• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Karo di Kawasan Relokasi Siosar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunitas Karo di Kawasan Relokasi Siosar"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masyarakat dan kebudayaan selalu mengalami perubahan secara cepat ataupun

lambat, baik perubahan secara fisik ataupun perubahan non-fisik. Khairuddin (1997:

71) mengemukakan bahwa pada hakekatnya tidak ada satu masyarakat yang tidak

berubah, walaupun masyarakat yang sesederhana apapun. Atau dengan kata lain, tidak

ada satupun masyarakat yang statis. Semua masyarakat berubah menurut kadar

perubahannya masing, masing. Ada satu masyarakat yang berubah dengan pesat,

sedangkan ada juga yang berubah dengan lambat.

Perubahan fisik menyangkut pertambahan jumlah penduduk dan perubahan

lingkungan alam, sementara perubahan non-fisik menyangkut pengetahuan

masyarakat dan bagaimana mereka memahami sesuatu. Perubahan lingkungan alam

dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti gempa bumi atau gunung meletus yang

kemudian mempengaruhi bagaimana masyarakat memperlakukan lingkungan alam

itu. Pengetahuan masyarakat selalu dipakai untuk memahami lingkungan supaya

mereka tetap dapat bertahan hidup di lingkungan tersebut. Sebaliknya apabila

lingkungan tidak mendukung untuk ditinggali, maka masyarakat mau tidak mau harus

mencari lingkungan baru lainnya.

Banyak hal yang tidak dapat diduga terjadi dalam kehidupan manusia, seperti

(2)

Pembangunan merupakan suatu proses dalam mempercepat laju perubahan yang ada

dalam masyarakat, yang proses tersebut merupakan suatu proses terencana.

Pembangunan yang diterapkan dalam suatu masyarakat akan sangat bergantung dari

masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, ada atau tidaknya unsur budaya yang

menunjang dari dalam masyarakat itu sangat penting karena pembangunan merupakan

suatu pengenalan baru baik berupa pengetahuan maupun berupa materi yang akan

bercampur antara yang alam dengan yang baru. Apabila tidak ada yang menunjang

dari dalam budaya masyarakat, tentu unsur baru tadi akan ditolak kehadirannya dan

otomatis tidak akan terwujud dalam tindakan masyarakatnya, tetapi sebaliknya bila

ada padanan unsur dari dalam masyarakat (budaya masyarakat) yang bersangkutan

dengan program yang diterapkan, tentu unsur baru tadi akan dapat diterima

kehadirannya sesuai dengan yang terkena unsur baru tadi (Rudito, 1991: 5).

Sementara bencana alam yang sering kali tidak diduga dapat terjadi kapan saja dan

dimana saja, seperti halnya bencana meletusnya gunung berapi yang menghampiri

masyarakat yang hidup di kaki gunung api Sinabung.

Gunung api Sinabung mengalami erupsi besar sejak tahun 2010. Gunung api

yang masih terus bergejolak ini kini telah mencapai tahun ke- 7. Daerah yang menjadi

sasaran dari erupsi nyatanya semakin meluas. Dampak meletusnya gunung berapi

terkadang bisa begitu parah sehingga merusak pemukiman masyarakat. Wilayah yang

tidak dapat lagi dihuni perlu ditemukan penggantinya, oleh sebab itu dibutuhkan

sebuah pemukiman relokasi untuk warga. Demikian yang terjadi pada pemukiman di

sekitar gunung api Sinabung yang mengharuskan warga untuk direlokasikan ke

(3)

tiga tahap relokasi. Pada tulisan ini berfokus pada relokasi tahap 1 dimana kawasan

relokasi oleh pemerintah adalah hutan Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo.

Menurut Sadana (dalam Pandia, 2016: 139), permukiman merupakan bagian

dari lingkungan hidup. Permukiman merupakan bagian dari kawasan budidaya.

Permukiman merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan para penghuninya. Permukiman

merupakan kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama

sebagai tempat tinggal. Permukiman perlu dilengkapi dengan prasarana lingkungan,

sarana lingkungan, serta tempat kerja. Dapat disimpulkan bahwa permukiman

merupakan lingkungan tempat tinggal manusia yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan. Sementara relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh

aktivitas berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat

lain guna mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan

tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan

binaan di tempat tujuan. Namun demikian, relokasi sangat membutuhkan perencanaan

yang hati hati, detail dan secara menyeluruh karena menyangkut pada penyiapan

sebuah komunitas baru (Boen dan Jigyasu, dalam Martanto, 2014).

Proses relokasi tentu tidak mudah. Sebagaimana dalam kasus gunung Merapi,

pihak pemerintah daerah menyadari bahwa masalah pemukiman kembali di suatu

tempat tertentu (relokasi) adalah sangat pelik dan sensitif. Sementara itu para

penduduk di lokasi kawasan bahaya cenderung berpendapat bahwa pindah ke lokasi

(4)

letusan1. Warga desa yang pindah ke lingkungan baru akan menghadapi

tantangan-tantangan baru di lingkungan tersebut. Penelitian ini melihat sejauh mana proses

tantangan yang dihadapi oleh warga desa yang membuat warga untuk menyesuaikan

diri. Rigg dan Sian (2002: 10) menyampaikan bahwa lingkungan menjadi kanvas

bagi budaya untuk berkarya dan mengolahnya kembali. Dalam beberapa kasus,

tahap-tahap perubahan terjadi seiring dengan dibangun, ditinggalkan, dan dihuninya

kembali suatu daerah.

Dalam proses menghadapi tantangan-tantangan tersebut akan terjadi

pergeseran, perkembangan, bahkan mungkin sekali muncul berbagai sistem

sosial-budaya dan sistem teknologi yang baru (Pudja, 1989: 2). Banyak hal yang diintrodusir

mulai dari warna, bentuk dan ukuran bangunan yang dibuatkan untuk para warga.

Menurut Poerwanto (2000: 61-62), adaptasi menuntut pengembangan pola-pola

perilaku, yang akhirnya membantu suatu organisme agar mampu memanfaatkan suatu

lingkungan tertentu demi kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan

maupun menghindari diri dari bahaya. Seperti halnya dengan makhluk-makhluk hidup

lainnya, agar ia tetap dapat mempertahankan hidupnya, maka manusia harus selalu

menjaga hubungan adaptasi dengan ekosistemnya. Kebudayaan sebagai sistem

budaya merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku

seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Adaptasi mengacu pada proses

interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme tersebut.

Dengan kebudayaannya, untuk jangka waktu panjang yang telah dijalaninya, makhluk

1

(5)

manusia berkembang dan tetap survival karena ia mampu melakukan proses

penyesuaian timbal-balik.

Lanjutnya, proses adaptasi telah menghasilkan keseimbangan yang dinamis,

karena manusia sebagian dari salah satu organisasi hidup dalam suatu lingkungan

fisik tertentu. Melalui kebudayaan yang dimilikinya, ia mampu mengembangbiakkan

seperangkat sistem gagasannya. Dengan kata lain, manusia mampu menyesuaikan diri

sebagai bagian dari ekosistem. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, suatu perubahan

ekologis juga akan dapat sekaligus membuat manusia menyesuaikan berbagai gagasan

mereka.

