• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENGAMALAN AJARAN TAREKAT QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DENGAN PERILAKU IHSAN (Bagi Jamaah Sewelasan Dusun Sumber, Desa Timpik, Kec. Susukan, Kab. Semarang Tahun 2015) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN PENGAMALAN AJARAN TAREKAT QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DENGAN PERILAKU IHSAN (Bagi Jamaah Sewelasan Dusun Sumber, Desa Timpik, Kec. Susukan, Kab. Semarang Tahun 2015) - Test Repository"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGAMALAN AJARAN TAREKAT

QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH

DENGAN PERILAKU IHSAN

(Bagi Jamaah Sewelasan Dusun Sumber, Desa Timpik, Kec. Susukan,

Kab. Semarang Tahun 2015)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh

WAHIDATUR ROHMAH

11110188

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Wahidatur Rohmah

NIM : 11110188

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 16 Maret 2015 Yang menyatakan,

(3)

SKRIPSI

HUBUNGAN PENGAMALAN AJARAN TAREKAT QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DENGAN PERILAKU IHSAN

(Bagi Jamaah Sewelasan Dusun Sumber, Desa Timpik, Kec. Susukan, Kab. Semarang Tahun 2015)

DISUSUN OLEH WAHIDATUR ROHMAH

NIM: 11110188

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 11 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam

Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Suwardi, M.Pd.

Sekretaris Penguji : Achmad Maimun, M.Ag Penguji I : Agus Ahmad Su‟aidi, Lc. M.A. Penguji II : Dr. Mukti Ali, M.Hum

Salatiga, 16 April 2015 Dekan

FTIK IAIN Salatiga

Suwardi, M.Pd

(4)
(5)

MOTTO





tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)

(Q.s Ar rahman: 60)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

 Kedua orang tuaku Bapak Mufid & Ibu Sulasi tersayang yang telah membesarkanku

dengan penuh cinta dan kesabaran.

 Adekku satu-satunya Anik Mufidah, terima kasih atas motivasi yang adek berikan.  Keluarga besar PAI ‟10 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu trima kasih atas

motivasi kalian.

 Oenni2 koz sebelah, ex (mb rul, mb nana, mb ela, mb pipik, dek hayyin) in (alulung)

terimakasih telah berbagi suka bersama

 Teman-teman KKN posko 9 (sigit, uni novi, uni inur, uni ismi, kak masrifah, thariq)

serta masyarakat dusun Jengkol. Bahagia bisa bertemu, berbagi bersama kalian. It‟s

memorable

 Keluarga besar KOPMA FATAWA yang telah memberi ruang untuk berbagi ilmu  Bapak ibu guru di SDN Tawang 02 (Pak Mul, bu giyem, pak wid, bu yuli, bu tri, bu

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi robilalamin, segala puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah swt. yang telah memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya yang tiada terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Pengamalan Ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Dengan Perilaku Ihsan Pada Jamaah sewelasan di Dusun

Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2015”

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan nabi agung Muhammad saw., kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia yang mana beliaulah sebagai rosul utusan Allah untuk membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zaman yang modern ini.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPd.I) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Skripsi ini berjudul “Hubungan Pengamalan Ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Dengan Perilaku Ihsan Pada Jamaah Sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan

Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2015”

Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

(7)

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga.

4. Bapak Achmad Maimun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta bantuan. 7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi

kepada penulis, baik moral maupun spiritual.

8. Bapak Suhada selaku Kepala Desa Timpik beserta stafnya yang telah memberikan ijin penelitian.

9. Bapak dan Ibu jamaah sewelasan di Dusun Sumber yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik semoga amal kebaikannya diterima disisi Allah swt.

Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi penulis khususnnya serta para pembaca pada umumnya.

Salatiga, 16 Maret 2015

Penulis

(8)

ABSTRAK

Rohmah, Wahidatur. 2015. Hubungan Pengamalan Ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Dengan Perilaku Ihsan (Bagi Jamaah Sewelasan di Dusun Sumber Desa Timpik, Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Achmad Maimun, M.Ag. Kata Kunci: Pengamalan ajaran tarekat dan perilaku ihsan.

Mengikuti Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah merupakan jalan sufi yang

ditempuh oleh jamaah ini untuk menguatkan keyakinan kepada Allah swt. Namun seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya jika tidak berperilaku baik terhadap sesama.

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui hubungan pengamalan ajaran tarekat dengan perilaku ihsan di Dusun Sumber Desa Timpik Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:1)

Bagaimanakah tingkat pengamalan ajaran tarekat pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015? 2)Bagaimanakah perilaku ihsan pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015? 3) Adakah hubungan antara pengamalan ajaran tarekat dengan perilaku ihsan pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015?

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan angket, wawancara, dan dokumentasi. Sampel penelitian 34 jamaah tarekat. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan rumus persentase dan rumus product moment untuk menguji hipotesis penelitian.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Pernyataan Keaslian Tulisan ... iv

Motto dan Persembahan ... v

Kata Pengantar ... vi

Abstrak ... ix

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Hipotesis Penelitian ... 5

E. Kegunaan Penelitian ... 6

F. Definisi Operasional ... 7

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengamalan Tarekat 1. Pengertian Tarekat ... 20

2. Tujuan Tarekat ... 22

3. Macam-macam Tarekat ... 23

(10)

5. Ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ... 25 6. Ritual-ritual dalam Tarekat Tarekat ... 28 7. Amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ... 30 B. Perilaku Ihsan

1. Pengertian Ihsan ... 31 2. Macam-macam Perilaku Ihsan ... 32 3. Indikator perilaku ihsan dalam berbicara dan

perbuatan terhadap sesama

(pergaulan terhadap orang lain) ... 35 C. Hubungan Pengamalan Ajaran Tarekat dengan

Perilau Ihsan... 46 BAB III HASIL PENELITIAN

A. Gambaran umum lokasi penelitian

1. Keadaan Geografis ... 48 2. Keadaan Monografis ... 48 B. Profil Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber

1. Sejarah singkat ... 53 2. Susunan kepengurusan ... 54 3. Kegiatan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah ... 54 C. Penyajian Data

1. Daftar responden ... 55 2. Data jawaban angket pengamalan ajaran tarekat ... 58 3. Data jawaban angket perilaku ihsan ... 60

BAB IV ANALISIS DATA

(11)

C. Analisis Uji Hipotesis ... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1 Indikator Pengamalan Ajaran Tarekat ... 15

... 2. Tabel 1.2 Indikator Perilaku Ihsan ... 16

3. Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Desa Timpik tahun 2015 ... 49

4. Tabel 3.2 Penduduk Desa Timpik Berdasarkan Agama ... 50

5. Tabel 3.3 Penduduk Desa Timpik Berdasarkan Mata Pencaharian ... 50

6. Tabel 3.4 Penduduk Dusun Sumber Berdasarkan Mata Pencaharian ... 52

7. Tabel 3.5 Daftar Nama Responden ... 56

8. Tabel 3.6 Daftar Jawaban Angket Pengamalan Ajaran Tarekat ... 58

9. Tabel 3.7 Daftar Jawaban Angket Perilaku Ihsan ... 60

10.Tabel 4.1 Data Nilai Angket Pengamalan Ajaran Tarekat ... 63

11.Tabel 4.2 Interval Pengamalan Ajaran Tarekat ... 66

12.Tabel 4.3 Nominasi Pengamalan Ajaran Tarekat ... 67

13.Tabel 4.4 Persentase Pengamalan Ajaran Tarekat ... 70

14.Tabel 4.5 Data Nilai Angket Perilaku Ihsan ... 72

15.Tabel 4.6 Interval Perilaku Ihsan ... 74

16.Tabel 4.7 Nominasi Perilaku Ihsan ... 75

17.Tabel 4.8 Persentase Perilaku Ihsan... 78

(13)

