BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat dan kebudayaan selalu mengalami perubahan secara cepat ataupun
lambat, baik perubahan secara fisik ataupun perubahan non-fisik. Khairuddin (1997:
71) mengemukakan bahwa pada hakekatnya tidak ada satu masyarakat yang tidak
berubah, walaupun masyarakat yang sesederhana apapun. Atau dengan kata lain, tidak
ada satupun masyarakat yang statis. Semua masyarakat berubah menurut kadar
perubahannya masing, masing. Ada satu masyarakat yang berubah dengan pesat,
sedangkan ada juga yang berubah dengan lambat.
Perubahan fisik menyangkut pertambahan jumlah penduduk dan perubahan
lingkungan alam, sementara perubahan non-fisik menyangkut pengetahuan
masyarakat dan bagaimana mereka memahami sesuatu. Perubahan lingkungan alam
dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti gempa bumi atau gunung meletus yang
kemudian mempengaruhi bagaimana masyarakat memperlakukan lingkungan alam
itu. Pengetahuan masyarakat selalu dipakai untuk memahami lingkungan supaya
mereka tetap dapat bertahan hidup di lingkungan tersebut. Sebaliknya apabila
lingkungan tidak mendukung untuk ditinggali, maka masyarakat mau tidak mau harus
mencari lingkungan baru lainnya.
Banyak hal yang tidak dapat diduga terjadi dalam kehidupan manusia, seperti
Pembangunan merupakan suatu proses dalam mempercepat laju perubahan yang ada
dalam masyarakat, yang proses tersebut merupakan suatu proses terencana.
Pembangunan yang diterapkan dalam suatu masyarakat akan sangat bergantung dari
masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, ada atau tidaknya unsur budaya yang
menunjang dari dalam masyarakat itu sangat penting karena pembangunan merupakan
suatu pengenalan baru baik berupa pengetahuan maupun berupa materi yang akan
bercampur antara yang alam dengan yang baru. Apabila tidak ada yang menunjang
dari dalam budaya masyarakat, tentu unsur baru tadi akan ditolak kehadirannya dan
otomatis tidak akan terwujud dalam tindakan masyarakatnya, tetapi sebaliknya bila
ada padanan unsur dari dalam masyarakat (budaya masyarakat) yang bersangkutan
dengan program yang diterapkan, tentu unsur baru tadi akan dapat diterima
kehadirannya sesuai dengan yang terkena unsur baru tadi (Rudito, 1991: 5).
Sementara bencana alam yang sering kali tidak diduga dapat terjadi kapan saja dan
dimana saja, seperti halnya bencana meletusnya gunung berapi yang menghampiri
masyarakat yang hidup di kaki gunung api Sinabung.
Gunung api Sinabung mengalami erupsi besar sejak tahun 2010. Gunung api
yang masih terus bergejolak ini kini telah mencapai tahun ke- 7. Daerah yang menjadi
sasaran dari erupsi nyatanya semakin meluas. Dampak meletusnya gunung berapi
terkadang bisa begitu parah sehingga merusak pemukiman masyarakat. Wilayah yang
tidak dapat lagi dihuni perlu ditemukan penggantinya, oleh sebab itu dibutuhkan
sebuah pemukiman relokasi untuk warga. Demikian yang terjadi pada pemukiman di
sekitar gunung api Sinabung yang mengharuskan warga untuk direlokasikan ke
tiga tahap relokasi. Pada tulisan ini berfokus pada relokasi tahap 1 dimana kawasan
relokasi oleh pemerintah adalah hutan Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo.
Menurut Sadana (dalam Pandia, 2016: 139), permukiman merupakan bagian
dari lingkungan hidup. Permukiman merupakan bagian dari kawasan budidaya.
Permukiman merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan para penghuninya. Permukiman
merupakan kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama
sebagai tempat tinggal. Permukiman perlu dilengkapi dengan prasarana lingkungan,
sarana lingkungan, serta tempat kerja. Dapat disimpulkan bahwa permukiman
merupakan lingkungan tempat tinggal manusia yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Sementara relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh
aktivitas berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat
lain guna mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan
tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan
binaan di tempat tujuan. Namun demikian, relokasi sangat membutuhkan perencanaan
yang hati hati, detail dan secara menyeluruh karena menyangkut pada penyiapan
sebuah komunitas baru (Boen dan Jigyasu, dalam Martanto, 2014).
Proses relokasi tentu tidak mudah. Sebagaimana dalam kasus gunung Merapi,
pihak pemerintah daerah menyadari bahwa masalah pemukiman kembali di suatu
tempat tertentu (relokasi) adalah sangat pelik dan sensitif. Sementara itu para
penduduk di lokasi kawasan bahaya cenderung berpendapat bahwa pindah ke lokasi
letusan1. Warga desa yang pindah ke lingkungan baru akan menghadapi
tantangan-tantangan baru di lingkungan tersebut. Penelitian ini melihat sejauh mana proses
tantangan yang dihadapi oleh warga desa yang membuat warga untuk menyesuaikan
diri. Rigg dan Sian (2002: 10) menyampaikan bahwa lingkungan menjadi kanvas
bagi budaya untuk berkarya dan mengolahnya kembali. Dalam beberapa kasus,
tahap-tahap perubahan terjadi seiring dengan dibangun, ditinggalkan, dan dihuninya
kembali suatu daerah.
Dalam proses menghadapi tantangan-tantangan tersebut akan terjadi
pergeseran, perkembangan, bahkan mungkin sekali muncul berbagai sistem
sosial-budaya dan sistem teknologi yang baru (Pudja, 1989: 2). Banyak hal yang diintrodusir
mulai dari warna, bentuk dan ukuran bangunan yang dibuatkan untuk para warga.
Menurut Poerwanto (2000: 61-62), adaptasi menuntut pengembangan pola-pola
perilaku, yang akhirnya membantu suatu organisme agar mampu memanfaatkan suatu
lingkungan tertentu demi kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan
maupun menghindari diri dari bahaya. Seperti halnya dengan makhluk-makhluk hidup
lainnya, agar ia tetap dapat mempertahankan hidupnya, maka manusia harus selalu
menjaga hubungan adaptasi dengan ekosistemnya. Kebudayaan sebagai sistem
budaya merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku
seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Adaptasi mengacu pada proses
interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme tersebut.
Dengan kebudayaannya, untuk jangka waktu panjang yang telah dijalaninya, makhluk
1
manusia berkembang dan tetap survival karena ia mampu melakukan proses
penyesuaian timbal-balik.
Lanjutnya, proses adaptasi telah menghasilkan keseimbangan yang dinamis,
karena manusia sebagian dari salah satu organisasi hidup dalam suatu lingkungan
fisik tertentu. Melalui kebudayaan yang dimilikinya, ia mampu mengembangbiakkan
seperangkat sistem gagasannya. Dengan kata lain, manusia mampu menyesuaikan diri
sebagai bagian dari ekosistem. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, suatu perubahan
ekologis juga akan dapat sekaligus membuat manusia menyesuaikan berbagai gagasan
mereka.