Ketertarikan penelitian ini adalah pada bagaimana masyarakat Karo di

kawasan relokasi Siosar dalam menjalankan kebudayaannya yang telah ada ditempat

yang baru tersebut. Fakta yang sangat menarik bahwa masyakarat Karo di Siosar

dapat hidup saling berdekatan dalam suatu areal padahal berada di lingkungan yang

baru dengan tantangan yang juga besar. Dari rumah adat Karo yang terdapat beberapa

rumah tangga atau beberapa keluarga batih di dalamnya, dapat dipahami bahwa sejak

dari dulu masyarakat Karo memang hidup bersama. Kalaupun tidak satu rumah,

paling tidak mereka saling berdekatan secara kekeluargaan dalam satu lingkungan.

Mereka tidak saling jauh dalam satu area kultural mereka, baik dalam satu rumah

ataupun satu lingkungan. Yang kemudian dapatlah dipahami dari pola

perkampungannya yang mengelompok. Meskipun suatu modifikasi telah terjadi

bahwa hidup mereka yang saling berdekatan dalam suatu lingkungan diatur oleh

(6)

Orang Karo kuat dalam mempertahankan komunitasnya, bahkan masyarakat

dari suku lain yang tinggal atau melakukan kawin-mawin dengan orang Karo akan

diberi merga atau beru. Beberapa rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah

adat awalnya, kini meskipun mereka terpisah-pisah (dalam satu areal), tetapi mereka

tetap menjalin hubungan yang akrab. Yang utama adalah masyarakat Karo di Siosar

tetap hidup berdekatan dalam suatu lingkungan sebagaimana mereka hidup pada

mulanya sebagai sebuah keluarga dan tetap dengan rasa kekeluargaan yang kuat.

Bhakti (dalam Wahid dan Alamsyah, 2013: 34) menyampaikan bahwa di dalam

masyarakat Karo tidak ada lagi yang tidak termasuk keluarga.

Campur tangan pemerintah dalam membangun rumah sedemikian rupa dalam

mempertahankan kedekatan masyarakat Karo memang memiliki andil dalam hal ini.

Namun perlu dipahami bahwa alasan berdirinya pemukiman tersebut juga dilandasi

oleh keterlibatan masyarakat Karo sendiri. Terdapat keinginan kuat yang mendasari

pembangunan tersebut. Berangkat dari pemahaman yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka peneliti memandang bahwa perlu diulas mengenai hal yang mendasari

keputusan masyarakat Karo untuk tinggal saling berdekatan di sebuah pemukiman

yang dikenal dengan Siosar.

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Lingkungan

Masyarakat Karo sejak dulu dikenal dengan lingkungannya asri dan sangat

cocok untuk ditanami tanaman, oleh sebab itulah mereka mengembangakan pertanian

(7)

hidup menjadi lima jenis diantaranya adalah tipe-biom dan biom; lingkungan a-biotik

dan biotik; lingkungan fisik dan sosial; lingkungan geografik, operasional, perseptual

dan perilaku; serta lingkungan ekstern dan intern. Secara spesifik, pembagian

lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu lingkungan

sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial adalah manusia, sementara lingkungan

fisik adalah lingkungan bermateri atau bukan manusia yaitu biotik dan abiotik (flora

dan fauna saja).

Bambang Rudito (1991: 68) mengungkapkan bahwa lingkungan terbagi atas

tiga jenis, yang masing-masingnya mempunyai perbedaan dan ciri khas:

a. Lingkungan sosial, merupakan perangkat aturan yang digunakan untuk

mengatur kehidupan bermasyarakat bagaimana manusia sebagai makhluk sosial dan

anggota masyarakat dapat berinteraksi. Misalnya: aturan-aturan agama, aturan adat

dan aturan yang berkenaan dengan cara-cara manusia bertindak.

b. Lingkungan alam, merupakan satuan elemen-elemen biologi, geografi dan

fisik kimia yang secara ekologi saling mempengaruhi membentuk suatu sistem yang

natural.

c. Lingkungan binaan, merupakan perangkat hasil buatan atau karya manusia

dalam bentuk hubungannya dengan mengolah alam (hasil budaya), sering juga

dikatakan sebagai lingkungan kebudayaan, dalam arti hasil budaya manusia

(benda-benda produk manusia).

Perubahan pada lingkungan fisik akan berpengaruh terhadap perubahan

lingkungan sosial demikian pula sebaliknya. Fisik dan perilaku kebudayaan manusia

(8)

(dalam Sukadana, 1983) menyatakan bahwa ruang lingkup “human ecology” adalah

menjelajahi peranan manusia di dalam sistem interaksi organisme dan lingkungan

dalam usaha untuk memahami manusia dengan problemnya, baik dari segi biologik

dan psikologik, maupun dari segi kebudayaan, sosial dan ekonomi.

1.2.2. Adaptasi Terhadap Lingkungan

Keselarasan manusia dengan lingkungan fisik, bukan hanya dipakai untuk

mengembangkan daya dukung alam, tetapi juga dapat dipakai untuk mengembangkan

diri manusia dan masyarakat, sehingga terjadi suatu keselarasan hubungan yang

dicapai berkat kemajuan alam dan manusia (Salim, dalam Poerwanto, 2000: 235).

Lingkungan bukan hanya terbatas dalam pengertian lingkungan alam atau fisik

semata, melainkan juga mencakup masalah lingkungan sosial-budaya.

Lingkungan sosial tidak dapat dilepaskan dari tingkah laku para individu

warga lingkungan sosial tersebut, yang dalam prakteknya selalu berpedoman pada

pola-pola budaya berupa sistem nilai, norma dan aturan hidup. Pola-pola budaya yang

kemudian menjadi peta kognisi itu pulalah yang membentuk persepsi dan kemudian

menuntun orang untuk melakukan interpretasi dan bertingkah laku dalam menghadapi

ekosistemnya (Poerwanto, 2000: 218-219).

Pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkan oleh makhluk manusia adalah

sesuai dengan rangsangan dan tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian,

(9)

adalah perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh manusia yang

memilikinya guna menghadapi lingkungan (Spradley, dalam Poerwanto, 2000: 243).

Proses social adjustment seseorang, cenderung dipengaruhi oleh suatu

persepsi dan cara menginterpretasikan berbagai obyek dan situasi yang ada di

sekitarnya. Secara teoritis suatu probabilitas dari suatu keberhasilan program relokasi

tergantung berbagai macam pilihan yang dihadapkan kepada seseorang. Heath dan

Barlett (dalam Poerwanto, 2000: 244), membedakan tiga macam pilihan yang

dihadapi manusia yaitu pilihan yang bersituasi kepastian (certainty), pilihan yang

mengandung resiko (risky) dan pilihan yang berada pada situasi ketidakpastian

(uncertainty). Atas dasar itu seseorang akan selalu bertindak rasional sesuai dengan

prefensinya. Sesuatu tindakan yang rasional, tidak selalu diartikan sebagai tindakan

yang memberi hasil maksimal dalam arti penghasilan, melainkan harus dipandang

sebagai tindakan yang dapat memberi manfaat atau kegunaan yang lebih besar (Ortiz,

dalam Poerwanto, 2000: 244). Lebih lanjut dikemukakan bahwa suatu tindakan

pengambilan keputusan tidak selalu didasarkan atas pilihan mengikuti preferensi yang

berorientasikan pada hasil maksimal melainkan juga didasarkan atas penekanan

terhadap ketidakpastian secara minimal.

Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh persepsi dan interpretasi seseorang

terhadap suatu obyek, yang selanjutnya menuju pada sistem kategorisasi dalam

bentuk respon terhadap kompleksitas suatu lingkungan yang sesuai untuk diadaptasi,

memberikan arah bagi perilaku mereka sehingga memungkinkannya dapat

mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang akan datang (Spradley, dalam Poerwanto,

(10)

Artinya bahwa ketika ada perubahan, maka masyarakat akan melakukan adaptasi

sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi.

