• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Pengalaman Audit

Auditor, dalam tugasnya selalu dihadapkan pada kondisi yang memaksa auditor untuk melakukan pertimbangan. Pertimbangan auditor akan berkualitas jika auditor memiliki pengalaman (Libby & trotman, 1993). Penggunaan faktor pengalaman sehubungan dengan kualitas audit didasarkan pada asumsi bahwa tugas memberikan feed back yang berguna terhadap bagaimana sesuatu dilakukan secara lebih baik yang diperlukan oleh pembuat keputusan untuk memperbaiki kinerjanya (Brouwman & Bradley 1997:92). Asumsi tersebut memberi penjelasan bahwa pengalaman akan menghasilkan pengetahuan, dan pengetahuan tersebut tersimpan di memori auditor, sehingga memori auditor memainkan peranan penting pada kualitas pertimbangannya (Johnson, 1994). Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman auditor (lebih dari 2 tahun, Ketchend & Staruser, 1998) dapat menentukan kualitas audit melalui pengetahuan yang diperolehnya dari pengalamannya melakukan audit.

Akan tetapi, menurut Rika Dewi Kusumastuti (2008), bahwa tingginya pendidikan dan pengalaman audit yang diperoleh auditor tidak menjamin auditor tersebut memiliki kemampuan dan tingkat pemahaman yang memadai dalam mempengaruhi kualitas kerja audit, karena setiap auditor memiliki pemahaman yang berbeda-beda walaupun tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh auditor adalah sama. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pengalaman audit adalah pengalaman dalam mengaudit laporan keuangan dari segi lamanya waktu, serta banyaknya penugasan yang ditangani

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudhi Herliansyah dan Meifida Ilyas (2006) yang mengatakan bahwa antara auditor yang berpengalaman (partner dan Manajer) dengan auditor yang kurang berpengalaman tidak berpengaruh dalam membuat going concern judgment. Hal ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sularso dan Naim (1999) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh pengetahuan tentang kekeliruan oleh auditor yang berpengalaman dengan yang tidak berpengalaman. Hasil penelitian yang berbeda ini membuat peneliti tertantang untuk meneliti pengaruh variabel pengalaman audit terhadap kualitas audit yang dihasilkan.

G. Independensi

Dalam buku Standar Profesi Akuntan Publik 2008 seksi 220 PSA No.04 Alinea 2, dijelaskan bahwa:

”Independensi berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun, sebab bilamana tidak demikian halnya, bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru paling penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.”

Independensi akuntan publik merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik dan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menilai mutu jasa audit. Independensi akuntan publik mencakup dua aspek, yaitu independensi sikap mental dan independensi penampilan (Mautz, 1961:204-205).

Menurut Mautz (1961) dalam Sri Trisnaningsih (2007), ada empat aspek independensi, yaitu:

1. Independensi sikap mental (independence of mental attitude), Independensi sikap mental berarti adanya kejujuran di dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan pendapatnya Independensi penampilan berarti ada.

2. Independensi penampilan (appearance of independence), Independensi penampilan berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap independensi akuntan publik.

3. Independensi praktisi (practitioner independence), Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini mencakup tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan program, independensi investigatif, dan independensi pelaporan.

4. Independensi profesi (profession independence), Independensi profesi berhubungan dengan kesan masyarakat terhadap profesi akuntan publik. Argumen Bazerman et al. (2002) berpendapat bahwa auditor mustahil untuk bertindak independen oleh karena adanya bias dalam usahanya memproses informasi yang sifatnya otomatis, tidak disadari dan tidak dapat diatasi dengan cara apapun. Di satu pihak, auditor diharuskan untuk dapat

mempertahankan klien yang menuntut auditor untuk membangun dan menjaga hubungan baik dengan klien. Di pihak lain, auditor juga harus mencegah kerugian di masa datang yang diakibatkan adanya tuntutan atau litigasi hukum dan hilangnya reputasi.

Definisi independensi dalam The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox adalah merupakan suatu standar auditing yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Independensi akuntan publik merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik dan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menilai mutu jasa audit. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993:246).

Penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari (2003) menguji tentang pengaruh independensi dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa independensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap integritas laporan keuangan. Namunn pada penelitian M. Nizarul Alim (2007) independensi berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit.

Berdasarkan Standar Professional Akuntan Publik (2008), audit yang dilaksanakan auditor dapat dikatakan berkualitas jika memenuhi ketentuan dan standar pengauditan. Standar pengauditan tersebut mencakup mutu profesional auditor, independensi, pertimbangan yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan audit. Jadi independensi salah satu standar

pengauditan yang harus dipenuhi agar audit yang dilaksanakan auditor berkualitas.

Akuntan tidak independen apabila selama periode audit dan selama periode penugasan profesionalnya, Akuntan, Kantor Akuntan Publik maupun Orang dalam Kantor Akuntan Publik: (1) mempunyai kepentingan keuangan baik langsung maupun tidak langsung yang material pada klien, (2) mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien, (3) mempunyai hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien, karyawan kunci klien atau pemegang saham klien, (4) memberikan jasa-jasa non audit tertentu kepada klien atau (5) memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar fee kontinjen atau komisi. (Bapepam, 2003).

Independensi akuntan publik merupakan salah satu karakter sangat penting untuk profesi akuntan publik di dalam melaksanakan pemeriksaan akuntansi (auditing) terhadap kliennnya. Akuntan publik dalam melaksanakan pemeriksaan, memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Klien dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan kepentingan para pemakai laporan keuangan. Kepentingan pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai lainnya. Oleh karena itu dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, akuntan publik harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan publik itu sendiri.

Dokumen terkait