Ketertarikan penelitian ini adalah pada bagaimana masyarakat Karo di
kawasan relokasi Siosar dalam menjalankan kebudayaannya yang telah ada ditempat
yang baru tersebut. Fakta yang sangat menarik bahwa masyakarat Karo di Siosar
dapat hidup saling berdekatan dalam suatu areal padahal berada di lingkungan yang
baru dengan tantangan yang juga besar. Dari rumah adat Karo yang terdapat beberapa
rumah tangga atau beberapa keluarga batih di dalamnya, dapat dipahami bahwa sejak
dari dulu masyarakat Karo memang hidup bersama. Kalaupun tidak satu rumah,
paling tidak mereka saling berdekatan secara kekeluargaan dalam satu lingkungan.
Mereka tidak saling jauh dalam satu area kultural mereka, baik dalam satu rumah
ataupun satu lingkungan. Yang kemudian dapatlah dipahami dari pola
perkampungannya yang mengelompok. Meskipun suatu modifikasi telah terjadi
bahwa hidup mereka yang saling berdekatan dalam suatu lingkungan diatur oleh
Orang Karo kuat dalam mempertahankan komunitasnya, bahkan masyarakat
dari suku lain yang tinggal atau melakukan kawin-mawin dengan orang Karo akan
diberi merga atau beru. Beberapa rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah
adat awalnya, kini meskipun mereka terpisah-pisah (dalam satu areal), tetapi mereka
tetap menjalin hubungan yang akrab. Yang utama adalah masyarakat Karo di Siosar
tetap hidup berdekatan dalam suatu lingkungan sebagaimana mereka hidup pada
mulanya sebagai sebuah keluarga dan tetap dengan rasa kekeluargaan yang kuat.
Bhakti (dalam Wahid dan Alamsyah, 2013: 34) menyampaikan bahwa di dalam
masyarakat Karo tidak ada lagi yang tidak termasuk keluarga.
Campur tangan pemerintah dalam membangun rumah sedemikian rupa dalam
mempertahankan kedekatan masyarakat Karo memang memiliki andil dalam hal ini.
Namun perlu dipahami bahwa alasan berdirinya pemukiman tersebut juga dilandasi
oleh keterlibatan masyarakat Karo sendiri. Terdapat keinginan kuat yang mendasari
pembangunan tersebut. Berangkat dari pemahaman yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka peneliti memandang bahwa perlu diulas mengenai hal yang mendasari
keputusan masyarakat Karo untuk tinggal saling berdekatan di sebuah pemukiman
yang dikenal dengan Siosar.
1.2. Tinjauan Pustaka
1.2.1. Lingkungan
Masyarakat Karo sejak dulu dikenal dengan lingkungannya asri dan sangat
cocok untuk ditanami tanaman, oleh sebab itulah mereka mengembangakan pertanian
hidup menjadi lima jenis diantaranya adalah tipe-biom dan biom; lingkungan a-biotik
dan biotik; lingkungan fisik dan sosial; lingkungan geografik, operasional, perseptual
dan perilaku; serta lingkungan ekstern dan intern. Secara spesifik, pembagian
lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu lingkungan
sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial adalah manusia, sementara lingkungan
fisik adalah lingkungan bermateri atau bukan manusia yaitu biotik dan abiotik (flora
dan fauna saja).
Bambang Rudito (1991: 68) mengungkapkan bahwa lingkungan terbagi atas
tiga jenis, yang masing-masingnya mempunyai perbedaan dan ciri khas:
a. Lingkungan sosial, merupakan perangkat aturan yang digunakan untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat bagaimana manusia sebagai makhluk sosial dan
anggota masyarakat dapat berinteraksi. Misalnya: aturan-aturan agama, aturan adat
dan aturan yang berkenaan dengan cara-cara manusia bertindak.
b. Lingkungan alam, merupakan satuan elemen-elemen biologi, geografi dan
fisik kimia yang secara ekologi saling mempengaruhi membentuk suatu sistem yang
natural.
c. Lingkungan binaan, merupakan perangkat hasil buatan atau karya manusia
dalam bentuk hubungannya dengan mengolah alam (hasil budaya), sering juga
dikatakan sebagai lingkungan kebudayaan, dalam arti hasil budaya manusia
(benda-benda produk manusia).
Perubahan pada lingkungan fisik akan berpengaruh terhadap perubahan
lingkungan sosial demikian pula sebaliknya. Fisik dan perilaku kebudayaan manusia
(dalam Sukadana, 1983) menyatakan bahwa ruang lingkup “human ecology” adalah
menjelajahi peranan manusia di dalam sistem interaksi organisme dan lingkungan
dalam usaha untuk memahami manusia dengan problemnya, baik dari segi biologik
dan psikologik, maupun dari segi kebudayaan, sosial dan ekonomi.
1.2.2. Adaptasi Terhadap Lingkungan
Keselarasan manusia dengan lingkungan fisik, bukan hanya dipakai untuk
mengembangkan daya dukung alam, tetapi juga dapat dipakai untuk mengembangkan
diri manusia dan masyarakat, sehingga terjadi suatu keselarasan hubungan yang
dicapai berkat kemajuan alam dan manusia (Salim, dalam Poerwanto, 2000: 235).
Lingkungan bukan hanya terbatas dalam pengertian lingkungan alam atau fisik
semata, melainkan juga mencakup masalah lingkungan sosial-budaya.
Lingkungan sosial tidak dapat dilepaskan dari tingkah laku para individu
warga lingkungan sosial tersebut, yang dalam prakteknya selalu berpedoman pada
pola-pola budaya berupa sistem nilai, norma dan aturan hidup. Pola-pola budaya yang
kemudian menjadi peta kognisi itu pulalah yang membentuk persepsi dan kemudian
menuntun orang untuk melakukan interpretasi dan bertingkah laku dalam menghadapi
ekosistemnya (Poerwanto, 2000: 218-219).
Pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkan oleh makhluk manusia adalah
sesuai dengan rangsangan dan tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian,
adalah perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh manusia yang
memilikinya guna menghadapi lingkungan (Spradley, dalam Poerwanto, 2000: 243).
Proses social adjustment seseorang, cenderung dipengaruhi oleh suatu
persepsi dan cara menginterpretasikan berbagai obyek dan situasi yang ada di
sekitarnya. Secara teoritis suatu probabilitas dari suatu keberhasilan program relokasi
tergantung berbagai macam pilihan yang dihadapkan kepada seseorang. Heath dan
Barlett (dalam Poerwanto, 2000: 244), membedakan tiga macam pilihan yang
dihadapi manusia yaitu pilihan yang bersituasi kepastian (certainty), pilihan yang
mengandung resiko (risky) dan pilihan yang berada pada situasi ketidakpastian
(uncertainty). Atas dasar itu seseorang akan selalu bertindak rasional sesuai dengan
prefensinya. Sesuatu tindakan yang rasional, tidak selalu diartikan sebagai tindakan
yang memberi hasil maksimal dalam arti penghasilan, melainkan harus dipandang
sebagai tindakan yang dapat memberi manfaat atau kegunaan yang lebih besar (Ortiz,
dalam Poerwanto, 2000: 244). Lebih lanjut dikemukakan bahwa suatu tindakan
pengambilan keputusan tidak selalu didasarkan atas pilihan mengikuti preferensi yang
berorientasikan pada hasil maksimal melainkan juga didasarkan atas penekanan
terhadap ketidakpastian secara minimal.
Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh persepsi dan interpretasi seseorang
terhadap suatu obyek, yang selanjutnya menuju pada sistem kategorisasi dalam
bentuk respon terhadap kompleksitas suatu lingkungan yang sesuai untuk diadaptasi,
memberikan arah bagi perilaku mereka sehingga memungkinkannya dapat
mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang akan datang (Spradley, dalam Poerwanto,
Artinya bahwa ketika ada perubahan, maka masyarakat akan melakukan adaptasi
sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi.
Konsep dinamika adaptif menurut Sukadana (1983: 108) terdiri dari tiga
komponen yaitu komponen lingkungan, komponen kebudayaan dan komponen fisik
atau biologi manusia saling mempengaruhi menurut suatu pola tertentu. Pola ini
ditentukan melalui unsur-unsur mekanisme adaptasi lingkungan, kebudayaan dan fisik
manusia. Masing-masing hubungan timbal balik perlu diteliti sendiri-sendiri dan
kemudian dikaitkan bersama-sama. Oleh karena perubahan disalah satu komponen
dapat mencetuskan suatu reaksi berantai pada komponen-komponen lainnya, maka
akibat-akibat pengaruh itu perlu diproyeksikan terhadap faktor waktu.
Kebudayaan mempunyai arti sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai
oleh manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
mengiterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong serta
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Dalam pengertian ini, kebudayaan
adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan secara operasional
dalam hal manusia mengadaptasikan diri dengan dan menghadapi
lingkungan-lingkungan tertentu (sosial, binaan dan alam) untuk mereka dapat melangsungkan
kehidupannya (Bambang Rudito, 1991: 67).
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
masyarakat. Clyde Kluckhohn2 berpendapat bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan
cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diterima seseorang dari kelompoknya,
atau kebudayaan bisa dianggap sebagai bagian lingkungan yang diciptakan manusia.
Adaptasi terhadap lingkungan sosial dapat dilihat melalui sistem kekerabatan
yang sasarannya merupakan kelompok kekerabatan. Jaringan sosial masyarakat Karo
dianggap sangat efektif dalam memecahkan berbagai permasalahan pada masyarakat
Karo. Jaringan sosial tersebut adalah sistem kekerabatan sangkep nggeluh yang
menjadi modal sosial. Sangkep nggeluh menjadi jaringan yang luas yang membantu
menyelesaikan permasalahan kehidupan individu, keluarga, sosial dan pekerjaan
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Lingkup kebudayaan yang dimaksud bukan hanya sebatas sistem kekerabatan
dan seni bangunan, diantaranya adalah nilai sosial seperti rasa kepedulian ermediate
dan asas gotong royong rawin jemba. Ermediate bersumber dari prinsip senasib
sepenanggungan yang disebut dengan istilah kam kap aku, aku kap kam dan rawin
jemba yang artinya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Prinsip ini
menjadi ikatan yang kuat untuk dapat bekerja sama dan melahirkan kelompok adat
serta kelompok pekerja aron yang dapat saling membantu satu sama lain.
1.2.3. Komunitas dan Struktur Sosial
Manusia sebagai homo socius adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri
sehingga manusia membutuhkan sesamanya atau hidup dalam kelompok. Wujud dari
2
kelompok-kelompok manusia yang besar adalah negara-negara. Kesatuan-kesatuan
manusia lainnya adalah kelompok-kelompok kekerabatan, partai politik maupun
organisasi. Dalam lingkup yang lebih kecil, kesatuan-kesatuan manusia menjadi lebih
khusus karena adanya perbadaan agama, suku dan adat-istiadat. Sumatera Utara
misalnya terdapat suku Batak, suku Jawa dan lainnya yang masing-masing memiliki
ciri khasnya.
Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab yaitu syaraka yang berarti ikut
serta atau berpartisipasi. Koenjaraningrat (2009: 115-120) mengartikan masyarakat
adalah sebutan untuk kesatuan hidup manusia, kecuali terdapat
kesatuan-kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat seperti golongan
sosial, komunitas maupun kelompok. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia
yang saling bergaul, atau dengan isilah ilmiahnya adalah saling berinteraksi. Kesatuan
manusia yang memiliki ciri sebagai berikut dapat disebut sebagai masyarakat, yakni:
a. Interaksi antara warga-warganya
b. Adat-istiadat, norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur
seluruh pola tingkah-laku warga negara kota atau desa
c. Kontinuitas waktu, dan
d. Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.
Maka berdasarkan keempat ciri tersebut, sebutan masyarakat dapat melekat
pada negara, desa atau kota, misalnya adalah masyarakat Indonesia, masyarakat
Medan dan masyarakat desa Bekerah. Maka dapat dirumuskan bahwa masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat
Djojodigoeno (Koenjaraningrat, 2009: 118) seorang guru besar ilmu sosiologi
Universitas Gajah Mada membagi konsep masyarakat menjadi dua, yakni masyarakat
dalam arti luas dan masyarakat dalam arti sempit. Masyarakat Indonesia dicontohkan
sebagai masyarakat dalam arti luas, sementara masyarakat dalam arti sempit adalah
masyarakat yang terdiri dari warga suatu kelompok kekerabatan seperti marga
ataupun suku. Koenjaraningrat berpendapat bahwa suatu negara merupakan wujud
dari suatu komunitas yang paling besar. Kesatuan-kesatuan lain seperti kota, desa
memiliki defenisi yang juga sesuai dengan komunitas yakni kesatuan manusia yang
menempati wilayah nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta
terikat oleh rasa identitas komunitas.
Koenjaraningrat (2009: 119) dalam hal ini menegaskan bahwa kesatuan
wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap
komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas, dan pangkal dari perasaan
seperti patriotisme, nasionalisme dan sebagainya, yang biasanya bersangkutan dengan
negara. Konsep masyarakat dan konsep komunitas saling tumpang tindih. Masyarakat
menjadi istilah umum bagi kesatuan hidup manusia, sehingga bersifat lebih luas
daripada istilah komunitas. Masyarakat merupakan kesatuan hidup yang bersifat
mantap dan terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa identitas bersama, sementara
komunitas bersifat khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah.
Senada dengan yang disampaikan Koenjaraningrat, Bruce (1992: 315)
menyampaikan bahwa komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok khusus dari
hidup yang sama, sadar sebagai satu kesatuan, dan dapat bertindak secara kolektif
dalam usaha mereka dalam mencapai tujuan. Ciri-ciri komunitas adalah:
a. Adanya interaksi
b. Adat istidat yang mengatur pola tingkah laku
c. Kontinuitas waktu
d. Rasa identitas bersama
e. Ikatan lokasi dan kesadaran wilayah sebagai ciri khusus
f. Masyarakat dalam arti sempit walaupun negara merupakan wujud dari
suatu komunitas yang paling besar
Durkheim mempertanyakan apa yang mempersatukan masyarakat. Ia
menyampaikan bahwa masyarakat mempunyai pengaruh yang aneh pada manusia.
Masyarakat, meskipun dibentuk oleh manusia, mempunyai hidupnya sendiri. Sebelum
individu dilahirkan, masyarakatnya sudah ada. Masyarakat memberi kepadanya
bahasa dan kerangka-kerangka cara pemikirannya. Masyarakat hidup terus setelah
individu yang dibentuknya itu mati, sedangkan yang terbaik, yang ada pada diri
individu tersebut didapatnya berkat masyarakat. Masyarakat berada jauh diatas
individu dan bahkan mempunyai daya paksa kemasyarakatan atasnya. Durkheim juga
menjelaskan bahwa pertalian yang ada pada masyarakat didasarkan atas dasar
solidaritas para anggota persekutuan (J. van Baal 1987, 201-202).
