• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. hubungan intertekstual antara dua karya sastra, yaitu naskah drama Ken Arok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. hubungan intertekstual antara dua karya sastra, yaitu naskah drama Ken Arok"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Maka sesuai dengan sasaran penelitian, pada bab ini dibahas tentang hubungan intertekstual antara dua karya sastra, yaitu naskah drama Ken Arok karya Saini KM dengan novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Hubungan tersebut antara lain; Pertama, mendeskripsikan persamaan dan pertentangan tokoh dan penokohan. Kedua, mendeskripsikan persamaan dan pertentangan pengaluran. Ketiga, mendeskripsikan persamaan dan pertentangan pelataran.

Temuan peneliti berupa hubungan intertekstual terhadap penokohan, pengaluran, dan pelataran dalam naskah drama Ken Arok karya Saini KM dengan novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer, dapat dilihat dalam pembahasan sebagaai berikut.

A. Persamaan dan Pertentangan Penokohan antara Naskah Drama Ken Arok Karya Saini KM dengan Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer.

Tokoh dan penokohan menjadi hal penting dalam menganalisis karya sastra, karena dengan unsur inilah, maka muncul peristiwa yang menimbulkan konflik, pesan, amanat, moral dan hal lain yang ingin disampaikan pengarang. Karya sastra yang dibuatnya pun akan mengikuti konvensi karya sastra sebelumnya, baik membenarkan, mengembangkan, maupun menyimpang. Baik Saini KM atau pun Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya menggunakan kisah sejarah yang sama sebagai dasar ceritanya, tetapi antara keduanya telah menghidupkan sejarah tersebut dengan pendapatnya masing-masing. Maka

(2)

menjadi hal yang wajar, apabila terdapat persamaan maupun pertentangan (perbedaan) antara naskah drama Ken Arok dengan novel Arok Dedes. Tetapi sebelum memaparkan antara persamaan dan pertentangan (perbedaan) nya, terlebih dahulu peneliti memberikan gambaran tokoh antara kedua karya sastra tersebut. Berikut ini digambaran tokoh-tokoh dalam naskah drama Ken Arok karya Saini KM dengan novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

Tabel 1

Tokoh pada naskah drama Ken Arok dan novel Arok Dedes No. Nama Tokoh dalam

Naskah Drama Ken Arok

Nama Tokoh dalam Novel Arok dedes 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Ken Arok Tunggul Ametung Tita Kertajaya Lohgawe Empu Gandring Ken Dedes Ken Umang Kebo Ijo Bongo Samparan Empu Purwa Ki Lembong Anusapati Empu Pamor Empu Narayana Mahisa Walungan Gubar Baleman Mahisa Taruna Empu Sridhara Empu Aditya Punta Prasanta

Orang Desa Batil Juru Deh Emban - - - Ken Arok Tunggul Ametung Kertajaya Lohgawe Empu Gandring Ken Dedes Ken Umang Kebo Ijo Bango Samparan Empu Purwa Ki Lembung Belakangka Arya Artya Tanca Lingsang Gusti Putra Hayam Bana Mundrayana Oti Rimang Gede Mirah Ki Lembong Nyi Lembong Lurah Sina Tantripala Lurah Moleng Dadung Sungging

(3)

Berdasarkan tabel tersebut, jelaslah bahwa antara naskah drama dan novel, keduanya memiliki persamaan dan pertentangan (perbedaan) tokoh dan tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan adanya persamaan dan perbedaan penokohan. Berikut pemaparan persamaan dan pertentangan tokoh dan penokohan yang dimaksud.

1. Tokoh

Sebelum menjelaskan masalah penokohan, maka perlu diketahaui bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam naskah drama Ken Arok dan novel Arok Dedes dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu; berdasarkan keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, berdasarkan fungsi penampilan tokoh, dan berdasarkan perwatakannya. Berikut pemaparan dari ketiga jenis tokoh yang dimaksud. a. Tokoh Berdasarkan Keterlibatannya dalam Keseluruhan Cerita 1) Persamaan

Keterlibatan para tokoh dalam keseluruhan cerita, dapat dibedakan menjadi dua, yakni tokoh utama (sentral) dan tokoh tambahan (bawahan). Seringkali dalam sebuah cerita akan melibatkan beberapa tokoh, maka menjadi hal penting untuk pertama kali dapat menentukan tokoh sentralnya.

Baik dalam naskah drama Ken Arok maupun novel Arok Dedes, terdapat tokoh sentral yang menjadi bagian penting dan utama dalam peristiwa yaitu tokoh “Ken Arok”. Tokoh ini merupakan tokoh yang paling banyak diceritaan, banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain dan menjadi tokoh yang paling banyak terlibat dengan makna yang ingin pengarang sampaikan.

(4)

Dipastikan tokoh sentral dalam naskah drama Ken Arok adalah Ken Arok. Hal tersebut dikarenakan, dari keseluruhan babak (episode) yang ada, tokoh ini hampir selalu terlibat bahkan hadir dalam setiap babaknya, kecuali pada babak dua, tiga, empat, sebelas, dan tigabelas. Maka dapat disimpulkan bahwa Ken Arok (sentral) telah terlibat dalam delapan babak dari empatbelas babak yang ada. Meskipun dalam enam babak tersebut tidak digambarkan secara langsung, tetapi keterlibatan tokoh sentral dapat digambarkan melalui pembicaraan antartokoh. Inilah yang menjadi fungsi ketidakhadirannya dalam enam babak tersebut.

Ketidakhadiran tokoh sentral pada babak dua berfungsi memberikan kesempatan kepada tokoh Kertajaya dan para pengikutnya (tokoh tambahan) untuk membicarakan tokoh sentral. Pembicaraan antartokoh tersebut mengacu pada pokok permasalahannya yang ditujukkan untuk pencapaian penangkapan terhadap tokoh sentral (Ken Arok menjadi buronan kerajaan Kediri).

Ketidakhadiran tokoh sentral pada babak tiga, empat dan enam menjadi kesempatan bagi tokoh Tunggul Ametung dan kaum brahmana, untuk membicarakan tokoh sentral. Pada ketiga babak tersebut digambarkan siasat kaum brahmana dengan meminta persetujuan dari Tunggul Ametung, untuk dapat menjinakkan Ken Arok (sentral). Pada babak tiga, empat dan enam juga menjadi gambaran tokoh Tunggul Ametung dan kaum brahmana sebagai tokoh yang memperjuangkan sesuatu, berupa kebenaran dan kedamaian.

Pada babak sebelas, ketidakhadiran tokoh sentral berfungsi untuk menggambarkan dampak yang ditimbulkan oleh tokoh sentral, yaitu berkuasanya

(5)

tokoh sentral di Tumapel menyebabkan tumbangnya Kertajaya. Ketidakhadiran tokoh sentral juga terdapat pada babak tigabelas. Pada babak ini berfungsi untuk memberikan kesempatan kepada tokoh Anusapati untuk membicarakan tokoh sentral. Pada babak sebelas ini juga berfungsi untuk membeberkan situasi delapanbelas tahun setelah berkuasanya tokoh sentral di kerajaan Singasari.

Bukan hanya pada naskah dramanya, dalam novel Arok Dedes pun tokoh sentral (Ken Arok) menjadi tokoh yang paling banyak terlibat dalam ceritanya. Meskipun tidak selalu dimunculkan dalam setiap peristiwa atau kejadian, tetapi kehadiran tokoh sentral hampir selalu muncul di setiap babnya. Dari sepuluh bab yang ada, hanya ada satu bab yang tidak menggambarkan kehadiran tokoh Ken Arok, yaitu pada bab tiga. Pada bab ini digunakan untuk menggambarkan tokoh Ken Dedes, yang cukup berperan dalam peristiwa dan munculnya konflik. Kaitannya dengan tokoh sentral, pada bab tiga ini digambarkan tokoh Ken Dedes yang memiliki rasa ingin tahu (penasaran) terhadap tokoh sentral. Digambarkan pada bab tiga, bahwa telah muncul seorang brahmana muda dengan nama Borang (sebenarnya Ken Arok), diberitakan ia telah membuat kerusuhan khususnya bagi penghuni Tumapel. Ken Dedes ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya brahamana muda yang bernama Borang itu.

Pada dasarnya tokoh sentral berperan sebagai tokoh yang paling banyak diceritakan, dan banyak berhubungan dengan tokoh lainnya. Maka dari itu, peristiwa atau jalinan peristiwa dalam sebuah cerita khususnya naskah drama dan novel, tidaklah cukup hanya tokoh sentral yang berperan dalam ceritanya. Adapun diharuskannya campur tangan dari tokoh lain yaitu berperan sebagai tokoh

(6)

tambahan, ini dikarenakan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya saling terkait dan sangat menentukan perkembangan plot (alur) secara keseluruhan. Tokoh tambahan dimaksudkan juga sebagai penyempurna dalam munculnya berbagai konflik, baik sebagai pendukung atau penentang tokoh sentral.

Adapun persamaan tokoh tambahan dalam naskah drama Ken Arok dengan novel Arok Dedes, adalah sebagai berikut.

Pertama, Ken Dedes. Tokoh ini berperan sebagai isteri Tunggul Ametung yang kemudian menjadi isteri Ken Arok. Baik dalam naskah drama maupun pada novelnya, tokoh Ken Dedes memiliki kadar keutamaan yang lebih daripada tokoh lainnya. Tokoh ini dapat juga disebut sebagai tokoh tambahan yang utama. Hal tersebut dikarenakan Ken Dedes ini banyak berkaitan dengan tokoh sentral. Kehadirannya juga mempengaruhi dalam pengembangan alur. Dalam naskah drama, tokoh Ken Dedes dimaksudkan sebagai tujuan utama (hal yang ingin dicapai) tokoh sentral. Lain pada novelnya, tokoh Ken Dedes berperan sebagai tokoh yang mendukung tokoh sentral, dan bukan menjadi sasaran utama tokoh sentral.