DAFTAR LAMPIRAN 1. Angket

2. Surat Ijin Penelitian

3. Surat Pernyataan Telah Meneliti 4. Lembar Konsultasi

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dari segumpal darah. Tujuan penciptaan manusia sendiri adalah untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur‟an yang berbunnyi:

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku.” (Q.S. Adz-dzariyat : 56)

Tanggung jawab sebagai abdi merupakan suatu tanggung jawab individu atau

fardhu „ain. Manusia diliputi kemestian untuk memahami lapangan aqidah dan tauhid,

syariat dan akhlak. Bentuk dari ibadah kepada Allah adalah dengan cara mentaati apa-apa yang diperintahkan kepada manusia dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Manusia diciptakan untuk bisa menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hubungan dengan makhluk Allah lainnya (manusia, tumbuhan, hewan, dan alam sekitarnya). Manusia dianjurkan untuk berperilaku baik (ihsan) terhadap Allah swt. maupun terhadap sesama. Bersikap Ihsan mencerminkan keimanan kepada Allah, sebagaimana dalam hadis berikut:

(15)

mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Allah menyukai manusia yang baik dalam beribadah kepada-Nya maupun dalam bersikap baik kepada sesama manusia. Bersikap baik kepada sesama manusia bisa dilakukan dengan bersikap lembut dan kasih sayang, meskipun orang lain tersebut pernah memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

Namun, banyak dari manusia yang berbuat semaunya baik terhadap Allah dan sesama. Terhadap Allah, banyak yang melalaikan atau tidak mengerjakan ibadah wajib (sholat, puasa, zakat, dan haji). Terdapat hubungan antara menunaikan ibadah wajib tersebut dengan kualitas akhlak seseorang terhadap sesama. Seseorang yang mendirikan sholat tentu tidak akan melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Seseorang yang benar-benar berpuasa demi mencari ridha Allah swt., di samping menahan lapar dan haus juga akan menahan diri dari berkata kotor dan perbuatan tercela. Dengan zakat, maka manusia akan belajar untuk memberi dan peduli terhadap sesama. Dengan haji pula, manusia akan menjaga hawa nafsu dan berbuat kefasikan.

Keadaan zaman yang semakin modern,yaitu dengan kemajuan teknologi yang pesat, di samping berpengaruh positif juga terdapat banyak pengaruh negatifnya. Revolusi teknologi dapat menyebabkan gaya hidup yang berbeda. Dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Masyarakat modern, lebih bersifat rasional yaitu jika melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan dahulu untung dan ruginya secara logika. Dengan pemikiran yang seperti itu, masyarakat sendiri akan cenderung lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat keduniawian semata. Hal ini bisa saja akan menyebabkan nilai-nilai keagamaan (Agama Islam) semakin luntur.

(16)

akhlak-akhlak yang baik. Untuk menciptakan masyarakat yang agamis tersebut, dapat ditempuh melalui pendidikan. Baik itu pendidikan formal, in-formal, dan non-formal. Pendidikan yang diadakan dalam masyarakat biasanya melalui majelis taklim atau pengajian-pengajian.

Pemuka agama atau ustadz dalam suatu masyarakat dalam cara mendidik suatu masyarakat ada yang menempuh jalan tarekat. Sebagaimana yang ada dalam masyarakat Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Hal ini dikarenakan tarekat merupakan satu kesatuan dalam kegiatan tasawuf yang mengembangkan sistem pendidikan yang khas dimana persoalan batiniah merupakan kegiatan yang paling dominan.

Di dalam tarekat tersebut, terdapat zikir-zikir yang harus diamalkan setiap harinya. Fungsi dari zikir itu sendiri adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan nantinya akan menghindarkan diri dari sifat yang tidak baik. Sebagaimana dikatakan oleh al-Shaawi, tarekatadalah melaksanakan hal-hal yang wajib dan yang mandub (sunat), meninggalkan hal-hal yang dilarang, tidak melakukan hal-hal yang mubah yang tak berguna, memilih perilaku yang hati-hati seperti wira‟i, dan memilih riyadhah seperti tidak banyak tidur pada malam hari, berlapar-lapar, dan diam (tidak berbicara tanpa guna). (Aziz, 2006: 248)

Berdasarkan gambaran serta paparan dari latar belakang masalah di atas, maka penulis ingin mempelajari lebih dalam dan melakukan penelitian dangan mengangkat judul “HUBUNGAN PENGAMALAN AJARAN TAREKAT QODIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DENGAN PERILAKU IHSAN (Bagi Jamaah Sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kec.Susukan, Kab. Semarang Tahun 2015)”

(17)

Memperhatikan latar belakang masalah yang tertulis di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tingkat pengamalan ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah pada jamaah Sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015?

2. Bagaimanakah perilaku ihsan pada jamaah Sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015?

3. Adakah hubungan antara pengamalan ajaran tarekat dengan perilaku ihsan pada jamaah Sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat pengamalan ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015.

2. Untuk mengetaui perilaku ihsan pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015.

3. Untuk mengetahui hubungan antara pengamalan ajaran tarekat dengan perilaku

ihsan pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015.

D. Hipotesis Penelitian

(18)

(Arikunto, 2005: 43-44). Jadi hipotesis adalah jawaban sementara dari persoalan atau masalah penelitian, dan harus diuji kebenarannya.

Dari kedua pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa hipotesis adalah dugaan atau kesimpulan sementara mengenai jawaban atas rumusan masalah yang masih perlu dibuktikan di lapangan atau masih perlu diuji melalui penelitian.

Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis, “ada hubungan yang

positif antara pengamalan ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah terhadap perilaku ihsan jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Kecamatan Susukan, Kabupaten

Semarang tahun 2015”, artinya semakin tinggi pengamalan ajaran tarekat semakin

meningkat perilaku ihsan pada jamaah sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan dan memperkaya wawasan dalam dunia pendidikan keagamaan di masyarakat khususnya bagi jamaah

sewelasan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015.

2. Manfaat Praktis

(19)

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran berbeda dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul penelitian ini, maka perlu penjelasan beberapa istilah pokok maupun kata-kata yang menjadi variabel penelitian. Adapun istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1. Pengamalan Ajaran Tarekat

Pengamalan secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan mengamalkan, melaksanakan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005:34).

Ajaran adalah segala sesuatu yang diajarkan, nasihat, petuah atau petunjuk (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:17).

Tarekat adalah jalan menuju kebenaran, cara atau aturan hidup (Departemen Pendidikan Nasional: 2007:1144). Tarekat adala jalan, yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. (Schimmel, 2000: 123)

Yang dimaksud peneliti disini adalah pengamalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang berbentuk ajaran-ajaran ahklak atau zikir baik zikir sir

(pelan) maupun jahr (keras).