Untuk menganalisis masyarakat atau suatu komunitas, perlu dijelaskan
unsur-unsur kehidupan masyarakat atau komunitas tersebut diantaranya seperti kedudukan
sosial, peranan sosial dan pranata sosial. Maka untuk menggambarkan kaitan tersebut,
struktur sosial pertama kali dikembangkan oleh A. R. Radcliffe Brown. Dasar
pemikirannya adalah bahwa ilmu antropologi harus mempelajari susunan hubungan
antara individu-individu yang menyebabkan adanya berbagai sistem masyarakat.
Perumusan dari berbagai macam susunan hubungan antara individu dalam masyarakat
itulah yang disebut dengan struktur sosial. Struktur sosial pada suatu masyarakat
mempunyai kekuatan untuk mengendalikan tindakan individu dalam masyarakat.
Hubungan interaksi antara individu dalam masyarakat adalah hal yang konkret yang
dapat diobservasi serta dicatat. Struktur sosial seolah-olah berada di belakang
hubungan konkret itu. Dengan struktur sosial, maka bisa diselami latar belakang
kehidupan suatu masyarakat baik hubungan kekerabatan, religi dan berbagai aktivitas
kebudayaan atau pranata lainnya. Namun Radcliffe Brown tidak memberi petunjuk
mengenai metodologi yang digunakan seorang peneliti mengabstraksikan susunan
sosial dari kenyataan hidup masyarakat. Oleh karena itu, antropolog lainnya mulai
memberikan metode untuk mengabstraksikan struktur sosial, yakni mencari kerangka
itu dari kehidupan kekerabatan. Kehidupan kekerabatan mempengaruhi kehidupan
yang sangat luas sehingga menyangkut berbagai sektor kehidupan masyarakatnya
(Koenjaraningrat, 2009: 140-143).
Teori-teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan, dimana
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen
yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan pada satu
bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lain. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya
kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan
Ketika terjadi konflik, perhatian dipusatkan pada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.3
Bronislaw Malinowski sebagai penganut fungsionalisme, berpendapat bahwa
kebudayaan merupakan sistem terintegrasi. Dalam suatu sistem, keseluruhannya itu
ada karena adanya sistem lainnya. Selanjutnya, sistem menurut Radcliffle Brown
adalah kesatuan unsur-unsur yang saling tergantung dan terikat satu sama lain dalam
satu kesatuan sementara struktur sosial adalah jalinan hubungan antara unsur-unsur
dalam sistem sosial yang memiliki posisi tertentu dan saling terkait dalam satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam setiap struktur, setiap unsur selalu
berhubungan dengan unsur lain membentuk aktivitas secara terus-menerus yang
bertujuan untuk menjaga kelangsungan atau keberadaan struktur maupun sisitem
sosial. Proses kehidupan sosial merupakan rangkaian aktivitas dan interaksi
unsur-unsur yang saling terkait dari struktur sosial dalam sistem sosial yang mencerminkan
bentuk kehidupan sosial. Radcliffe menegaskan bahwa struktur hanya dapat dipelajari
ketika ia berfungsi (dalam Baal 1987, 49-106).
Ahli lain yang mengkaji tentang teori ini adalah Claude Levi Strauss. C. Levi
Strauss (dalam Baal, 1987: 117-135) memahami struktur sebagai sesuatu yang
menerangkan mengapa konfigurasi tersebut demikian. Disini struktur diartikan secara
umum, baginya struktur merupakan yang utama, struktur dulu baru ada fungsi. Ia
memandang bahwa struktur menjelaskan sesuatu yang ada dibalik permukaan suatu
gejala. Struktur kehidupan komunitas Karo di Siosar disebut dengan rakut sitelu yang
terdiri dari kalimbubu, anak beru dan senina. Setiap unsurnya saling melengkapi satu
3
sama lain dan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga fungsinya
berjalan sebagaimana mestinya. Dalam suatu permusyawaratan adat ataupun pesta
misalnya, ketika satu unsur tidak ada, maka penyelenggaraannya tidak dapat
dilakukan, masing-masing memilki peran dan fungsinya masing-masing. Hubungan
dan interaksi yang terbangun diantara warga Karo di kawasan relokasi Siosar
dipengaruhi oleh nilai dan filosofi yang mereka anut. Nilai-nilai inilah yang kemudian
mengikat komunitas ini dan melanggengkan struktur yang ada.
Dalam berpikir dan bertingkah laku manusia dihadapkan pada gejala-gejala
atau fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial merupakan entitas yang berdiri sendiri lepas
dari fakta-fakta individu. Fakta sosial malahan memiliki kekuatan yang memaksa para
individu untuk berpikir menurut garis atau bertindak menurut cara-cara tertentu.
Fakta-fakta sosial itu mula-mula memang berasal dari pikiran atau tingkah-laku
individu; namun agar ada suatu fakta sosial, harus ada beberapa individu yang
berpikir atau bertingkah laku sama. Kalau sudah menyebar dan menjadi pikiran dan
tingkah laku dari sebagian besar warga masyarakat, fakta sosial mempunyai kekuatan
yang memaksa individu (Koenjaraningrat, 2009: 87-90).
Durkheim berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat, ada banyak manusia
hidup bersama, maka gagasan-gagasan dari sebahagian besar individu yang menjadi
warga masyarakat tergabung menjadi kompleks-kompleks gagasan yang lebih tinggi,
yaitu gagasan kolektif. Di satu pihak gagasan kolektif sebenarnya hanya gabungan
dari sebagian-sebagian saja dari tiap gagasan individu, karena kita dapat mengerti
bahwa tiap individu dalam masyarakat mempunyai gagasan-gasan pribadinya
bagi para warga masyarakat untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan
berhubungan dalam hidup bersama. Bagan di bawah ini menggambarkan tentang
kaitan antara kebudayaan dan gagasan (Koenjaraningrat, 2009: 90-92).
: kebudayaan
: gagasan individu
: gagasan kolektif
: pencetusan gagasan individu
: dorongan kesadaran kolektif yang menimbulkan gagasan
kolektif, yang sebaliknya mendorong interaksi antara individu
: individu
Menurut Peter Blau4 ada dua tipe dasar dari fakta sosial:
a. Nilai-nilai umum (common values),
b. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur.
4
Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut dengan pranata. Sedangkan
jaringan hubungan sosial di mana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir
serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat
dibedakan, sering diartikan sebagai struktur sosial.