Kedua, Tunggul Ametung. Sama halnya dengan tokoh Ken Dedes, Tunggul Ametung juga termasuk sebagai tokoh tambahan yang utama. Tokoh ini berperan sebagai penentang tokoh sentral, dimana kemunculan tokoh ini dalam cerita difungsikan sebagai salah satu sasaran perjuangan tokoh sentral.

Ketiga, Kertajaya. Selain Tunggul Ametung, tokoh Kertajaya juga berperan sebagai tokoh yang dijadikan sasaran tokoh sentral, bahkan menjadi sasaran paling utama. Baik dalam naskah drama maupun dalam novelnya,

(7)

perjuangan untuk mencapai tujuan lebih difokuskan pada Tumapel (Tunggul Ametung). Maka kehadiran tokoh Kertajaya, tidak banyak digambarkan dalam ceritanya, namun tokoh ini berpengaruh pula dalam timbulnya konflik atau masalah, sehingga dapat dikatakan Kertajaya sebagai tokoh tambahan yang utama. Keempat, Lohgawe. Tokoh ini berperan sebagai tokoh tambahan yang berperan sebagai tokoh penengah, antara tokoh sentral dan tokoh penentangnya. Kehadirannya juga berfungsi sebagai penyelesai atau yang menyudahi permasalahan. Dalan novelnya, selain sebagai tokoh penengah, tokoh ini juga berperan sebagai pendukung tokoh sentral.

Kelima, Empu Gandring dan Kebo Ijo. Kehadiran kedua tokoh tersebut berfungsi sebagai tokoh yang digunakan oleh tokoh sentral sebagai sasaran (korban) dalam perjuangannya untuk mencapai tujuan.

Keenam, Bango Samparan. Kehadirannya sebagai pendukung tokoh sentral. Dalam naskah dramanya, tokoh ini dihadirkan secara langsung namun tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan konflik. Sedangkan pada novelnya, tokoh Bango Samparan, memang tidak dihadirkan secara langsung melainkan dihadirkan melalui tokoh sentral, namun tokoh ini cukup berpengaruh dalam perkembangan konflik.

Ketujuh, Ki Lembong (Lembung dalam novelnya). Tokoh ini dimaksudkan sebagai tokoh yang berjasa bagi tokoh sentral. Baik dalam naskah drama maupun dalam novelnya, Ki Lembong tidak sering dimunculkan, meskipun dimunculkan itupun tidak secara langsung, melainkan kehadirannya digambarkan melaui pembicaraan tokoh lainnya.

(8)

Kedelapan, Empu Purwa. Tokoh ini berfungsi sebagai tokoh yang menerima akibat yang ditimbulkan oleh penentang tokoh sentral. Anaknya; Ken Dedes telah diculik oleh Tunggul Ametung dan dinikahinya tanpa restu dari Empu Purwa. Kehadiran tokoh ini sebenarnya tidak terlalu mendukung dalam munculnya konflik, karena ia hanya sebagai korban.

Kesembilan, Ken Umang. Tokoh ini berperan sebagai pendukung tokoh sentral. Dalam naskah drama hanya terdapat satu babak yang menggambarkan kehadiran Ken Umang dan terkesan tidak berpengaruh dalam perkembangan konfliknya. Sedangkan pada novelnya, Ken Umang kerap muncul dalam berbagai peristiwa. Selain itu tokoh ini juga difungsikan sebagai pemanis cerita agar tidak terkesan monoton. Diceritakan dalam novelnya, bahwa Ken Umang adalah kekasih Ken Arok (sentral). Sejak kecil Ken Umanglah yang selalu berbaik hati pada Ken Arok, meskipun tidak rupawan tetapi tutur kata dan tingkah lakunya yang lembut telah membuat Ken Arok lebih menyayanginya.

Dari bebrapa hal yang sudah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa kemunculan tokoh-tokoh tambahan memiliki porsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh sentral. Kehadirannya pun dimunculkan apabila terkait dengan tokoh sentral. Selain itu, tokoh-tokoh yang sudah dipaparkan di atas termasuk sebagai tokoh tambahan namun yang utama, dapat dikatakan sebagai tokoh yang sudah melekat pada ceritanya. Kemungkinan apabila terdapat pengarang lainnya yang bermaksud menceritakan tentang kehidupan „Ken Arok‟, tidak lain tokoh-tokoh tambahan tersebut adalah tokoh yang harus terlibat dalam penceritaannya.

(9)

Baik dalam naskah drama Ken Arok maupun novel Arok Dedes, juga terdapat tokoh tambahan yang dapat dikatakan sebagai tokoh yang kurang penting. Tanpa ketidakhadirannya, inti atau makna cerita tetap dapat tersampaikan kepada pembaca atau penikmat, meskipun menjadi kurang sempurna. Adapun tokoh tambahan yang dimaksud adalah; para prajurit, dayang-dayang dan pengikut Ken Arok. Berhubungan dengan analisis yang dilakukan peneliti, ternyata dalam ceritanya tokoh-tokoh tersebut tidak dideskripsikan secara detail, dan terkesan hanya sebagai pelengkap atau penyempurna cerita. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti pun tidak dapat melakukan kajian secara lebih terperinci pula.

2) Pertentangan

Tokoh utama dalam naskah drama Ken Arok dan novel Arok Dedes memiliki persamaan yaitu “Ken Arok” sebagai tokoh utama, dan tidak ada hal yang berbeda atau dipertentangkan terhadap tokoh tersebut. Lain halnya pada tokoh tambahan yang banyak mengalami perbedaan (bertentangan). Hal tersebut dikarenakan masing-masing pengarang (Saini KM dan Pramoedya Ananta Toer) telah memilih dan mempersiapkan para tokohnya dengan sedemikian rupa. Selain itu, bukankah tokoh yang dihadirkan harus memiliki beban dalam membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik di dalam masing-masing ceritanya. Maka kemungkinan untuk melencengnya sosok tokoh yang telah dipersiapkan masing-masing pengarang itu dapat saja terjadi. Berikut dijelaskan pertentangan tokoh tambahan antara naskah drama Ken Arok dengan novel Arok Dedes.

(10)

Tabel 2

Perbedaan tokoh tambahan antara Naskah Drama Ken Arok dengan Novel Arok Dedes

No. Naskah Drama Ken Arok Novel Arok Dedes

1. Anusapati Belakangka

2. Mpu Pamor Arya Artya

3. Mpu Narayana Tanca

4. Mahisa Walungan Lingsang

5. Gubar Baleman Gusti Putra

6. Mahisa Taruna Hayam

7. Mpu Sridhara Bana

8. Mpu Aditya Mundrayana

9. Punta Oti

10. Prasanta Rimang

11. Orang Desa Batil Gede Mirah

12. Juru Deh Nyi Lembung

13. Emban Lurah Sina

14. Tita Tantripala

15. - Dadung Sungging

16. - Lurah Moleng

Dalam naskah drama muncul tokoh Anusapati, berperan sebagai anak kandung dari Tunggul Ametung yang menjadi anak pungut Ken Arok. Meskipun tokoh ini termasuk sebagai tokoh tambahan, namun kehadirannya menjadi hal penting karena kehadirannya berfungsi sebagai tokoh pemenang, sekaligus untuk menyelesaikan permasalahan atau mengakhiri ceritanya. Hal tersebut dikarenakan pada naskah drama memang terkesan ingin menceritakan kembali hakikat sejarah masa lampau, sehingga menitikberatkan pula pada silsilah kerajaan. Berbeda pada novel Arok Dedes, yang sama sekali tidak memunculkan tokoh Anusapati. Hanya saja digambarkan pada novelnya, bahwa saat peristiwa tumbangnya Tunggul Ametung, isterinya; Ken Dedes sedang mengandung anak darinya, tidak pula digambarkan kelahiran anak yang saat itu sedang dikandungnya. Apakah anak

(11)

yang dikandungnya akan lahir sebagai Anusapati atau dengan nama lain, itu menjadi kebebasan para pembaca.

Adapun tokoh tambahan lain, yang kehadirannya pada naskah drama tidak berpengaruh pada perkembangan konflik. Tokoh yang dimaksud antara lain; Mahisa Walungan (adiknya panglima pasukan Kediri), Gubar Baleman (panglima pasukan Kediri), Mahisa Taruna (perwira pasukan Kediri), Mpu Narayana dan Mpu Aditya (menteri Kertajaya), Mpu Pamor dan Mpu Sridhara (pendeta kerajaan Kediri). Tokoh-tokoh tersebut tidaklah dimunculkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arok Dedes, dan memang tidak perlu untuk dimunculkan. Hal ini dikarenakan, tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh yang sengaja dimunculkan oleh pengarang sebagai gambaran tentang siapa saja yang orang-orang yang yang berada di kerajaan Kediri. Sedangkan pada novel, Pramoedya lebih banyak menggambarkan keadaan Tumapel bukan Kediri. Maka tokoh-tokoh tersebut tidak perlu dimunculkan dalam novel.

Berbeda dengan novel, mengingat naskah drama juga memiliki tujuan untuk dipentaskan, tentunya akan menjadi monoton apabila suasana dari awal hingga akhir cerita selalu menegangkan. Maka menjadi hal yang wajar apabila suasana perlu dicairkan atau dikendorkan dengan kehadiran tokoh parodi, meskipun hanya sementara. Seperti halnya dengan naskah drama Ken Arok ini, kehadiran tokoh; Punta, Prasanta, Juru Deh, dan Emban, menjadi tokoh yang cukup penting apabila dilihat dari segi pementasannya. Tetapi apabila dilihat secara tekstual, keempat tokoh tersebut dapat dikatakan tidak begitu penting karena tidak berpengaruh pada perkembangan konflik dalam ceritanya. Punta,

(12)

Prasanta, Juru Deh, dan Emban dalam naskah drama berperan sebagai bawahan (pelayan) nya Anusapati. Berhubung dalam novel, tidak dimunculkan tokoh Anusapati maka wajar apabila beberapa tokoh tersebut juga tidak dimunculkan dalam novelnya.

