu menuntun jalan ke tempat bu Maya (mami), mereka sangat ramah kepada saya. Bu Maya dan kak Dina sudah mengatur janji sebelumnya bahwa beliau bersedia menerima saya untuk tinggal di kediamannya selama waktu penelitian saya. Akhirnya sampailah saya di desa Simacem, disana sedang duduk sekelompok wanita yang sepertinya sedang giat membicarakan sesuatu hal. Saya menyadari ada seorang diantara mereka yang begitu familiar bagi saya, ialah bu Maya. Bu Maya adalah orang yang menyediakan tempat tinggal bagi saya dan rombongan setahun yang lalu. Saya dan rombongan tinggal selama dua hari satu malam. Kami sudah pernah melakukan wawancara di daerah ini.

Kali ini saya sudah bisa melihat talud-talud yang siap dibangun serta jalan yang sudah diaspal dan ditimbun dengan batu. Jadi jalanan sudah rapi dan gang-gang juga tidak selicin dulu lagi. Pengunjung dan warga bisa merasa nyaman untuk melakukan perjalanan di Siosar. Ditambah dengan riuhnya pepohonan di sekitar membuat pemandangan terasa semakin indah.

Kepala desa melepas saya di tempat ini dan berpesan untuk menyelesaikan surat penelitian lapangan sebagai arsip desa. “Biasanya yang baik itu, a… dimana -manapun kita-kan, perlu juga itukan. Tapi itu bukan sifatnya penting, besok lusa suratnya kita ada-kan. Biar nanti kita, ada arsipnya sama kita kan. Itu penting sekali.

Akupun gitu, dulu aku meranto ke Tapsel, harus ada surat dari sini. Yah kita kan perlu adanya keamanan, tanggung jawablah,” pesan beliau. Kemudian saya duduk

menyatu dengan kumpulan wanita itu. “Tambah kecil aja, duh,” kata mami padaku.

Ternyata mereka sedang membicarakan mesin pengolah keripik kentang. Mesin ini adalah mesin pembersih kentang dan pemotong keripik kentang. Mesin itu sedang di tes, sementara lenggang karena pak Rambe Sidempuan sedang mencarikan air. Bahan bakar yang digunakan untuk menyalakan mesin adalah gas, sementara untuk memasak menggunakan tenaga listrik. Saya terkadang bingung mereka sedang membicarakan hal apa karena pembicaraan itu diselingi bahasa Karo.

Dari pembicaraan itu saya bisa merasakan penduduk desa relokasi tahap I bersyukur dengan keadaan mereka yang sekarang sebab rumahnya sudah dibangun oleh pemerintah di sebuah lahan yang memungkinkan warga desa untuk hidup bersama dengan kelompoknya yang lama. Sementara relokasi tahap dua memungkinkan warga untuk hidup secara terpisah sebab mereka bebas menentukan lahan dimana rumah mereka akan dibangun6. Jadi warga relokasi tahap dua kemungkinan akan kehilangan identitas warganya dahulu karena berbaur dengan warga desa lain. Mereka juga harus diperhadapkan dengan lingkungan lain yang

membuat mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. “Kalok

kami ini udah bersyukur kami ini nakku. Kenapa kam bilang min? Dah tetap kami disini, ladang kami dah tetap setengah hektar, orang itu kayak mana?” jelas salah

6

Relokasi mandiri (tahap II) berfokus untuk membangun rumah tahan gempa. Masyarakat yang direlokasi memilih sendiri tapak rumahnya. Sistem yang dipakai yaitu membeli hamparan (tanah) secara bersama, dan ada yang boleh menawarkan lahan sendiri. Dana bantuan yang diberikan untuk membangun rumah adalah Rp 59.400.000,00/KK dan Rp 50.600.000,00 untuk membeli lahan usaha tani. Berbeda dengan relokasi tahap I yang rumahnya disediakan pemerintah dalam bentuk seragam dan diberi pinjaman ladang selama 20 tahun. Pembangunan rumah di Siosar dijadikan contoh untuk membangun rumah pada relokasi tahap II, artinya bangunan rumah pada tahap II harus lebih baik atau lebih kuat daripada tahap I.

seorang ibu menyikapi pembangunan rumah tahap dua yang lebih kuat. “Kami masih

kumpul satu kampung, gak pencar-pencar,” sahut ibu lainnya. “Kami udah bersatu di

buat pemerintah ini udah syukur kali,” lanjut beliau lagi.