Konsep dinamika adaptif menurut Sukadana (1983: 108) terdiri dari tiga

komponen yaitu komponen lingkungan, komponen kebudayaan dan komponen fisik

atau biologi manusia saling mempengaruhi menurut suatu pola tertentu. Pola ini

ditentukan melalui unsur-unsur mekanisme adaptasi lingkungan, kebudayaan dan fisik

manusia. Masing-masing hubungan timbal balik perlu diteliti sendiri-sendiri dan

kemudian dikaitkan bersama-sama. Oleh karena perubahan disalah satu komponen

dapat mencetuskan suatu reaksi berantai pada komponen-komponen lainnya, maka

akibat-akibat pengaruh itu perlu diproyeksikan terhadap faktor waktu.

Kebudayaan mempunyai arti sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai

oleh manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model

pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan

mengiterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong serta

menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Dalam pengertian ini, kebudayaan

adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan secara operasional

dalam hal manusia mengadaptasikan diri dengan dan menghadapi

lingkungan-lingkungan tertentu (sosial, binaan dan alam) untuk mereka dapat melangsungkan

kehidupannya (Bambang Rudito, 1991: 67).

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya

terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan

(11)

masyarakat. Clyde Kluckhohn2 berpendapat bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan

cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diterima seseorang dari kelompoknya,

atau kebudayaan bisa dianggap sebagai bagian lingkungan yang diciptakan manusia.

Adaptasi terhadap lingkungan sosial dapat dilihat melalui sistem kekerabatan

yang sasarannya merupakan kelompok kekerabatan. Jaringan sosial masyarakat Karo

dianggap sangat efektif dalam memecahkan berbagai permasalahan pada masyarakat

Karo. Jaringan sosial tersebut adalah sistem kekerabatan sangkep nggeluh yang

menjadi modal sosial. Sangkep nggeluh menjadi jaringan yang luas yang membantu

menyelesaikan permasalahan kehidupan individu, keluarga, sosial dan pekerjaan

untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Lingkup kebudayaan yang dimaksud bukan hanya sebatas sistem kekerabatan

dan seni bangunan, diantaranya adalah nilai sosial seperti rasa kepedulian ermediate

dan asas gotong royong rawin jemba. Ermediate bersumber dari prinsip senasib

sepenanggungan yang disebut dengan istilah kam kap aku, aku kap kam dan rawin

jemba yang artinya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Prinsip ini

menjadi ikatan yang kuat untuk dapat bekerja sama dan melahirkan kelompok adat

serta kelompok pekerja aron yang dapat saling membantu satu sama lain.

1.2.3. Komunitas dan Struktur Sosial

Manusia sebagai homo socius adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri

sehingga manusia membutuhkan sesamanya atau hidup dalam kelompok. Wujud dari

2

(12)

kelompok-kelompok manusia yang besar adalah negara-negara. Kesatuan-kesatuan

manusia lainnya adalah kelompok-kelompok kekerabatan, partai politik maupun

organisasi. Dalam lingkup yang lebih kecil, kesatuan-kesatuan manusia menjadi lebih

khusus karena adanya perbadaan agama, suku dan adat-istiadat. Sumatera Utara

misalnya terdapat suku Batak, suku Jawa dan lainnya yang masing-masing memiliki

ciri khasnya.

Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab yaitu syaraka yang berarti ikut

serta atau berpartisipasi. Koenjaraningrat (2009: 115-120) mengartikan masyarakat

adalah sebutan untuk kesatuan hidup manusia, kecuali terdapat

kesatuan-kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat seperti golongan

sosial, komunitas maupun kelompok. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia

yang saling bergaul, atau dengan isilah ilmiahnya adalah saling berinteraksi. Kesatuan

manusia yang memiliki ciri sebagai berikut dapat disebut sebagai masyarakat, yakni:

a. Interaksi antara warga-warganya

b. Adat-istiadat, norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur

seluruh pola tingkah-laku warga negara kota atau desa

c. Kontinuitas waktu, dan

d. Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.

Maka berdasarkan keempat ciri tersebut, sebutan masyarakat dapat melekat

pada negara, desa atau kota, misalnya adalah masyarakat Indonesia, masyarakat

Medan dan masyarakat desa Bekerah. Maka dapat dirumuskan bahwa masyarakat

adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat

(13)

Djojodigoeno (Koenjaraningrat, 2009: 118) seorang guru besar ilmu sosiologi

Universitas Gajah Mada membagi konsep masyarakat menjadi dua, yakni masyarakat

dalam arti luas dan masyarakat dalam arti sempit. Masyarakat Indonesia dicontohkan

sebagai masyarakat dalam arti luas, sementara masyarakat dalam arti sempit adalah

masyarakat yang terdiri dari warga suatu kelompok kekerabatan seperti marga

ataupun suku. Koenjaraningrat berpendapat bahwa suatu negara merupakan wujud

dari suatu komunitas yang paling besar. Kesatuan-kesatuan lain seperti kota, desa

memiliki defenisi yang juga sesuai dengan komunitas yakni kesatuan manusia yang

menempati wilayah nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta

terikat oleh rasa identitas komunitas.

Koenjaraningrat (2009: 119) dalam hal ini menegaskan bahwa kesatuan

wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap

komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas, dan pangkal dari perasaan

seperti patriotisme, nasionalisme dan sebagainya, yang biasanya bersangkutan dengan

negara. Konsep masyarakat dan konsep komunitas saling tumpang tindih. Masyarakat

menjadi istilah umum bagi kesatuan hidup manusia, sehingga bersifat lebih luas

daripada istilah komunitas. Masyarakat merupakan kesatuan hidup yang bersifat

mantap dan terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa identitas bersama, sementara

komunitas bersifat khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah.

Senada dengan yang disampaikan Koenjaraningrat, Bruce (1992: 315)

menyampaikan bahwa komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok khusus dari

(14)

hidup yang sama, sadar sebagai satu kesatuan, dan dapat bertindak secara kolektif

dalam usaha mereka dalam mencapai tujuan. Ciri-ciri komunitas adalah:

a. Adanya interaksi

b. Adat istidat yang mengatur pola tingkah laku

c. Kontinuitas waktu

d. Rasa identitas bersama

e. Ikatan lokasi dan kesadaran wilayah sebagai ciri khusus

f. Masyarakat dalam arti sempit walaupun negara merupakan wujud dari

suatu komunitas yang paling besar

Durkheim mempertanyakan apa yang mempersatukan masyarakat. Ia

menyampaikan bahwa masyarakat mempunyai pengaruh yang aneh pada manusia.

Masyarakat, meskipun dibentuk oleh manusia, mempunyai hidupnya sendiri. Sebelum

individu dilahirkan, masyarakatnya sudah ada. Masyarakat memberi kepadanya

bahasa dan kerangka-kerangka cara pemikirannya. Masyarakat hidup terus setelah

individu yang dibentuknya itu mati, sedangkan yang terbaik, yang ada pada diri

individu tersebut didapatnya berkat masyarakat. Masyarakat berada jauh diatas

individu dan bahkan mempunyai daya paksa kemasyarakatan atasnya. Durkheim juga

menjelaskan bahwa pertalian yang ada pada masyarakat didasarkan atas dasar

solidaritas para anggota persekutuan (J. van Baal 1987, 201-202).