Pengamalan ajaran tarekat dapat diteliti dengan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Intensitas pengamalan ajaran tarekat

1) Sering menjalankan amalan-amalan dalam tarekat 2) Mengerjakan amalan tarekat dalam keadaan apapun b. Pemahaman tentang ajaran tarekat

(20)

2) Mengerti tujuan dari mengerjakan amalanyang ada dalam tarekat c. Kekhusyu‟an dalam menjalankan ajaran tarekat

1) Menghayati amalan ibadah dalam Tarekat 2) Merasakan manfaat amalan ibadah dalam tarekat d. Ketaatan terhadap mursyid

1) Menjalankan perintah mursyid dalam bimbingan rohani dan spiritual dengan rasa ikhlas

2) Menghormati mursyid atau guru dan keluarganya 2. Perilaku Ihsan

Perilaku biasanya disamakan dengan istilah sikap (attitude) yang artinya perbuatan yang berdasar pendirian (Poerwadarminto, 1999:731)

Ihsan secara etimologi berasal dari kata ahsana-yuhsinu-ihsan(nan) yang berarti berbuat baik atau saleh (Kaelany, 2000:54)

Sedangkan menurut Wachid Ahmadi ihsan juga bisa diartikan mengerjakan sesuatu secara baik, tidak asal berbuat serta mengerjakan sesuatu secara profesional atau berkualitas (Ahmadi, 2004:165).

Wahid ahmadi menyebutkan ada beberapa macam perilaku ihsan yaitu: 1)

Ihsan dalam beribadah, 2) Ihsan dalam berbicara, 3) Ihsan dalam membunuh dan menyembelih, 4) Ihsan dalam pergaulan terhadap sesama, 5) Ihsan dalam berbakti kepada orang tua, 6) Ihsan dalam keluarga, dan juga 7) Ihsan dalam berdakwah (Ahmadi, 2004:166-176).

(21)

a. Indikator perilaku ihsan dalam berbicara adalah: 1) Berbicara tentang kebaikan

2) Berbicara dengan nada yang halus 3) Tidak berbicara dengan kata keji 4) Tidak berbicara yang dusta

5) Tidak membicarakan aib orang lain

b. Indikator perilaku ihsan dalam perbuatan terhadap sesama (pergaulan terhadap orang lain)

1) Memberi salam bila bertemu orang lain 2) Mempererat tali silaturahmi

3) Menolong orang yang sedang kesusahan 4) Menjenguk orang lain yang sedang sakit

5) Menghadiri undangan yang diberikan orang lain 6) Bersedia memaafkan kesalahan orang lain

7) Menegur kesalahan orang lain dengan bijaksana. 8) Mau menerima nasihat dari orang lain

3. Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Qodiriyah adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Sayyid Muhammad Muhyidin Abdul Qadir Jilani, yang wafat pada tahun 1266 M di usia 90 tahun (Valiudin, 1996:121). Sayyid Muhammad Muhyidin Abdul Qadir jilani adalah seorang yang alim dan zahid, dulunya beliau adalah orang fikih yang terkenal dalam Mazhab Hambali (Aceh, 1996:308)

Sedangkan Naqsabandiyah adalah sebuah Tarekat yang didirikan oleh

Khwaja Baha‟udin Naqsyaband dari Bukhari. Beliau wafat pada tahun 1390 M

(22)

Naksyaband yang berarti lukisan, konon karena ia ahli dalam memberikan lukisan kehidupan yang ghaib-ghaib (Aceh, 1996:319).

Qodiriyah wa Naqsabandiyah adalah nama sebuah Tarekat yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyyah dan Naqsabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al Sambasi. Beliau berasal dari Sambas di Kalimantan Barat, tetapi menetap dan mengajar di Mekkah.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah ajaran mengenai metode-metode yang digunakan dalam proses penelitian (Kartono, 1990:20). Kebenaran suatu penelitian dapat diterima apabila ada bukti-bukti nyata yang sesuai dengan prosedur-prosedur penelitian dan sisitematis serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(23)

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini bertempat di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Pelaksanaan penelitian ini berlangsung mulai tanggal 16 Februari sampai 1 Maret 2015.

3. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang menjadi pusat penelitian (Sandjaya, 2006:180). Populasi yang dimaksud disini adalah seluruh pengikut Jamaah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015. Berdasarkan keterangan dari guru Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015, jumlah jamaah ada 112 orang.

b. Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diselidiki. Dengan demikian dalam pengambilan sampel, peneliti mengikuti pedoman Suharsimi yakni apabila subyeknya kurang dari 100, maka sebaiknya di ambil semua sehingga penelitiannya merupakan populasi. Jika jumlah subyeknya lebih dari 100, maka diambil salah satunya antara 10-15% atau 20-25% atau lebih sesuaidengankemampuan (Arikunto, 2006:134).

Berdasarkanpetunjuktersebut,

(24)

4. Metode Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan metode angket, metode dokumentasi, dan wawancara. Adapun rincian metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Angket

Menurut pengertiannya angket adalah kumpulan pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang atau responden dan cara menjawabnya juga secara tertulis (Arikunto, 2005: 101). Bentuk angket yang digunakan oleh peneliti adalah angket tertutup, sehingga responden hanya memilih jawaban yang sudah disediakan.

Metode ini peneliti gunakan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan pemahaman dan aktivitas Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang dilaksanakan di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Penggunaan metode ini juga digunakan untuk mengetahui perilaku ihsan pada jamaah tarekat.

Dikarenakan jamaah tarekat banyak yang sudah berusia lanjut dan mengalami penurunan dalam kemampuan membaca, maka peneliti tidak menyebar angket pada saat pengajian tarekat, tetapi mendatangi satu persatu responden ke rumah dan membacakannya serta membantu menuliskan jawaban yang sudah dipilih oleh responden.

b. Metode Dokumentasi

(25)

Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang.

c. Metode Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab lisan dalam mana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengarkan sendiri suaranya (Hadi, 1989:192). Metode wawancara ini digunakan oleh peneliti untuk menguraikan tentang sejarah berdirinya Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang.

5. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen yang berupa angket yang terdapat dalam lampiran. Angket terdiri dari dua yaitu pengamalan ajaran tarekat dan perilaku ihsan.

Berikut ini tabel kedua variabel tersebut yang disarikan dari berbagai sumber.

Tabel 1.1

Indikator Pengamalan Ajaran Tarekat

Variabel Indikator Item Angket

Intensitas pengamalan

ajaran tarekat

1. Sering menjalankan amalan-amalan dalam tarekat

1,2,3

(26)

tarekat 2. Mengerti tujuan dari mengerjakan amalan yang ada dalam tarekat

7

1. Menghayati amalan ibadah dalam tarekat

8,9

2. Merasakan manfaat amalan ibadah dalam

1. Menjalankan perintah

mursyid dalam bimbingan rohani dan spiritual dengan rasa ikhlas

Variabel Dimensi Indikator Item Angket

Perilaku

b. Berbicara dengan nada yang halus

2

c. Tidak berbicara dengan keji

3

(27)

2.Perilaku ihsan

b. Mempererat tali silaturahmi

(28)

a. Analisis Pertama

Pada tahap ini digunakan perhitungan awal, untuk tujuan penelitian yang pertama dan kedua maka penulis menggunakan presentase. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

P = X 100%

Keterangan P : Persentase F : Frekuensi N : Jumlah responden b. Analisis Kedua

Dalam meneliti subjek penelitian, penulis membagi kedalam dua variabel yaitu: pengamalan ajaran tarekat dan perilaku ihsan pada jamaah tarekat. Untuk mengetahui hubungan pengamalan ajaran tarekat dengan perilaku ihsan pada jamaah tarekat, maka penulis menggunakan rumus korelasi product momen. Adapun rumusnya sebagai berikut:

Keterangan :

: Koefisien korelasi antara X dan Y XY : Produk dari X dikali Y

(29)

N : Jumlah responden

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam 5 bab yang secara sistematis dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan yang berisi tentang Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Hipotesis penelitian, Kegunaan penelitian, Definisi operasional, Metode penelitian, Sistematika penulisan.

Bab II, Landasan Teori berisi tentang teori-teori yang membahas pengamalan ajaran tarekat, perilaku ihsan, dan hubungan pengamalan ajaran tarekat terhadap perilaku ihsan pada jamaah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang tahun 2015.

Bab III, Melaporkan hasil penelitian tentang keadaan umum jamaah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, pemaparan data perilaku ihsan jamaah tarekat.

BAB IV, Analisis hasil penelitian berisi tentang analisis data dan interpretasi hasil dari data penelitian.

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengamalan Tarekat 1. Pengertian Tarekat

Tarekat berasal dari kata thariq yang berarti jalan, metode, cara (Ahmad Zuhri Mudhor, 1993: 1231) dimaknai sebagai cara atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan yang ditentukan. Pengertian lain dari tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai (Abu bakar, 1996:67)

Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna. Jika pada mulanya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah maka pada tahap selanjutnya istilah tarekat digunakan untuk menunjukan pada suatu metode psikologis yang dilakukan oleh guru tasawuf

(mursyid) kepada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam, melalui metode psikologis tersebut, murid dilatih mengamalkan syariat dan latihan-latihan keruhanian secara ketat sehingga ia mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan (Huda, 2008:62).

Tarekat juga berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan

(31)

sombong (takabur), ingin dipuji orang lain (riya’), cinta dunia dan sejenisnya. Tarekat harus ikhlas, rendah hati (tawadu’), berserah diri (tawakal) dan rela (ridha)

(Jamil, 2005:48).

Dalam konteks tasawuf, tarekat adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut

syar’, sedang anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa pada dasarnya, menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum ilahi (syariat), tempat berpijak bagi setiap muslim (Schimmel, 1986:101).

Definisi di atas mengisyaratkan bahwa antara tarekat dan syariat ada keterkaitan yang erat. Syariat merupakan aturan atau hukum, sedang tarekat merupakan cara untuk melaksanakan aturan dan hukum. Tarekat merupakan cara bagi orang-orang yang menjalankan laku mistis atau tasawuf untuk mencapai tujuan utamanya, yakni memperoleh cita makrifatpada alam gaib dan mendapatkan penghayatan langsung pada dzat Allah atau al-Haq (Fathurahman, 1999:67).

Pada mulanya tarekat dilakukan oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individu maupun kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini sudah dimulai sejak zaman Al-Hallaj (858-922). Selanjutnya praktek-praktek pengajaran semacam itu dilakukan pula oleh sufi-sufi besar lain. Dengan demikian, timbullah dalam sejarah Islam

(32)

Dilihat dari ortodoks Islam, ada tarekat yang dipandang sah (mu’tabaroh) dan ada pula tarekat yang dianggap tidak sah (ghairu mu’tabaroh). Suatu tarekat dikatan sah jika memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara syariat. Sebaliknya, jika suatu tarekat tidak memiliki mata rantai (silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran tarekat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syariat maka ia dianggap tidak memiliki dasar keabsahan dan oleh karenanya disebut tarekat yang tidak sah ( Huda,2008:63).

2. Tujuan Tarekat

Menurut Syeikh Najmuddin Al-Kubra yang di kutip dalam bukunya Abu Bakar (1996:71), sebagai tersebut dalam kitab Jami’ul Auliya’ mengatakan, syariat itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan makrifat itu merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syariat dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa nafsu, pada hakikat bersih dari hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai makrifat terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syariat saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. Ia memperbandingkan syariat itu dengan sampan, tarekat itu lautan, hakikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapal dan laut.

Sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan zikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, jalan melalui kekayaan, jalan membersihkan jiwa dari

kebimbangan dunia akan kethama‟an hawa nafsu, semuanya itu tidak dapat dicapai

(33)

memperingatkan: “Semua tarekat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika tidak

menurut Sunnah Rasulnya (Aceh, 1993:72)

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari tarekat sebenarnya adalah jalan untuk menuju kepada keridhoan Allah dengan cara mengamalkan syariat untuk kemudian mensucikan hati dengan mengikuti tarekat sehingga akan menemukan hakikat sebenarnya dari ajaran agama Islam, dan disinilah seorang hamba Allah akan mengerti tujuan dari hidupyaitu hanya Allah.

3. Macam-macam Tarekat

Perkembangan tasawuf yang begitu berpengaruh di dunia Islam telah melahirkan sejumlah tarekatyang tersebar di seluruh penjuru negeri ini, tarekat-tarekat tersebut ada yang sudah diakui keberadaannya dan ada yang belum diakui keberadaannya. Adapun tarekatyang sudah diakui keberadaannya disebut Tarekatmu’tabaroh diantaranya adalah sebagai berikut:

Dr. Syeikh H. Jalaluddin menerangkan ada 41 macam Tarekatmu‟tabaroh yaitu Qodiriyah, Naqsabandiyah, Syaziliyah, Rifa’iyah, Ahmadiyah, Dasukiyah, Akbariah, Maulawiyah, Qurobiyah, Suhrowadiyah, Khalwatiyah, Jalutiyah, Bakdasiyah, Ghozaliyah, Rumiyyah, Jastiyyah, Sya’baniyah, ‘Alawiyah, ‘Usyaqiyyah, Bakriyah, Umariyah, Usmaniyah, ‘Aliyyah, Abbasiyah, Haddadiyah, Maghribiyyah, Ghoibiyyah, Hadiriyyah, Syattariyyah, Bayyumiyah(Abu Bakar Aceh, 1993: 303).

Diantara nama tarekat yang ada dan berkembang di dunia Islam, nama Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di Indonesia (Bruinessen, 1994:34).

4. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

(34)

bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru yang berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Tarekat Qodiriyah dan juga Tarekat Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi suatu yang baru.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah adalah didirikan oleh seorang tokoh asal

Indonesia Ahmad Khatib ibn „Abd Al-Ghaffar Sambas atau dikenal sebagai Ahmad

al-Sambasi (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis Kitab Fath al-‘Arifin. Dia berasal dari Sambas Kalimantan Barat yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad sembilan belas ( Bruinessen, 1992 : 89-90).

5. Ajaran-ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Tujuan utama mempelajari dan mengamalkan tarekat adalah mengetahui perihal nafsu dan sifat-sifatnya, baik nafsu yang tercela (mazmumah) maupun nafsu yang terpuji (mahmudah). Sifat nafsu yang tercela harus dijauhi dan sifat yang terpuji setelah diketahui maka dilaksanakan (Jamil, 2005:59).