Sekalipun Siosar diperuntukkan hanya untuk warga dari tiga desa yaitu desa Simacem, desa Bekerah dan desa Sukameriah, namun berkembang isu bahwa lahan kosong hasil penebangan hutan tersebut akan ditempati oleh warga Berastepu. Lahan hutan seluas 250 hektar yang ditebang melalui izin PBB kemungkinan akan diberikan kepada warga relokasi mandiri, ± seluas 200 /KK. Namun perizinan untuk menggunakan lahan tersebut belum selesai. Ada kemungkinan Siosar ini dimanfaatkan untuk relokasi mereka, begitulah wacana yang berkembang di masyarakat. Sayangnya, fakta yang ada bahwa kebanyakan warga relokasi mandiri tidak mau pindah yang memungkinkan dikembalikannya uang negara. Oleh oknum-oknum nakal, uang negara kemungkinan akan diselewengkan. Hal ini yang menimbulkan kecurigaan terhadap dana yang harusnya diterima warga relokasi tahap satu, namun tidak terealisasi karena mereka menolak.

Pembicaraan hangat itu akhirnya dialihkan oleh mesin pengolah keripik kentang. Kentang merupakan hasil tani yang cukup melimpah di Siosar. Warga berkeruman di depan mesin itu. Fungsinya sangat membantu dalam membersihkan kentang. Kentang dalam jumlah yang banyak bisa dikupas secara bersamaan dalam waktu yang sangat singkat.

Esoknya, saya bangun pukul 06.58 WIB ketika suasana diluar masih cukup berkabut. Susah sekali beranjak dari tempat tidur dan selimut tebal yang menutupi tubuh ini. Dinginnya menusuk ke tulang-tulang, pula tangan dan kaki terasa kaku

membeku. Maya terlihat sedang merapikan seragamnya lalu pamit untuk berangkat kesekolah. Ia harus mengejar bus Damri yang berangkat pagi ini. Hampir bisa dikatakan bahwa bus yang disediakan oleh pemerintah ini adalah angkutan umum satu-satunya. Bus Damri memiliki rute dari Siosar menuju Kabanjahe yang beroperasi pukul 06.00 WIB dan 07.00 WIB, sementara dari Kabanjahe menuju Siosar beroperasi pukul 14.00 WIB dan 15.00 WIB. Adapun bus mini lain adalah bus milik swasta7 yang menyediakan jasa sebagai angukutan umum dengan biaya Rp 8.000,00. Harga yang memang dibandrol lebih besar dari biaya bus sediaan pemerintah, yaitu Rp 3.000,00. Untuk anak sekolah, Bus Damri mematok ongkos sebesar Rp 1.000,00.

Gambar 1.2. Bus Damri

Sumber: Peneliti

7

Saya merapikan tempat tidur, lalu beranjak ke dapur. Di sana mami sedang menggoreng tahu sambal. Saya bergegas mengambil sapu lalu membersihkan rumah. Saya kemudian menyapa mami dengan nada yang agak parau. Pilek selama tiga hari mengubah nada suaraku, mungkin karena perubahan cuaca yang saya alami. Tubuh saya harus beradaptasi dengan cuaca yang sangat dingin. Sama halnya ketika warga masyarakat Karo di Siosar pertama kali datang ke tempat ini, bukan karena cuaca dingin, tetapi karena hawa yang terkadang kurang sedap. Cuaca dingin dan angin di daerah ini membuat kulit menjadi gersang dan lebih gelap. Saya masih bisa melihat betapa tidak puasnya Maya karena kulit wajahnya yang mengelupas. Maya menambahkan bahwa kondisi air juga agak keruh.