Untuk menganalisis masyarakat atau suatu komunitas, perlu dijelaskan

unsur-unsur kehidupan masyarakat atau komunitas tersebut diantaranya seperti kedudukan

sosial, peranan sosial dan pranata sosial. Maka untuk menggambarkan kaitan tersebut,

(15)

struktur sosial pertama kali dikembangkan oleh A. R. Radcliffe Brown. Dasar

pemikirannya adalah bahwa ilmu antropologi harus mempelajari susunan hubungan

antara individu-individu yang menyebabkan adanya berbagai sistem masyarakat.

Perumusan dari berbagai macam susunan hubungan antara individu dalam masyarakat

itulah yang disebut dengan struktur sosial. Struktur sosial pada suatu masyarakat

mempunyai kekuatan untuk mengendalikan tindakan individu dalam masyarakat.

Hubungan interaksi antara individu dalam masyarakat adalah hal yang konkret yang

dapat diobservasi serta dicatat. Struktur sosial seolah-olah berada di belakang

hubungan konkret itu. Dengan struktur sosial, maka bisa diselami latar belakang

kehidupan suatu masyarakat baik hubungan kekerabatan, religi dan berbagai aktivitas

kebudayaan atau pranata lainnya. Namun Radcliffe Brown tidak memberi petunjuk

mengenai metodologi yang digunakan seorang peneliti mengabstraksikan susunan

sosial dari kenyataan hidup masyarakat. Oleh karena itu, antropolog lainnya mulai

memberikan metode untuk mengabstraksikan struktur sosial, yakni mencari kerangka

itu dari kehidupan kekerabatan. Kehidupan kekerabatan mempengaruhi kehidupan

yang sangat luas sehingga menyangkut berbagai sektor kehidupan masyarakatnya

(Koenjaraningrat, 2009: 140-143).

Teori-teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan, dimana

masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen

yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan pada satu

bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lain. Asumsi dasarnya adalah

bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya

kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan

(16)

Ketika terjadi konflik, perhatian dipusatkan pada masalah bagaimana cara

menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.3

Bronislaw Malinowski sebagai penganut fungsionalisme, berpendapat bahwa

kebudayaan merupakan sistem terintegrasi. Dalam suatu sistem, keseluruhannya itu

ada karena adanya sistem lainnya. Selanjutnya, sistem menurut Radcliffle Brown

adalah kesatuan unsur-unsur yang saling tergantung dan terikat satu sama lain dalam

satu kesatuan sementara struktur sosial adalah jalinan hubungan antara unsur-unsur

dalam sistem sosial yang memiliki posisi tertentu dan saling terkait dalam satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam setiap struktur, setiap unsur selalu

berhubungan dengan unsur lain membentuk aktivitas secara terus-menerus yang

bertujuan untuk menjaga kelangsungan atau keberadaan struktur maupun sisitem

sosial. Proses kehidupan sosial merupakan rangkaian aktivitas dan interaksi

unsur-unsur yang saling terkait dari struktur sosial dalam sistem sosial yang mencerminkan

bentuk kehidupan sosial. Radcliffe menegaskan bahwa struktur hanya dapat dipelajari

ketika ia berfungsi (dalam Baal 1987, 49-106).

Ahli lain yang mengkaji tentang teori ini adalah Claude Levi Strauss. C. Levi

Strauss (dalam Baal, 1987: 117-135) memahami struktur sebagai sesuatu yang

menerangkan mengapa konfigurasi tersebut demikian. Disini struktur diartikan secara

umum, baginya struktur merupakan yang utama, struktur dulu baru ada fungsi. Ia

memandang bahwa struktur menjelaskan sesuatu yang ada dibalik permukaan suatu

gejala. Struktur kehidupan komunitas Karo di Siosar disebut dengan rakut sitelu yang

terdiri dari kalimbubu, anak beru dan senina. Setiap unsurnya saling melengkapi satu

3

(17)

sama lain dan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga fungsinya

berjalan sebagaimana mestinya. Dalam suatu permusyawaratan adat ataupun pesta

misalnya, ketika satu unsur tidak ada, maka penyelenggaraannya tidak dapat

dilakukan, masing-masing memilki peran dan fungsinya masing-masing. Hubungan

dan interaksi yang terbangun diantara warga Karo di kawasan relokasi Siosar

dipengaruhi oleh nilai dan filosofi yang mereka anut. Nilai-nilai inilah yang kemudian

mengikat komunitas ini dan melanggengkan struktur yang ada.

Dalam berpikir dan bertingkah laku manusia dihadapkan pada gejala-gejala

atau fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial merupakan entitas yang berdiri sendiri lepas

dari fakta-fakta individu. Fakta sosial malahan memiliki kekuatan yang memaksa para

individu untuk berpikir menurut garis atau bertindak menurut cara-cara tertentu.

Fakta-fakta sosial itu mula-mula memang berasal dari pikiran atau tingkah-laku

individu; namun agar ada suatu fakta sosial, harus ada beberapa individu yang

berpikir atau bertingkah laku sama. Kalau sudah menyebar dan menjadi pikiran dan

tingkah laku dari sebagian besar warga masyarakat, fakta sosial mempunyai kekuatan

yang memaksa individu (Koenjaraningrat, 2009: 87-90).

Durkheim berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat, ada banyak manusia

hidup bersama, maka gagasan-gagasan dari sebahagian besar individu yang menjadi

warga masyarakat tergabung menjadi kompleks-kompleks gagasan yang lebih tinggi,

yaitu gagasan kolektif. Di satu pihak gagasan kolektif sebenarnya hanya gabungan

dari sebagian-sebagian saja dari tiap gagasan individu, karena kita dapat mengerti

bahwa tiap individu dalam masyarakat mempunyai gagasan-gasan pribadinya

(18)

bagi para warga masyarakat untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan

berhubungan dalam hidup bersama. Bagan di bawah ini menggambarkan tentang

kaitan antara kebudayaan dan gagasan (Koenjaraningrat, 2009: 90-92).

: kebudayaan

: gagasan individu

: gagasan kolektif

: pencetusan gagasan individu

: dorongan kesadaran kolektif yang menimbulkan gagasan

kolektif, yang sebaliknya mendorong interaksi antara individu

: individu

Menurut Peter Blau4 ada dua tipe dasar dari fakta sosial:

a. Nilai-nilai umum (common values),

b. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur.

4

(19)

Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut dengan pranata. Sedangkan

jaringan hubungan sosial di mana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir

serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat

dibedakan, sering diartikan sebagai struktur sosial.

1.3. Rumusan Masalah

Makhluk manusia hidup masing-masing dengan kebudayaannya yang khas,

demikian pula masyarakat Karo yang hidup dalam kebudayaannya yang khas. Daerah

yang mereka huni awalnya merupakan daerah pegunungan yang akrab dengan sistem

pertanian. Identitas yang terbangun banyak sekali dipengaruhi oleh lingkungan alam

yang mengitarinya tersebut. Lingkungan itu menjadi tempat mereka bertumbuh dan

menjadi ruang berkembangnya budaya masyarakat Karo dalam berhubungan dengan

sang Pencipta, berhubungan dengan warga masyarakatnya dan berhubungan dengan

alam beserta segala sesuatu didalamnya. Identitas khas masyarakat Karo terdiri atas

marga, bahasa, kesenian dan adat-istiadat. Masyarakat Karo senantiasa memelihara

identitas tersebut dalam kehidupan kebudayaan mereka. Ketika suatu permasalahan

muncul yang mengguncang kediaman mereka yang terdahulu, masyarakat Karo

kemudian diperhadapkan dengan tantangan-tantangan baru yang mengharuskan

mereka untuk tinggal dalam sebuah kawasan relokasi. Dalam proses menghadapi

tantangan-tantangan atau beradaptasi terhadap lingkungan baru tersebut akan terjadi

pergeseran, perkembangan, bahkan mungkin sekali muncul berbagai sistem

(20)

kawasan relokasi mempertahankan kedekatan mereka, yang terealisasi pada hubungan

mereka dan tempat tinggal mereka dalam suatu area yang berdekatan.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Masyarakat Karo di desa awal hidup mengelompok dalam suatu area dan

beberapa diantaranya tinggal bersama dalam satu rumah adat ataupun rumah

galang. Apakah kehidupan seperti ini masih dipertahankan di lingkungan

baru? Mengapa?