Tarekat berupaya mengendalikan nafsu tercela dengan melatih nafsu terpuji. Untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah, namun demikian untuk mencapai kedekatan kepada Allah itu, para pelaku tarekat harus menempuh perjalanan panjang. Rumusan mengenai tahapan-tahapan perjalanan rohani antara satu tarekat memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk satu tarekat tertentu kadang juga merupakan gabungan dua atau lebih ajaran unsur tarekat (Jamil,2005:61).

Sebagaimana yang tetulis dalam buku Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam, disebutkan empat macam tujuan dari Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah meliputi; pertama; Taqarrub ilallah, mendekatkan kepada Allah dengan jalan zikirullah. Kedua; Menuju jalan mardhatillah. Yaitu jalan yang diridhai Allah SWT. Ketiga; Kemakrifatan(al-makrifat)yaitu melihat tuhan dengan mata hati.

(35)

Tarekat berupaya untuk mengendalikan nafsu tercela manusia salah satunya dengan cara menggunakan atau mengisi waktu-waktu luang untuk senantiasa selalu mengingat Allah Swt. Sehingga dengan demikian manusia jarang mempunyai peluang

untuk berbuat hal yang dipandang jelek oleh agama. Namun demikian untuk

mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan, pelaku tarekat harus menempuh perjalanan panjang demi mencari tujuan mereka.

Secara garis besar metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut adalah:

a. Takhali

Takhali berarti mengkosongkan atau membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Yaitu menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu.

Takhali sebagai langkah awal menuju manusia yang berkepribadian utuh dilengkapi dengan sikap terbuka. Artinya, orang yang bersangkutan menyadari betapa buruknya sifat-sifat yang ada pada dirinya, kemudian timbul kesadaran untuk membrantas dan menghilangkan. Apabila ini bisa dilakukan, maka akan tampil pribadi yang bersih dari sifat madzmumah (Syukur, 2002:115).

b. Tahalli

Tahalli berarti berhias. Maksudnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji. Pada

tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas

ketentuan agama, baik yang bersifat “luar” maupun yang bersikap “dalam”. Yang

(36)

shalat, puasa, zakat, dan haji. Adapun aspek “dalam” seperti iman, ketaatan, dan

kecintaan kepada Allah swt. (Aceh, 1993:193).

c. Tajalli

Tajalli bermakna pencerahan atau penyingkapan. Dalam tasawuf tajalliyaitu sampainya Nur Ilahi dalam hati. Dalam keadaan demikian seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang haq dan mana yang batil. Dan secara khusus tajalliberarti makrifatullah, melihat Tuhan dengan mata hati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb (Syukur, 2002:115).

6. Ritual-ritual dalam Tarekat

Ada beberapa bentuk upacara ritual dalam Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai sebuah jam’iyyah yaitu : pembai’atan, khataman, dan

manaqiban. Ketiga bentuk upacara ritual dalam Tarekatini dilaksanakan oleh semua

kemursyidan yang ada di Indonesia, dengan prosesi kurang lebih sama. Tapi dalam istilah nama kegiatan tesebut kadang berbeda, Seperti dalam pembai’atan, ada

kemursyidan mereka menyebutnya dengan penalqinan. Demikian pula khataman,

ada yang menyebutnya dengan istilah tawajjuhan. Tetapi perbedaan itu sama sekali tidak membedakan isi dan makna kegiatan tersebut.

a. Pembai‟atan

(37)

Baiat ini dilakukan oleh orang yang hendak mengamalkan tarekat, jadi pada dasarnya setiap orang yang ingin memasuki dunia tarekat maka hal yang paling mula ia lakukan adalah baiat.

b. Manaqiban

Upacara ritual yang menjadi tradisi dalam TarekatQodiriyah wa Naqsyabandiyah yang tidak kalah pentingnya adalah manaqiban. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata manaqib (bahasa Arab), yang berarti biografi ditambah dengan akhiran: -an, menjadi manaqiban sebagai istilah yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi), syekh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri Tarekat Qodiriyah, dan seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia.

Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi: silsilah nasab Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, sejarah hidupnya, akhlak dan karamah-karamahnya, di samping adanya doa-doa bersajak (nadaman, bahr dan rajaz) yang bermuatan pujian dan

tawassul melalui dirinya. Pengakuan akan kekuatan magis dan mistis dalam ritual manaqiban ini karena adanya keyakinan bahwa syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah qutb al-auliya’ yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah (pengaruh mistis dan spiritual) dalam kehidupan seseorang.

c. Khataman

Kegiatan ini merupakan upacara ritual yang biasanya dilaksanakan secara rutin di semua cabang kemursyidan. Ada yang menyelenggarakan sebagai kegiatan mingguan, tetapi banyak juga yang menyelenggarakan kegiatannya sebagai kegiatan bulanan, dan selapanan (35 hari).

(38)

sakral) dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban dalam semua tingkatan Zikir

lathaif (Jamil, 2005:64).

7. Amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah adalah termasuk tarekat zikir. Sehingga zikir menjadi ciri khas yang harus ada dalam tarekat. Dalam suatu tarekat, zikir dilakukan secara terus menerus (istiqomah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadah al-nafs) agar seorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan.

Penyebutan zikir dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah terdapat dua jenis zikir, yaitu zikir nafi isbat dan zikir ismu zat.

Zikir nafi isbat adalah zikir kepada Allah dengan menyebut kalimat laa ilaaha illa Allaah. Dilakukan dengan gerakan-gerakan simbolis sebagai sarana penyucian jiwa, yaitu membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh nafsu yang buruk. Zikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qodiriyah yang diucapkan secara jahr (dengan suara keras).

Zikir ismu zat adalah zikir kepada Allah dengan menyebut kalimat Allah secara sirr (dalam hati). Zikir ini juga disebut zikir latifah yang dapat mengaktifkan kelembutan-kelembutan rohani yang ada dalam diri manusia. Zikir ini merupakan ciri khas dari Tarekat Naqsabandiyah.

Sedangkan Bruinessen mengutip dalam kitab Fath al Arifin amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dijelaskan sebagai berikut:

“Membaca istigfar sekurang-kurangnya dua kali atau dua puluh kali dengan mengucapkan astagfir Allah al-ghafur ar-rahim, kemudian membaca shalawat

(39)

jami’al-ahwat wa al-afat, kemudian membaca alfatihah kepada sayyidina Rosullah SAW, sahabatnya, sekalian masyayikh ahl al-silsilah Al-qodiriyah wa Naqsyabandiyah khususan Sayyidina Syeikh Abd-Qadir Al-Jilani wa sayyidina al syeikh junaidi al-baghdadi wa syeikh khatib sambaswa abna‟ ina wa umahatina wa ikhwanina al-muslimin walmuslimat wa al mukminina wa al mukminat al-ihya minhum wa al-amwat wa al- salam (Bruinessen, 1995:216) B. Perilaku Ihsan

1. Pengertian Ihsan

Secara etimologi ihsan adalah baik (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:368). Kata ihsan memiliki akar kata hasanyang berarti baik. Ihsan berarti berbuat sesuatu secara baik. Tidak asal berbuat. Ihsan juga mengerjakan sesuatu secara profesional atau berkualitas (Ahmadi, 2004:165)

Sedangkan ihsan menurut Asmaran, (1994: 88) adalah berbuat baik / perbuatan baik. Orang yang berihsan akan menghindari hal-hal yang buruk,keji dan munkar, meyakini Allah maha melihat dan membalas atas segela perbuatan.

Baik kebajikan maupun kebaikan (perilaku ihsan), erat kaitannya dengan

akhlak, yaitu keadaan yang melekat pada manusia yang melahirkan perbuatan,

tingkah lakuperangai, tabia‟at, mungkin baik mungkin juga buruk (Ali,

2008:345-346).

Perilaku ihsan mengandung makna yang ideal, yaitu yang termasuk dalam

segala tingkah laku, tabi‟at, watak dan perangai yang sifatnya baik. Hal ini tidak bisa

lepas dari norma agama dan juga norma kebiasaan (adat) yang baik pula.

Secara teologi ihsan dalam hubungan dengan Allah, adalah kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah atau kita meyakini bahwa Allah melihat kita. Sehingga kita beribadah dengan penuh kekhusyukan.

2. Macam-macam perilaku ihsan

(40)

a. Ihsan dalam beribadah

Ibadah yang ihsan yaitu ibadah yang dikerjakan dengan penuh kesungguhan, terpenuhi syarat rukun dan anjuran-anjurannya, serta berdampak pada perilakunya secara umum. Ibadah yang ihsan dikerjakan dengan kesadaran sepenuhnya, bahwa Allah swt. menyaksikan. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah r.a, beliau saw. bersabda:

ُوَّنِا ف ُها ر ت ْنُك ت ْ لَ ْنِا ف ُها ر ت كَّن ا ك لله ا دُبْع ت ْن ا

كا ر ي

Artinya: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari-Muslim) b. Ihsan dalam berbicara

Alat komunikasi yang paling utama antar manusia adalah melalui kata-kata. Melalui kata-kata manusia menyampaikan isi hati kepada lawan bicara. Bahkan, kata-katalah yang menjadi alat utama dalam berdakwah. Maka, Islam sangat menganjurkan setiap muslim untuk berhati-hati dalam berkata-kata, agar mendatangkan pahala dan menghindarkan dari dosa. Hendaklah kata-kata bisa membuahkan hasil yang positif, seperti persaudaraan dan cinta kasih. Bukan melahirkan permusuhan dan kebencian.

Kata-kata yang baik adalah kata-kata yang sejuk didengarkan. Tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan dan jelas maksudnya. Bahkan kepada musuh sekali pun, harus berbicara dengan kata-kata yang lembut. Sebagaimana Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika

memerintahkan keduanya untuk mendakwahi Fir‟aun:

(41)

c. Ihsan dalam membunuh dan menyembelih

Membunuh sering dikaitkan dengan hal yang kejam. Tetapi dalam Islam membunuh diperbolehkan seperti halnya dalam perang. Maka Nabi menasihatkan agar pembunuhan dilakukan dengan ihsan. Etika membunuh musuh juga berlaku dalam menyembelih binatang.

d. Ihsan dalam pergaulan terhadap sesama

Pergaulan merupakan bagian penting dalam kehidupan. Melalui pergaulan, bisa mengekspresikan nilai-nilai agama dan terjalin persaudaraan. Seorang muslim yang bergaul dan mengalami pahit getirnya pergaulan, dianggap lebih baik kualitasnya daripada seorang yang tidak ikut merasakan pahit getirnya perlakuan orang lain.

e. Ihsan dalam berbakti kepada orang tua

Orang tua mendapatkan tempat yang istimewa dalam agama. Karena melalui orang tualah Allah menciptakan dan menumbuhkan umat manusia. Hingga Allah swt. seolah-olah menggantungkan ridha dan murka-Nya kepada ridha dan murka orang tua.

Karena kehormatannya hingga menyebutkan ihsan kepada orang tua disebutkan setelah perintah ibadah kepada Allah.

Allah swt. berfirman:

janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu

(42)

f. Ihsan dalam keluarga

Keluarga merupakan komponen pembentuk masyarakat. Dari keluarga diharapkan lahir sumber daya manusia yang bisa mewarnai kehidupan bermasyarakat. Untuk itu peran masing-masing anggota harus dioptimalkan. Dari semua anggota keluarga diharapkan bisa ihsan dalam menjalankan perannya masing-masing. Seorang ayah harus menjadi pemimpin keluarga yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarga yang lain. Seorang ibu harus mampu membuat suasana internal rumah tangga yang menyejukkan selain juga harus mendidik anak. Agar menjadi anak yang baik di tengah keluarga besarnya. g. Ihsan dalam berdakwah

Berdakwah haruslah dilakukan secara baik atau ihsan, karena dari hasilnya dituntut adanya ketertarikan terhadap Islam. Para dai atau lembaga-lembaga dakwah harus memikirkan secara serius agar dakwah yang dijalankan bernuansa ihsan, sehingga dengan kualitas dakwah tersebut orang tertarik kepada agama Islam.

Ihsan dalam berdakwah berarti terpenuhinya rukun dakwah. Rukun dakwah meliputi hikmah, mau‟izah hasanah, dan mujadalah. Dan juga rukun -rukun lain yang lebih terinci antara lain penguasaan materi, penguasaan metodologi dakwah, perilaku teladan dai, perangkat yang memadai, dan pendukung-pendukung dakwah lainnya seperti perencanaan, organisasi, dan evaluasi.

3. Indikator perilaku ihsan dalam berbicara dan perbuatan terhadap sesama (pergaulan terhadap orang lain)

(43)

disisi-Nya. Kemuliaan tersebut bisa di dapat jika manusia ihsan kepada Allah dan kepada sesama. Seseorang yang cuma rajin beribadah kepada Allah seperti shalat, puasa, dan haji tetapi tidak berbuat baik terhadap sesama maka dia bukanlah orang yang berbuat

ihsan. Dia bukan orang yang disukai Allah. Dari uraian tersebut, maka dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti perilaku ihsan dalam berbicara dan dalam berbuat terhadap sesama (pergaulan terhadap orang lain). Adapun indikator kedua perilaku ihsan tersebut adalah:

a. Indikator perilaku ihsan dalam berbicara

Adapun indikator-indikator perilaku ihsan dalam berbicara adalah: 1) Berbicara tentang kebaikan

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari orang lain. Hal ini tentu dibutuhkan komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lain. Manusia dibekali lisan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dan akal untuk berpikir. Orang yang berakal selayaknya bisa mengendalikan apa yang diucapkan. Kalau ingin bicara hendaknya berpikir terlebih dahulu apakah kata-kata tersebut menyakiti orang lain atau tidak. Karena tidak hanya perbuatan yang di hisab tetapi juga perkataan. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

Artinya:“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir (Q.S. Qaaf: 18)

2) Berbicara dengan nada yang halus

(44)

dianjurkan agar supaya tidak membuat orang lain tersinggung dengan perkataan yang diucapkan.

Berbicara dengan nada halus yaitu dalam berbicara selalu menjaga suaranya agar tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih, menggunakan intonasi yang sesuai. Berbicara yang halus tidak hanya kalau berbicara kepada orang tua, melainkan kepada semua orang bahkan kepada musuh sekalipun. Allah

Artinya: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.

Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman: 19) 3) Tidak berbicara dengan kata keji

Berbicara dengan kata-kata keji merupakan akhlak tercela. Allah swt. tidak menyukai orang-orang yang selalu berbicara keji. Maka dari itu hendaknya menghindarkan dari kata-kata yang keji. Mencela, menghina, mencemooh orang lain merupakan perkataan yang keji, karena dengan hal itu akan membuat orang lain sakit hati dan tersinggung.

Berbicara dengan kata keji adalah kebiasaan yang tercela dan terlarang, harusnya selalu menjaga lisan dari kata-kata keji yang dapat menyakiti orang lain. Kata-kata keji ini timbul dari budi rendah dan jiwa yang hina (Hamka, 1992:36).

(45)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah

orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Hujarat: 11).

4) Tidak berbicara yang dusta

Setiap kata yang keluar dari lisan hendaknya kata-kata yang sebenarnya. Tidak mengada-ada atau merekayasa. Karena setiap kata yang keluar dari mulut kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Berbicara dusta akan menyeret manusia ke dalam neraka. Mukmin yang menyempurnakan imannya memilih berkata yang sebenarnya, tidak hanya berbicara kosong belaka tetapi tidak terealisasi dengan baik. Allah swt. berfirman:

(46)

kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S: Ash-Shaff : 2-3)

5) Tidak membicarakan aib orang lain

Membicarakan orang lain atau yang disebut ghibah merupakan perbuatan tercela. Imam Al-Ghazali telah menghitung ada dua puluh bencana karena lisan, dan salah satu diantaranya adalah ghibah (membicarakan orang lain) (Suprianto, 2004:49).

Allah Swt tidak suka dengan orang yang sering membicarakan orang lain. Dalam Al-Qur‟an Allah berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujaarat: 12)

b. Indikator perilaku ihsan dalam perbuatan terhadap sesama (pergaulan terhadap orang lain)

(47)

1) Memberi salam bila bertemu orang lain

Ucapan salam termasuk dari syiar Islam yang paling nampak, Allah menjadikannya sebagai ucapan selamat di antara kaum muslim. Menyebarkan salam termasuk dari sebab-sebab tersebarnya cinta dan kasih sayang di tengah-tengah kaum muslimin. Dan tidak sepantasnya seorang membatasi ucapan salam hanya unuk sebagian orang (yang dikenal) dan tidak kepada lainnya (yang tidak dikenal). Hukum orang memulai salam adalah sunnah sementara yang menjawab adalah wajib.

Allah berfirman:

Artinya:”apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,

Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah

memperhitungankan segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa:86)

2) Mempererat tali silaturahmi

Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat mulia. Karena dengan silaturahmi bisa mempererat hubungan persaudaraan diantara muslim dan dapat meningkatkan kerukunan antara sesama.

Allah swt. telah berfirman:

(48)

Artinya:”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

janganlah kamu bercerai berai.” (Q.S. Ali Imran:103)

3) Menolong orang yang sedang kesusahan

sebagai seorang muslim, dianjurkan untuk saling tolong menolong terutama dalam hal kebaikan. Allah akan melepaskan kesulitan pada hari kiamat jika seorang tersebut menghilangkan (membantu) kesulitan seorang mukmin di dunia. Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Siapa yang berbuat baik maka kebaikannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri.

Allah swt. berfirman:

sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.” (Q.S. Al-Israa‟:7)

4) Menjenguk orang lain yang sedang sakit

(49)

Disunnahkan pada saat menjenguk orang sakit untuk menanyakan keadaannya, mendoakan serta menghiburnya dan memberinya harapan karena hal tersebut merupakan sebab yang paling besar untuk mendatangkan kesembuhan dan kesehatan.

5) Menghadiri undangan yang diberikan orang lain

Hukum memenuhi undangan seorang muslim adalah sunnah

mu‟akkaddah. Terlebih menghadiri undangan orang lain mencerminkan

sebagai seorang karib yang setia dan berbudi tinggi. Menghadiri undangan orang lain menunjukkan rasa menghormati orang lain. Hal ini akan menarik hati orang yang mengundang serta mendatangkan rasa cinta dan kasih sayang. 6) Bersedia memaafkan kesalahan orang lain

Agama mengajarkan agar manusia dengan lapang dada memberi maaf kepada orang yang telah berbuat salah. Memberi maaf kepada orang atas ketidaksengajaannya adalah keutamaan buat orang yang sempat tersakiti. Dan memberi maaf atas tindakan buruk orang lain juga sebuah keutamaan.

Sebagaimana Rasulullah telah mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bersifat pemaaf. Ketika beliau melewati dan sering diganggu oleh seseorang yang tidak suka terhadap beliau, Nabi selalu memaafkan.

Sikap pemaaf menunjukkan seseorang memilih jalan yang dekat dengan keridhoan Allah. Sebagaimana firman Allah swt.:

(50)

memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat

kebajikan.” (Q.S. Ali Imron: 134)

7) Menegur kesalahan orang lain dengan bijaksana.

Dalam pergaulan sehari-hari, adakalanya seseorang melakukan kesalahan, baik itu yang disengaja ataupun tidak disengaja. Maka sebagai seseorang yang mengetahui perbuatan tersebut, selayaknya menegur dengan bijaksana. Yaitu dengan menggunakan pendekatan positif dan kata-kata yang lembut.

Menegur orang lain yang berbuat salah dengan bijaksana, merupakan sikap baik yang perlu ditumbuh kembangkan, Syeikh Mustofa Al-Gholayani (1976 : 227-228) mengatakan:

Manakala anda melihat seseorang yang tersesat dari jalan kebenaran, menyeleweng dari petunjuk agama yang benar dan kemudian dia menempuh jalan yang sah dan rendah dipandangan masyarakat, lebih-lebih jikalau dia telah kebingungan mondar mandir kesana kesini bagaikan orang yang berada ditengah padang luas atau samudera besar dan hanya berpegang kepada sekerat kayu kapal yang telah lama terbenam dan hancur sebab terbentur karang. Nah dikala anda mengetahui orang yang berkeadaan sedemikian itu, hendaklah anda memeras otak dan pikiran bagaimana cara memberikan kepada manusia yang kebingungan tadi. Gunakan kata-kata manis dan lemah lembut untuk menyadarkannya, bahwa ia sebenarnya adalah dalam keadaan gawat sekali, tiada diketahui dirinya sendiri. Nasihatilah dia dengan cara yang bagus tanpa menusuk perasaan hatinya dan berhati-hatilah untuk memilih kata yang sopan sehingga dia tidak mengerti bahwa maksud anda adalah menginsafkan kekeliruan jalan ditempuhnya.

8) Mau menerima nasihat dari orang lain

(51)

Namun tidak semua manusia senang untuk dinasihati, serta bersedia mendengar, menerima dan menjalankan nasihat.

Sesungguhnya orang yang tidak mau menerima nasihat dari orang lain adalah orang yang merugi. Sebagaimana firman Allah swt.:

Artinya:”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-„Ashr:1-3)

C. Hubungan Pengamalan Ajaran Tarekat dengan Perilaku Ihsan

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari pergaulan terhadap sesama. Dalam melangsungkan kehidupannya manusia sangat membutuhkan orang lain. Perlu adanya kesadaran yang tinggi agar tercipta hubungan sosial yang baik.

