• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaluran pada Naskah Drama Ken Arok dan Novel Arok Dedes Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu

B. Persamaan dan Pertentangan Pengaluran antara Naskah Drama Ken Arok Karya Saini KM dengan Novel Arok Dedes Karya Pramoedya

4. Pengaluran pada Naskah Drama Ken Arok dan Novel Arok Dedes Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu

Berdasarkan kriteria urutan waktu plot (alur) dibedakan menjadi tiga, yaitu plot lurus (progresif), plot sorot-balik (fals-back) dan plot campuran. Apabila dilihat dari berbagai plot tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa cerita pada naskah drama Ken Arok memiliki alur lurus, sedangkan pada novel Arok Dedes menggunakan alur campuran.

Saini KM pada naskah drama Ken Arok, telah menggunakan alur lurus, karena peristiwa-peristiwa yang ditampilkan bersifat kronologis, keterbatasan karena peristiwa harus dipentaskan, maka penggarapan terhadap peristiwa atau

bahkan waktu pun harus bersifat kronologis, ada semacam ketentuan mana yang harus didahulukan dan mana yang memang harus dikemudiankan. Naskah drama Ken Arok memiliki cerita yang runtut dari tahap awal hingga ke tahap akhir. Ken Arok membuat kerusuhan yang menimbulkan pihak kerajaan resah dan berusaha untuk menangkapnya, namun Ken Arok penjahat yang luar biasa menangkap atau membunuhnya menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Gagalnya penangkapan terhadap Ken Arok membuat Kertajaya marah dan memerintahkan kepada kaum brahmana untuk berusaha mendidiknya menjadi orang yang baik-baik, maka dikirimkanlah Ken Arok ke Tumapel untuk menjadi prajurit dan menerima pendidikan sekaligus. Kedatangan Ken Arok ke Tumapel telah membuatnya jatuh hati kepada Ken Dedes, ingin ia miliki perempuan cantik itu, hingga akhirnya menggulingkan Tunggul Ametung manjadi tujuan utamanya. Perencanaan pembunuhan terhadap Tunggul Ametung tersusun rapi, hingga kemenangan didapat pula oleh Ken Arok. Terbunuhnya Tunggul Ametung telah menjadikannya Akuwu dan mengganti nama Tumapel menjadi Singasari. Hingga pada tahap penyelesaian pengarang memunculkan tokoh Anusapati, setelah delapan belas tahun Ken Arok menjadi raja Anusapati tumbuh dewasa, ia yang akhirnya menggulingkan Ken Arok dan menjadi penguasa Singasari.

Pramoedya menggunakan cara (plot) campuran untuk menceritakan latar belakang Arok dan Dedes dalam novel ini. Pada tahap awal penceritaaan Pramoedya menggambarkan tokoh Ken Dedes sebagai gadis desa yang sedang dirundung kesedihan. Ia dinikahi tanpa restu dari orang tuanya. Hingga sudah waktunya selama empat puluh hari sebagai hari selesainya wadad pengantin. Pramoedya menggambarkan pula dalam novelnya tentang kemunculan Ken Arok

yang menyamar menjadi Borang, ia mengakui telah menentang Tumapel dan Kertajaya. Ken Arok menjadi murid Lohgawe, setelah ia menempuh pendidikan pada Tantripala. Di sinilah terjadi adanya penceritaan ulang Ken Arok pada masa kecilnya. Ia membaca rontal dari Tantripala.

Temu (nama kecil; Ken Arok) ditemukan Ki Lembong sebagai bayi yang dibuang pada tengah malam oleh orang tuanya di gerbang sebuah pura desa Randualas. Menginjak usia enam tahun, ia sudah terbiasa bergaul dengan kerbau, menggembalakan hingga memandikannya. Memasuki umur sepuluh tahun ia mulai membantu bertani, tempat penggembalaan menjadi medan bermain untuknya. Pramoedya menggambarkan bahwa kegesitan, kekuatan, kecerdasan dan kekukuhan telah melekat pada dirinya, memimpin juga menjadi hal yang sudah bisa ia lakukan.

Temu dilukiskan Pramoedya sebagai seorang pemuda yang dapat memihak kepada orang yang teraniaya. Dalam pengembaraannya untuk pertama kali, ia melihat seorang prajurit Tumapel memasuki rumah penduduk dan merampas kambingnya. Seorang bocah menangisi binatang kesayangannya itu. Hatinya memberontak melihat perampasan itu. Ia mendapatkan kebahagiaan dengan perbuatan itu. Juga dalam sekali peristiwa, ia melihat empat orang prajurit menyeret seorang gadis, dibawa masuk kedalam hutan. Ia mengerahkan semua temannya dan mengikuti prajurit-prajurit itu, mengganggu mereka, sehingga terpaksa melepaskan korban mereka.