2. Dalam menjalani kehidupan di lingkungan baru, masyarakat Karo dituntut

untuk dapat beradaptasi. Apakah kendala yang mereka hadapi?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:

1.4.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan tentang alasan masyarakat

Karo di kawasan relokasi Siosar yang memilih untuk hidup bersama dalam suatu

lingkungan (area) serta menjelaskan bagaimana mereka beradaptasi di lingkungan

baru dan apakah kendala yang menyertainya.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca untuk

memperkaya pemahaman bagaimana masyarakat Karo dari tiga desa hidup

(21)

dasarnya adalah memahami budaya masyarakat manusia, maka penelitian ini

memiliki sumbangsih yang dapat menyadarkan kita betapa indahnya budaya

masyarakat Karo.

1.5. Lokasi dan Metode Penelitian

1.5.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah pemukiman relokasi oleh pemerintah di Hutan Siosar,

Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Luasan yang ditetapkan oleh

pemerintah adalah sebesar 1120 Ha. Desa relokasi tahap I berasal dari tiga desa yang

dikenal dengan sebutan “Bekassi”, yaitu Desa Bekerah, Desa Sukameriah, dan Desa

Simacem.

1.5.2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Poerwanto (2000:

215-216) mengungkapkan bahwa hal-hal yang berkait dengan budaya, tidak akan

segera tampak bagi orang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Karena hal-hal

yang bersifat budaya itu lebih banyak berpusat dalam alam pikiran, maka pemecahan

masalah yang terjadi pada suatu mesyarakat perlu pemahaman dengan pendekatan

kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif akan dapat mengungkapkan makna-makna

budaya sehingga pemecahan masalah–masalah atau upaya pembangunan yang

mendasarkan pada pemahaman makna-makna budaya masyarakat yang bersangkutan

akan jauh lebih mempunyai arti yang positif bagi kehidupan mereka daripada kalau

mereka sekedar harus menerima barang jadi yang dibuat oleh pihak luar; yaitu para

(22)

merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh

sejumlah individu atau sekelompk orang dianggap berasal dari masalah sosial atau

kemanusiaan.5

Dalam penelitian ini data dikategorikan atas dua jenis, yakni:

1.5.2.1.Data primer

Merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik observasi dan

wawancara.

a. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi

dengan mengumpulkan data melalui pengamatan terlibat langsung. Peneliti dalam hal

ini ikut mengambil bagian dalam kehidupan suatu komunitas masyarakat yang diteliti.

Untuk mendapatkan data atau keterangan-keterangan tentang fenomena yang diteliti,

sangat perlu dilakukan pengamatan secara langsung. Peneliti tinggal bersama

masyarakat selama kurang lebih satu setengah bulan di sebuah rumah keluarga

muslim. Meski berbeda agama, tapi keluarga ini menerima dengan baik kehadiran

peneliti. Tidak banyak hal yang perlu diubah-sesuaikan karena pak Aripin Karo-Karo

dengan keluarganya adalah keluarga yang sangat ramah dan cukup terbuka.

Peneliti berusaha mengeksplorasi segala pengetahuan masyarakat dan tidak

membatasinya. Walaupun pada akhirnya, masalah-masalah yang diangkat atau

dibahas adalah masalah yang menjadi bagian dari topik itu sendiri untuk menemui

relevansinya dalam suatu laporan. Pilihan untuk berdiskusi pada malam hari sengaja

5

(23)

dilakukan mengingat pada pagi hari warga desa akan berangkat ke ladang dan hingga

sore berada di sana. Jadi hal ini bertujuan agar tidak menggangu aktivitas warga,

peneliti harus rela melakukan wawancara pada malam hari. Malam hari merupakan

opsi yang paling potensial melakukan wawancara.

Riall Nolan (2002: 8) menyampaikan dalam bukunya yang berjudul

Development Anthropology Encounters in the Real World bahwa:

“Anthropologists acquire their knowledge from other people through

participant observation. Participant observation is learning by doing to

generate what one anthroplogist termed a “living understanding” of the

culture (Belshaw, 1976: 25). This is usually requires knowledge of the local language. If culture is based on categoies, rules, and values

existing in people’s minds, then it follows that one of the best ways to

uncover these is through listening to what people say.”

Jadi antropolog perlu menghabiskan waktu bersama masyarakat yang diteliti,

memahami bahasa dan bagaimana mereka berpikir.

b. Wawancara

Dalam hal ini melakukan wawancara dengan mencoba membangun hubungan

yang nyaman (rapport) dengan para informan. Peneliti mengajukan

pertanyaan-pertanyaan terkait dengan masalah yang diteliti. Wawancara dilengkapi dengan alat

perekam (recorder) sebagai alat bantu peneliti untuk merekam segala informasi saat

mewawancarai para informan. Peneliti sadar bahwa peneliti juga mempunyai

keterbatasan, namun dengan adanya recorder memudahkan mengingat kembali

percakapan di lapangan dengan informan. Rekaman ini digunakan untuk memastikan

kebenaran pemahaman yang diterima dari informan. Dilengkapi dengan catatan

(24)

yang dihadapi saat melakukan penelitian dan sebagai acuan untuk memunculkan

pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih relevan. Penelitian ini juga dibantu oleh

kamera sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hal-hal yang ditemukan di

lapangan yang juga berkaitan dengan masalah penelitian.

Peneliti juga menggunakan interview guide yang disusun sebelum melakukan

penelitian, pertanyaan berkembang seiring dengan jawaban atau tanggapan yang

dilontarkan para informan. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dicatat dalam

bentuk fieldnote sebelum disempurnakan dalam bentuk yang lebih lengkap yaitu

laporan. Fieldnote merupakan catatan hasil pengamatan dan wawancara yang

ditemukan di lapangan. Fieldnote kemudian di gunakan untuk penyusunan laporan

penelitian.

Dalam penelitian ini, penulis paling banyak melakukan wawancara dengan

pak Aripin Karo-Karo. Beliau bekerja sebagai petani dan juga perangkat desa

Simacem. Lelaki berumur 54 tahun ini merupakan sosok yang banyak sekali

membantu penulis di lapangan, diantaranya mengantar dan merujuk penulis kepada

informan lain, memberikan banyak sekali pengetahuan serta tempat untuk berdiskusi.

Meski malam sudah sangat larut, beliau bersedia menjawab persoalan-persoalan yang

dibahas dalam skripsi. Dalam skripsi ini, saya sering menyebut beliau sebagai bapak.

Istrinya bernama Rosmaulina Sembiring (bu Maya). Beliau ini berumur 46 tahun yang

bekerja sebagai petani. Mami adalah sebutan akrab penulis padanya. Setiap pagi

penulis dan mami duduk di dapur mengiris dan memotong bahan makanan untuk

diolah sebagai hidangan di pagi dan siang hari. Waktu-waktu ini banyak penulis

manfaatkan untuk mencuri ilmu dari beliau. Mami memiliki sifat penolong dan

(25)

mami akan merayu bapak untuk membantu penulis. Pasangan suami istri ini memiliki

seorang putri bernama Maya yang menjadi teman dekat saya dan membantu saya

menelusuri rumah-rumah informan lainnya. Mereka inilah yang menjadi keluarga

baru penulis selama masa penelitian.

1.5.2.2.Data sekunder

Merupakan data pendukung yang dapat menyempurnakan hasil observasi dan

wawancara. Data ini berupa dokumen-dokumen yang diperoleh dari perangkat desa

dan fasilitator TPN-BNBP yang memiliki konsen dalam penanggulangan bencana

erupsi Gunungapi Sinabung, serta dari hasil-hasil penelitian dan berbagai referensi

yang relevan dengan permasalahan penelitian yang berupa jurnal, artikel, buku-buku,

dan internet.

1.6. Pengalaman Penelitian : Sebuah Kisah, Dua Hari di Tiga Desa

Saya beranjak ke suatu tempat yang sangat dingin, Siosar tepatnya. Saya bisa

melihat hamparan padi ladang dan pepohonan di sepanjang perjalanan. Ada yang

sesuatu yang menarik bagi saya, ada banyak cairan berwarna kuning ke-orenan

terbungkus dalam plastik es batangan sedang menggelantung di pohon-pohon jeruk

itu. Cairan itu berfungsi untuk menghalau hama serangga yang bisa saja mengganggu

tanaman jeruk. Pantas saja disana seperti bergemul bintik-bintik kecil dari kejauhan.

Angin yang berhembus menyapu wajah saya, hanya ini bagian tubuh yang tidak

ditutup. Terkadang saya merasa kesulitan bernafas sehingga beberapa kali saya harus

(26)

Tiba-tiba kak Dina menghentikan sepeda motornya di gapura yang bertuliskan

“Kawasan Relokasi Siosar”. Saya menyempatkan diri untuk mengambil foto di

gapura ini, gapura yang sudah tiga kali di cat dari sejak awal dibangunnya. Gapura

yang sangat populer bagi para wisatawan ini, sering sekali dipenuhi coret-coretan,

itulah mengapa gapura ini di cat berulangkali.

Gambar 1.1. Gapura Selamat Datang di Kawasan Relokasi Siosar

Sumber: Peneliti

Melaju lebih jauh lagi, tiba-tiba kak Dina berhenti menyapa seseorang yang

dikenalnya. Seorang lelaki tua yang juga seumuran dengan bapak yang dikenal kak

Dina sedang bersama dengannya. Mujurnya, ternyata beliau-beliau ini masing-masing

adalah kepala desa dan pengurus desa. Beliau ini ternyata cukup ramah menerima

kedatangan saya untuk melakukan penelitian di desanya, desa Simacem. Karena saya

(27)

beragama Kristen. Baginya, peneliti akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri

dengan warga yang se-agama. Jadi akan lebih etis dan tidak banyak yang harus

diubah-sesuaikan. Beliau tiba-tiba teringat dengan seorang bidan yang tinggal sendiri

di rumahnya. Akhirnya beliau menaruh perhatian pada tempat bidan itu sebagai

tempat saya tinggal nantinya.

Kedua beliau ini lalu menuntun jalan ke tempat bu Maya (mami), mereka

sangat ramah kepada saya. Bu Maya dan kak Dina sudah mengatur janji sebelumnya

bahwa beliau bersedia menerima saya untuk tinggal di kediamannya selama waktu

penelitian saya. Akhirnya sampailah saya di desa Simacem, disana sedang duduk

sekelompok wanita yang sepertinya sedang giat membicarakan sesuatu hal. Saya

menyadari ada seorang diantara mereka yang begitu familiar bagi saya, ialah bu

Maya. Bu Maya adalah orang yang menyediakan tempat tinggal bagi saya dan

rombongan setahun yang lalu. Saya dan rombongan tinggal selama dua hari satu

malam. Kami sudah pernah melakukan wawancara di daerah ini.

Kali ini saya sudah bisa melihat talud-talud yang siap dibangun serta jalan

yang sudah diaspal dan ditimbun dengan batu. Jadi jalanan sudah rapi dan gang-gang

juga tidak selicin dulu lagi. Pengunjung dan warga bisa merasa nyaman untuk

melakukan perjalanan di Siosar. Ditambah dengan riuhnya pepohonan di sekitar

membuat pemandangan terasa semakin indah.

Kepala desa melepas saya di tempat ini dan berpesan untuk menyelesaikan

surat penelitian lapangan sebagai arsip desa. “Biasanya yang baik itu, a… dimana

-manapun kita-kan, perlu juga itukan. Tapi itu bukan sifatnya penting, besok lusa

(28)

Akupun gitu, dulu aku meranto ke Tapsel, harus ada surat dari sini. Yah kita kan

perlu adanya keamanan, tanggung jawablah,” pesan beliau. Kemudian saya duduk

menyatu dengan kumpulan wanita itu. “Tambah kecil aja, duh,” kata mami padaku.

Ternyata mereka sedang membicarakan mesin pengolah keripik kentang. Mesin ini

adalah mesin pembersih kentang dan pemotong keripik kentang. Mesin itu sedang di

tes, sementara lenggang karena pak Rambe Sidempuan sedang mencarikan air. Bahan

bakar yang digunakan untuk menyalakan mesin adalah gas, sementara untuk

memasak menggunakan tenaga listrik. Saya terkadang bingung mereka sedang

membicarakan hal apa karena pembicaraan itu diselingi bahasa Karo.

Dari pembicaraan itu saya bisa merasakan penduduk desa relokasi tahap I

bersyukur dengan keadaan mereka yang sekarang sebab rumahnya sudah dibangun

oleh pemerintah di sebuah lahan yang memungkinkan warga desa untuk hidup

bersama dengan kelompoknya yang lama. Sementara relokasi tahap dua

memungkinkan warga untuk hidup secara terpisah sebab mereka bebas menentukan

lahan dimana rumah mereka akan dibangun6. Jadi warga relokasi tahap dua

kemungkinan akan kehilangan identitas warganya dahulu karena berbaur dengan

warga desa lain. Mereka juga harus diperhadapkan dengan lingkungan lain yang

membuat mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. “Kalok

kami ini udah bersyukur kami ini nakku. Kenapa kam bilang min? Dah tetap kami

disini, ladang kami dah tetap setengah hektar, orang itu kayak mana?” jelas salah

6

(29)

seorang ibu menyikapi pembangunan rumah tahap dua yang lebih kuat. “Kami masih

kumpul satu kampung, gak pencar-pencar,” sahut ibu lainnya. “Kami udah bersatu di

buat pemerintah ini udah syukur kali,” lanjut beliau lagi.

Sekalipun Siosar diperuntukkan hanya untuk warga dari tiga desa yaitu desa

Simacem, desa Bekerah dan desa Sukameriah, namun berkembang isu bahwa lahan

kosong hasil penebangan hutan tersebut akan ditempati oleh warga Berastepu. Lahan

hutan seluas 250 hektar yang ditebang melalui izin PBB kemungkinan akan diberikan

kepada warga relokasi mandiri, ± seluas 200 /KK. Namun perizinan untuk

menggunakan lahan tersebut belum selesai. Ada kemungkinan Siosar ini

dimanfaatkan untuk relokasi mereka, begitulah wacana yang berkembang di

masyarakat. Sayangnya, fakta yang ada bahwa kebanyakan warga relokasi mandiri

tidak mau pindah yang memungkinkan dikembalikannya uang negara. Oleh

oknum-oknum nakal, uang negara kemungkinan akan diselewengkan. Hal ini yang

menimbulkan kecurigaan terhadap dana yang harusnya diterima warga relokasi tahap

satu, namun tidak terealisasi karena mereka menolak.

