BAB III ASPEK HUKUM PENGALIHAN SAHAM DALAM
B. Pengalihan Saham menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Pasar modal adalah sebuah tempat modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (pihak investor) dan orang yang membutuhkan modal (pihak issuer/emiten) untuk mengembangkan investasi. Dalam UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”.47
Para pelaku pasar modal ini ada 6 (enam) pihak, yaitu:
48
1. Emiten, yaitu badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham
untuk menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang dari para investor di Bursa Efek.
2. Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak:
47
Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah,
http://www.e-syariah.org/jurnal/?p=11, Diakses tanggal 5 Agustus 2011. 48
http://islam-full.blogspot.com/2011/01/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2011.
a. Penjamin Emisi (underwriter), yaitu: perusahaan perantara yang menjamin penjualan emisi, dalam arti, jika saham atau obligasi belum laku, penjamin emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana;
b. Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi memeriksa kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak.
c. Perusahaan Penilai (appraisal), yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak.
3. Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar Modal) yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan.
4. Bursa Efek, yakni tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.
5. Perantara Perdagangan Efek, yaitu makelar (pialang/broker) dan komisioner yang hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa
boleh ditransaksikan. Makelar adalah perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan. Adapun komisioner adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain dengan memperoleh imbalan.
6. Investor, yaitu pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut.
Dalam pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui tahapan pasar perdana (primary market), kemudian pasar sekunder (secondary market). Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor, yang terjadi pada saat IPO (Initial Public
Offering) atau penawaran umum pertama. Kedua pihak yang saling memerlukan
ini tidak bertemu secara fisik dalam bursa, tetapi melalui pihak perantara seperti dijelaskan di atas. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana inilah pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.49
Adapun pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten, investor tersebut lalu menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan mengambil untung dari kenaikan harga (capital gain) maupun untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap harinya.50
49
Ibid
50
Istilah transaksi bursa dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, yaitu:
“Transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa, atau kontrak lain mengenai efek atau harga efek.
Proses transaksi meliputi empat aspek pokok, yaitu transaksi, kliring, penyelesaian transaksi (settlement) dan registrasi. Penyelenggaraan kegiatan kliring di pasar modal adalah PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI) yang melakukan penyelesaian transaksi. Adapun kliring dan penyelesaian transaksi tersebut terdiri dari:
1. Kliring dan penyelesaian transaksi ekuiti, yakni dilakukan dengan menggunakan netting dan novasi. Kliring secara netting dengan novasi diterapkan bagi seluruh transaksi bursa yang terjadi di setiap segmen pasar, baik pasar regular, pasar segera maupun pasar tunai.
2. Kliring dan penyelesaian transaksi derivative
Sistem yang memadukan teknologi client server dan web base tersebut menangani keseluruhan proses kliring, penyelesaian transaksi, administrasi dan pelaporan, hingga risk monitoring transaksi KBIE.
C. Transaksi Saham melalui Internet di Pasar Modal
Transaksi jual beli saham melalui media elektronik yaitu melalui internet, saat ini semakin berkembang di dunia khususnya Indonesia. Keinginan masyarakat yang serba cepat, ekonomis dan praktis menjadikan jual beli melalui
internet ini sebagai pilihan yang paling banyak diminati saat ini. Internet yang dahulunya hanya digunakan untuk mencari informasi dan mengirim data, saat ini juga digunakan sebagai media jual beli.
Jejaring sosial yang paling fenomenal saat ini yaitu facebook juga digunakan sebagai sarana jual beli atau online shopping. Jual beli melalui media elektronik ini, banyak dipilih sebagian masyarakat karena tidak membuang banyak waktu dan tenaga. Hanya duduk di depan komputer ataupun laptop bahkan telepon genggam (handphone) dapat melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli ini tidak terlepas dari adanya perkembangan internet yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat sekarang ini.