Bau sambal yang terlihat sangat sedap di kuali itu bahkan tidak dapat ku cium. Tapi nampaknya sedap sekali. Mami-pun menyerahkan urusan memotong sayur kepada saya. Sebungkus buncis di plastik hitam itu tampak masih segar. Ku iris tipis buncis itu, senikmat pembicaraan kami saat itu8.

Mami dan keluarga sudah tinggal selama setahun, tepatnya sejak tanggal 16 Januari 2016. Walaupun sudah di buka tahun sebelumnya, mami dan keluarga masih betah di Kabanjahe karena ada ladang yang perlu di rawat. Sementara, sekalipun rumah sudah selesai dibangun pemerintah pada bulan Juni 2015, ladang belum juga disediakan. Itulah sebabnya belum banyak warga yang memilih bermukim di tempat ini. Bibi di belakang rumah dan warga atas termasuk kelompok yang lebih lama berada di Siosar. Masih teringat bagi mami betapa sedihnya saat pertama kali berada di tempat ini, Mami belum bisa melupakan kenangan pahit ketika rumah dan

8

Ini semacam strategi saya untuk bisa diterima di sebuah keluarga ini, yaitu dengan mendekatkan diri dan ikut dalam kegiatan yang mereka lakukan.

ladangnya yang luas habis ditutup batu dan abu dari Gunung api Sinabung. Letusan gunung api Sinabung kala itu membuat warga harus mengungsi selama sekitar 2 ½ tahun. Mereka berpindah dari satu posko ke posko lain.

Begitu buncis sudah siap di iris, saya bergegas mengambil tisu diruang tamu sebab ingus saya semakin merajalela. Ternyata ada banyak tumpukan piring dan gelas di dapur, langsung kusingkap lengan bajuku dan kulepas kaos kakiku. Saya mengangkat tumpukan dalam ember itu menuju samping rumah tempat mencuci piring.9 Saya tidak bisa merasakan sabun dan minyak selama mencuci piring karena tangan saya masih terasa membeku. Mami sempat menawarkan bantuan, namun saya tolak secara santun.

Seorang tetangga masuk kerumah lalu berbincang sebentar dengan mami dan bapak. Entah apa yang mereka bicarakan sebab saya tidak mengerti bahasa Karo.10 Begitu jam menunjukkan pukul 09.00, bapak dan anak laki-lakinya yang baru saja datang langsung menyantap sarapan pagi. Sementara mami menyusul belakangan. Berulang kali mami mengingatkan saya untuk sarapan, sampai akhirnya mami dan bapak berangkat ke ladang, saya belum juga sarapan. Saya tidak bisa menemani mami ke ladang karena ladang yang akan dikerjakan mami ini berada di Kabanjahe - Sekarang mami hanya memiliki dua ladang, satu yang berada di Kabanjahe dan yang lain merupakan lahan yang disediakan oleh pemerintah-. Mami juga akan pulang sangat sore dan berangkat bersama bapak menggunakan sepeda motor bersama, jadi saya berpikir untuk mengerjakan kegiatan lain di rumah.

9

Tempat mencuci piring berada diruang terbuka, tepatnya disamping rumah sebelah dapur. Lantai bersemen dengan ukuran ±1,5m X 1,5m itu langsung terhubung dengan parit dibelakang rumah warga. 10

Disinilah pentingnya pemahaman terhadap bahasa yang dimiliki oleh masyarakat yang kita teliti. Mempelajari bahasa memudahkan kita untuk mengetahui bagaimana kebudayaan masyarakat itu sesungguhnya.

Bunyi-bunyi traktor dan palu mulai terdengar dari arah depan rumah. Disana sekelompok pekerja sedang membangun talud yang runtuh beberapa waktu lalu. Talud itu tidak cukup kokoh ketika diterpa angin kuat. Tidak jauh dari tempat itu, ada seorang ibu yang sedang mengerjakan lahan. Lahan itu begitu dekat dengan sebuah rumah di depannya. Wanita itu cukup bersemangat sejak tadi sekalipun cuaca sedingin ini. Hangatnya mentari memang cepat sekali berlalu. Sekitar pukul 12.00 WIB, bunyi-bunyi traktor dan palu sudah tidak ada lagi. Suasana menjadi senyap dan terasa dingin sekali karena panas matahari juga sudah berlalu sejak sejam yang lalu.

Gambar 1.3. Pekerja Sedang Memperbaiki Talud

Sumber: Peneliti

Sore ini, sekitar pukul 16.30 WIB semakin dingin saja. Saya mengenakan dua baju hangat yang melapisi baju kaos dalam dan luar saya, saya membungkus jari-jari saya dengan sarung tangan untuk menggambar denah wilayah penelitian saya. Kala itu, tanah masih sedikit basah sebab baru saja diguyur hujan ringan. Melewati satu

talud dari rumah bernomor 33, tepatnya di talud keduanya, saya melihat ada sebuah jambur yang cukup besar. Jambur ini berada di Desa Simacem, sementara kedua desa lainnya juga masing-masing memiliki satu jambur. Jadi, di kawasan relokasi Siosar terdapat tiga jambur.

Nah, berjalan lebih jauh lagi, yaitu di simpang tiga, ada sebuah puskesmas. Puskesmas yang berdiri di kawasan relokasi Siosar ada satu buah. Puskesmas ini diperuntukkan untuk semua warga. Nah, dari simpang ini juga terlihat tiga rumah ibadah yang kelihatan sejajar, dipisahkan hanya beberapa meter saja. Rumah ibadah ini terdiri dari satu mesjid, satu gereja khatolik dan satu gereja oikumene Bahtera Kasih Siosar. Ada dua buah mesjid di kawasan relokasi Siosar, yang satu berada di daerah Bekerah, sementara yang lain berada di daerah Sukameriah. Untuk peruntukannya, masing-masing rumah ibadah tidak menutup pintu untuk warga dari desa-desa lain untuk beribadah bersama. Kalau kita memilih jalan sebelah kiri, berdiri sebuah gapura yang menunjukkan bahwa kita akan keluar atau masuk ke Desa Simacem. Melewati satu gang akan langsung bertemu dengan koperasi. Di bagian tengahnya terdapat tempat menyerupai Jambur dalam ukuran yang lebih kecil. Tempat ini akan digunakan sebagai tempat usaha dagangan koperasi. Bertemu dengan pertigaan jalan lagi dan memilih jalan ke sebelah kiri, saya melihat rumah-rumah warga desa Bekerah yang dilengkapi dengan aquaponik11. Pemerintah pada dasarnya berencana untuk membagikan aquaponik secara merata kepada setiap kepala keluarga yang memiliki rumah, sementara pada kenyataanya, hanya beberapa warga desa Bekerah yang mendapatkan aquaponik tersebut.

11

Sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa warung belum juga di buka12. Maya mengatakan bahwa tidak beroperasinya warung-warung di kawasan relokasi Siosar disebabkan karena tidak banyak wisatawan yang membeli dagangan ketika berkunjung. Saat saya bertemu dengan sebuah warung yang menjual masakan berupa mie, saya langsung memesan dua bungkus miso. Perlahan gerimis berganti menjadi hujan lebat saat saya dan Maya sudah tiba di rumah. Kami langsung mengangkat kain yang di jemur di belakang rumah, berdekatan dengan kandang ayam. Dari sana, saya melihat sepeda motor mami dan bapak berhenti di gang karena sepeda motor yang sudah mulai tua. Mereka baru saja pulang dari ladang di Kabanjahe. Wajah mami dilumuri bedak berwarna kuning yang menurut pengakuannya untuk melindungi wajah dari sinar matahari.

Saya buru-buru membuka bungkusan miso lalu menghidangkannya di dapur, di sebuah tikar yang baru saja digelar Maya. Kami menikmati 2 bungkus miso yang dinikmati secara bersama ketika hujan mengguyur dengan begitu derasnya, masing-masing saya dan Maya serta mami dan bapak. Nikmat sekali menyantap makanan bersama bersama keluarga ini. Biasanya saya hanya bisa makan bersama Maya, sementara bapak dan mami akan menyusul makan setelah kami selesai.

Saya berada di ruang depan menonton film bersama Mami pada pukul 22.00 WIB, sementara bapak dan Maya sudah tidur. Mami tiduran di sebuah sofa dengan berselimutkan sarung televisi, ditaruhnya bantal-bantal kecil di sofa untuk menahan lehernya agar bisa menonton televisi. Saya mulai membuka pembicaraan tentang tempat tinggal saya kepada mami karena besok saya sudah balik ke Kabanjahe

12

menyusul ke Medan untuk mengurus surat penelitian lapangan. Mami bersedia menerima saya untuk tinggal bersama mereka selama waktu penelitian. Baginya, saya sudah menjadi bagian dari keluarga, saya sudah dianggap sebagai anak. Sekalipun kami berbeda agama dan suku, mami dan keluarga tidak merasa canggung. Mami dan keluarga memang selalu terbuka untuk menerima orang-orang baru yang membutuhkan bantuan dari mereka. Bagi mereka hal seperti itu merupakan ibadah, pula anak mereka juga berada di tanah rantau untuk mengenyam pendidikannya. Jadi mereka bisa merasakan bagaimana orang-orang lain membutuhkan dan dibutuhkan.

Keluarga-keluarga yang mendapatkan tempat tinggal di Siosar tidak dibebani aturan oleh pemerintah. Ketika mereka sudah memiliki rumah mereka secara sah, maka itu adalah hak milik mereka dan bebas untuk menerapkan aturan sebagaimana yang dikehendaki keluarga itu sendiri. Hanya saja lahan luas selain lahan yang dibagikan sebesar 0,5 hektar13, harus dikembalikan sewaktu-waktu pemerintah mulai membutuhkan lahannya. Lahan-lahan kosong ini boleh ditanami apa saja oleh warga-warga di kawasan relokasi Siosar untuk membantu perekonomian keluarga, atau hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Lahan yang dimaksud adalah lahan yang tidak ditanami pepohonan sebagai kawasan hutan lindung. Nah, sekalipun merupakan lahan bebas, antara satu warga dengan warga lainnya tidak terlibat percekcokan untuk memperebutkan lahan. Masing-masing mereka sudah menyadari lahan mana yang harus digarap. Untuk itu, biasanya setiap keluarga menggarap lahan-lahan yang berada dekat dengan kawasan mereka.

13

Sementara lahan seluas 0,5 hektar diberikan hak pakai secara cuma-cuma oleh pemerintah selama 20 tahun.

Rumah-rumah warga dialiri listrik bersistem token atau pulsa. Jadi pemakaian dan pembayaran tergantung kepada pemakaian sang empunya sendiri. Sementara untuk air14, warga dibebankan Rp 5.000 per bulannya. Kualitas air juga sudah mulai membaik dari sebelumnya. Bapaklah yang bertugas untuk membuka pintu air untuk di aliri ke rumah-rumah warga. Bapak memang multi-pekerjaan, beliau juga bertugas untuk membuka gerbang sekolah, bekerja sebagai perangkat desa dan bekerja di ladang. Mami juga banyak bercerita tentang kehidupan anak laki-lakinya yang cukup nakal. Pembicaraan kami kemudian berakhir ketika perut saya mulas. Mungkin karena saya terlalu banyak makan pedas dan santan. Saya harus segera ke kamar mandi, sementara mami juga sudah mengantuk sehingga harus mematikan televisi dan bergegas tidur.

14

Dalam dokumen Komunitas Karo di Kawasan Relokasi Siosar (Halaman 25-37)

Dokumen terkait