• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.3 Uji In Vivo

3.1.3.6 Pengamatan Organ Dalam

Pengamatan organ dalam perlakuan daun pepaya positif, lidah buaya, meniran perlakuan daun pepaya, ginjal empedu berwarna biru gelap perlakuan kontrol negatif, dan bawang putih, dan paci berwarna merah kecoklatan, berwarna merah kehitaman.

Perlakuan kontrol negatif

a

d

Tabel 4. Penyembuhan luka

penyembuhan luka (%/hari) 4.47 ± 19.45

10.01 ± 28.18 8.31 ± 7.16 10.55 ± 7.56 9.71 ± 15.88

Berdasarkan Tabel 4, perubahan diameter luka terbaik berturut meniran ditambah bawang putih, lidah buaya, paci-kontrol positif. Gejala klinis dan penghitungan penyembuhan

Lampiran 4 dan Lampiran 5.

3.1.3.6 Pengamatan Organ Dalam

Pengamatan organ dalam dilakukan pada hari ke-10 pascainfeksi. daun pepaya berbeda dengan perlakuan kontrol negatif, buaya, meniran ditambah bawang putih, dan paci-paci.

pepaya, ginjal berwarna merah tua, hati berwarna merah biru gelap dan limpa berwarna merah gelap. Sedangkan negatif, kontrol positif, lidah buaya, kombinasi antara

dan paci-paci , ginjal berwarna merah tua kecoklatan, kecoklatan, empedu berwarna kuning kehijauan, dan

hitaman.

kontrol negatif Perlakuan kontrol positif

c

b

a c

d

terbaik berturut turut -paci, daun penyembuhan luka

pascainfeksi. Organ negatif, kontrol paci. Pada berwarna merah gelap, Sedangkan pada kombinasi antara meniran kecoklatan, hati kehijauan, dan limpa

positif

Perlakuan lidah buaya

Perlakuan meniran dan bawang Putih

Gambar 20. Organ dalam

b = hati, c = empedu, d =

3.1.3.7 Kualitas Air

Air merupakan media salah satu parameter penting air yang diukur adalah oksigen suhu dan pH. Pada awal perlakuan 6.9, suhu awal 28oC, dan

air yang memenuhi syarat oksigen terlarut > 2 mg/l, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas air pada akhir perlakuan Parameter

K-pH 6.9

DO (ppm) 4.24

TAN (ppm) 0.496 Keterangan : K-= kontrol negatif,

meniran+bawang putih, D =

a

d

c

a

d

c

Perlakuan lidah buaya Perlakuan daun pepaya

meniran dan bawang Perlakuan paci-paci

Organ dalam ikan lele setiap perlakuan (keterangan : a= ginjal, b = hati, c = empedu, d = limpa)

merupakan media hidup bagi ikan. Sehingga kualitas air merupakan parameter penting untuk kelangsungan hidup ikan. Parameter

adalah oksigen terlarut (DO), Total Amoniak Nitrogen Pada awal perlakuan oksigen terlarut sebesar 4.84 ppm, pH

C, dan TAN awal 0.397 ppm. Menurut KKP (2010c syarat untuk budidaya ikan lele dumbo adalah pH > 2 mg/l, suhu 26-30oC, dan TAN maksimum 1 mg/l. Kualitas ai dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas air pada akhir perlakuan

Perlakuan

- K+ A B C

6.9 6.9 6.9 6.81 6.9

4.24 4.26 4.04 4.18 4.36

0.496 0.504 0.308 0.348 0.214 kontrol negatif, K+= kontrol positif, A = lidah buaya, B = daun pe

bawang putih, D = paci-paci

b

a

d

b

c

b

c

a

d b

Perlakuan daun pepaya

ngan : a= ginjal,

kualitas air merupakan Parameter kualitas Nitrogen (TAN), ppm, pH sebesar c), kualitas adalah pH 6.5-8.5, Kualitas air D 6.9 4.2 0.509 daun pepaya, C =

b

b

Kualitas air masih terkontrol dari awal hingga akhir perlakuan sesuai kebutuhan optimal hidup ikan lele. Kisaran suhu selama perlakuan, pada pagi hari berkisar antara 25-26oC, siang hari berkisar antara 26-30oC, dan pada sore hari berkisar antara 28-30oC (Gambar 21).