Kondisi zaman yang semakin semarak dengan berbagai kecanggihan media yang ditawarkan menjadikan masyarakat cenderung apatis (cuek) terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Perhatian mereka lebih mengedepankan yang bersifat keduniawian sehingga nilai-nilai agama sedikit demi sedikit memudar. Mereka lebih suka mengguncingkan tetangga, enggan menolong, acuh terhadap saudara dan sebagainya.

Melihat fenomena-fenomena masyarakat yang demikian tentunya menjadikan para pemuka-pemuka agama tergerak hatinya untuk mengantisipasi meluasnya masyarakat yang mempunyai tenggang rasa terhadap sesama yang rendah.

(52)

suka dengan amalan-amalan, melihat adanya tarekat ini mereka cenderung untuk mengikutinya karna merasa butuh akan pentingnya tasawuf bagi kehidupan mereka dan tentunya dengan tujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah swt.

Tasawuf merupakan ajaran atau ilmu untuk mengetahui hal ikhwal nafsu yang terpuji maupun yang tercela, cara mensucikan nafsu dari sifat-sifat tercela serta menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Dan cara menempuh perjalanan ke hadirat Allah swt. tarekat ini berupaya untuk mengendalikan nafsu tercela manusia salah satunya dengan cara menggunakan atau mengisi waktu-waktu luang mereka untuk senantiasa selalu mengingat Allah. Sehingga dengan demikian manusia jarang mempunyai peluang untuk berbuat hal yang dipandang jelek oleh agama.

(53)

BAB III

HASIL PENELITIAN A.Gambaran Umum Lokasi dan Subyek Penelitian

1. Keadaan Geografis

Desa Timpik merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah. Dengan luas wilayah 728, 304 ha. Yang terdiri dari tiga belas dusun yakni Dusun Karang Salam, Kaibon, Gedangan, Kauman, Durenan, Geneng, Timpik, Sumber,Ngasinan, Bogo, Lempuyangan, Jetak dan Cengklik.

Secara geografis Desa Timpik yang terletak di Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang dibatasi oleh:

1. Sebelah utara : Desa Susukan dan Desa ketapang 2. Sebelah Timur : Desa Tawang

3. Sebelah selatan : Desa Rogo mulyo

4. Sebelah barat : Desa Ngampon KecamatanAmpel 2. Keadaan Monografis

(54)

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk Desa Timpik Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Tahun 2015

No Nama Dusun Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Karang Salam 289 298 587

(Sumber Data: Sekertaris Desa Timpik)

Masyarakat Desa Timpik yang berjumlah 5.542 jiwa mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, dan untuk Dusun Sumber 100% penduduknya beragama Islam, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2

Penduduk Desa Timpik Berdasarkan Agama

(55)

Jumlah 2.740 2.808 5.548 (Sumber Data: Sekertaris Desa Timpik)

Adapun mata pencaharian Desa Timpik Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang tahun 2015 sebagian besar adalah petani, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3

Penduduk Desa Timpik Berdasarkan Mata pencaharian

No Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 PNS 26 10 36

2 TNI 4 - 4

3 POLRI 7 - 7

4 Pegawai Swasta

493 189 682

5 Pensiunan 15 8 23

6 Pengusaha 2 - 2

7 Buruh Bangunan

134 - 134

8 Buruh Industri 48 70 118

9 Buruh Tani 334 343 677

10 Petani 703 656 1.359

11 Peternak 6 - 6

12 Nelayan - - -

13 Lain-lain 966 1.528 2.494

JUMLAH 2.738 2.804 5.542

(Sumber Data: Sekertaris Desa Timpik)

(56)

Tabel 3.4

Penduduk Dusun Sumber Berdasarkan Mata pencaharian

No Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 PNS 3 4 7

2 TNI 9 - 9

3 POLRI 2 - 2

4 Pegawai Swasta

6 4 10

5 Pensiunan 2 - 2

6 Pengusaha - - -

7 Buruh Bangunan

10 - 10

8 Buruh Industri 26 18 44

9 Buruh Tani 8 1 9

10 Petani 149 72 221

11 Peternak - - -

12 Nelayan - - -

13 Lain-lain 24 30 54

JUMLAH 239 129 368

(Sumber Data: Kepala Dusun Sumber)

B.Profil Tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang

1. Sejarah Singkat

(57)

Setelah H. Ahmad Ilyas meninggal, yang melanjutkan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, dilanjutkan oleh H. Abu Bakar Shidiq. Beliau dibaiat oleh guru/mursyid bapak K.H. Basyri Abdul Syukur di Desa Ketapang. Pada masa bapak H. Abu Bakar Shidiq, masyarakat yang ingin mengikuti tarekat dibaiat di Desa Ketapang oleh K.H Salman Basyri dan K.H Makin Basyri.

Bapak H. Abu Bakar Shidiq telah meninggal, selanjutnya dilanjutkan oleh bapak Ahmadi Ilyas sampai sekarang. Beliau dibaiat oleh K.H Salman Basyri di Desa Ketapang.

(Sumber Data: Ketua Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah) 2. Susunan Kepengurusan Jamaah Tarekat

Adapun susunan kepengurusan jamaah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber, Desa Timpik, Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

a. Ketua : Ahmadi Ilyas b. Ustadz : Ahmadi Ilyas c. Sekretaris : H. Ali Rohman d. Bendahara : H. Ja‟far Shodiq

(Sumber Data: Ketua Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah) 3. Kegiatan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Dusun Sumber

(58)

Kegiatan harian ini dilaksanakan secara pribadi oleh pengikut Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Kegiatan bulanan atau sebelasan (sewelasan) dilaksanakan pada hari sebelas tanggal jawa dilaksanakan secara berjamaah bertempat di rumah jamaah secara bergantian setiap bulannya, pengajian sewelasan tidak hanya diikuti oleh masyarakat yang sudah ikut tarekat saja, tetapi masyarakat yang belum di baiat dalam tarekat juga ikut. Amalan yang di baca adalah membaca manaqib yang berisi sejarah hidup Syeikh Abdul Qadir Jilani. Dan yang terakhir adalah kegiatan tahunan atau khaul, khaul

dilaksanakan di masjid. Biasanya khaul diisi dengan kajian akhlak. (Sumber Data: Ketua Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah) C. Penyajian Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah mengenai hubungan pengamalan ajaran tarekat dengan perilaku ihsan pada jamaah sewelasan Dusun Sumber Desa Timpik Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang tahun 2015. Untuk itu penulis mendistribusikan angket yang berisi 26 item pertanyaan tentang kedua variabel tersebut kepada responden, 13 item soal berisi pernyataan Pengamalan Ajaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dan 13 item berisi Perilaku Ihsan. 1. Daftar Responden

(59)

Tabel 3.5

Daftar Nama Responden

No Nama

Responden

Jenis Kelamin Umur

(60)

29. 30. 31. 32. 33. 34.

.

H.Ja‟far Sodiq

Suyati Sri Lestari Istirokah Amat Nazari Somyani

L L

L L

P P P

(61)

2. Data Jawaban Angket Tentang Pengamalan Ajaran Tarekat Tabel 3.6

(62)

29 JSDQ A B A A A B A B B A A A B

3. Data Jawaban Angket Tentang Perilaku Ihsan

Tabel 3.7

(63)

Gambar

Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 3.1
Tabel 3.3
+7

Referensi

Dokumen terkait