• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan untuk Kawasan Perairan Tawar dan Sawah Irigas

5.2.1 Kesesuaian Lahan untuk Kolam menggunakan Metode MCE 1 Hasil AHP untuk Penentuan Bobot Kriteria dan Faktor

5.2.1.6 Pengamatan Lapang

Pengamatan lapang dilakukan terhadap pembudidaya di Kecamatan Karangtengah, Mande, Ciranjang, Sukaluyu, Cianjur, Cibeber dan Cikalongkulon. Pemilihan kecamatan mengacu pada luas lahan eksisting dan luas lahan sesuai dan

tersedia untuk kolam. Hasil pengamatan lapang disajikan pada Tabel 25 dan Gambar 20.

Tabel 25. Titik pengamatan lapang selang kelas kesesuaian lahan untuk kolam

Kelas Titik koordinat (meter)

Nilai derajat kesesuaian

Produksi ikan

(ekor/ha/MT) Jenis Ikan Kecamatan

S1 x: 746,543.049 y: 9,251,915.099 0,3299 190.000 Nila Ciranjang x: 743,077.001 y: 9,245,242.585 0,3207 200.000 Nila Karangtengah x: 748.919,012 y: 9.246.836,438 0,3299 200.000 Nila Mande S2 x: 736.020,458 y: 9.247.534,098 0,2892 120.000 Nila Cianjur x: 742.026,511 y: 9.249.121,601 0,2911 160.000 Nila Karangtengah x: 747.323,572 y: 9.256.487,399 0,3055 150.000 Nila Cikalongkulon S3 x: 742.494,916 y: 9.254.003,228 0,2455 75.000 Nila Mande x: 743.288,668 y: 9.239.580,490 0,2364 50.000 Nila Sukaluyu x: 739.724,632 y: 9.233.517,768 0,1663 75.000 Mas Cibeber Keterangan : MT: Masa Tanam

Gambar 20. Titik pengamatan lapang penentuan selang kelas analisis kesesuaian lahan untuk kolam

Ciranjang, S1 Karangtengah, S1 Mande, S1 Cikalongkulon, S2 Sukaluyu, S3 Cibeber, S3 Mande, S3 Karangtengah, S2 Cianjur, S2

Pembudidaya yang diamati berasal dari usaha pedederan IV yaitu pemeliharaan benih dari tingkat ukuran belo (5 - 8 cm) sampai ketingkat benih ukuran sangkal (8 - 12 cm). Ikan yang diamati adalah Ikan Mas dan Nila. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa selang kelas yang ditentukan berdasarkan bobot sub-faktor sesuai dengan lokasi yang diamati. Berdasarkan nilai produksinya, lahan kelas S1 menghasilkan nilai produksi yang paling tinggi dan lahan kelas S3 menghasilkan nilai produksi yang paling rendah. Produksi pada lahan kelas S1 rata-rata sebesar 190.000-200.000 ekor/ha/MT. Produksi pada lahan kelas S2 rata-rata 120.000-160.000 ekor/ha/MT. Produksi pada lahan kelas S3 rata-rata kurang dari 100.000 ekor/ha/MT. Lahan kelas S2 yang diamati mempunyai pembatas berupa jarak dari sungai dan lereng. Lahan kelas S3 yang diamati mempunyai pembatas berupa lereng, jarak dari sungai dan jarak dari jalan. Jarak dari sungai yang semakin jauh dapat menyebabkan kualitas air yang sampai di lokasi budidaya menjadi lebih rendah dibanding lokasi yang lebih dekat dengan sumber air. Titik pengamatan hanya dilakukan dibeberapa kecamatan di wilayah Cianjur bagian utara sehingga diasumsikan pola budidaya yang dilakukan pembudidaya di wilayah tersebut seragam.