Gambar 21. Suhu air selama perlakuan

3.2 Pembahasan

Bakteri uji yang sudah dipastikan adalah bakteri A. hydrophiladigunakan untuk uji in vivo. Untuk menentukan kepadatan bakteri yang digunakan untuk uji in vivomaka dilakukan penentuan nilai LD50, yaitu kepadatan bakteri yang dapat mematikan mendekati 50% dari populasi. Hasil dari LD50 menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila dengan kepadatan 108 cfu/ml dapat mematikan 50% dari populasi ikan lele. Hal ini berbeda dengan hasil LD50 pada Setiaji (2009), konsentrasi bakteri yang dapat mematikan 50% dari populasi ikan lele dumbo adalah konsentrasi bakteri 105cfu/ml. Namun pada penelitian Faridah (2010) dan Kurniawan (2010) juga diperoleh kepadatan 108cfu/ml bakteri A. hydrophilayang mendekati kematian ikan 50% dari populasi ikan lele (LD50) selama 7 hari. Hasil pengujian terhadap bakteri A. hydrophila menunjukkan bahwa bakteri tersebut bakteri yang virulen. Tingkat virulensi bakteri A. hydrophila bertambah setelah dilakukan isolasi ulang bakteri tersebut dari ikan lele yang diinfeksi A. hydrophila. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri dengan kepadatan 108 cfu/ml layak digunakan untuk uji in vivo. Menurut Plumb (1994), kemampuan bakteri

24 25 26 27 28 29 30 31 0 5 10 15 S u h u ( o C ) Hari ke pagi siang sore

sebagai patogen dapat menurun dikarenakan beberapa hal seperti waktu, cara penyimpanan dan peningkatan daya tahan tubuh inang yang diserang.

Uji in vivodilakukan selama 24 hari, yaitu 14 hari untuk pemberian pakan perlakuan dan 10 hari untuk pengamatan pasca infeksi. Uji in vivo ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pakan perlakuan yang diberikan, respon ikan terhadap pakan yang diberikan dari setiap perlakuan yang berpengaruh pada pertumbuhan ikan, kelangsungan hidup, gejala klinis, penyembuhan luka, morfologi dari organ dalam, dan pengaruh terhadap kualitas air.

Pakan diberikan secara at satiationatau sekenyangnya, dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pada umumnya ikan merespon pakan yang diberikan. Pada H1, secara keseluruhan ikan kurang merespon pakan perlakuan yang diberikan. Namun, rata-rata jumlah pakan yang dihabiskan semakin meningkat untuk semua perlakuan. Hanya pada hari tertentu nafsu makan ikan menurun. Misalnya pada saat terjadi kenaikan dan penurunan suhu yang drastis. Kualitas suhu air yang seperti ini tentunya dapat menyebabkan stres pada ikan karena memungkinkan terjadinya gangguan fisiologis ikan, dan dapat menyebabkan nafsu makan ikan menjadi menurun.

Perlakuan kontrol negatif memiliki jumlah konsumsi pakan paling rendah jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya sebelum uji tantang. Namun pasca uji tantang, kontrol negatif memiliki jumlah konsumsi pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan ikan kontrol negatif tidak diinfeksi dengan bakteri A. hydrophila melainkan menggunakan PBS. Sehingga ikan tidak mengalami stres yang berkepanjangan dan dapat kembali normal setelah 2 hari pascainfeksi. Pada perlakuan kontrol positif sebelum uji tantang memiliki jumlah konsumsi pakan paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 1.703 gram per hari. Namun dua hari pasca uji tantang ikan tidak merespon pakan yang diberikan. Setelah H2 pun ikan kontrol positif relatif tidak nafsu makan hingga H9. Perlakuan lidah buaya memiliki jumlah konsumsi pakan yang cukup tinggi yaitu 1.702 gram per hari. Sama halnya dengan penelitian Faridah (2010), ikan lele dumbo yang diberikan pakan perlakuan lidah buaya memiliki respon pakan yang tinggi. Namun setelah mengalami uji tantang perlakuan lidah buaya memiliki jumlah konsumsi pakan