Selain Anusapati, tokoh lain yang turut serta berperan dalam penyelesaian konflik atau cerita adalah Orang Desa Batil. Pembunuhan terhadap Ken Arok telah dilakukannya atas suruhan Anusapati. Tokoh ini berperan sebagai penyampai informasi kepada Anusapati, terhadap kerusuhan yang dilakukan oleh tokoh sentral (Ken Arok), berfungsi untuk memunculkan konflik kembali menuju ke penyelesaian.

Adapun pendukung tokoh sentral (Ken Arok), sekaligus sebagai sahabat baiknya yaitu digambarkan oleh tokoh Tita. Tokoh ini sebenarnya tidak berpengaruh pada perkembangan konflik. Kehadirannya hanya sebagai pendukung penuh tokoh sentral, dan seringkali kehadirannya selalu bersamaan. Begitu juga pada novelnya, tokoh sentral juga memiliki sahabat baik seperti Tita dalam naskah dramanya, tetapi gambaran dalam novelnya, tokoh tersebut berperan dengan nama Tanca bukan Tita. Sebenarnya baik Tita maupun Tanca, keduanya memiliki peran dan fungsi yang sama.

Demikian dijelaskan beberapa tokoh tambahan yang terdapat dalam naskah drama Ken Arok, namun tidak terdapat dalam novel Arok Dedes. Maka sebaliknya , tidak sedikit tokoh tambahan yang terdapat pada novel, namun tidak dimunculkan pula dalam naskah dramanya. Tokoh yang dimaksud, antara lain sebagai berikut.

(13)

Belakangka, Dadung Sungging dan Arya Artya, berperan sebagai penghalang perjuangan tokoh sentral. Ken Arok (tokoh sentral) berusaha menggulingkan Akuwu Tumapel dengan maksud menyelamatkan rakyat dari kekejamannya. Tetapi perjuangan Ken Arok terhalang oleh Belakangka, Dadung Sungging dan Arya Artya, yang memiliki ambisi menggulingkan Akuwu Tumapel pula. Tetapi ambisi dari ketiga-tiganya, semata-mata untuk kepentingan diri mereka sendiri, bukanlah untuk kepentingan rakyat. Maka kehadiran dari ketiga tokoh tersebut menjadi penting karena mempengaruhi dalam perkembangan konflik. Ketiganya berlaku sebagai tokoh tambahan, karena kehadiran pada ceritanya tidak sebanyak penggambaran tokoh sentral. Namun, pada tokoh Belakangka, ia dapat dikatakan sebagai tokoh tambahan yang utama, karena ia berperan penuh terhadap rencana untuk menjatuhkan Ken Arok. Kehadiran Belakangka pun memiliki porsi yang lebih banyak, dibandingkan dengan tokoh Dadung Sungging dan Arya Artya. Lain halnya pada naskah drama Ken Arok, Saini KM tidaklah memunculkan tokoh yang berperan sebagai penghalang perjuangan Ken Arok. Hal ini dikarenakan pada naskah drama, pengarang terfokus pada konflik utama. Tanpa adanya tokoh penghalang maka tidak mempengaruhi, mengurangi, bahkan mengubah inti cerita yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca.

Dalam novel Arok Dedes oleh Pramoedya dicantumkan beberapa tokoh yang berfungsi sebagai pendukung tokoh sentral, di antaranya; Tanca yang berperan sebagai pendamping setia Ken Arok. Keduanya sama-sama berjuang baik dalam hal pendidikan maupun dalam perang melawan Tumapel. Tokoh

(14)

pendukung lain sebut saja Tantripala, guru Ken Arok yang pertama sebelum ia menempuh pendidikan kepada Dang Hyang Lohgawe. Dengan bekal ilmu yang telah Ken Arok pelajari, maka ia dengan Tanca berencana untuk melakukan serangan kepada Tumapel yang juga dibantu oleh tokoh pendukung; Hayam dan Lingsang. Keduanya diposisikan sebagai pimpinan pasukan perang. Dalam perang melawan pasukan Tumapel yang tidak sedikit jumlahnya, semakin banyak juga orang-orang yang menggabungkan diri dengan pasukan Ken Arok. Kebanyakan orang-orang yang datang padanya adalah mereka yang merasa tertindas oleh pihak kerajaan. Tokoh tersebut adalah Gusti Putra (seorang Silpasastrawan Tumapel), Bana (bekas prajurit Tumapel), Mundrayana, dan Oti ( pasangan suami isteri yang menjadi budak Tumapel di pematang emas). Beberapa tokoh tersebut berperan sebagai penolong tokoh sentral. Jelaslah tokoh-tokoh yang ada pada novel tersebut tidak akan mungkin tercantum pada naskah dramanya, karena perjuangan tokoh sentral tidak dilakukannya dengan jalan peperangan seperti dalam novelnya. Pada naskah drama digambarkan perjuangan tokoh sentral lebih bersifat rahasia. Ken Arok melakukan penggulingan terhadap Akuwu dengan tangannya sendiri.

Adapun pada novel Arok Dedes, digambarkan beberapa tokoh yang tidak begitu terlibat terhadap perkembangan konflik, dan terkesan hanya sebagai pelengkap cerita. Tokoh yang dimaksud, antara lain; Rimang dan Gede Mirah (pelayan di Tumapel), Lurah Sina (lurah dapur Tumapel), dan Lurah Moleng (lurah di pendulangan emas). Beberapa tokoh tersebut berperan sebagai tokoh tambahan, karena kehadirannya hanya bersifat sesaat saja.

(15)

Dalam novelnya juga terdapat tokoh yang berperan sebagai tokoh yang menerima akibat dari tindakan penentang tokoh sentral. Nyi Lembung menjadi hidup sendiri setelah suaminya; Ki Lembung mati terbunuh oleh prajurit Tumapel. Ini pula yang menjadi salah satu ambisi tokoh sentral untuk membalaskan dendamnya kepada Tumapel. Sedangkan pada naskah drama tokoh Nyi Lembong tidak dihadirkan. Yang diceritakan hanya Ki Lembong yang telah menemukan bayi Ken Arok dan sebagai ayah pungut yang pertama.

b. Tokoh Berdasarkan Fungsi Penampilan Tokoh 1) Persamaan

Adapun persamaan tokoh berdasarkan fungsi penampilan tokoh dalam naskah drama maupun novelnya, yaitu terdapat empat tokoh protagonis dan satu tokoh antagonis. Dalam naskah drama Ken Arok dan novel Arok Dedes, yang sama-sama digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh protagonis adalah Ken Dedes, Ken Umang, Mpu purwa, dan Lohgawe, sebaliknya yang sama-sama digambarkan sebagai tokoh antagonis adalah Prabu Kertajaya raja Kediri. Berikut pemaparan persamaan tokoh tersebut.

a) Ken Dedes sebagai tokoh protagonis

Ken Dedes gadis cantik dari desa, anak seorang brahmana bernama Empu Purwa, sekaligus isteri dari Tunggul Ametung, yang akhirnya menjadi isteri dari Ken Arok. Sebagai anak dari seorang brahmana, Ken Dedes selalu menjunjung nilai-nilai agama. Ken Dedes mendapat ulukan sebagai brahmani muda.

(16)

Baik dalam naskah drama maupun dalam novel, tokoh Ken Dedes dimaksudkan sebagai pasangan dari tokoh sentral, sebagai tokoh yang berperan untuk dikagumi oleh tokoh sentral. Ken Dedes ini dimunculkan dalam ceritanya dengan maksud sebagai gambaran seorang perempuan yang meskipun memiliki kemewahan dan menyandang gelar „Yang Mulia‟, tetapi pernikahannya dengan seorang yang berkuasa (dalam novel; Tunggul Ametung dan naskah drama; adalah Ken Arok) tidak pernah membuatnya merasakan kebahagiaan. Maka dapat dikatakan bahwa kekayaan dan jabatan memang penting tapi itu bukan jaminan untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu sikap „sabar‟ juga digambarkan oleh tokoh Ken Dedes. Kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi permasalahan, menjadikannya semakin kuat dan bisa tetap bertahan, dan akhirnya kemenangan pun menjadi miliknya juga.

Dalam naskah drama Ken Arok karya Saini KM, Ken Dedes digambarkan sebagai tokoh protagonis. Ia seorang perempuan yang baik, hormat pula pada suaminya. Meskipun ia dinikahi secara paksa oleh Ken Arok, namun tanggung jawabnya sebagai seorang isteri dan ibu tetap ia penuhi. Hal tersebut ditunjukkan dengan kutipan berikut.

Ken Arok : Tidak benar, saya mau kau berada di sini.

Ken Dedes : Saya akan mengganggu Kakanda. Biarlah saya berada di antara anak-anak kita. Mereka memerlukan saya di sana, apalagi kalau Kakanda tidak berada di antara mereka. Ken Arok : Baiklah. Tapi bagaimana kabarnya Anusapati?

Ken Dedes : Dia baik-baik saja, kakanda. Kemarin saya terima suratnya (Saini KM, 1990:82).

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah Ken Dedes merupakan tokoh yang berlaku baik, juga penurut, terlebih ia sangat menghormati suaminya, meskipun ia

(17)

sebenarnya tidak menyukai tingkah suaminya yang suka berjudi, mabuk-mabukan, dan bemain perempuan. Ken Dedes sebagai tokoh protagonis juga digambarkan dalam novel Arok Dedes. Ia anak semata wayang dari Empu Purwa sekaligus sebagai murid utamanya. Pelajaran-pelajaran tentang segala bentuk kebaikan ia dapatkan dari para gurunya dan dari kitab-kitab tentang keagamaan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Waktu Hyang Surya terbit, Yang Suci Belakangka di Pendopo mengumumkan pada sekalian pembesar pekuwan, bahwa Ken Dedes adalah seorang perawan suci yang mematuhi ajaran nenek moyang, para dewa dan para guru (Toer, 2009:25).

b) Ken Umang sebagai tokoh protagonis

Saini KM dalam naskah dramanya memunculkan tokoh Ken Umang, berperan sebagai isteri (permaisuri) dari Ken Arok. Tindakan tercela dari Ken Arok, seperti berjudi dan meminum arak yang berlebihan menjadi hal yang kurang ia sukai. Seringkali suaminya melakukan hal tersebut namun Ken Umang kerap melarangnya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Ken Umang : Kanda, Kanda terlalu mabuk. Istirahat dulu, atau berhentilah minum. Makanlah sesuatu.