Transaksi jual beli saham melalui media elektronik khususnya melalui media internet telah banyak digunakan khususnya di Indonesia seiring dengan pengguna internet di Indonesia. Menurut data BMI , jumlah pengguna internet pada tahun 2006 lalu bertambah 10,576 Juta pengguna lalu bertambah pada tahun 2007 menjadi 13 Juta pengguna, pada tahun 2008 sebanyak 25 Juta pengguna dan pada tahun 2009 bertambah menjadi 45 Juta pengguna.51
Di Indonesia, perkembangan transaksi jual beli melalui media internet ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs sanur.co.id sebagai toko buku online pertama.52
51
http://joedha90.student.umm.ac.id/2010/01/28/konvergensi-teknologi-informasi-dan-teknologi-telekomunikasi/ , diakses pada tanggal 5 Agustus 2011
52
Esther Dwi Magfirah, Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce,
http://husnul-chan.blogspot.com/ , diakses pada tanggal 5 Agustus 2011
Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 telah mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan jual beli secara elektronik. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi jual beli secara elektronik di Indonesia mulai sedikit
terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.53
Transaksi jual beli saham atau perdagangan saham secara elektronik melalui internet (e-commerce) juga merupakan perjanjian jual beli yang sama dengan perjanjian jual beli secara konvensional yang biasa dilakukan masyarakat hanya saja terletak pada perbedaan media yang digunakan. Pada transaksi
e-commerce kesepakatan atau perjanjian yang tercipta adalah melalui online karena
menggunakan media elektronik yaitu internet. Hampir sama dengan perjanjian jual beli umumnya perjanjian jual beli online juga akan terdiri dari penawaran dan penerimaan sebab suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya penawaran oleh salah satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain.54
1. Penawaran
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan berbagai macam persyaratan yang
53
Ibid
54
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 228
mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak, pernyataan yang disampaikan itu dikenal dengan nama penawaran.
Kondisi yang berbeda akan ditemui dalam sebuah proses jual beli melalui internet dimana walaupun tetap terdiri dari penerimaan dan penawaran namun para pihak di dalamnya tidak bertemu secara fisik. Dalam transaksi e-commerce khususnya bussiness to customer yang dapat melakukan penawaran hanyalah
merchant/ produsen/ penjual yang mengajukan produk dan jasa pelayanan dengan
memanfaatkan website, dan tidak disediakan mekanisme penawaran balik oleh pembeli yang tidak setuju atas penawaran yang dilakukan penjual sebagaimana halnya apabila para pihak bertemu secara fisik atau dengan kata lain penawaran bersifat satu arah.
Dalam website tersebut biasanya disampaikan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai rating atau poll otomatis tentang barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi tentang barang dan menu produk lain yang berhubungan, penawaran ini terbuka bagi semua orang, semua orang yang tertarik dapat melakukan window shopping di toko online dan jika tertarik transaksi dapat dilakukan.55
2. Penerimaan
Penerimaan dan penawaran saling terkait untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam menentukan suatu penawaran dan penerimaan di dalam cyber
system digantungkan pada keadaan dari cyber system tersebut, penerimaan dapat
dinyatakan melalui website, electronic mail (surat elektronik) atau juga melalui
55
electronic data interchange (EDI). Suatu cara penerimaan biasanya bebas
ditentukan oleh penjual baik melalui website/newsgroup yang penawarannya ditujukan untuk khalayak ramai sehingga setiap orang yang berminat dapat membuat kesepakatan dengan penjual yang menawarkan.