yang sangat rendah. Ikan umumnya kurang merespon pakan yang diberikan. Hal ini diduga akibat stres pascainfeksi bakteri A. hydrophila. Perlakuan daun pepaya juga memiliki jumlah konsumsi pakan yang cukup baik pada saat sebelum uji tantang. Hal ini juga terjadi pada penelitian Setiaji (2009), ikan memiliki nafsu makan yang baik sebelum uji tantang, akan tetapi memiliki respon makan yang rendah setelah uji tantang. Namun setelah H4 pascainfeksi nafsu makan kembali normal. Berbeda halnya dengan penelitian ini, pasca uji tantang ikan cenderung kurang merespon pakan yang diberikan hingga hari ke-9. Pada perlakuan meniran ditambah bawang putih, ikan lele dumbo merespon pakan yang diberikan dan memiliki jumlah konsumsi pakan harian yang cukup baik. Namun pascainfeksi ikan relatif tidak nafsu makan. Setelah dua hari pascainfeksi nafsu makan mulai meningkat, hal ini juga terjadi pada Kurniawan (2010). Pada perlakuan paci-paci memiliki jumlah konsumsi pakan yang sedang, akan tetapi stabil selama perlakuan. Begitu pula halnya setelah uji tantang, ikan mulai nafsu makan setelah H2 dan cukup stabil hingga H9. Hal ini sesuai dengan Utami (2009) yang menyatakan pada perlakuan pencegahan dengan paci-paci, ikan merespon pakan dengan baik sebelum uji tantang, dan setelah uji tantang nafsu makan berangsur membaik hingga H8. Semua perlakuan memiliki gejala awal yang sama dua hari pasca infeksi yaitu tidak merespon pakan yang diberikan. Hal ini disebabkan stres akibat penanganan (handling) dan infeksi bakteri A. hydrophila. Ciri-ciri dari ikan stres ini adalah kulit tubuh berwarna lebih gelap, dan selalu berada di permukaan air dengan posisi vertikal. Stres adalah kondisi pertahanan tubuh menurun, dan stres merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi dan perannya sangat dominan (Affandi dan Tang, 2002).

Jumlah pakan yang dikonsumsi ini tentunya akan berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan ikan. Pertumbuhan relatif ikan juga dipengaruhi dari energi yang masuk ke tubuh ikan tersebut. Ikan dapat tumbuh dengan optimal apabila ada sejumlah asupan nutrisi yang diterima dan diserap oleh tubuh. Menurut Steffens (1989), sejumlah energi pakan melebihi untuk pemeliharaan tubuh maka dimanfaatkan untuk tumbuh. Dalam hal ini tentunya protein sangat berperan besar. Protein dalam pakan sebesar 30%. Protein pakan yang dibutuhkan oleh catfish berkisar dari 24-55% (NRC dalam Li et al., 2004). Pertumbuhan

relatif antar perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Setiap perlakuan menunjukkan pertumbuhan relatif yang cukup baik. Hal ini sesuai dengan jumlah konsumsi pakan setiap perlakuan yang relatif meningkat setiap harinya sebelum dilakukan uji tantang. Artinya ikan lele dapat menerima pakan yang diberikan dan terserap dengan baik, dibuktikan dengan pertambahan bobot dari ikan uji. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang meliputi genetik dan kondisi fisiologis ikan serta faktor eksternal yang berhubungan dengan lingkungan. Faktor eksternal tersebut yaitu komposisi kualitas kimia dan fisika air, bahan buangan metabolik, ketersediaan pakan, dan penyakit (Hepper dan Pruginin, 1984dalam Irawan et al., 2009).

Ikan lele yang diinfeksi dengan A. hydrophila, pada hari ke-1 pasca infeksi tepatnya pada jam ke-14 sudah menunjukkan gejala klinis berupa warna kulit menjadi gelap, radang atau adanya lesi putih, pembengkakan di daerah sekitar penyuntikan. Perlakuan kontrol negatif tidak menunjukkan gejala klinis. Perlakuan ini hanya mengalami stres selama dua hari pascainfeksi. Hal ini dikarenakan, pada perlakuan ini ikan lele tidak diinjeksi dengan menggunakan bakteri A. hydrophila melainkan menggunakan PBS. Sehingga kelangsungan hidup yang dihasilkan 100±0.00% sampai akhir perlakuan. Pada perlakuan kontrol positif, ikan lele mengalami gejala klinis seperti radang, hemoragi dan tukak. Ikan kontrol positif memiliki diameter tukak yang lebih lebar jika dibandingkan dengan perlakuan yang ditambahkan fitofarmaka. Hal ini dikarenakan tidak adanya imunostimulator yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Sehingga kelangsungan hidup yang dihasilkan hanya sebesar 33.33±23.09%. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila disebut penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) (Austin & Austin, 1987 dalam Angka, 2005). Bentuk kronis penyakit ini ditandai dengan perkembangan abses atau tukak ( Mc Daniel, 1979 dalam Angka, 2005).

Pada perlakuan lidah buaya 14 jam setelah penyuntikkan telah menunjukkan gejala klinis berupa hemoragi, dan pada H2 sudah menimbulkan tukak. Pada H1 sudah banyak ikan yang mengalami kematian. Penyakit ini dapat menyebabkan ikan mati tanpa menampakkan gejala klinis apapun atau tampak gejala seperti lesi kecil di permukaan tubuh, hemoragi lokal, hemoragi organ,

tukak kulit dalam, exophthalmia dan abses di rongga perut (Thune et al., 1993 dalam Angka, 2005). Ekstrak gel lidah buaya mengandung etanol, metanol dan aceton yang merupakan komponen antimikroba yang dapat menghambat aktivitas bakteri gram negatif maupun gram positif (Lawrence et al., 2009). Selain itu lidah buaya juga dapat mengobati penyakit seperti ulcer dan leukemia (Nwaoguikpe et al., 2010). Lidah buaya mengandung flavonoid, saponin, tannin, alkaloid dan komponen lainnya yang secara medis berpengaruh terhadap perawatan maupun pengobatan penyakit seperti luka hangus, borok pada kulit, dan infeksi pada kulit (Reynolds and Dweck, 1999 dalam Nwaoguikpe et al., 2010).

Flavonoid dan saponin menempel pada sel imun dan memberikan sinyal intraseluler atau rangsangan untuk mengaktifkan kerja sel imun lebih baik (Suprapto, 2006 dalam Sholikhah, 2009). Flavonoid ini kurang dapat dimanfaatkan oleh ikan lele. Hal ini diduga karena zat aktif tidak terekstraksi dengan baik atau mengalami penurunan jumlah akibat pemanasan dari proses repelleting. Kelangsungan hidup dari perlakuan ini paling kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu hanya sebesar 26.67±23.09%, sedangkan pada penelitian Faridah (2010), didapatkan kelangsungan hidup sebesar 73.33±11.55%. Hal ini dikarenakan metode pemberiannya yang berbeda. Pada Faridah (2010) metode pemberiannya adalah spray melalui pakan yang menggunakan binder putih telur sehingga diduga bahan aktifnya terekstraksi dengan baik, tetap terjaga dan termanfaatkan dengan baik oleh ikan lele dumbo.

Perlakuan daun pepaya juga mengalami gejala klinis yaitu berupa radang, hemoragi, dan memerahnya bagian sirip pada H1 pascainfeksi. Sehingga pada H1 sudah banyak ikan yang mengalami kematian. Hal ini diduga gejala klinis yang ditimbulkan tidak dapat diminimalisir oleh sistem pertahanan tubuh, karena diduga papain yang merupakan bahan aktif pada daun pepaya (Ardina, 2007 dalam Setiaji, 2009) yang terdapat pada pakan belum bekerja secara optimal. Karena untuk hal tersebut membutuhkan waktu dan peran besar dari sistem pencernaan dan kerja enzim di dalam tubuh ikan. Selain itu kandungan di dalam daun pepaya ini diduga merusak fungsi organ dalam pada tubuh ikan. Menurut Ardina (2007) dalam Setiaji (2009), di dalam ekstrak daun pepaya terkandung

enzim papain yang memiliki aktivitas proteolitik, dan antimikroba sedangkan alkaloid carpain berfungsi sebagai antibakteri. Pada H2 pascainfeksi ditandai dengan adanya tukak. Pada umumnya ikan dengan diameter tukak lebih dari 1.5 cm tidak dapat bertahan hidup. Sehingga kelangsungan hidup yang dihasilkan hanya sebesar 40±23.09%. Kelangsungan hidup yang dihasilkan sangat berbeda jauh dengan Setiaji (2009) yang mampu menghasilkan kelangsungan hidup 93.33%. Hal ini dikarenakan metode pemberian pada Setiaji (2009) melalui penyuntikan secara intramuskular sehingga zat aktif yang berupa papain lebih mudah dan cepat masuk ke dalam tubuh. Papain termasuk enzim hidrolase, yaitu enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis suatu substrat (protein) (Lukitasari, 2004dalam Setiaji 2009). Penggunaan tepung daun pepaya di dalam pakan untuk pencegahan penyakit MAS yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila ternyata kurang efektif.

Perlakuan meniran+bawang putih menunjukkan gejala klinis berupa radang, hemoragi dan tukak. Akan tetapi tukak yang dihasilkan tidak lebih besar dari 1 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan mampu memanfaatkan flavonoid dan alkaloid pada meniran (Sidik dan Subarnas, 1993 dalam Maulina et al., 2006) dan allicin yang terdapat pada bawang putih (Jabar et al., 2007) dalam pakan dan menstimulasi pembentukan antibodi di dalam tubuh, sehingga dapat menghambat kerja dari bakteri A. hydrophila. Allicin bergabung dengan protein, kemudian menyerang protein mikroba dan akhirnya membunuh mikroba tersebut (Watanabe, 2001 dalam Sholikhah, 2009). Meniran dan bawang putih memiliki bahan aktif tertentu yang dapat menghambat aktivitas bakteri Aeromonas hydrophila. Sidik dan Subarnas (1993) dalam Maulina et al.(2006), menyatakan bahwa meniran mengandung senyawa kimia golongan lignin, flavonoid, alkaloid, triterpenoid dan senyawa kimia lainnya seperti golongan lignin yaitu filantin, dan hipoflantin yang memiliki efek antihepatotoksik, antiinfeksi, antiinflamatory dan antivirus. Bawang putih memiliki kandungan therapeutic seperti antimikroba, anti-neoplastik, anti kardiovaskular, immunostimulan (Sato and Miyata 1999 dalam Jabar et al 2007). Komponen utama pada bawang putih adalah allicin yang memilki aktivitas anti mikroba (Jabar et al., 2007). Selain itu kelangsungan hidup ikan dari perlakuan ini lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya

dan hasil penelitian Kurniawan (2010) yaitu sebesar 66.67±11.55%. Penggunaan ekstrak meniran sebagai feed aditive yaitu suatu zat yang ditambahkan ke dalam pakan tanpa merubah komposisi pakan tersebut (Ensminger et al., 1990 dalam Maulina et al., 2006). Meniran dan bawang putih bekerja secara sinergis dan saling melengkapi sehingga berpengaruh secara langsung terhadap kelangsungan hidup ikan lele. Meniran berfungsi sebagai imunostimulan dan bawang putih memilki sifat antimikroba. Imunostimulan adalah aktivator dari sel darah putih. Sel darah putih memiliki limfosit yang berperan penting melawan faktor mikrobial (Faghani et al., 2008). Imunostimulan digunakan untuk pencegahan terhadap penyakit dan untuk mengantisipasi terjadinya penyakit karena lingkungan yang kurang baik (Nikl et al., 1993 dalam Webster C. Det al., 2001) atau serangan dari patogen (Webster C. Det al., 2001). Imunostimulan menurut Kamiso et al. (2010) dalam Kurniawan (2010) memiliki kelebihan yaitu meningkatkan daya tahan tubuh non spesifik, respon kekebalan relatif cepat, dapat menggunakan berbagai bahan, dapat dilakukan dengan berbagai cara (penyuntikkan, perendaman, dan melalui pakan), dapat meningkatkan kelangsungan hidup sehingga pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan.

Perlakuan paci-paci juga menunjukkan gejala klinis yang sama yaitu radang, hemoragi dan tukak. Sama halnya dengan perlakuan meniran+bawang putih, tukak yang dihasilkan tidak lebih besar dari 1 cm. Kelangsungan hidup perlakuan paci-paci yaitu sebesar 60±34.64%. Perlakuan dengan penambahan bubuk paci paci dalam pakan juga memberikan kelangsungan hidup yang baik. Hal ini dikarenakan paci-paci memiliki sejumlah bahan aktif. Kandungan kimiawi dalam daun dan akar paci-paci diantaranya adalah minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin, metanol dan alkaloid (Mukherjee et al., 1997 dalam Abdullah, 2008). Flavonoid selain berfungsi sebagai bakteriostatik juga berfungsi sebagai antiinflamasi (Hermawan, 2007). Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Hasim, 2003 dalam Abdullah, 2008). Persenyawaan fenolat dapat bersifat bakterisidal atau bakteriostatik bergantung pada konsentrasi yang digunakan. Cara kerja fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu dengan cara mendenaturasi protein sel (Pelczar dan Chan, 1988).