Ken Arok : Siapa yang mabuk? Tidak. Ayo putar dadunya. Pria : Gusti belum meletakkan taruhannya.

Ken Arok : Mana uangku? Ken Umang : Sudah habis. Ken Arok : Ambil!

Ken Umang : Tidak, Kanda sudah terlalu lama berjudi. Kanda terlalu banyak minum. Sekarang istirahat dulu (Saini KM, 1990:99).

Ken Umang sebagai tokoh protagonis juga digambarkan dalam novel Arok Dedes. Pramoedya menggambarkan tokoh Ken Umang sebagai seorang perempuan yang tidak rupawan, namun baik hatinya. Sejak kecil ia menaruh

(18)

perhatian kepada Ken Arok saudara angkatnya. Keduanya pun saling menyayangi. Kebaikan Umanglah yang telah membuat Ken Arok terpikat padanya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

...Ki Bango Samparan semakin sayang kepadanya, hampir tak turun lagi ke sawah atau ladang, menjadi bandar dadu, dan selalu membawa pulang kemenangan.

Semakin banyak yang diterimanya, dan dengan sembunyi-sembunyi diberikannya kepada Umang.

“Biar aku simpankan untuk kakang” sambutnya selalu. “Buat apa aku? Untuk kau sendiri”

Dengan diam-diam Umang menyimpankan untuk dirinya. Dan ia semakin terpikat pada budi bahasanya yang manis dan tanpa pamrih. Sayang dia tidak rupawan, sering ia menyesali Umang (Toer, 2009:77). Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ken Umang pada dasarnya memang tidak rupawan, tetapi ia memiliki hati yang tulus. Itu yang membuat Ken Arok benar-benar menyayanginya. Dapat diambil nilai positif dari tokoh Ken Umang tersebut, yaitu bahwa meskipun seseorang tidak memiliki kecantikan secara fisik, tetapi cantik dari dalam hatinya, maka ia pun akan tetap disayangi oleh orang-orang di sekelilingnya.

c) Empu Purwa sebagai tokoh protagonis

Empu Purwa berlaku sebagai tokoh protagonis. Ia seorang pendeta Budha, dikenal sebagai kaum brahmana yang terpelajar. Sudah barang tentu Empu Purwa memiliki watak dan tingkah laku yang baik. Seperti yang digambarkan oleh Saini KM dalam naskah dramanya. Berikut kutipannya.

Mpu Purwa : Kita tidak berhak membalas kejahatan dengan kejahatan. Hanya kebaikan yang menyudahkan kejahatan. Demikian ajaran Sang Budha (Saini KM, 1990:93).

Berdasarkan kutipan tersebut, maka jelaslah bahwa tokoh Empu Purwa bukanlah tipe pendendam. Ia seorang yang bertindak dalam hal kebaikan, ajaran

(19)

agama sudah menjadi tuntunan baginya dalam menjalani hidup. Begitu pula dalam novel Arok Dedes. Pramoedya telah menggambarkan Empu Purwa adalah seorang yang berlaku baik, penyayang terlebih kepada Ken Dedes. Ia tidak suka dengan kehidupan yang menyesatkan seperti tingkah dan laku buruk Tunggul Ametung. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Sejak kecil ibunya telah meninggal. Semua kasih sayang Empu Purwa tertumpah padanya sebagai anak tunggal. Antara ayah dan anak terjalin kemesraan, yang mengharukan bagi para brahmana yang datang berkunjung. Dan mereka tidak menolak kesertaannya dalam semadhi bersama. Tidak jarang semadhi itu ditujukan untuk hancurnya Tunggul Ametung, agar Hyang Mahakala tidak membinasakan semua-mua karena kesesatannya (Toer, 2009:107).

d) Lohgawe (Dang Hyang Lohgawe) sebagai tokoh protagonis

Sebutan Dang Hyang adalah untuk mereka yang pribadinya bekerja demi kemuliaan Hyang Syiwa. Juga ketinggian dan keluasan ilmu yang dikuasainya. Baik dalam naskah drama maupun novel, masing-masing penulis telah menggambarkan tokoh Lohgawe adalah seorang yang sangat meninggikan nilai keagamaan. Terkait dengan ilmu yang dikuasainya, dialah yang disebut-sebut sebagai pemimpin kaum brahmana, atau orang tertinggi di kaum brahmana. Pastilah orang yang demikian memiliki watak dan perilaku baik, yang patut ditiru oleh para murid atau pengikutnya.

Saini KM dalam naskah drama menggambarkan tokoh Lohgawe sebagai tokoh panutan bagi warga sekitar. Kerusuhan yang dilakukan oleh Ken Arok merupakan salah satu tanggung jawabnya. Sebagai brahmana yang bertugas mendidik Ken Arok untuk menjadi seorang yang baik-baik. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

(20)

Lohgawe : (Kepada Mpu Pamor dan Mpu Sridhara) Setengah tugas kita selesai. Tinggal kita berusaha mendidik Ken Arok, menjinakkannya, sehingga benar-benar ia jadi seorang manusia (Saini KM, 1990:49).

Dang Hyang Lohgawe dalam novelnya digambarkan sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh para pengikutnya. Tokoh ini sangat menentang siapapun yang melakukan kesesatan, termasuk Tunggul Ametung. Maka pada saat tumbangnya Tunggul Ametung, itu berarti adalah kemenangan baginya, dan kemenangan bagi para rakyat Tumapel. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Dang Yang Lohgawe mengangkat satu tangan. Orang pun berlutut dan mengangkat sembah.

“Dengarkanlah kalian semua yang telah memenangkan perang. Dengan kemenangan ini maka telah selesai babak perlawanan terhadap Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Kita semua memasuki babak lain, yang sama sekali berlainan daripada sebelumnya jangan bangunkan macan tidur. Para dewa telah membenarkan kejahatan Tunggul Ametung dan kemenangan kita. Akuwu itu mati di bawah pedang Kebo Ijo atau kita, sama saja, karena itulah kehendak para dewa” (Toer, 2009:545).

e) Prabu Kertajaya sebagai tokoh antagonis

Pada naskah drama dan novel, terdapat satu persamaan tokoh antagonis yaitu seorang raja Kediri bernama Prabu Kertajaya. Tokoh antagonis sangat berperan dalam berkembangnya konflik, bahkan tidak jarang tokoh antagonis ini terlibat langsung pada konflik utama.

Dalam naskah drama digambarkan, bahwa Kertajaya menuduh kaum brahmana yang bersalah terhadap munculnya perusuh bernama Ken Arok. Kaum brahmana diberi tugas untuk dapat menangkap Ken Arok. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan mereka tidak bisa juga mengubah Ken Arok menjadi

(21)

orang yang baik-baik, maka kaum brahmana wajib menyembah Kertajaya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Kertajaya : Mamanda kami persilahkan berangkat untuk mencari Ken Arok dan kawan-kawannya; kami beri waktu Mamanda untuk mendidiknya hingga jadi warga Kediri yang baik, ya selama tiga bulan. Seandainya Mamanda tidak berhasil melaksanakan tugas itu, seandainya darma kaum brahmana tidak terpenuhi, kami tidak berkeratan menerima Mamanda kembali ke istana, akan tetapi bukan sebagai kaum brahmana, melainkan sebagai warga biasa saja. Oleh karena itu, kami akan menuntut agar Mamanda semua menyembah kepada kami. Itu masuk akal. Semua warga Kediri menyembah kepada kami, kecuali kaum brahmana. Akan tetapi kaum brahmana yang gagal melaksanakan darmanya bukanlah brahmana, oleh karena itu wajib menyambah kepada kami...(Saini KM, 1990:22). Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah bahwa Kertajaya adalah seorang yang suka bertindak semena-mena. Tidak dapat menghormati kaum brahmana, sebaliknya ia menyuruh kaum brahmana untuk menyembahnya. Itu merupakan kesalahan besar, kaum brahmana menyebutnya sebagai bentuk kemurtadan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Mpu Sridhara : Itulah yang harus lebih kita khawatirkan. Dari sikapnya, kebijakan-kebijakannya, tindakan-tindakannya dan terakhir dari tantangannya kepada kita jelaslah bagiku, bahwa Kertajaya bermaksud mengenyampingkan golongan kita. Itu adalah bentuk kemurtadan yang tidak kepalang tanggung...(Saini KM, 1990:26).

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah bahwa Kertajaya memerintahkan kaum brahmana untuk menyembahnya, itu dianggap sebagai bentuk kemurtadan. Hal tersebut dikarenakan, kaum brahmana (pendeta) adalah seorang yang menjujung tingg nilai agama, mereka hanya mau menyembah kepada Tuhannya. Maka, menyembah Kertajaya sama saja dengan merendahkan wibawa kaum

(22)

brahmana. Karena menyembah raja tidak lain hanya dilakukan oleh rakyat kecil bukan pendeta. Sudah menjadi suatu keharusan apabila raja (Kertajaya) dengan kaum pendeta, keduanya memiliki sikap saling menghormati karena masing-masing memiliki kedudukan yang patut dihormati.

Bentuk keantagonisan Kertajaya lainnya yang digambarkan dalam naskah drama maupun novel, yaitu sikapnya dalam memimpin. Prabu Kertajaya digambarkan sebagai seorang pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan cara mengeruk harta rakyat untuk memperbanyak kekayaannya. Manusia yang demikian tidaklah dapat disebut sebagai orang yang baik, karena seorang pemimpin haruslah dapat menentramkan rakyatnya. Namun sebaliknya rakyat sengsara karena besarnya pajak-pajak yang harus dibayarkan kepadanya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Lohgawe : Ingat, kalau dalam dua bulan kita tidak berhasil mencari jalan keluar dari masalah Ken Arok ini, maka kalian harus menyambah kepada Kertajaya. Jelas itu adalah malapetaka. Nah, menangkap atau membunuh Ken Arok adalah suatu yang mustahil, seperti surat yang kalian tulis kepadaku. Tapi itu sebenarnya tidak penting. Kertajaya hanya menginginkan agar rakyatnya tidak diganggu dan pajak-pajak mengalir. Ia tidak mau kehilangan muka dan kehilangan sumber kekayaannya. Kalau kita berhasil memenuhi keinginannya itu kita akan lolos dari cengkeraman masalah ini (Saini KM, 1990:33).