Dalam transaksi e-commerce melalui website, biasanya penerimaan atas tawaran akan ditindaklanjuti oleh pembeli/calon pembeli dengan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual, kemudian shopping cart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang calon pembeli inginkan sampai calon pembeli yakin akan pilihannya, setelah yakin calon pembeli akan memasuki tahap pembayaran. Dengan menyelesaikan tahap transaksi ini maka dengan demikian pengunjung toko online telah melakukan penerimaan/acceptance dan dengan demikian telah terciptalah kontrak online.56
Suatu penawaran dan penerimaan tawaran dapat dinyatakan dalam bentuk
data message, dan suatu kontrak tidak dapat ditolak keabsahan dan kekuatan
hukumnya jika data-data tersebut digunakan sebagai format dari kontrak. Pihak- pihak yang melakukan offer dan acceptance dikatakan sebagai arginator yaitu sebagai pihak yang melakukan pengiriman data dan pihak yang menerima disebut sebagai addreses. Bila dibandingkan proses penawaran, penerimaan hingga terjadinya atau terciptanya kontrak online dalam transaksi jual beli secara elektronik dibandingkan dengan penawaran, penerimaan hingga terjadinya kesepakatan dan perjanjian dalam perjanjian jual beli umumnya, maka akan terdapat perbedaan sesuai dengan asas konsensualisme maka dalam perjanjian jual
56
beli pada umumnya hanya dengan adanya kesepakatan para pihak maka perjanjian jual beli telah terjadi.
Berbeda dengan jual beli secara elektronik bila mengacu pada proses yang mewajibkan terselesaikannya tahap-tahap transaksi agar dapat terjadi perjanjian atau kesepakatan maka setidaknya menurut pandangan KUHPerdata sebuah perjanjian jual beli secara elektronik tidak cukup terikat pada asas atau perjanjian konsensuil tetapi lebih mengarah kepada suatu perjanjian formil dimana kesepakatan baru terjadi dan ada pada saat formalitas yang disyaratkan untuk melakukan suatu perbuatan riil telah melakukan tindakan atau perbuatan riil yang disyaratkan.
Istilah transaksi bursa dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, yaitu:
“Transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa, atau kontrak lain mengenai efek atau harga efek.
Ketentuan transaksi saham melalui internet diatur secara umum dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (1) UUPM mengenai penyelesaian secara lain yaitu secara elektronik akan ditemukan di masa yang akan datang. Transaksi melalui internet tersebut diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bapepam No: 42/PM/1997 Tentang Transaksi Efek, dan Keputusan BEJ No: 565/BEJ/11-2003 Tentang Perdagangan Efek.
Kepemilikan yang ditawarkan oleh perusahaan tidak terlepas dari adanya hubungan timbal balik antara pemegang saham dengan perusahaan, hubungan
timbal balik tersebut dilandasi dengan adanya suatu perjanjian jual beli. Maka dalam hal ini suatu penyelesaian transaksi saham dapat tercermin dalam Pasal 55 Ayat (1) UUPM yang menyebutkan bahwa penyelesaian transaksi bursa dapat dilaksanakan dengan penyelesaian pembukuan, penyelesaian fisik dan penyelesaian dengan cara lain. Dalam pelaksanaannya kegiatan perdagangan efek akan diatur lebih lanjut oleh Bursa dan Bapepam yaitu dengan adanya Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-42/PM/1997 Tentang Peraturan Nomor III.A.10 TentangTransaksi Efek dan Keputusan Direksi PT. BEJ Nomor: Kep-565/BEJ/11-2003 Tentang Peraturan Nomor II-A Tentang Perdagangan Efek.
BAB IV
KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN PENGALIHAN SAHAM DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM MELALUI INTERNET DIKAITKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata dan Pidana
1. Sistem Hukum Pembuktian dalam Kerangka Hukum Perdata
Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud.
a. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.57
Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.58
57
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), hal. 9.
58
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981.
Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila
kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.59
b. Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.60
c. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.61
59
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 498.
60
Ibid., hal. 505.
61
d. Bukti lawan ( Tegenbewijs )
Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan.
Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan :
“Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya”.
Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau
tegenbewijs.
2. Sistem hukum pembuktian dalam kerangka hukum pidana
Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut:62
a. Sistem pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim (Convictim in
Time)
Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari
62
M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 103-106.
alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.63
Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh.64 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.65
63
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II), Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1993), hal. 797-798.
64
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260.
65
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1974), hal. 75.
Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.66
b. Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan logis (La
Conviction Raisonnee/ Convictim-Raisonee)
Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.67
c. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif
Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti
66
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hal 187.
67
yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.68
Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia.69
d. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif.
Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti
68
Ibid., hal. 799.
69
yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh