• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengamalan Tarekat 1. Pengertian Tarekat

Tarekat berasal dari kata thariq yang berarti jalan, metode, cara (Ahmad Zuhri Mudhor, 1993: 1231) dimaknai sebagai cara atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan yang ditentukan. Pengertian lain dari tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai (Abu bakar, 1996:67)

Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna. Jika pada mulanya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah maka pada tahap selanjutnya istilah tarekat digunakan untuk menunjukan pada suatu metode psikologis yang dilakukan oleh guru tasawuf

(mursyid) kepada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam, melalui metode psikologis tersebut, murid dilatih mengamalkan syariat dan latihan-latihan keruhanian secara ketat sehingga ia mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan (Huda, 2008:62).

Tarekat juga berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan

(maqamat) dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui cara ini seorang sufi dapat mencapai tujuan peleburan diri dengan NYATA (fana fi al-haq). Mengikuti suatu tarekat berarti melakukan olah batin, latihan-latihan (riyadah), dan perjuangan yang sungguh-sungguh (mujahadah) di bidang kerohanian. Mengikuti tarekat juga berarti membersihkan diri dari sifat mengagumi diri sendiri (ujub),

sombong (takabur), ingin dipuji orang lain (riya’), cinta dunia dan sejenisnya. Tarekat harus ikhlas, rendah hati (tawadu’), berserah diri (tawakal) dan rela (ridha)

(Jamil, 2005:48).

Dalam konteks tasawuf, tarekat adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut

syar’, sedang anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa pada dasarnya, menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum ilahi (syariat), tempat berpijak bagi setiap muslim (Schimmel, 1986:101).

Definisi di atas mengisyaratkan bahwa antara tarekat dan syariat ada keterkaitan yang erat. Syariat merupakan aturan atau hukum, sedang tarekat merupakan cara untuk melaksanakan aturan dan hukum. Tarekat merupakan cara bagi orang-orang yang menjalankan laku mistis atau tasawuf untuk mencapai tujuan utamanya, yakni memperoleh cita makrifatpada alam gaib dan mendapatkan penghayatan langsung pada dzat Allah atau al-Haq (Fathurahman, 1999:67).

Pada mulanya tarekat dilakukan oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individu maupun kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini sudah dimulai sejak zaman Al-Hallaj (858-922). Selanjutnya praktek-praktek pengajaran semacam itu dilakukan pula oleh sufi-sufi besar lain. Dengan demikian, timbullah dalam sejarah Islam

kumpulan-kumpulan sufi yang mempunyai sufi tertentu sebagai syekh nya dengan tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid (Jamil, 2005:49).

Dilihat dari ortodoks Islam, ada tarekat yang dipandang sah (mu’tabaroh) dan ada pula tarekat yang dianggap tidak sah (ghairu mu’tabaroh). Suatu tarekat dikatan sah jika memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara syariat. Sebaliknya, jika suatu tarekat tidak memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran tarekat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syariat maka ia dianggap tidak memiliki dasar keabsahan dan oleh karenanya disebut tarekat yang tidak sah ( Huda,2008:63).

2. Tujuan Tarekat

Menurut Syeikh Najmuddin Al-Kubra yang di kutip dalam bukunya Abu Bakar (1996:71), sebagai tersebut dalam kitab Jami’ul Auliya’ mengatakan, syariat itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan makrifat itu merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syariat dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa nafsu, pada hakikat bersih dari hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai makrifat terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syariat saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. Ia memperbandingkan syariat itu dengan sampan, tarekat itu lautan, hakikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapal dan laut.

Sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan zikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, jalan melalui kekayaan, jalan membersihkan jiwa dari

kebimbangan dunia akan kethama‟an hawa nafsu, semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syariat dan sunnah Nabi. Dalam hal ini Al- Junaidi

memperingatkan: “Semua tarekat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasulnya (Aceh, 1993:72)

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari tarekat sebenarnya adalah jalan untuk menuju kepada keridhoan Allah dengan cara mengamalkan syariat untuk kemudian mensucikan hati dengan mengikuti tarekat sehingga akan menemukan hakikat sebenarnya dari ajaran agama Islam, dan disinilah seorang hamba Allah akan mengerti tujuan dari hidupyaitu hanya Allah.

3. Macam-macam Tarekat

Perkembangan tasawuf yang begitu berpengaruh di dunia Islam telah melahirkan sejumlah tarekatyang tersebar di seluruh penjuru negeri ini, tarekat-tarekat tersebut ada yang sudah diakui keberadaannya dan ada yang belum diakui keberadaannya. Adapun tarekatyang sudah diakui keberadaannya disebut Tarekatmu’tabaroh diantaranya adalah sebagai berikut:

Dr. Syeikh H. Jalaluddin menerangkan ada 41 macam Tarekatmu‟tabaroh yaitu Qodiriyah, Naqsabandiyah, Syaziliyah, Rifa’iyah, Ahmadiyah, Dasukiyah, Akbariah, Maulawiyah, Qurobiyah, Suhrowadiyah, Khalwatiyah, Jalutiyah, Bakdasiyah, Ghozaliyah, Rumiyyah, Jastiyyah, Sya’baniyah, ‘Alawiyah, ‘Usyaqiyyah, Bakriyah, Umariyah, Usmaniyah, ‘Aliyyah, Abbasiyah, Haddadiyah, Maghribiyyah, Ghoibiyyah, Hadiriyyah, Syattariyyah, Bayyumiyah(Abu Bakar Aceh, 1993: 303).

Diantara nama tarekat yang ada dan berkembang di dunia Islam, nama Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di Indonesia (Bruinessen, 1994:34).

4. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang berkembang di Indonesia adalah merupakan suatu gabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan

bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru yang berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Tarekat Qodiriyah dan juga Tarekat Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi suatu yang baru.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah adalah didirikan oleh seorang tokoh asal

Indonesia Ahmad Khatib ibn „Abd Al-Ghaffar Sambas atau dikenal sebagai Ahmad al-Sambasi (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis Kitab Fath al-‘Arifin. Dia berasal dari Sambas Kalimantan Barat yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad sembilan belas ( Bruinessen, 1992 : 89-90).

5. Ajaran-ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Tujuan utama mempelajari dan mengamalkan tarekat adalah mengetahui perihal nafsu dan sifat-sifatnya, baik nafsu yang tercela (mazmumah) maupun nafsu yang terpuji (mahmudah). Sifat nafsu yang tercela harus dijauhi dan sifat yang terpuji setelah diketahui maka dilaksanakan (Jamil, 2005:59).

Tarekat berupaya mengendalikan nafsu tercela dengan melatih nafsu terpuji. Untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah, namun demikian untuk mencapai kedekatan kepada Allah itu, para pelaku tarekat harus menempuh perjalanan panjang. Rumusan mengenai tahapan-tahapan perjalanan rohani antara satu tarekat memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk satu tarekat tertentu kadang juga merupakan gabungan dua atau lebih ajaran unsur tarekat (Jamil,2005:61).

Sebagaimana yang tetulis dalam buku Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam, disebutkan empat macam tujuan dari Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah meliputi; pertama; Taqarrub ilallah, mendekatkan kepada Allah dengan jalan zikirullah. Kedua; Menuju jalan mardhatillah. Yaitu jalan yang diridhai Allah SWT. Ketiga; Kemakrifatan(al-makrifat)yaitu melihat tuhan dengan mata hati.

Tarekat berupaya untuk mengendalikan nafsu tercela manusia salah satunya dengan cara menggunakan atau mengisi waktu-waktu luang untuk senantiasa selalu mengingat Allah Swt. Sehingga dengan demikian manusia jarang mempunyai peluang

untuk berbuat hal yang dipandang jelek oleh agama. Namun demikian untuk

mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan, pelaku tarekat harus menempuh perjalanan panjang demi mencari tujuan mereka.

Secara garis besar metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut adalah:

a. Takhali

Takhali berarti mengkosongkan atau membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Yaitu menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu.

Takhali sebagai langkah awal menuju manusia yang berkepribadian utuh dilengkapi dengan sikap terbuka. Artinya, orang yang bersangkutan menyadari betapa buruknya sifat-sifat yang ada pada dirinya, kemudian timbul kesadaran untuk membrantas dan menghilangkan. Apabila ini bisa dilakukan, maka akan tampil pribadi yang bersih dari sifat madzmumah (Syukur, 2002:115).

b. Tahalli

Tahalli berarti berhias. Maksudnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji. Pada tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas

ketentuan agama, baik yang bersifat “luar” maupun yang bersikap “dalam”. Yang

shalat, puasa, zakat, dan haji. Adapun aspek “dalam” seperti iman, ketaatan, dan

kecintaan kepada Allah swt. (Aceh, 1993:193).

c. Tajalli

Tajalli bermakna pencerahan atau penyingkapan. Dalam tasawuf tajalliyaitu sampainya Nur Ilahi dalam hati. Dalam keadaan demikian seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang haq dan mana yang batil. Dan secara khusus tajalliberarti makrifatullah, melihat Tuhan dengan mata hati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb (Syukur, 2002:115).

6. Ritual-ritual dalam Tarekat

Ada beberapa bentuk upacara ritual dalam Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai sebuah jam’iyyah yaitu : pembai’atan, khataman, dan

manaqiban. Ketiga bentuk upacara ritual dalam Tarekatini dilaksanakan oleh semua

kemursyidan yang ada di Indonesia, dengan prosesi kurang lebih sama. Tapi dalam istilah nama kegiatan tesebut kadang berbeda, Seperti dalam pembai’atan, ada

kemursyidan mereka menyebutnya dengan penalqinan. Demikian pula khataman,

ada yang menyebutnya dengan istilah tawajjuhan. Tetapi perbedaan itu sama sekali tidak membedakan isi dan makna kegiatan tersebut.

a. Pembai‟atan

Baiat adalah sumpah atau pernyataan kesetiaan yang diucapkan oleh seorang murid kepada guru mursyid sebagai simbol penyucian serta keabsahan seseorang mengamalkan ilmu tarekat. Jadi baiat menjadi semacam upacara sakral yang harus dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengamalkan tarekat (Jamil, 2005 : 64)

Baiat ini dilakukan oleh orang yang hendak mengamalkan tarekat, jadi pada dasarnya setiap orang yang ingin memasuki dunia tarekat maka hal yang paling mula ia lakukan adalah baiat.

b. Manaqiban

Upacara ritual yang menjadi tradisi dalam TarekatQodiriyah wa Naqsyabandiyah yang tidak kalah pentingnya adalah manaqiban. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata manaqib (bahasa Arab), yang berarti biografi ditambah dengan akhiran: -an, menjadi manaqiban sebagai istilah yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi), syekh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri Tarekat Qodiriyah, dan seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia.

Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi: silsilah nasab Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, sejarah hidupnya, akhlak dan karamah-karamahnya, di samping adanya doa-doa bersajak (nadaman, bahr dan rajaz) yang bermuatan pujian dan

tawassul melalui dirinya. Pengakuan akan kekuatan magis dan mistis dalam ritual manaqiban ini karena adanya keyakinan bahwa syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah qutb al-auliya’ yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah (pengaruh mistis dan spiritual) dalam kehidupan seseorang.

c. Khataman

Kegiatan ini merupakan upacara ritual yang biasanya dilaksanakan secara rutin di semua cabang kemursyidan. Ada yang menyelenggarakan sebagai kegiatan mingguan, tetapi banyak juga yang menyelenggarakan kegiatannya sebagai kegiatan bulanan, dan selapanan (35 hari).

Dari segi tujuannya, khataman merupakan kegiatan individual, yakni amalan tertentu yang harus dikerjakan oleh seorang murid yang telah mengkhatamkan tarbiyat Zikir lathaif. Dan khataman sebagai suatu ritus (upacara

sakral) dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban dalam semua tingkatan Zikir

lathaif (Jamil, 2005:64).

7. Amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah adalah termasuk tarekat zikir. Sehingga zikir menjadi ciri khas yang harus ada dalam tarekat. Dalam suatu tarekat, zikir dilakukan secara terus menerus (istiqomah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadah al-nafs) agar seorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan.

Penyebutan zikir dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah terdapat dua jenis zikir, yaitu zikir nafi isbat dan zikir ismu zat.

Zikir nafi isbat adalah zikir kepada Allah dengan menyebut kalimat laa ilaaha illa Allaah. Dilakukan dengan gerakan-gerakan simbolis sebagai sarana penyucian jiwa, yaitu membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh nafsu yang buruk. Zikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qodiriyah yang diucapkan secara jahr (dengan suara keras).

Zikir ismu zat adalah zikir kepada Allah dengan menyebut kalimat Allah secara sirr (dalam hati). Zikir ini juga disebut zikir latifah yang dapat mengaktifkan kelembutan-kelembutan rohani yang ada dalam diri manusia. Zikir ini merupakan ciri khas dari Tarekat Naqsabandiyah.

Sedangkan Bruinessen mengutip dalam kitab Fath al Arifin amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dijelaskan sebagai berikut:

“Membaca istigfar sekurang-kurangnya dua kali atau dua puluh kali dengan mengucapkan astagfir Allah al-ghafur ar-rahim, kemudian membaca shalawat

Allahuma shali ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala alaihi wa sahbihi wa sallam, kemudian zikir la ilaha illa allah seratus enam puluh kali setiap selesai mengerjakan Shalat lima waktu. Setelah selesai zikir membaca shalawat Allahuma shalla ‘alasayyidina muhammad shalat tanajina biha min

jami’al-ahwat wa al-afat, kemudian membaca alfatihah kepada sayyidina Rosullah SAW, sahabatnya, sekalian masyayikh ahl al-silsilah Al-qodiriyah wa Naqsyabandiyah khususan Sayyidina Syeikh Abd-Qadir Al-Jilani wa sayyidina al syeikh junaidi al-baghdadi wa syeikh khatib sambaswa abna‟ ina

wa umahatina wa ikhwanina al-muslimin walmuslimat wa al mukminina wa al mukminat al-ihya minhum wa al-amwat wa al- salam (Bruinessen, 1995:216) B. Perilaku Ihsan

1. Pengertian Ihsan

Secara etimologi ihsan adalah baik (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:368). Kata ihsan memiliki akar kata hasanyang berarti baik. Ihsan berarti berbuat sesuatu secara baik. Tidak asal berbuat. Ihsan juga mengerjakan sesuatu secara profesional atau berkualitas (Ahmadi, 2004:165)

Sedangkan ihsan menurut Asmaran, (1994: 88) adalah berbuat baik / perbuatan baik. Orang yang berihsan akan menghindari hal-hal yang buruk,keji dan munkar, meyakini Allah maha melihat dan membalas atas segela perbuatan.

Baik kebajikan maupun kebaikan (perilaku ihsan), erat kaitannya dengan

akhlak, yaitu keadaan yang melekat pada manusia yang melahirkan perbuatan,

tingkah lakuperangai, tabia‟at, mungkin baik mungkin juga buruk (Ali, 2008:345-346).

Perilaku ihsan mengandung makna yang ideal, yaitu yang termasuk dalam

segala tingkah laku, tabi‟at, watak dan perangai yang sifatnya baik. Hal ini tidak bisa

lepas dari norma agama dan juga norma kebiasaan (adat) yang baik pula.

Secara teologi ihsan dalam hubungan dengan Allah, adalah kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah atau kita meyakini bahwa Allah melihat kita. Sehingga kita beribadah dengan penuh kekhusyukan.

2. Macam-macam perilaku ihsan

a. Ihsan dalam beribadah

Ibadah yang ihsan yaitu ibadah yang dikerjakan dengan penuh kesungguhan, terpenuhi syarat rukun dan anjuran-anjurannya, serta berdampak pada perilakunya secara umum. Ibadah yang ihsan dikerjakan dengan kesadaran sepenuhnya, bahwa Allah swt. menyaksikan. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah r.a, beliau saw. bersabda:

ُوَّنِا ف ُها ر ت ْنُك ت ْ لَ ْنِا ف ُها ر ت كَّن ا ك لله ا دُبْع ت ْن ا

كا ر ي

Artinya: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari-Muslim) b. Ihsan dalam berbicara

Alat komunikasi yang paling utama antar manusia adalah melalui kata-kata. Melalui kata-kata manusia menyampaikan isi hati kepada lawan bicara. Bahkan, kata-katalah yang menjadi alat utama dalam berdakwah. Maka, Islam sangat menganjurkan setiap muslim untuk berhati-hati dalam berkata-kata, agar mendatangkan pahala dan menghindarkan dari dosa. Hendaklah kata-kata bisa membuahkan hasil yang positif, seperti persaudaraan dan cinta kasih. Bukan melahirkan permusuhan dan kebencian.

Kata-kata yang baik adalah kata-kata yang sejuk didengarkan. Tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan dan jelas maksudnya. Bahkan kepada musuh sekali pun, harus berbicara dengan kata-kata yang lembut. Sebagaimana Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika

memerintahkan keduanya untuk mendakwahi Fir‟aun:



















Artinya: maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (Thaha:44)

c. Ihsan dalam membunuh dan menyembelih

Membunuh sering dikaitkan dengan hal yang kejam. Tetapi dalam Islam membunuh diperbolehkan seperti halnya dalam perang. Maka Nabi menasihatkan agar pembunuhan dilakukan dengan ihsan. Etika membunuh musuh juga berlaku dalam menyembelih binatang.

d. Ihsan dalam pergaulan terhadap sesama

Pergaulan merupakan bagian penting dalam kehidupan. Melalui pergaulan, bisa mengekspresikan nilai-nilai agama dan terjalin persaudaraan. Seorang muslim yang bergaul dan mengalami pahit getirnya pergaulan, dianggap lebih baik kualitasnya daripada seorang yang tidak ikut merasakan pahit getirnya perlakuan orang lain.

e. Ihsan dalam berbakti kepada orang tua

Orang tua mendapatkan tempat yang istimewa dalam agama. Karena melalui orang tualah Allah menciptakan dan menumbuhkan umat manusia. Hingga Allah swt. seolah-olah menggantungkan ridha dan murka-Nya kepada ridha dan murka orang tua.