Saini KM dalam naskahnya menggambarkan kejahatan Kertajaya melalui dialog yang disampaikan oleh tokoh Lohgawe. Dijelaskan bahwa ia tidak menghormati kaum brahmana, memerintah kaum brahmana untuk menyembahnya adalah hal yang tidak terpuji. Kertajaya seorang yang selalu mementingkan kepentingan pribadinya, terbukti ia hanya memanfaatkan rakyat untuk

(23)

memperkaya dirinya, dan apabila ia menginginkan rakyat tidak diganggu perusuh, semata-mata untuk melancarkan pemberian pajak dari rakyat kepadanya. Begitu juga dengan keantagonisan yang digambarkan dalam novel Arok Dedes. Kertajaya memanfaatkan rakyat untuk menjadi budak, dan budak-budak itulah yang dipergunakan Kertajaya untuk memperkaya dirinya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Untuk mengambil hati kaum brahmana Sri Baginda Kertajaya menghidupkan kembali perbudakan untuk merawat bangunan-bangunan suci. Yang suci Belakangka dengan serta-merta membenarkan. Suatu telah ditemukannya untuk menciptakan perbudakan. Akuwu Tumapel menyokong dan memanfaatkannya. Dan dipergunakan budak-budak itu untuk memperkaya diri mereka berdua.

“Sekumpulan ular bermuka dua,” sebut Arya Artya. “Memperbudak orang-orang tak berdaya, yang membikin orang tak berdaya untuk di jadikkan budak. (Toer, 2009:34)”

2) Pertentangan

Terdapat beberapa tokoh dalam naskah drama dan novel, yang memiliki pertentangan apabila dilihat dari fungsi penampilan tokohnya. Tokoh tersebut antara lain; Ken Arok, Akuwu Tunggul Ametung, Empu Gandring, Kebo Ijo, Ki Lembong dan Bongo Samparan. Pertentangan tersebut dapat dijelaskan secara lebih rinci, adalah sebagai berikut.

a) Ken Arok dalam naskah drama sebagai tokoh antagonis sedangkan pada novelnya sebagai tokoh protagonis.

Ken Arok dalam naskah dramanya berperan sebagai tokoh antagonis, yang mengakibatkan timbulnya konflik utama. Beberapa konflik bermunculan setelah adanya peristiwa kerusuhan yang dibuat olehnya. Tokoh ini berperan untuk memperjuangkan sesuatu berupa kekuasaan (raja) juga wanita (Ken Dedes).

(24)

Keantagonisan Ken Arok dalam naskah drama digambarkan melalui kutipan berikut

Empu Sridhara : Asal-usul Ken Arok tidak karuan Maharesi. Sebagai bayi ia ditemukan di kuburan lalu dipungut sebagai anak oleh seorang pencuri bernama Lembong, orang desa Pangkur. Ketika tumbuh menjadi anak-anak, ia mulai pandai mencuri dan berjudi. Tak ada ternak, barang atau uang yang aman dari tangannya yang panjang. Begitu parahnya ia keranjingan berjudi, hingga akhirnya ia tidak saja menghabiskan harta ayah-pungutnya, akan tetapi bahkan menjual kerbau milik majikannya. Ketika berangkat remaja, ia tidak saja mencuri, akan tetapi merampok dan lebih daripada perampok lain. Nyawa orang seperti tidak ada harganya baginya. Sedikit tersinggung ia cepat mencabut keris dan membunuh orang,...(Saini KM, 1990:30-).

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah bahwa Ken Arok adalah seorang yang jahat. Mencuri, berjudi, merampok, memperkosa, bahkan membunuh, merupakan perbuatan tercela. Tindakan yang banyak mendatangkan kerugian baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Dijelaskan dalam kutipan, bahwa segala tindak kejahatan yang ia lakukan tidak hanya sesaat, tetapi menjadi suatu kebiasaan. Terbukti karena ia semenjak kecil sudah berani mencuri daan berjudi.

Naskah dramanya menggambarkan Ken Arok sebagai tokoh antagonis, namun lain pada novelnya. Dalam novel Arok Dedes, Ken Arok berperan sebagai tokoh protagonis. Sebagai tokoh utama dengan sifat dan perilaku baik, yang diidealkan oleh pembaca. Tokoh ini memperjuangkan perdamaian, kebenaran, dan cinta. Berbeda dengan tokoh Ken Arok yang digambarkan dalam naskah dramanya, yang melakukan perjuangan hanya untuk kekuasaan dan wanita. Dalam novelnya, Ken Arok bukanlah sosok yang suka melakukan tindakan tercela seperti

(25)

dalam naskah dramanya, tetapi sebaliknya. Ken Arok adalah seorang pemuda yang berjuang melawan kejahatan. Berikut kutipan yang menjelaskan keprotagonisan Ken Arok. Ia tidak suka dengan pencurian, penganiayaan, perampokan dan tindakan tercela lainnya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

“Bicara kau Arok”

“Dengarkan, kalian!” Keadaan reda,”bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha. Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorang pun yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam hal ini aturan Sri Baginda Erlangga masih berlaku: hukuman mati terhadap mereka itu. Juga terhadap diriku bila dalam babak baru ini melakukannya (Toer, 2009:546).”

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ken Arok adalah seorang yang berlaku baik. Ken Arok tidak hanya memberikan larangan untuk mencuri, menganiaya, merampok, dan memperkosa, ia pun akan menghukum siapa saja, bahkan dirinya sendiri apabila melakukan tindakan tercela itu. Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa Ken Arok pada novel berlaku sebagai tokoh protagonis. Ini bertentangan terhadap tokoh Ken Arok pada naskah drama yang berlaku sebagai tokoh antagonis.

Baik Saini KM maupun Pramoedya, lewat tokoh Ken Arok ini keduanya hendak menyampaikan bentuk nilai kemanusiaan. Berhubung pada naskah drama Ken Arok sebagai tokoh antagonis, maka ia termasuk sebagai penyampai nilai amoral. Berbeda pada novel, Ken Arok sebagi tokoh protagonis maka ia sebagai penyampai nilai moral, nilai tenteng kebaikan. Ken Arok dalam naskah dramanya ia berlaku jahat dan akhirnya menerima pembalasan dari anak pungutnya Anusapati. Lain pada novelnya, Ken Arok berjuang demi kesejahteraan rakyat,

(26)

akhirnya menerima kemenangan dan kebahagiaan. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai yang hendak disampaikan adalah, bahwa; sekecil apapun kebaikan yang kita tanam, pasti akan kelihatan hasilnya. Sedikit saja kejahatan, pasti juga terungkap dan kalah (siapa yang menanam pasti juga akan memetik hasilnya).

b) Akuwu Tunggul Ametung dalam naskah drama sebagai tokoh protagonis sedangkan pada novelnya sebagai tokoh antagonis

Protagonis pada tokoh Tunggul Ametung, digambarkan oleh tokoh Lohgawe, bahwa Tunggul Ametung adalah seorang yang pantas menjadi raja. Ia pemimpin yang baik dan pantas untuk dihormati. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Tunggul Ametung : Saya belum dapat mengatakan apa-apa, Mamanda. Lohgawe : Ananda adalah pemimpin yang baik. Ananda sangat

berhati-hati. Mamanda sungguh hormat kepada Ananda. Darah raja-raja pasti mengalir di urat Ananda. Memang Ananda tidak usah menentukan sikap sekarang. Yang penting di antara kita sudah ada pengertian, dan Ananda sudah siap-siap untuk menghadapi perkembangan masalah ini.

Tunggul Ametung : Tapi Mamanda, menurut berita yang saya terima, akibat perbuatan-perbuatannya, Ken Arok itu dapat membahayakan Mamanda (Saini KM, 1990:36). Digamabarkan pada kutipan tersebut, bahwa Tunggul Ametung adalah sosok pemimpin yang baik. Sikapnya yang hati-hati dalam menyelesaikan permasalahan, membuat brahmana hormat padanya. Brahmana pun mengakui bahwa jiwa kepemimpinan Tunggul Ametung, telah ada padanya. Dari cara yang dilakukan Tunggul Ametung dalam menghadapi permasalahan, ia termasuk sebagai seorang yang bertanggung jawab. Ini membuktikan bahwa Tunggul Ametung sebagai tokoh baik, protagonis.

(27)

Berbeda pada novel Arok Dedes, Tunggul Ametung bukanlah seorang yang baik, dan sama sekali tidak pantas untuk dihormati. Tunggul Ametung oleh Pramoedya, digambarkan sebagai sosok pemimpin yang tidak dapat dijadikan teladan, karena sifat dan sikapnya buruk. Berikut penjelasan dalam kutipan.

“Akhir kelaknya saya akan menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa.”

Dan Tunggul Ametung hanya seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan, merampas. Bahkan membaca ia tak pernah, karena memang tidak bisa. Menulis apa lagi.

Dedes tak tahu lagi harus berbuat apa. Melawan ia tak mampu. Lari pun ia tak mampu. Meraung tidak mungkin (Toer, 2009:13).

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah Tunggul Ametung adalah seorang yang tidak pantas untuk diberi hormat. Ia memaksa, merampas, merusak, memerintah, membinasakan, hal tersebut tidak pantas ada pada diri seorang pemimpin. Terlebih Tunggul Ametung adalah seorang yang tidak pernah dan tidak dapat membaca, maka ia dapat dikatakan sebagai seorang yang bodoh. Dari segala watak dan perilakunya yang tercela itu, maka dapat disimpulkan bahwa Tunggul Ametung sebagai tokoh antagonis.