1.3. Rumusan Masalah
Makhluk manusia hidup masing-masing dengan kebudayaannya yang khas,
demikian pula masyarakat Karo yang hidup dalam kebudayaannya yang khas. Daerah
yang mereka huni awalnya merupakan daerah pegunungan yang akrab dengan sistem
pertanian. Identitas yang terbangun banyak sekali dipengaruhi oleh lingkungan alam
yang mengitarinya tersebut. Lingkungan itu menjadi tempat mereka bertumbuh dan
menjadi ruang berkembangnya budaya masyarakat Karo dalam berhubungan dengan
sang Pencipta, berhubungan dengan warga masyarakatnya dan berhubungan dengan
alam beserta segala sesuatu didalamnya. Identitas khas masyarakat Karo terdiri atas
marga, bahasa, kesenian dan adat-istiadat. Masyarakat Karo senantiasa memelihara
identitas tersebut dalam kehidupan kebudayaan mereka. Ketika suatu permasalahan
muncul yang mengguncang kediaman mereka yang terdahulu, masyarakat Karo
kemudian diperhadapkan dengan tantangan-tantangan baru yang mengharuskan
mereka untuk tinggal dalam sebuah kawasan relokasi. Dalam proses menghadapi
tantangan-tantangan atau beradaptasi terhadap lingkungan baru tersebut akan terjadi
pergeseran, perkembangan, bahkan mungkin sekali muncul berbagai sistem
kawasan relokasi mempertahankan kedekatan mereka, yang terealisasi pada hubungan
mereka dan tempat tinggal mereka dalam suatu area yang berdekatan.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Masyarakat Karo di desa awal hidup mengelompok dalam suatu area dan
beberapa diantaranya tinggal bersama dalam satu rumah adat ataupun rumah
galang. Apakah kehidupan seperti ini masih dipertahankan di lingkungan
baru? Mengapa?
2. Dalam menjalani kehidupan di lingkungan baru, masyarakat Karo dituntut
untuk dapat beradaptasi. Apakah kendala yang mereka hadapi?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
1.4.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan tentang alasan masyarakat
Karo di kawasan relokasi Siosar yang memilih untuk hidup bersama dalam suatu
lingkungan (area) serta menjelaskan bagaimana mereka beradaptasi di lingkungan
baru dan apakah kendala yang menyertainya.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca untuk
memperkaya pemahaman bagaimana masyarakat Karo dari tiga desa hidup
dasarnya adalah memahami budaya masyarakat manusia, maka penelitian ini
memiliki sumbangsih yang dapat menyadarkan kita betapa indahnya budaya
masyarakat Karo.
1.5. Lokasi dan Metode Penelitian
1.5.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pemukiman relokasi oleh pemerintah di Hutan Siosar,
Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Luasan yang ditetapkan oleh
pemerintah adalah sebesar 1120 Ha. Desa relokasi tahap I berasal dari tiga desa yang
dikenal dengan sebutan “Bekassi”, yaitu Desa Bekerah, Desa Sukameriah, dan Desa
Simacem.
1.5.2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Poerwanto (2000:
215-216) mengungkapkan bahwa hal-hal yang berkait dengan budaya, tidak akan
segera tampak bagi orang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Karena hal-hal
yang bersifat budaya itu lebih banyak berpusat dalam alam pikiran, maka pemecahan
masalah yang terjadi pada suatu mesyarakat perlu pemahaman dengan pendekatan
kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif akan dapat mengungkapkan makna-makna
budaya sehingga pemecahan masalah–masalah atau upaya pembangunan yang
mendasarkan pada pemahaman makna-makna budaya masyarakat yang bersangkutan
akan jauh lebih mempunyai arti yang positif bagi kehidupan mereka daripada kalau
mereka sekedar harus menerima barang jadi yang dibuat oleh pihak luar; yaitu para
merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh
sejumlah individu atau sekelompk orang dianggap berasal dari masalah sosial atau
kemanusiaan.5
Dalam penelitian ini data dikategorikan atas dua jenis, yakni:
1.5.2.1.Data primer
Merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik observasi dan
wawancara.
a. Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi
dengan mengumpulkan data melalui pengamatan terlibat langsung. Peneliti dalam hal
ini ikut mengambil bagian dalam kehidupan suatu komunitas masyarakat yang diteliti.
Untuk mendapatkan data atau keterangan-keterangan tentang fenomena yang diteliti,
sangat perlu dilakukan pengamatan secara langsung. Peneliti tinggal bersama
masyarakat selama kurang lebih satu setengah bulan di sebuah rumah keluarga
muslim. Meski berbeda agama, tapi keluarga ini menerima dengan baik kehadiran
peneliti. Tidak banyak hal yang perlu diubah-sesuaikan karena pak Aripin Karo-Karo
dengan keluarganya adalah keluarga yang sangat ramah dan cukup terbuka.
Peneliti berusaha mengeksplorasi segala pengetahuan masyarakat dan tidak
membatasinya. Walaupun pada akhirnya, masalah-masalah yang diangkat atau
dibahas adalah masalah yang menjadi bagian dari topik itu sendiri untuk menemui
relevansinya dalam suatu laporan. Pilihan untuk berdiskusi pada malam hari sengaja
5
dilakukan mengingat pada pagi hari warga desa akan berangkat ke ladang dan hingga
sore berada di sana. Jadi hal ini bertujuan agar tidak menggangu aktivitas warga,
peneliti harus rela melakukan wawancara pada malam hari. Malam hari merupakan
opsi yang paling potensial melakukan wawancara.
Riall Nolan (2002: 8) menyampaikan dalam bukunya yang berjudul
Development Anthropology Encounters in the Real World bahwa:
“Anthropologists acquire their knowledge from other people through
participant observation. Participant observation is learning by doing to
generate what one anthroplogist termed a “living understanding” of the
culture (Belshaw, 1976: 25). This is usually requires knowledge of the local language. If culture is based on categoies, rules, and values
existing in people’s minds, then it follows that one of the best ways to
uncover these is through listening to what people say.”
Jadi antropolog perlu menghabiskan waktu bersama masyarakat yang diteliti,
memahami bahasa dan bagaimana mereka berpikir.
b. Wawancara
Dalam hal ini melakukan wawancara dengan mencoba membangun hubungan
yang nyaman (rapport) dengan para informan. Peneliti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan terkait dengan masalah yang diteliti. Wawancara dilengkapi dengan alat
perekam (recorder) sebagai alat bantu peneliti untuk merekam segala informasi saat
mewawancarai para informan. Peneliti sadar bahwa peneliti juga mempunyai
keterbatasan, namun dengan adanya recorder memudahkan mengingat kembali
percakapan di lapangan dengan informan. Rekaman ini digunakan untuk memastikan
kebenaran pemahaman yang diterima dari informan. Dilengkapi dengan catatan
yang dihadapi saat melakukan penelitian dan sebagai acuan untuk memunculkan
pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih relevan. Penelitian ini juga dibantu oleh
kamera sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hal-hal yang ditemukan di
lapangan yang juga berkaitan dengan masalah penelitian.
Peneliti juga menggunakan interview guide yang disusun sebelum melakukan
penelitian, pertanyaan berkembang seiring dengan jawaban atau tanggapan yang
dilontarkan para informan. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dicatat dalam
bentuk fieldnote sebelum disempurnakan dalam bentuk yang lebih lengkap yaitu
laporan. Fieldnote merupakan catatan hasil pengamatan dan wawancara yang
ditemukan di lapangan. Fieldnote kemudian di gunakan untuk penyusunan laporan
penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis paling banyak melakukan wawancara dengan
pak Aripin Karo-Karo. Beliau bekerja sebagai petani dan juga perangkat desa
Simacem. Lelaki berumur 54 tahun ini merupakan sosok yang banyak sekali
membantu penulis di lapangan, diantaranya mengantar dan merujuk penulis kepada
informan lain, memberikan banyak sekali pengetahuan serta tempat untuk berdiskusi.