Pada suatu hari Temu dan anak-anak desa Randualas menyerang kereta Tumapel yang membawa upeti emas. Tetapi penyerangan itu tidak berhasil. Maka

anak-anak terpaksa buyar melarikan diri, melalui jalan-jalan yang tidak dapat ditempuh oleh kuda. Mereka dikejar pasukan Tumapel. Temu memasuki desa Karangksetra. Napasnya sudah hampir putus waktu ia tiba di sebuah ladang. Lima orang bapak-beranak dilihatnya sedang mencangkul. Prajurit-prajurit Tumapel bersorak menyuruh penduduk membantu menangkapanya. Memasuki desa itu, Temu pasti tertangkap bila mereka dibantu beramai-ramai. Temu melihat sebatang pacul yang tergeletak tidak digunakan. Cepat ia mengambilnya dan mulai ia ikut mencangkul. Suara sorak prajurit semakin mendekat. Bapak dan empat orang anaknya memperhatikannya, mengerti apa yang sedang terjadi, dan meneruskan pekerjaan mereka seakan-akan tiada terjadi sesuatu. Sejak itu Temu diambil oleh orang tua yang bersamanya, sebagai anak pungutnya Ki Bango samparan. Ayah angkat ini sangat menyayanginya. Bertahun-tahun Temu tinggal dengan keluarga itu. Setiap hari ia bekerja dengan saudara-saudaranya.

Tiga tahun kemudian Temu meninggalkan ayah angkatnya, karena saudara-saudaranya, kecuali Umang, cemburu pada kasih bapak mereka kepada Temu, seorang pendatang yang tidak menentu asalnya. Ki Bango samparan mengirim Temu kepada Bapa Tantripala di desa Kapundungan yang merupakan guru pertama baginya. Tantripala merupakan seorang Budha yang tidak mau mengakui kebudhaannya. Tantripala mengajarkan cipta dan karsa dalam ekagrata. Dia terpaku melihat kecerdasan muridnya. Sebenarnya dia memerlukan tiga tahun untuk melaksanakannya. Tetapi, Temu berhasil melaksanakannya hanya dalam seminggu. Tantripala tidak berani memimpinnya lebih lanjut untuk menjadi mahasiddha (orang sakti). Tanggung jawabnya sebagai guru terlalu berat. Tantripala menjelaskan padanya, bahwa ia sudah melewati pendidikan cantrik,

mangayu, jejanggan, uluguntung. Dia sudah sampai pada tingkat cikil, tingkat kelima dalam tata pendidikan. Di atasnya masih ada tiga tingkat lagi: wasi, resi dan bagawan. Maka, Temu dikirikannya kepada Dang Hyang Lohgawe, guru yang kedua bagi Arok. Meneruskan belajar pada Dang Hyang Lohgawe berarti ia akan mencapai tingkat wasi. Temu menimba ilmu dari guru yang keduanya, Dang Hyang Lohgawe. Temu menerima nama Arok daripadanya, karena dia dianggap sebagai harapan bagi semua brahmana.

Penceritaan hal yang seharusnya sudah berlalu, juga digambarkan pada tokoh Ken Dedes. Sudah berhari-hari ia termenung di Tumapel menjadi seorang isteri Akuwu. Namun bukanlah kebahagiaan yang ia dapatkan. Hingga pada suatu siang ia mengingat kejadian ketika ia diculik oleh Tunggul Ametung dirumahnya. Diceritakan bahwa; Sore hari Mpu purwa ayah Ken Dedes berpamitan untuk pergi dalam waktu yang agak lama. Ia ditinggal dirumah bersama bujang-bujang dan wanita. Malam harinya ia mendengar kabar bahwa esok hari di desanya akan kedatangan rombongan Sang Akuwu, dan semua warga harus hadir. Ia adalah seorang yang tak mau dan tak sudi menyembah seorang Akuwu yang belum patut mendapatkan penghormatannya. Tibalah pagi itu, Ken Dedes turun ke pancuran berniat untuk menghindarkan diri dari rombongan Akuwu. Sambil menghafal sepuluh syair dan bermain dengan curah air dari pancuran bambu. Datanglah seorang bujang kepadanya memberitahukan bahwa rombongan Akuwu sudah pergi. Ken Dedes berniat untuk kembali pulang, ia melewati lereng bukit, menyebrangi padang. Sampai ditepi hutan ia terengah-engah, berhenti untuk memeriksa keliling. Ia merasa aman, tetapi tidak diduganya seekor kuda telah berdiri tegak didepannya dengan penunggang yang setengah baya. Dedes tahu

itulah Tunggul Ametung. Secara paksa lalu dibopongnya Dedes menunggang kuda, hingga sampai di Tumapel.

C. Persamaan dan Pertentangan Pelataran antara Naskah Drama Ken Arok