Saini KM menggmbarkan Tunggul Ametung sebagai tokoh protagonis, sedangkan Pramoedya menggambarkannya sebagai tokoh antagonis. Melalui tokoh Tunggul Ametung, baik pada naskah drama dan novel. Maka nilai kehidupan atau nilai positif yang dapat disimpulkan yaitu “kesalahan seseorang sekecil apapun akan mendapat balasannya”. Meskipun dalam naskah dramanya ia berlaku baik, tetapi sebagai manusia ia memiliki kesalahan yaitu melakukan tindakan penculikan dan menikahi paksa Ken Dedes. Akhirnya Tunggul Ametung mati di tangan Ken Arok.

(28)

c) Empu Gandring dalam naskah drama sebagai tokoh protagonis sedangkan pada novelnya sebagai tokoh antagonis

Empu Gandring dalam naskah drama digambarkan sebagai tokoh yang baik. Ia senang melihat kehidupan Ken Arok semakin membaik. Empu Gandring menasehati Ken Arok seperti dalam kutipan berikut.

Empu Gandring : Syukur. Kau sendiri, kudengar kau bekerja pada Akuwu Tumapel?

Ken Arok : Benar Mpu.

Empu Gandring : Bagus. Daripada hidup liar, tanpa masa depan yang jelas, lebih baik pilih hidup yang wajar. Kesempatan untuk maju bukannya tidak terbuka kalau kau hidup secara wajar (Saini KM, 1990:57).

Berdasarkan kutipan tersebut, tokoh Empu Gandring digambarkan sebagai tokoh pendukung tokoh sentral (Ken Arok). Tetapi tidak demikian pada novelnya, karena tokoh Empu Gandring berperan sebagai penentang dan sebagai penghalang perjuangan tokoh sentral. Dalam naskah drama, Empu Gandring adalah seorang yang licik yang menginginkan singgasana Tumapel, dan sikap manis yang ia berikan kepada Tunggul Ametung, hanya bohong belaka. Berikut dijelaskan dalam kutipan.

Kesulitan lain yang harus diselesaikan adalah Empu Gandring. Sebagaimana halnya dengan para sudra terkemuka, pada mereka timbul impian untuk naik menjadi akuwu, bahwa Tunggul Ametung sendiri seorang sudra telah memberanikan impian mereka, para tamtama, Empu Gandring sendiri, dan terutama satria Kebo Ijo. Semua mereka menghendaki singgasana Tumapel. Di antara semua itu yang dianggap paling berbahaya adalah Empu Gandring. Dialah penghasut pertama agar para tamtama ingkar pada Tunggul Ametung dan kemerosotannya. Yang memerosotkannya adalah perlawanan pemuda dan orang-orang tani yang dipimpinnya. Gandring ingin memetik buah hasilnya (Toer, 2009:4-460).

(29)

d) Ki Lembong dalam naskah drama sebagai tokoh antagonis sedangkan pada novelnya sebagai tokoh protagonis

Dalam naskah drama tokoh Ki Lembong memang tidak digambarkan secara detail. Hanya terdapat keterangan, bahwa ia adalah seorang pencuri yang telah menemukan bayi Ken Arok. Namun dari kutipan berikut, dapat disimpulkan bahwa Ki Lembong berlaku sebagai tokoh antagonis.

Empu Sridhara : Asal-usul Ken Arok tidak karuan Maharesi. Sebagai bayi ia ditemukan di kuburan lalu dipungut sebagai anak oleh seorang pencuri bernama Lembong, orang desa Pangkur. Ketika tumbuh menjadi anak-anak, ia mulai pandai mencuri dan berjudi. Tak ada ternak, barang atau uang yang aman dari tangannya yang panjang. Begitu parahnya ia keranjingan berjudi, hingga akhirnya ia tidak saja menghabiskan harta ayah-pungutnya, akan tetapi bahkan menjual kerbau milik majikannya. Ketika berangkat remaja, ia tidak saja mencuri, akan tetapi merampok dan lebih daripada perampok lain. Nyawa orang seperti tidak ada harganya baginya. Sedikit tersinggung ia cepat mencabut keris dan membunuh orang,...(Saini KM, 1990:30-).

Berdasarkan kutipan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Ki Lembong berperan sebagai tokoh antagonis. Perbuatannya tercela, karena seorang yang berprofesi sebagai pencuri, tidaklah dapat dikatakan sebagai seorang yang baik. Terlebih ia berperan sebagai figur seorang ayah yang tidak berhasil mendidik anaknya. Anak pungutnya; Ken Arok tumbuh dengan kepribadiannya yang tercela. Hal tersebut membuktikan bahwa Ki Lembong tidak dapat mendidik bahkan tidak menginginkan anaknya tumbuh menjadi seorang yang baik-baik.

Kehadiran tokoh Ki Lembong tidak mempengaruhi perkembangan alur atau timbulnya konflik. Ia hanya barfungsi sebagai penjelas asal-usul Ken Arok (tokoh sentral). Tetapi dari penggambarannya di dalam cerita, tokoh Ki Lembong

(30)

berfungsi pula sebagai penyampai pesan tentang nilai kehidupan. Ki Lembong sebagai gambaran figur orang tua yang salah dalam mendidik anaknya. Ia seorang pencuri memiliki anak sebagai seorang pencuri pula, bahkan lebik buruk dari itu. “Buah apabila jatuh itu tidak jauh dari pohonnya”. Ungkapan tersebut hanya sebagai perumpamaan untuk Ki Lembong dengan anaknya (Ken Arok).

Ki Lembong, oleh Pramooedya dimunculkan sebagai Ki Lembung dalam novelnya. Ki Lembung digambarkan sebagai seorang yang baik-baik. Ia bukan seorang pencuri melainkan hanya petani biasa yang memiliki kerbau. Pekerjaan mengurus kerbau menjadi hal yang harus dilakukan bagi seorang penggembala. Hal itu juga yang ia ajarkan kepada anak pungutnya. Ken Arok tumbuh menjadi anak yang penurut dan rajin membantu orang tuanya. Tokoh Ki Lembung diumpamakan sebagai figur penyayang, seorang ayah yang ideal bagi anaknya. Ia mau mengajarkan hal apa saja yang ia bisa kepada anaknya. Selain menggembala dan bertani, Ki Lembung juga mengajarkan tata cara menangkis dan menyerang. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Bayi itu diserahkan pada isterinya:

“Para dewa telah mengirimkan pada kita bayi lelaki yang seorang ini. Peliharalah ia sebagai anak sendiri.”

Arok tidak pernah tidak merasa berterimakasih bila mengenangkan suami-isteri di Randu Alas itu. Merekalah yang membesarkannya tanpa pamrih. Menginjak umur enam tahun ia sudah terbiasa bergaul dengan kerbau, memandikan dan menggembalakan, menggiringnya ke sawah dengan Ki Lembung memikul garu atau luku, di belakangnya.

...

Ki Lembung! Seorang Bapak yang berwibawa dan pengasih itu. Daripadanya ia mendapatkan cara menangkis dan menyerang, dengan tongkat, kemudian pun dengan senjata tajam. Betapa ia hormat padanya. Ki Lembung adalah juga gurunya yang pertama (Toer, 2009:92-94).

(31)

e) Bango Samparan dalam naskah drama sebagai tokoh antagonis sedangkan pada novelnya sebagai tokoh protagonis

Ayah pungut Ken Arok yang kedua setelah Ki Lembong, adalah Bango Samparan. Saini KM menggambarkan Bango Samparan sebagai tokoh antagonis, karena ia berperan sebagai seorang yang melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu menjadi penjudi. Ia selalu mendukung atau mengembangkan perjudian dan rumah hiburan. Berikut dijelaskan dalam kutipan.

Bango Samparan : Perkiraanmu tepat, Arok. Ken Arok : Perkiraan apa?

Bango Samparan : Perjudian keliling itu berhasil baik. Ken Arok : Perjudian keliling yang mana?

Bango Samparan : Wah, kau lupa, rupanya. Dulu ketika rumah-rumah judi penghasilannya berkurang, kau menyarankan agar kita mengadakan perjudian di tempat-tempat panen, baik panen buah-buahan, padi ataupun ikan. Bahkan kau menyarankan diadakan perjudian di tempat penjualan hasil hutan. Ternyata hasilnya bagus.

Ken Arok : Syukur. Bagaimana dengan rumah-rumah hiburan? (Saini KM, 1990:78).

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah bahwa Bango Samparan seorang yang hanya mementingkan kesejahteraannya dengan Ken Arok, kepentingan untuk hal yang tidak baik. Hal tersebut berbeda dengan karakter tokoh Bango Samparan yang ada pada novelnya. Meskipun Bango Samparan juga sebagai penjudi, namun ia seorang penyayang dan perduli terhadap kebutuhan pendidikan anak-anak. Berikut penjelasan dalam kutipan.

Pada suatu sore yang suram dengan gerimis tipis datang ke perguruan Tantripala dua orang bocah, Temu dan Tanca. Guru itu bertanya:

“Siapa yang menyuruh kalian belajar kemari?” “Bapak Bango Samparan”

(32)

Siapa tidak mengenal nama Bango Samparan? Seorang penjudi yang lebih sering ditemukan di tempat perjudian daripada di rumah? Seorang penjudi yang mengirimkan bocah-bocah untuk belajar! (Toer, 2009:70).

f) Kebo Ijo dalam naskah drama sebagai tokoh protagonis sedangkan pada novelnya sebagai tokoh antagonis

Dalam naskah drama tokoh Kebo Ijo berperan sebagai pengawal Tunggul Ametung dan berfungsi sebagai korban terhadap perjuangan yang dilakukan oleh tokoh sentral (Ken Arok). Ia difitnah sebagai pembunuh Akuwu Tunggul Ametung. Kebo Ijo ini seorang yang baik-baik. Ia patuh dan menerima perintah atau putusan dari atasan (Akuwunya). Ia juga seorang yang lebih mengutamakan kepentingan kerajaan daripada kepentingan pribadinya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Lohgawe : Begini, Perwira. Dalam tawar menawar kami dengan Ken Arok, telah disetujui bahwa hanya setengah dari anak buah Ken Arok akan dijadikan pengawal Akuwu. Akan tetapi Ken Arok menyetujui usul itu dengan syarat, yaitu bahwa dia diangkat menjadi kepala pengawal. Artinya, kau menjadi wakilnya. Kebo Ijo : Saya tidak melihat masalah apapun dalam hal itu,

Mamanda.