Meski malam sudah sangat larut, beliau bersedia menjawab persoalan-persoalan yang
dibahas dalam skripsi. Dalam skripsi ini, saya sering menyebut beliau sebagai bapak.
Istrinya bernama Rosmaulina Sembiring (bu Maya). Beliau ini berumur 46 tahun yang
bekerja sebagai petani. Mami adalah sebutan akrab penulis padanya. Setiap pagi
penulis dan mami duduk di dapur mengiris dan memotong bahan makanan untuk
diolah sebagai hidangan di pagi dan siang hari. Waktu-waktu ini banyak penulis
manfaatkan untuk mencuri ilmu dari beliau. Mami memiliki sifat penolong dan
mami akan merayu bapak untuk membantu penulis. Pasangan suami istri ini memiliki
seorang putri bernama Maya yang menjadi teman dekat saya dan membantu saya
menelusuri rumah-rumah informan lainnya. Mereka inilah yang menjadi keluarga
baru penulis selama masa penelitian.
1.5.2.2.Data sekunder
Merupakan data pendukung yang dapat menyempurnakan hasil observasi dan
wawancara. Data ini berupa dokumen-dokumen yang diperoleh dari perangkat desa
dan fasilitator TPN-BNBP yang memiliki konsen dalam penanggulangan bencana
erupsi Gunungapi Sinabung, serta dari hasil-hasil penelitian dan berbagai referensi
yang relevan dengan permasalahan penelitian yang berupa jurnal, artikel, buku-buku,
dan internet.
1.6. Pengalaman Penelitian : Sebuah Kisah, Dua Hari di Tiga Desa
Saya beranjak ke suatu tempat yang sangat dingin, Siosar tepatnya. Saya bisa
melihat hamparan padi ladang dan pepohonan di sepanjang perjalanan. Ada yang
sesuatu yang menarik bagi saya, ada banyak cairan berwarna kuning ke-orenan
terbungkus dalam plastik es batangan sedang menggelantung di pohon-pohon jeruk
itu. Cairan itu berfungsi untuk menghalau hama serangga yang bisa saja mengganggu
tanaman jeruk. Pantas saja disana seperti bergemul bintik-bintik kecil dari kejauhan.
Angin yang berhembus menyapu wajah saya, hanya ini bagian tubuh yang tidak
ditutup. Terkadang saya merasa kesulitan bernafas sehingga beberapa kali saya harus
Tiba-tiba kak Dina menghentikan sepeda motornya di gapura yang bertuliskan
“Kawasan Relokasi Siosar”. Saya menyempatkan diri untuk mengambil foto di
gapura ini, gapura yang sudah tiga kali di cat dari sejak awal dibangunnya. Gapura
yang sangat populer bagi para wisatawan ini, sering sekali dipenuhi coret-coretan,
itulah mengapa gapura ini di cat berulangkali.
Gambar 1.1. Gapura Selamat Datang di Kawasan Relokasi Siosar
Sumber: Peneliti
Melaju lebih jauh lagi, tiba-tiba kak Dina berhenti menyapa seseorang yang
dikenalnya. Seorang lelaki tua yang juga seumuran dengan bapak yang dikenal kak
Dina sedang bersama dengannya. Mujurnya, ternyata beliau-beliau ini masing-masing
adalah kepala desa dan pengurus desa. Beliau ini ternyata cukup ramah menerima
kedatangan saya untuk melakukan penelitian di desanya, desa Simacem. Karena saya
beragama Kristen. Baginya, peneliti akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri
dengan warga yang se-agama. Jadi akan lebih etis dan tidak banyak yang harus
diubah-sesuaikan. Beliau tiba-tiba teringat dengan seorang bidan yang tinggal sendiri
di rumahnya. Akhirnya beliau menaruh perhatian pada tempat bidan itu sebagai
tempat saya tinggal nantinya.
Kedua beliau ini lalu menuntun jalan ke tempat bu Maya (mami), mereka
sangat ramah kepada saya. Bu Maya dan kak Dina sudah mengatur janji sebelumnya
bahwa beliau bersedia menerima saya untuk tinggal di kediamannya selama waktu
penelitian saya. Akhirnya sampailah saya di desa Simacem, disana sedang duduk
sekelompok wanita yang sepertinya sedang giat membicarakan sesuatu hal. Saya
menyadari ada seorang diantara mereka yang begitu familiar bagi saya, ialah bu
Maya. Bu Maya adalah orang yang menyediakan tempat tinggal bagi saya dan
rombongan setahun yang lalu. Saya dan rombongan tinggal selama dua hari satu
malam. Kami sudah pernah melakukan wawancara di daerah ini.
Kali ini saya sudah bisa melihat talud-talud yang siap dibangun serta jalan
yang sudah diaspal dan ditimbun dengan batu. Jadi jalanan sudah rapi dan gang-gang
juga tidak selicin dulu lagi. Pengunjung dan warga bisa merasa nyaman untuk
melakukan perjalanan di Siosar. Ditambah dengan riuhnya pepohonan di sekitar
membuat pemandangan terasa semakin indah.
Kepala desa melepas saya di tempat ini dan berpesan untuk menyelesaikan
surat penelitian lapangan sebagai arsip desa. “Biasanya yang baik itu, a… dimana
-manapun kita-kan, perlu juga itukan. Tapi itu bukan sifatnya penting, besok lusa
Akupun gitu, dulu aku meranto ke Tapsel, harus ada surat dari sini. Yah kita kan
perlu adanya keamanan, tanggung jawablah,” pesan beliau. Kemudian saya duduk
menyatu dengan kumpulan wanita itu. “Tambah kecil aja, duh,” kata mami padaku.
Ternyata mereka sedang membicarakan mesin pengolah keripik kentang. Mesin ini
adalah mesin pembersih kentang dan pemotong keripik kentang. Mesin itu sedang di
tes, sementara lenggang karena pak Rambe Sidempuan sedang mencarikan air. Bahan
bakar yang digunakan untuk menyalakan mesin adalah gas, sementara untuk
memasak menggunakan tenaga listrik. Saya terkadang bingung mereka sedang
membicarakan hal apa karena pembicaraan itu diselingi bahasa Karo.
Dari pembicaraan itu saya bisa merasakan penduduk desa relokasi tahap I
bersyukur dengan keadaan mereka yang sekarang sebab rumahnya sudah dibangun
oleh pemerintah di sebuah lahan yang memungkinkan warga desa untuk hidup
bersama dengan kelompoknya yang lama. Sementara relokasi tahap dua
memungkinkan warga untuk hidup secara terpisah sebab mereka bebas menentukan
lahan dimana rumah mereka akan dibangun6. Jadi warga relokasi tahap dua
kemungkinan akan kehilangan identitas warganya dahulu karena berbaur dengan
warga desa lain. Mereka juga harus diperhadapkan dengan lingkungan lain yang
membuat mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. “Kalok
kami ini udah bersyukur kami ini nakku. Kenapa kam bilang min? Dah tetap kami
disini, ladang kami dah tetap setengah hektar, orang itu kayak mana?” jelas salah
6
seorang ibu menyikapi pembangunan rumah tahap dua yang lebih kuat. “Kami masih
kumpul satu kampung, gak pencar-pencar,” sahut ibu lainnya. “Kami udah bersatu di
buat pemerintah ini udah syukur kali,” lanjut beliau lagi.