Pembicaraan hangat itu akhirnya dialihkan oleh mesin pengolah keripik

kentang. Kentang merupakan hasil tani yang cukup melimpah di Siosar. Warga

berkeruman di depan mesin itu. Fungsinya sangat membantu dalam membersihkan

kentang. Kentang dalam jumlah yang banyak bisa dikupas secara bersamaan dalam

waktu yang sangat singkat.

Esoknya, saya bangun pukul 06.58 WIB ketika suasana diluar masih cukup

berkabut. Susah sekali beranjak dari tempat tidur dan selimut tebal yang menutupi

(30)

membeku. Maya terlihat sedang merapikan seragamnya lalu pamit untuk berangkat

kesekolah. Ia harus mengejar bus Damri yang berangkat pagi ini. Hampir bisa

dikatakan bahwa bus yang disediakan oleh pemerintah ini adalah angkutan umum

satu-satunya. Bus Damri memiliki rute dari Siosar menuju Kabanjahe yang beroperasi

pukul 06.00 WIB dan 07.00 WIB, sementara dari Kabanjahe menuju Siosar

beroperasi pukul 14.00 WIB dan 15.00 WIB. Adapun bus mini lain adalah bus milik

swasta7 yang menyediakan jasa sebagai angukutan umum dengan biaya Rp 8.000,00.

Harga yang memang dibandrol lebih besar dari biaya bus sediaan pemerintah, yaitu

Rp 3.000,00. Untuk anak sekolah, Bus Damri mematok ongkos sebesar Rp 1.000,00.

Gambar 1.2. Bus Damri

Sumber: Peneliti

7

(31)

Saya merapikan tempat tidur, lalu beranjak ke dapur. Di sana mami sedang

menggoreng tahu sambal. Saya bergegas mengambil sapu lalu membersihkan rumah.

Saya kemudian menyapa mami dengan nada yang agak parau. Pilek selama tiga hari

mengubah nada suaraku, mungkin karena perubahan cuaca yang saya alami. Tubuh

saya harus beradaptasi dengan cuaca yang sangat dingin. Sama halnya ketika warga

masyarakat Karo di Siosar pertama kali datang ke tempat ini, bukan karena cuaca

dingin, tetapi karena hawa yang terkadang kurang sedap. Cuaca dingin dan angin di

daerah ini membuat kulit menjadi gersang dan lebih gelap. Saya masih bisa melihat

betapa tidak puasnya Maya karena kulit wajahnya yang mengelupas. Maya

menambahkan bahwa kondisi air juga agak keruh.

Bau sambal yang terlihat sangat sedap di kuali itu bahkan tidak dapat ku cium.

Tapi nampaknya sedap sekali. Mami-pun menyerahkan urusan memotong sayur

kepada saya. Sebungkus buncis di plastik hitam itu tampak masih segar. Ku iris tipis

buncis itu, senikmat pembicaraan kami saat itu8.

Mami dan keluarga sudah tinggal selama setahun, tepatnya sejak tanggal 16

Januari 2016. Walaupun sudah di buka tahun sebelumnya, mami dan keluarga masih

betah di Kabanjahe karena ada ladang yang perlu di rawat. Sementara, sekalipun

rumah sudah selesai dibangun pemerintah pada bulan Juni 2015, ladang belum juga

disediakan. Itulah sebabnya belum banyak warga yang memilih bermukim di tempat

ini. Bibi di belakang rumah dan warga atas termasuk kelompok yang lebih lama

berada di Siosar. Masih teringat bagi mami betapa sedihnya saat pertama kali berada

di tempat ini, Mami belum bisa melupakan kenangan pahit ketika rumah dan

8

(32)

ladangnya yang luas habis ditutup batu dan abu dari Gunung api Sinabung. Letusan

gunung api Sinabung kala itu membuat warga harus mengungsi selama sekitar 2 ½

tahun. Mereka berpindah dari satu posko ke posko lain.

Begitu buncis sudah siap di iris, saya bergegas mengambil tisu diruang tamu

sebab ingus saya semakin merajalela. Ternyata ada banyak tumpukan piring dan gelas

di dapur, langsung kusingkap lengan bajuku dan kulepas kaos kakiku. Saya

mengangkat tumpukan dalam ember itu menuju samping rumah tempat mencuci

piring.9 Saya tidak bisa merasakan sabun dan minyak selama mencuci piring karena

tangan saya masih terasa membeku. Mami sempat menawarkan bantuan, namun saya

tolak secara santun.

Seorang tetangga masuk kerumah lalu berbincang sebentar dengan mami dan

bapak. Entah apa yang mereka bicarakan sebab saya tidak mengerti bahasa Karo.10

Begitu jam menunjukkan pukul 09.00, bapak dan anak laki-lakinya yang baru saja

datang langsung menyantap sarapan pagi. Sementara mami menyusul belakangan.

Berulang kali mami mengingatkan saya untuk sarapan, sampai akhirnya mami dan

bapak berangkat ke ladang, saya belum juga sarapan. Saya tidak bisa menemani mami

ke ladang karena ladang yang akan dikerjakan mami ini berada di Kabanjahe -

Sekarang mami hanya memiliki dua ladang, satu yang berada di Kabanjahe dan yang

lain merupakan lahan yang disediakan oleh pemerintah-. Mami juga akan pulang

sangat sore dan berangkat bersama bapak menggunakan sepeda motor bersama, jadi

saya berpikir untuk mengerjakan kegiatan lain di rumah.

9

Tempat mencuci piring berada diruang terbuka, tepatnya disamping rumah sebelah dapur. Lantai bersemen dengan ukuran ±1,5m X 1,5m itu langsung terhubung dengan parit dibelakang rumah warga. 10

(33)

Bunyi-bunyi traktor dan palu mulai terdengar dari arah depan rumah. Disana

sekelompok pekerja sedang membangun talud yang runtuh beberapa waktu lalu.

Talud itu tidak cukup kokoh ketika diterpa angin kuat. Tidak jauh dari tempat itu, ada

seorang ibu yang sedang mengerjakan lahan. Lahan itu begitu dekat dengan sebuah

rumah di depannya. Wanita itu cukup bersemangat sejak tadi sekalipun cuaca

sedingin ini. Hangatnya mentari memang cepat sekali berlalu. Sekitar pukul 12.00

WIB, bunyi-bunyi traktor dan palu sudah tidak ada lagi. Suasana menjadi senyap dan

terasa dingin sekali karena panas matahari juga sudah berlalu sejak sejam yang lalu.

Gambar 1.3. Pekerja Sedang Memperbaiki Talud

Sumber: Peneliti

Sore ini, sekitar pukul 16.30 WIB semakin dingin saja. Saya mengenakan dua

baju hangat yang melapisi baju kaos dalam dan luar saya, saya membungkus jari-jari

saya dengan sarung tangan untuk menggambar denah wilayah penelitian saya. Kala

(34)

talud dari rumah bernomor 33, tepatnya di talud keduanya, saya melihat ada sebuah

jambur yang cukup besar. Jambur ini berada di Desa Simacem, sementara kedua desa

lainnya juga masing-masing memiliki satu jambur. Jadi, di kawasan relokasi Siosar

terdapat tiga jambur.

Nah, berjalan lebih jauh lagi, yaitu di simpang tiga, ada sebuah puskesmas.