Lohgawe : Kau benar-benar perwira yang mendahulukan kerajaan daripada dirimu, Perwira.

Tunggul Ametung : Tidakkah kau punya gagasan lain yang dapat kami pertimbangkan untuk diusulkan kepada Ken Arok? Kebo Ijo : Maksud Akuwu?

Tunggul Ametung : Misalnya, kau tetap jadi Kepala Pengawal sedang Ken Arok mendapat tambahan penghargaan dalam bentuk barang atau uang.

Kebo Ijo : Saya benar-benar tidak berkeberatan jadi wakilnya, Akuwu.

Tunggul Ametung : Syukurlah kalau begitu.

Lohgawe : Syukurlah, Perwira. Kau benar-benar ksatrya yang setia kepada dharma. Kami, kaum brahmana, harus berterimakasih kepadamu dan kepada tuanmu, Akuwu Tunggul Ametung (Saini KM, 1990:47-48).

(33)

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah bahwa tokoh Kebo Ijo merupakan seorang perwira yang patuh terhadap Tunggul Ametung. Meskipun jabatannya harus diserahkan kepada Ken Arok, tetapi ia seperti tidak menaruh rasa benci sedikit pun kepadanya. Akan tetapi sikap patuh dan rela yang dimiliki oleh Kebo Ijo tersebut sama sekali tidak digambarkan pada tokoh Kebo Ijo dalam novelnya. Di dalam novel, tokoh Kebo Ijo dimunculkan sebagai tokoh antagonis. Ia bukanlah seorang perwira yang patuh kepada Akuwu, tetapi sebaliknya. Kebo Ijo ini adalah seorang tamtama Tumapel yang berkhianat kepada Akuwunya. Justru menggulingkan atau membunuh Akuwu adalah salah satu rencana busuknya bersama Empu Gandring. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.

Seperti anjing mendekati tuannya yang membawa tongkat pemukul Kebo Ijo datang kepada Empu Gandring untuk mengadukan halnya.

“Tuan tidak pernah menceritakan sebelumnya, tegur Empu Gandring, “kalau telah bunuh Kidang Gumelar dari belakang. Perbuatan terkutuk itu yang menggagalkan semua rencana. Mengapa hanya seorang Kidang tanpa arti Tuan binasakan? Bukankah rencana semula Tunggul Ametung sendiri dan Arok? Kemudian menyerbu ke pendulangan emas Kediri. (Toer, 2009: 441).”

Dijelaskan pada kutipan tersebut, bahwa Kebo Ijo berniat menggulingkan Tunggul Ametung, Ken Arok juga Kediri. Semua yang ia lakukan semata-mata untuk dapat menguasai singgasana, menginginkan menjadi Akuwu bahkan raja Kediri. Kehadiran tokoh Kebo Ijo dalam novel berfungsi sebagai penghalang tokoh sentral dalam berjuang. Selain itu tokoh ini juga digunakan oleh tokoh sentral (Ken Arok) sebagai korban dalam mencapai tujuannya.

(34)

2. Penokohan

Penokohan yang digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arok Dedes, pada dasarnya memang lebih detail dibanding pemaparan penokohan pada naskah drama Ken Arok oleh Saini KM. Hal tersebut dikarenakan, karakter atau watak yang dijelaskan dalam sebuah novel dapat secara langsung diungkapkan oleh pengarang. Namun lain halnya dengan naskah drama, harus menghayati secara penuh terhadap dialog, baru akan diketahui karakter tokoh yang ingin disampaikan oleh pengarang. Hal-hal yang melekat pada seorang tokoh dapat dijadikan sumber data, guna membuka makna dalam naskah drama secara keseluruhan. Hal melekat yang dimaksud adalah persoalan nama, peran, keadaan fisik, keadaan psikis, dan keadaan sosialnya. Tetapi sebelum membahas lebih jauh tentang persamaan dan pertentangan penokohan, maka terlebih dahulu akan dipaparkan penokohan masing-masing tokoh, baik pada naskah drama Ken Arok mupun pada novel Arok Dedes dengan menggunakan tabel. Berikut pemaparan penokohan berdasarkan fisik, psikis, dan sosialnya.

(35)

a. Penokohan dalam naskah drama Ken Arok karya Saini KM

Tabel 3

Karakteristik tokoh dalam naskah drama Ken Arok karya Saini KM

No. Tokoh Ciri-ciri Tokoh

Fisik Psikis Sosial

1. Ken Arok Seorang lelaki dengan keadaan tubuh yang kuat seperti seekor harimau (h.15).

Penjahat yang luar biasa; nekad, kejam, egois dan tidak pernah mau mengalah. Ken Arok lihai dalam merampok khususnya dalam menyiasati lawan, fillingnya pun tajam (h.15-17), dan suka memaksa (h.68-70). Pemuda yang suka berjudi, mencuri, membunuh dan memperkosa gadis ini, otaknya memang licik atau licin (h.30-31). Ia seorang pemberani, namun memiliki sifat pamrih, melakukan sesuatu asalkan menguntungkan baginya (h.42-43), optimis dan pandai berpura-pura (h.44, 52, 61, 80).

Seorang ksatrya. Entah anak siapa, hanya saja diceritakan bahwa Ki Lembong (h.63) dan Ki Bango Samparan yang telah menjadi ayah angkatnya (h.31). Namun setelah tumbangnyaTunggul Ametung ia menggantikannya dengan mengubah Tumapel menjadi Singasari (h.70).

2. Tunggul Ametung

Seorang laki-laki dari kaum Kstrya.

Ia seorang yang baik-baik, bertanggung jawab; menebus kesalahan dengan menghormati mertuanya (h.31), sikapnya lebih hati-hati, hormat pada kaum brahmana(h.36) dan ia termasuk pemimpin yang bijaksana (h.46). kepercayaannya kepada Sang Bathara; berdoa dan membakar dupa (h.35,37).

Seorang Akuwu Tumapel, dibawah pemerintahan raja Kertajaya di Kediri.

(36)

3. Empu Purwa Seorang laki-laki yang sudah tua, Anusapati memanggilnya dengan sebutan “Kakenda” (h.91) .

Baik dan terpelajar, ia beranggapan bahwa tak berhak membalas kejahatan dengan kejahatan, hanya kebaikanlah yang menyudahkan kejahatan. Kematian Tunggul Ametung pun baginya adalah kesalahannya sendiri, penculikan yang dilakukan terhadap anaknya Ken Dedes, menyebabkan ia membenci Tunggul Ametung (h.93). Meskipun begitu, menjadi seorang bawahan ia tetap patuh kepada Kertajaya (h. 34).

Ayah Ken Dedes. Seorang brahmana(pendeta) (h.11), yang terpelajar (h. 93).

4. Lohgawe Laki-laki tua, seorang Maharesi.

Terhormat, orang yang dapat di

percaya, tabah, dan bijaksana (h.26-35), selain itu ia juga peduli kepada rakyat (h.36)

Kaum brahmana (pendeta) yang datang dari Jambudwipa, menjadi ayah angkat Ken Arok (guru) (h.12). Ia adalah seorang yang pandai dalam kitab (h.52). 5. Ken Dedes Seorang perempuan dengan

betisnya yang indah (h.53).

Memiliki sikap sopan dan santun, dan mengharagi terhadap sesama, terlebih kepada kaum brahmana (h.37). Ia lebih senang sembahyang dan tidak menyukai kebiasaan Arok (h.81).

Seorang ratu dan istri dari Tunggul Ametung. Ia diculik dari ayahnya Mpu Purwa (h.31). Setelah kematian Tunggul Ametung ia dipaksa untuk menikah dengan Ken Arok (h.69).

6. Ken Umang Seorang perempuan yang kurang montok (h.81).

Tidak suka dengan kebiasaan Ken Arok, seperti berjudi dan mabuk-mabukan, namun sayang terhadap suaminya itu (h.81).

(37)

7. Kebo Ijo Seorang laki-laki, dari kaum ksatrya.

Baik. Patuh pada Tunggul Ametung, tidak egois dan perhatian (h.47-48).

Kaum ksatria, seorang kepala pengawal yang di gantikan oleh Arok, ia

menerima atas keputusan Akuwunya untuk di jadikan wakil dari Arok. Kebo Ijo adalah seorang yang setia pada dharma, dan patuh pada peraturan (h.47-48).

8. Ki Lembong Seorang laki-laki. Arok

menyebutnya Paman Lembong (h.63)

Kelakuannya buruk, tidak baik dalam mendidik anak (h.30).

Seorang pencuri yang menemukan bayi Arok, karena kebetulan ia tidak

memiliki anak (h.30). 9. Bango

Samparan

Seorang laki-laki. Kelakuannya buruk, selalu berpihak dan menuruti Ken Arok (h.78), tapi

menghormati kaum brahmana (h.39).

Ayah angkat kedua Ken Arok dan seorang bandar judi

10. Kertajaya Laki-laki, seorang raja. Dengan sebutan Gusti Prabu (h. 22)

Berwatak keras, bertindak sewenang-wenang (h.22). Wataknya sombong dan hanya takut kepada Bethara Guru

(h.23). Tindakannya kelewatan seperti menggerogoti wibawa kaum brahmana (h.29). Sebagai pemimpin ia hanya tidak mau kehilangan muka dan mementingkan kekayaannya sendiri, dengan menerima aliran pajak dari rakyat (h.33)

Penguasa kerajaan Kediri, seorang Gusti Prabu

11. Empu Gandring

Seorang laki-laki tua (h.60). Baik. Bertanggungjawab. Senang melihat Arok hidupnya di Tumapel lebih baik dan terarah (h.57).