Sekalipun Siosar diperuntukkan hanya untuk warga dari tiga desa yaitu desa
Simacem, desa Bekerah dan desa Sukameriah, namun berkembang isu bahwa lahan
kosong hasil penebangan hutan tersebut akan ditempati oleh warga Berastepu. Lahan
hutan seluas 250 hektar yang ditebang melalui izin PBB kemungkinan akan diberikan
kepada warga relokasi mandiri, ± seluas 200 /KK. Namun perizinan untuk
menggunakan lahan tersebut belum selesai. Ada kemungkinan Siosar ini
dimanfaatkan untuk relokasi mereka, begitulah wacana yang berkembang di
masyarakat. Sayangnya, fakta yang ada bahwa kebanyakan warga relokasi mandiri
tidak mau pindah yang memungkinkan dikembalikannya uang negara. Oleh
oknum-oknum nakal, uang negara kemungkinan akan diselewengkan. Hal ini yang
menimbulkan kecurigaan terhadap dana yang harusnya diterima warga relokasi tahap
satu, namun tidak terealisasi karena mereka menolak.
Pembicaraan hangat itu akhirnya dialihkan oleh mesin pengolah keripik
kentang. Kentang merupakan hasil tani yang cukup melimpah di Siosar. Warga
berkeruman di depan mesin itu. Fungsinya sangat membantu dalam membersihkan
kentang. Kentang dalam jumlah yang banyak bisa dikupas secara bersamaan dalam
waktu yang sangat singkat.
Esoknya, saya bangun pukul 06.58 WIB ketika suasana diluar masih cukup
berkabut. Susah sekali beranjak dari tempat tidur dan selimut tebal yang menutupi
membeku. Maya terlihat sedang merapikan seragamnya lalu pamit untuk berangkat
kesekolah. Ia harus mengejar bus Damri yang berangkat pagi ini. Hampir bisa
dikatakan bahwa bus yang disediakan oleh pemerintah ini adalah angkutan umum
satu-satunya. Bus Damri memiliki rute dari Siosar menuju Kabanjahe yang beroperasi
pukul 06.00 WIB dan 07.00 WIB, sementara dari Kabanjahe menuju Siosar
beroperasi pukul 14.00 WIB dan 15.00 WIB. Adapun bus mini lain adalah bus milik
swasta7 yang menyediakan jasa sebagai angukutan umum dengan biaya Rp 8.000,00.
Harga yang memang dibandrol lebih besar dari biaya bus sediaan pemerintah, yaitu
Rp 3.000,00. Untuk anak sekolah, Bus Damri mematok ongkos sebesar Rp 1.000,00.
Gambar 1.2. Bus Damri
Sumber: Peneliti
7
Saya merapikan tempat tidur, lalu beranjak ke dapur. Di sana mami sedang
menggoreng tahu sambal. Saya bergegas mengambil sapu lalu membersihkan rumah.
Saya kemudian menyapa mami dengan nada yang agak parau. Pilek selama tiga hari
mengubah nada suaraku, mungkin karena perubahan cuaca yang saya alami. Tubuh
saya harus beradaptasi dengan cuaca yang sangat dingin. Sama halnya ketika warga
masyarakat Karo di Siosar pertama kali datang ke tempat ini, bukan karena cuaca
dingin, tetapi karena hawa yang terkadang kurang sedap. Cuaca dingin dan angin di
daerah ini membuat kulit menjadi gersang dan lebih gelap. Saya masih bisa melihat
betapa tidak puasnya Maya karena kulit wajahnya yang mengelupas. Maya
menambahkan bahwa kondisi air juga agak keruh.
Bau sambal yang terlihat sangat sedap di kuali itu bahkan tidak dapat ku cium.
Tapi nampaknya sedap sekali. Mami-pun menyerahkan urusan memotong sayur
kepada saya. Sebungkus buncis di plastik hitam itu tampak masih segar. Ku iris tipis
buncis itu, senikmat pembicaraan kami saat itu8.
Mami dan keluarga sudah tinggal selama setahun, tepatnya sejak tanggal 16
Januari 2016. Walaupun sudah di buka tahun sebelumnya, mami dan keluarga masih
betah di Kabanjahe karena ada ladang yang perlu di rawat. Sementara, sekalipun
rumah sudah selesai dibangun pemerintah pada bulan Juni 2015, ladang belum juga
disediakan. Itulah sebabnya belum banyak warga yang memilih bermukim di tempat
ini. Bibi di belakang rumah dan warga atas termasuk kelompok yang lebih lama
berada di Siosar. Masih teringat bagi mami betapa sedihnya saat pertama kali berada
di tempat ini, Mami belum bisa melupakan kenangan pahit ketika rumah dan
8
ladangnya yang luas habis ditutup batu dan abu dari Gunung api Sinabung. Letusan
gunung api Sinabung kala itu membuat warga harus mengungsi selama sekitar 2 ½
tahun. Mereka berpindah dari satu posko ke posko lain.
Begitu buncis sudah siap di iris, saya bergegas mengambil tisu diruang tamu
sebab ingus saya semakin merajalela. Ternyata ada banyak tumpukan piring dan gelas
di dapur, langsung kusingkap lengan bajuku dan kulepas kaos kakiku. Saya
mengangkat tumpukan dalam ember itu menuju samping rumah tempat mencuci
piring.9 Saya tidak bisa merasakan sabun dan minyak selama mencuci piring karena
tangan saya masih terasa membeku. Mami sempat menawarkan bantuan, namun saya
tolak secara santun.
Seorang tetangga masuk kerumah lalu berbincang sebentar dengan mami dan
bapak. Entah apa yang mereka bicarakan sebab saya tidak mengerti bahasa Karo.10
Begitu jam menunjukkan pukul 09.00, bapak dan anak laki-lakinya yang baru saja
datang langsung menyantap sarapan pagi. Sementara mami menyusul belakangan.
Berulang kali mami mengingatkan saya untuk sarapan, sampai akhirnya mami dan
bapak berangkat ke ladang, saya belum juga sarapan. Saya tidak bisa menemani mami
ke ladang karena ladang yang akan dikerjakan mami ini berada di Kabanjahe -
Sekarang mami hanya memiliki dua ladang, satu yang berada di Kabanjahe dan yang
lain merupakan lahan yang disediakan oleh pemerintah-. Mami juga akan pulang
sangat sore dan berangkat bersama bapak menggunakan sepeda motor bersama, jadi
saya berpikir untuk mengerjakan kegiatan lain di rumah.
9
Tempat mencuci piring berada diruang terbuka, tepatnya disamping rumah sebelah dapur. Lantai bersemen dengan ukuran ±1,5m X 1,5m itu langsung terhubung dengan parit dibelakang rumah warga. 10
Bunyi-bunyi traktor dan palu mulai terdengar dari arah depan rumah. Disana
sekelompok pekerja sedang membangun talud yang runtuh beberapa waktu lalu.
Talud itu tidak cukup kokoh ketika diterpa angin kuat. Tidak jauh dari tempat itu, ada
seorang ibu yang sedang mengerjakan lahan. Lahan itu begitu dekat dengan sebuah
rumah di depannya. Wanita itu cukup bersemangat sejak tadi sekalipun cuaca
sedingin ini. Hangatnya mentari memang cepat sekali berlalu. Sekitar pukul 12.00
WIB, bunyi-bunyi traktor dan palu sudah tidak ada lagi. Suasana menjadi senyap dan
terasa dingin sekali karena panas matahari juga sudah berlalu sejak sejam yang lalu.