Penambahan unit usaha budidaya melalui strategi ekstensifikasi dapat dilakukan di kecamatan-kecamatan yang menunjukkan kesesuaian lahan kelas S1 dan S2. Pengembangan lahan pada kelas S2 tersebut dipilih karena memperlihatkan luasan lahan yang besar dan memerlukan pengelolaan yang lebih kecil dibanding lahan kelas S3. Hasil analisis ini menggambarkan bahwa lahan yang tersedia untuk kolam pada lahan kelas S1 dan S2 sebesar 7,77% dari total

luas wilayah. Tingginya konflik kepentingan penggunaan lahan akan mempengaruhi ketersediaan lahan untuk kolam. Oleh karena itu, pengembangan lahan harus disertai penggunaan teknologi agar menghasilkan produksi ikan yang lebih banyak per satuan lahannya. Teknologi yang dianjurkan adalah semi-intensif karena cocok diterapkan pada pembudidaya ikan di Kabupaten Cianjur. Usaha budidaya ikan yang dikembangkan di Kabupaten Cianjur selama ini lebih banyak dilakukan dengan teknologi tradisional. Penerapan teknologi semi intensif memerlukan modal untuk menyediakan sarana produksi yang lebih banyak. Teknologi semi intensif memungkinkan padat tebar ikan yang lebih tinggi dibandingkan teknologi sederhana sehingga dapat menghasilkan produksi ikan yang lebih tinggi. Konsekuensi dari penerapan teknologi semi intensif yaitu memerlukan modal yang lebih besar. Modal menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya. Bantuan permodalan yang ada cukup banyak, akan tetapi mekanisme penyaluran pinjaman modal masih menjadi kendala bagi pembudidaya. Hasil analisis kesesuaian lahan yang telah dilakukan menggambarkan bahwa lahan yang ada di Kabupaten Cianjur sangat mendukung untuk pengembangan budidaya ikan di kolam. Hal ini terlihat dari luas lahan kelas S1, S2 dan S3 yang cukup tinggi untuk pengembangan budidaya ikan air tawar . 5.2.1.7 Kualitas Air

Kualitas air merupakan aspek penting dalam budidaya ikan. Pengujian kualitas air dilakukan pada 5 (lima) sampel sungai, yaitu Sungai Cikundul (Kecamatan Cikalongkulon), Sungai Cisokan (Ciranjang), Sungai Cianjur

(Cianjur), Sungai Cikondang (Cibeber) dan Sungai Parungbedil (Sukaluyu). Parameter yang diukur terbagi menjadi 2 (dua), yaitu parameter yang langsung diukur di lapangan (suhu, pH dan DO) dan parameter yang di ukur di laboratorium (BOD5, COD dan H2S) (Tabel 26).

Tabel 26. Hasil pengujian kualitas air

Parameter Nama Sungai Baku

Mutu3

Cikundul Cisokan Parungbedil Cikondang Cianjur

Suhu1 26,5 27 28 28 26,5 deviasi 3 pH1 7 6,5 7,5 7,5 6,5 6-9 DO1 7,33 5,79 6,17 6,58 5,79 >3 BOD52 2,00 1,20 2,90 2,70 2,20 6 COD2 40,97 20,12 20,12 26,23 23,68 50 H2S2 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,002 Keterangan : 1

hasil pengujian di tempat

2

hasil pengujian Laboratorium Produktifitas dan Ekologis Perairan (PROLING), Departemen MSP, FPIK, IPB

3

Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Pengukuran kualitas air bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan yang akan masuk ke dalam lokasi budidaya ikan. Secara umum, kualitas air pada lokasi yang di uji menunjukkan kondisi yang masih layak untuk budidaya ikan sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Klasifikasi mutu air yang digunakan berasal dari kelas tiga, yaitu air dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, mengairi tanaman dan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.

Suhu berperan penting bagi kehidupan dan perkembangan biota air. Peningkatan suhu dapat menurunkan kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar 26,5–28 0C. Sungai Cikundul dan Cianjur mempunyai suhu yang lebih rendah, akan tetapi masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi. Parameter lain yang perlu diketahui adalah pH untuk mendeteksi potensi produktifitas kolam. Hasil pengukuran pH adalah 6,5-7,5 dan menunjukkan kisaran yang layak untuk budidaya. Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen di dalam air dipengaruhi suhu. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan oksigen, begitu juga sebaliknya. Hasil pengukuran oksigen terlarut dalam penelitian ini berkisar antara 5,79-7,33 mg/l sehingga masih termasuk kategori yang layak untuk budidaya ikan. Nilai BOD5 yang

diperoleh lebih kecil dari 6, yaitu 1,20-2,90 mg/l. Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD 1973

dalam Salmin 2005). Hasil COD dan H2S menunjukkan nilai yang layak untuk

5.2.2 Kesesuaian Lahan untuk Minapadi

Dokumen terkait