Seorang pande besi dan piawai membuat keris (h.57).

(38)

12. Tita - Percaya dan setia kepada Ken Arok tetapi ia tidak dapat mengetahui pikiran dan rencana Ken Arok (h.62-63).

Anak seorang Kepala Desa di

Siganggeng (h.57). Sahabat baik Ken Arok, baik dalam merampok maupun setelah Arok menjadi raja Singasari (h.63,80).

13. Anusapati Seorang remaja laki-laki menuju dewasa, umurnya mendekati 18 tahun (h.78).

Baik, tidak suka kejahatan. Ia pemuda yang teladan, penyayang, sopan dan santun, tekun belajar, bijaksana (h.88), melakukan segala sesuatunya dengan penuh pertimbangan (h.92). Ia perduli terghadap rakyat kecil (h.95).

Seorang anak raja (Raden). Anak kandung dari Tunggul Ametung dan menjadi anak pungut Ken Arok.

14. Empu Pamor

Seorang laki-laki, dengan julukan brahmana

Pikirannya ragu-ragu, cemas (h.26,45,48).

Pendeta Kerajaan Kediri yang

mengasingkan diri ke Panawijen (h.12). 15. Empu

Sridhara

Seorang laki-laki, dengan julukan brahmana

Tabah (h.35). Optimis dan yakin bahwa perangkap untuk Ken Arok benar dan akan berhasil (h.45).

Pendeta Kerajaan Kediri yang

mengasingkan diri ke Tumapel (h.12). 16. Mahisa

Taruna

- Patuh kepada Kertajaya, namun yakin pada kehendak Tuhan, dan patuh juga kepada kaum brahmana (h.25).

Seorang perwira dalam pasukan Kediri (h.12).

17. Mahisa Walungan

- Patuh kepada Kertajaya, namun ia juga baik karena ia tidak mau melihat rakyat Tumapel menderita (h.25).

Adik dari panglima pasukan Kediri (h.12).

18. Gubar Baleman

- Patuh kepada Kertajaya, tapi ia berada dipihak Mahisa Walungan (h.25).

Panglima pasukan Kediri (h.12). 19. Empu

Narayana

- Patuh kepada kertajaya dan

menganggap Lohgawe biang keladi dari pembunuhan Tunggul Ametung,

menganggap bahwa kaum brahmana pantas dibunuh. Ia juga khawatir ketika Kertajaya tewas (h.73-77).

Menteri Kertajaya dari kerajaan Kediri (h.12).

(39)

20. Empu Aditya

Seorang laki-laki, dengan sebutan Mpu

Patuh kepada Kertajaya, sepakat pada Empu Narayana dan tidak suka rakyat Tumapel dibebaskan dari pajak-pajak. Ia juga khawatir ketika Kertajaya tewas (h.73-77).

Menteri Kertajaya dari kerajaan Kediri (h.12).

21. Punta - Patuh pada pangeran Anusapati. Suka

mengejek dan sok pinter (h.85).

Seorang Punakawan, yang mengabdi pada Anusapati (h.12,88).

22. Prasanta Seorang laki-laki, yang punya isteri (h. 87)

Patuh pada pangeran Anusapati. Cerewet, tidak jujur, suka menipu, dan tidak tahu sopan santun, curang kepada Punta (h.89).

Seorang Punakawan, yang mengabdi pada Anusapati (h.12,88).

23. Juru Deh - Patuh pada pangeran Anusapati. Suka

tidur, tidak mau ikut campur urusan Punta dan Prasanta (h.84).

Seorang Punakawan, yang mengabdi pada Anusapati (h.12,88).

24. Emban Seorang Perempuan, dengan panggilannya „Mbok‟ (h. 89).

Sopan dan perhatian. Pelayan di Panawijen (h.88). 25. Orang

Desa Batil

Seorang laki-laki. Patuh pada pangeran Anusapati, sopan dan pemberani (h.95).

Ia adalah salah satu wakil dari desanya yang sedang dilanda keprihatinan karena kelakuan dari ken Arok (h.95).

(40)

b. Penokohan dalam novel Arok Dedes

Tabel 4

Penokohan dalam novel Arok Dedes

No. Tokoh Penokohan

Fisik Psikis Sosial

1. Ken Arok Seorang pemuda dengan umur mendekati dua puluh tahun (h.232),tubuhnya kukuh dan sehat (h.17), bahunya bidang (h.166), serta memiliki otot dan paru-paru yang kuat (h.72). Matanya tajam jernih memancar seperti bukan sembarang mata (h.71,74), parang pada pinggang menjadi bagian dari tubuhnya (h.167),

mengenakan kalung perak pada lehernya dengan gambar dudul hamsa, garuda dan nandi (h.24).

Selalu patuh pada kebaikan (h.168). Ia seorang yang pemberani atau nekad, tanpa kegentaran (h.17) . Kegesitan, kekuatan, kecerdasan dan kekukuhan menyebabkan ia hampir selalu keluar sebagai pemenang dalam permainan dan perkelahian (h.93). Penyayang (h.77, 284), tahu balas budi (h.75), dan bersikap sopan santun (h.79,81). Ia pemuda terdidik, dan semangat belajarnya pun tinggi(h.71). Selalu melakukan sesuatu dengan segala perencanaan dan pertimbangan (h.97). Ken Arok bersikap berpura-pura (h.321) ahli dalam membuat siasat untuk

menyerang musuh dalam peperangan yang di sandiwarakannya , dengan satu harapan dan tujuan yaitu

menggulingkan Tunggul Ametung demi kesejahteraan rakyat (h.347). Ia juga pemuda yang cakap, pandai dan bijaksana (h.548).

Seorang Syiwa. Waktu bayi ditemukan oleh Ki Lembung (h.91), ketika tumbuh dewasa diangkat anak oleh Ki Bango Samparan (h.74), dan setelah dewasa ia berguru pada Tantripala dan di

lanjutkan kepada Lohgawe (h.81-86). Semangat belajarnya tinggi. Ia

menguasai bait Mahabarata dan Ramayana, juga fasih Sansekerta (h.208). Ken Arok dipercaya oleh kaum brahmana dan rakyat Tumapel untuk menumpas kejahatan (h.213). Akhirnya ia menjadi Akuwu dan bersanding dengan kedua istrinya (h. 548)

(41)

2. Tunggul Ametung

Seorang laki-laki, berwajah bulat (h.30) dengan muka bopeng bekas jerawat besar, dada dan dua belah tanganya berbulu (h.14). Umurnya kurang lebih lima puluh tahun berhidung pesek, berpipi tebal, matanya besar dan bulat (h.29). Matanya besar dan bulat dengan lingkaran kuning yang luas tidak bersinar pula dan ia berkumis (h.116). Orangnya menakutkan, berkeroncong binggal berkepala naga bermata intan, dan pada lehernya

berkalung serba emas (h.108-109). Hidungnya lengkung ke dalam tulang pipinya terlalu tinggi sehingga membuat rongga mata nampak dalam (h.323), mulutnya agak lebar dan

mukanya agak lebar pula (h.325).

Selama dua puluh tahun memerintah, pekerjaan pokoknya adalah melakukan perampasan kepada rakyat Tumapel: kuda terbaik, burung terbaik, perawan tercantik (h.3). Tunggul Ametung seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan, merampas, bahkan membaca ia tak pernah, karena memang tidak bisa, menulis apalagi (h.13). Perangainya sombong (h.114) dan tidak pernah menghormati kaum brahmana (h.319). Ia seorang yang jahat, telah memusuhi Hyang Syiwa (h.106) dan hanya takluk kepada Kediri (h.225). Seorang

pemimpin yang terlalu banyak mengurus dirinya sendiri (h.254).

Seorang Sudra yang disatryakan (h.11), tak sedikit pun darah Hindu dalam dirinya (h.325). Kertajayalah yang memilihnya menjadi Akuwu Tumapel (h.224).

3. Empu Purwa

Seorang laki-laki, Ayah Dedes. Penyayang terutama kepada Ken Dedes. Mengharapkan jatuhnya Tunggul

Ametung (h.107).

Salah satu kaum brahmana yang terpelajar (h.11), berilmu,

berpengetahuan, dan berbakat (h.36). 4. Lohgawe Seorang lelaki yang sudah tua dan

keriput, dan seorang Empu (h.61).

“Dengan tegas mengaku tidak suka pada Sri Baginda Kertajaya, apalagi akuwunya di Tumapel, Tunggul Ametung (2009:64)”. Seorang

“Pribadinya tak jera-jera bekerja demi kemuliaan Hyang Syiwa. Juga untuk ketinggian ilmu yang dikuasainya”. Lohgawe adalah seorang brahmana

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan struktur yang membangun dalam naskah drama “Nyai Ontosoroh”, (2) mendeskripsikan aspek- aspek sosial yang terkandung dalam

Tujuan penelitian yang ingin diperoleh adalah mendeskripsikan struktur yang membangun dalam naskah drama Nyai Ontosoroh, mendeskripsikan aspek- aspek sosial yang terkandung

Peneliti belum menemukan peneliti lain yang mengkaji kedua naskah ini dengan judul sama yaitu “Konflik Sosial dalam Naskah Drama berjudul Petang di Taman karya

Selain itu, terdapat juga analisis struktural naskah drama monolog Surat Kepada Setan karya Putu Wijaya, bentuk kritik sosial yang ditemukan dalam naskah drama monolog tersebut,

Kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu; (1) Latar belakang sosial budaya pengarang novel Arok Dedes, yaitu Pramudya Ananta Toer merupakan sastrawan yang masih

Penelitian ini bertujuan (1) mendiskripsikan latar sosial pengarang naskah drama Jalu; (2) mendeskripsikan masalah-masalah sosial dalam naskah drama Jalu karya

Kemudian ditemukan juga sosiologi pembaca karya yang diwakili masarakat sastra yang menerangkan bahwa naskah drama Tarung merupakan naskah yang penuh dengan kritik

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah drama Barabah karya Motinggo Busye, kumpulan novel Nyonya dan Nyonya karya Motinggo Busye,