Karena kehormatannya hingga menyebutkan ihsan kepada orang tua disebutkan setelah perintah ibadah kepada Allah.

Allah swt. berfirman:

















 



...

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):

janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu

f. Ihsan dalam keluarga

Keluarga merupakan komponen pembentuk masyarakat. Dari keluarga diharapkan lahir sumber daya manusia yang bisa mewarnai kehidupan bermasyarakat. Untuk itu peran masing-masing anggota harus dioptimalkan. Dari semua anggota keluarga diharapkan bisa ihsan dalam menjalankan perannya masing-masing. Seorang ayah harus menjadi pemimpin keluarga yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarga yang lain. Seorang ibu harus mampu membuat suasana internal rumah tangga yang menyejukkan selain juga harus mendidik anak. Agar menjadi anak yang baik di tengah keluarga besarnya. g. Ihsan dalam berdakwah

Berdakwah haruslah dilakukan secara baik atau ihsan, karena dari hasilnya dituntut adanya ketertarikan terhadap Islam. Para dai atau lembaga-lembaga dakwah harus memikirkan secara serius agar dakwah yang dijalankan bernuansa ihsan, sehingga dengan kualitas dakwah tersebut orang tertarik kepada agama Islam.

Ihsan dalam berdakwah berarti terpenuhinya rukun dakwah. Rukun dakwah meliputi hikmah, mau‟izah hasanah, dan mujadalah. Dan juga rukun -rukun lain yang lebih terinci antara lain penguasaan materi, penguasaan metodologi dakwah, perilaku teladan dai, perangkat yang memadai, dan pendukung-pendukung dakwah lainnya seperti perencanaan, organisasi, dan evaluasi.

3. Indikator perilaku ihsan dalam berbicara dan perbuatan terhadap sesama (pergaulan terhadap orang lain)

Ihsan merupakan puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah. Sebab dengan ihsan seseorang mendapatkan kemuliaan

disisi-Nya. Kemuliaan tersebut bisa di dapat jika manusia ihsan kepada Allah dan kepada sesama. Seseorang yang cuma rajin beribadah kepada Allah seperti shalat, puasa, dan haji tetapi tidak berbuat baik terhadap sesama maka dia bukanlah orang yang berbuat

ihsan. Dia bukan orang yang disukai Allah. Dari uraian tersebut, maka dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti perilaku ihsan dalam berbicara dan dalam berbuat terhadap sesama (pergaulan terhadap orang lain). Adapun indikator kedua perilaku ihsan tersebut adalah:

a. Indikator perilaku ihsan dalam berbicara

Adapun indikator-indikator perilaku ihsan dalam berbicara adalah: 1) Berbicara tentang kebaikan

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari orang lain. Hal ini tentu dibutuhkan komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lain. Manusia dibekali lisan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dan akal untuk berpikir. Orang yang berakal selayaknya bisa mengendalikan apa yang diucapkan. Kalau ingin bicara hendaknya berpikir terlebih dahulu apakah kata-kata tersebut menyakiti orang lain atau tidak. Karena tidak hanya perbuatan yang di hisab tetapi juga perkataan. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:



















Artinya:“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di

dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir (Q.S. Qaaf: 18)

2) Berbicara dengan nada yang halus

Selain berkata-kata yang baik, manusia dalam berkomunikasi kepada orang lain dianjurkan untuk berbicara dengan nada yang halus. Hal ini

dianjurkan agar supaya tidak membuat orang lain tersinggung dengan perkataan yang diucapkan.

Berbicara dengan nada halus yaitu dalam berbicara selalu menjaga suaranya agar tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih, menggunakan intonasi yang sesuai. Berbicara yang halus tidak hanya kalau berbicara kepada orang tua, melainkan kepada semua orang bahkan kepada musuh sekalipun. Allah

Dokumen terkait