Puskesmas yang berdiri di kawasan relokasi Siosar ada satu buah. Puskesmas ini

diperuntukkan untuk semua warga. Nah, dari simpang ini juga terlihat tiga rumah

ibadah yang kelihatan sejajar, dipisahkan hanya beberapa meter saja. Rumah ibadah

ini terdiri dari satu mesjid, satu gereja khatolik dan satu gereja oikumene Bahtera

Kasih Siosar. Ada dua buah mesjid di kawasan relokasi Siosar, yang satu berada di

daerah Bekerah, sementara yang lain berada di daerah Sukameriah. Untuk

peruntukannya, masing-masing rumah ibadah tidak menutup pintu untuk warga dari

desa-desa lain untuk beribadah bersama. Kalau kita memilih jalan sebelah kiri, berdiri

sebuah gapura yang menunjukkan bahwa kita akan keluar atau masuk ke Desa

Simacem. Melewati satu gang akan langsung bertemu dengan koperasi. Di bagian

tengahnya terdapat tempat menyerupai Jambur dalam ukuran yang lebih kecil.

Tempat ini akan digunakan sebagai tempat usaha dagangan koperasi. Bertemu dengan

pertigaan jalan lagi dan memilih jalan ke sebelah kiri, saya melihat rumah-rumah

warga desa Bekerah yang dilengkapi dengan aquaponik11. Pemerintah pada dasarnya

berencana untuk membagikan aquaponik secara merata kepada setiap kepala keluarga

yang memiliki rumah, sementara pada kenyataanya, hanya beberapa warga desa

Bekerah yang mendapatkan aquaponik tersebut.

11

(35)

Sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa warung belum juga di buka12.

Maya mengatakan bahwa tidak beroperasinya warung-warung di kawasan relokasi

Siosar disebabkan karena tidak banyak wisatawan yang membeli dagangan ketika

berkunjung. Saat saya bertemu dengan sebuah warung yang menjual masakan berupa

mie, saya langsung memesan dua bungkus miso. Perlahan gerimis berganti menjadi

hujan lebat saat saya dan Maya sudah tiba di rumah. Kami langsung mengangkat kain

yang di jemur di belakang rumah, berdekatan dengan kandang ayam. Dari sana, saya

melihat sepeda motor mami dan bapak berhenti di gang karena sepeda motor yang

sudah mulai tua. Mereka baru saja pulang dari ladang di Kabanjahe. Wajah mami

dilumuri bedak berwarna kuning yang menurut pengakuannya untuk melindungi

wajah dari sinar matahari.

Saya buru-buru membuka bungkusan miso lalu menghidangkannya di dapur,

di sebuah tikar yang baru saja digelar Maya. Kami menikmati 2 bungkus miso yang

dinikmati secara bersama ketika hujan mengguyur dengan begitu derasnya,

masing-masing saya dan Maya serta mami dan bapak. Nikmat sekali menyantap makanan

bersama bersama keluarga ini. Biasanya saya hanya bisa makan bersama Maya,

sementara bapak dan mami akan menyusul makan setelah kami selesai.

Saya berada di ruang depan menonton film bersama Mami pada pukul 22.00

WIB, sementara bapak dan Maya sudah tidur. Mami tiduran di sebuah sofa dengan

berselimutkan sarung televisi, ditaruhnya bantal-bantal kecil di sofa untuk menahan

lehernya agar bisa menonton televisi. Saya mulai membuka pembicaraan tentang

tempat tinggal saya kepada mami karena besok saya sudah balik ke Kabanjahe

12

(36)

menyusul ke Medan untuk mengurus surat penelitian lapangan. Mami bersedia

menerima saya untuk tinggal bersama mereka selama waktu penelitian. Baginya, saya

sudah menjadi bagian dari keluarga, saya sudah dianggap sebagai anak. Sekalipun

kami berbeda agama dan suku, mami dan keluarga tidak merasa canggung. Mami dan

keluarga memang selalu terbuka untuk menerima orang-orang baru yang

membutuhkan bantuan dari mereka. Bagi mereka hal seperti itu merupakan ibadah,

pula anak mereka juga berada di tanah rantau untuk mengenyam pendidikannya. Jadi

mereka bisa merasakan bagaimana orang-orang lain membutuhkan dan dibutuhkan.

Keluarga-keluarga yang mendapatkan tempat tinggal di Siosar tidak dibebani

aturan oleh pemerintah. Ketika mereka sudah memiliki rumah mereka secara sah,

maka itu adalah hak milik mereka dan bebas untuk menerapkan aturan sebagaimana

yang dikehendaki keluarga itu sendiri. Hanya saja lahan luas selain lahan yang

dibagikan sebesar 0,5 hektar13, harus dikembalikan sewaktu-waktu pemerintah mulai

membutuhkan lahannya. Lahan-lahan kosong ini boleh ditanami apa saja oleh

warga-warga di kawasan relokasi Siosar untuk membantu perekonomian keluarga, atau

hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Lahan yang dimaksud adalah

lahan yang tidak ditanami pepohonan sebagai kawasan hutan lindung. Nah, sekalipun

merupakan lahan bebas, antara satu warga dengan warga lainnya tidak terlibat

percekcokan untuk memperebutkan lahan. Masing-masing mereka sudah menyadari

lahan mana yang harus digarap. Untuk itu, biasanya setiap keluarga menggarap

lahan-lahan yang berada dekat dengan kawasan mereka.

13

(37)

Rumah-rumah warga dialiri listrik bersistem token atau pulsa. Jadi pemakaian

dan pembayaran tergantung kepada pemakaian sang empunya sendiri. Sementara

untuk air14, warga dibebankan Rp 5.000 per bulannya. Kualitas air juga sudah mulai

membaik dari sebelumnya. Bapaklah yang bertugas untuk membuka pintu air untuk di

aliri ke rumah-rumah warga. Bapak memang multi-pekerjaan, beliau juga bertugas

untuk membuka gerbang sekolah, bekerja sebagai perangkat desa dan bekerja di

ladang. Mami juga banyak bercerita tentang kehidupan anak laki-lakinya yang cukup

nakal. Pembicaraan kami kemudian berakhir ketika perut saya mulas. Mungkin karena

saya terlalu banyak makan pedas dan santan. Saya harus segera ke kamar mandi,

sementara mami juga sudah mengantuk sehingga harus mematikan televisi dan

bergegas tidur.

14

Gambar

Gambar 1.1. Gapura Selamat Datang di Kawasan Relokasi Siosar
Gambar 1.2. Bus Damri
Gambar 1.3. Pekerja Sedang Memperbaiki Talud

Referensi

Dokumen terkait

Satjipto Rahardjo, 2009. Hukum dan Perubahan Sosial , Yogyakarta: Genta Publishing, Hal 4-7.. Volume 5 Nomor 2 Tahun 2017 10 lazim terjadi pada masyarakat transisi adalah

[r]

Berbagai faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi anggota, maka anggota dapat memilih apakah akan tetap setia menggunakan produk atau beralih kepada

[r]

Pada gambar 1.0.3 terdapat textbox yang ditandai dengan warna merah untuk mengatur range waktu statistic yang ingin ditampilkan. Setelah mengatur

wakil Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur.. dengan

Jika pendaftaran selesai kembali ke halaman beranda dan klik tombol Masuk/Daftar , maka akan muncul seperti gambar 1.0.2 dan masukan username dan password tekan tombol masuk ,

pada ayat (1) huruf b diangkat oleh Direktur sesuai. dengan kebutuhan dan ketentuan