Gambar 1.3. Pekerja Sedang Memperbaiki Talud
Sumber: Peneliti
Sore ini, sekitar pukul 16.30 WIB semakin dingin saja. Saya mengenakan dua
baju hangat yang melapisi baju kaos dalam dan luar saya, saya membungkus jari-jari
saya dengan sarung tangan untuk menggambar denah wilayah penelitian saya. Kala
talud dari rumah bernomor 33, tepatnya di talud keduanya, saya melihat ada sebuah
jambur yang cukup besar. Jambur ini berada di Desa Simacem, sementara kedua desa
lainnya juga masing-masing memiliki satu jambur. Jadi, di kawasan relokasi Siosar
terdapat tiga jambur.
Nah, berjalan lebih jauh lagi, yaitu di simpang tiga, ada sebuah puskesmas.
Puskesmas yang berdiri di kawasan relokasi Siosar ada satu buah. Puskesmas ini
diperuntukkan untuk semua warga. Nah, dari simpang ini juga terlihat tiga rumah
ibadah yang kelihatan sejajar, dipisahkan hanya beberapa meter saja. Rumah ibadah
ini terdiri dari satu mesjid, satu gereja khatolik dan satu gereja oikumene Bahtera
Kasih Siosar. Ada dua buah mesjid di kawasan relokasi Siosar, yang satu berada di
daerah Bekerah, sementara yang lain berada di daerah Sukameriah. Untuk
peruntukannya, masing-masing rumah ibadah tidak menutup pintu untuk warga dari
desa-desa lain untuk beribadah bersama. Kalau kita memilih jalan sebelah kiri, berdiri
sebuah gapura yang menunjukkan bahwa kita akan keluar atau masuk ke Desa
Simacem. Melewati satu gang akan langsung bertemu dengan koperasi. Di bagian
tengahnya terdapat tempat menyerupai Jambur dalam ukuran yang lebih kecil.
Tempat ini akan digunakan sebagai tempat usaha dagangan koperasi. Bertemu dengan
pertigaan jalan lagi dan memilih jalan ke sebelah kiri, saya melihat rumah-rumah
warga desa Bekerah yang dilengkapi dengan aquaponik11. Pemerintah pada dasarnya
berencana untuk membagikan aquaponik secara merata kepada setiap kepala keluarga
yang memiliki rumah, sementara pada kenyataanya, hanya beberapa warga desa
Bekerah yang mendapatkan aquaponik tersebut.
11
Sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa warung belum juga di buka12.
Maya mengatakan bahwa tidak beroperasinya warung-warung di kawasan relokasi
Siosar disebabkan karena tidak banyak wisatawan yang membeli dagangan ketika
berkunjung. Saat saya bertemu dengan sebuah warung yang menjual masakan berupa
mie, saya langsung memesan dua bungkus miso. Perlahan gerimis berganti menjadi
hujan lebat saat saya dan Maya sudah tiba di rumah. Kami langsung mengangkat kain
yang di jemur di belakang rumah, berdekatan dengan kandang ayam. Dari sana, saya
melihat sepeda motor mami dan bapak berhenti di gang karena sepeda motor yang
sudah mulai tua. Mereka baru saja pulang dari ladang di Kabanjahe. Wajah mami
dilumuri bedak berwarna kuning yang menurut pengakuannya untuk melindungi
wajah dari sinar matahari.
Saya buru-buru membuka bungkusan miso lalu menghidangkannya di dapur,
di sebuah tikar yang baru saja digelar Maya. Kami menikmati 2 bungkus miso yang
dinikmati secara bersama ketika hujan mengguyur dengan begitu derasnya,
masing-masing saya dan Maya serta mami dan bapak. Nikmat sekali menyantap makanan
bersama bersama keluarga ini. Biasanya saya hanya bisa makan bersama Maya,
sementara bapak dan mami akan menyusul makan setelah kami selesai.
Saya berada di ruang depan menonton film bersama Mami pada pukul 22.00
WIB, sementara bapak dan Maya sudah tidur. Mami tiduran di sebuah sofa dengan
berselimutkan sarung televisi, ditaruhnya bantal-bantal kecil di sofa untuk menahan
lehernya agar bisa menonton televisi. Saya mulai membuka pembicaraan tentang
tempat tinggal saya kepada mami karena besok saya sudah balik ke Kabanjahe
12
menyusul ke Medan untuk mengurus surat penelitian lapangan. Mami bersedia
menerima saya untuk tinggal bersama mereka selama waktu penelitian. Baginya, saya
sudah menjadi bagian dari keluarga, saya sudah dianggap sebagai anak. Sekalipun
kami berbeda agama dan suku, mami dan keluarga tidak merasa canggung. Mami dan
keluarga memang selalu terbuka untuk menerima orang-orang baru yang
membutuhkan bantuan dari mereka. Bagi mereka hal seperti itu merupakan ibadah,
pula anak mereka juga berada di tanah rantau untuk mengenyam pendidikannya. Jadi
mereka bisa merasakan bagaimana orang-orang lain membutuhkan dan dibutuhkan.
Keluarga-keluarga yang mendapatkan tempat tinggal di Siosar tidak dibebani
aturan oleh pemerintah. Ketika mereka sudah memiliki rumah mereka secara sah,
maka itu adalah hak milik mereka dan bebas untuk menerapkan aturan sebagaimana
yang dikehendaki keluarga itu sendiri. Hanya saja lahan luas selain lahan yang
dibagikan sebesar 0,5 hektar13, harus dikembalikan sewaktu-waktu pemerintah mulai
membutuhkan lahannya. Lahan-lahan kosong ini boleh ditanami apa saja oleh
warga-warga di kawasan relokasi Siosar untuk membantu perekonomian keluarga, atau
hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Lahan yang dimaksud adalah
lahan yang tidak ditanami pepohonan sebagai kawasan hutan lindung. Nah, sekalipun
merupakan lahan bebas, antara satu warga dengan warga lainnya tidak terlibat
percekcokan untuk memperebutkan lahan. Masing-masing mereka sudah menyadari
lahan mana yang harus digarap. Untuk itu, biasanya setiap keluarga menggarap
lahan-lahan yang berada dekat dengan kawasan mereka.
13
Rumah-rumah warga dialiri listrik bersistem token atau pulsa. Jadi pemakaian
dan pembayaran tergantung kepada pemakaian sang empunya sendiri. Sementara
untuk air14, warga dibebankan Rp 5.000 per bulannya. Kualitas air juga sudah mulai
membaik dari sebelumnya. Bapaklah yang bertugas untuk membuka pintu air untuk di
aliri ke rumah-rumah warga. Bapak memang multi-pekerjaan, beliau juga bertugas
untuk membuka gerbang sekolah, bekerja sebagai perangkat desa dan bekerja di
ladang. Mami juga banyak bercerita tentang kehidupan anak laki-lakinya yang cukup
nakal. Pembicaraan kami kemudian berakhir ketika perut saya mulas. Mungkin karena
saya terlalu banyak makan pedas dan santan. Saya harus segera ke kamar mandi,
sementara mami juga sudah mengantuk sehingga harus mematikan televisi dan
bergegas tidur.
14