Berikut ini adalah mekanisme flavonoid dan saponin sebagai antimikroba : Flavonoid Saponin Antigen Limfosit Sel B Sel T

Sel plasma Sel efektor Antibodi

Macrophage

Pembunuhan bahan asing atau mikroorganisme penyerbu

Menghancurkan patogen

Gambar 22. Mekanisme flavonoid dan saponin sebagai antimikroba (Pelczar dan Chan, 1988)

Antigen adalah substansi yang apabila dimasukkan ke dalam inang akan menimbulkan respon kekebalan yang berakibat terhadap produksi antibodi dan sel-sel khusus (Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Pelczar dan Chan (1988), sel B menyebabkan timbulnya respon humoral karena setelah dilakukan kontak dengan antigen, sel ini menimbulkan sel plasma yang memproduksi antibodi. Sel T menyebabkan munculnya sel-sel efektor yang berpartisipasi dalam penyingkiran dan pembunuhan bahan asing. Selain itu sel T memperoleh bantuan makrofage dalam menghancurkan patogen atau merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Disamping membentuk sel-sel plasma, sel B juga membentuk sel-sel ingatan atau respon kekebalan sekunder. Hal ini memungkinkan inang yang sebelumnya telah terkenai suatu patogen untuk memberikan respon yang lebih segera dan lebih hebat apabila terinfeksi kembali.

Perlakuan kontrol negatif berbeda nyata dengan perlakuan kontrol positif, lidah buaya dan daun pepaya, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan meniran+bawang putih dan paci-paci (p>0.05). Perlakuan kontrol negatif tidak berbeda nyata dengan perlakuan meniran+bawang putih dan paci-paci, artinya kelangsungan hidup 100±0% pada perlakuan kontrol negatif tidak berbeda nyata dengan kelangsungan hidup 66.67±11.55% pada perlakuan meniran+bawang

putih dan kelangsungan hidup 60±34.64% pada perlakuan paci-paci. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa campuran antara meniran dan bawang putih dalam pakan dengan dosis 2.1% dan paci-paci dengan dosis 4% adalah fitofarmaka terbaik yang menghasilkan kelangsungan hidup paling tinggi, sedangkan campuran lidah buaya dalam pakan dengan dosis 0.5% menghasilkan kelangsungan hidup paling rendah. Perbandingan antara penelitian yang dijadikan acuan dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6. Hasil penelitian acuan

No Bentuk bahan

Perlakuan Konsentrasi Metode pemberian

Kelangsungan Hidup Pustaka 1 Ekstrak lidah buaya 5 ppt Spray melalui pakan 73.33±11.55% Faridah (2010) 2 Ekstrak daun

pepaya 20 mg/ml Penyuntikan 93.33% Setiaji (2009) 3 Bubuk Meniran

+ bawang putih 2.1% (1:2)

Formulasi dalam

pakan 60±20% Kurniawan (2010) 4 Ekstrak paci-paci 4 g/100 ml Spray melalui

pakan 61.12% Utami (2009)

Tabel 7. Hasil penelitian sekarang

No Bentuk bahan perlakuan Konsentrasi Metode Pemberian Kelangsungan Hidup Pustaka 1 Bubuk lidah buaya 0.5 % Formulasi dalam

pakan 26.67±23.09% Penelitian ini 2 Bubuk daun

pepaya 4%

Formulasi dalam

pakan 40±23.09% Penelitian ini 3 Bubuk meniran +

bawang putih

2.1% (0.7% meniran, 1.4% bawang putih)

Formulasi dalam

pakan 66.67±11.55% Penelitian ini 4 Bubuk paci-paci 4% Formulasi dalam

pakan 60±34.64% Penelitian ini

Total ikan yang mati pada hari ke-1 sebanyak 19 ekor. Hari ke-5 pasca infeksi sudah tidak tejadi kematian lagi. Pada umumnya ikan yang memiliki diameter lebih dari 1.4 cm tidak dapat bertahan hidup. Diameter tukak akan mengecil setelah hari ke-4 atau ke-5 pasca infeksi. Pada akhir pengamatan semua perlakuan dapat sembuh tanpa bekas luka, kecuali pada perlakuan kontrol positif. Salah satu faktor yang menentukan proses penyembuhan luka adalah diameter

maksimal dari luka yang terbentuk. Perlakuan yang menunjukkan penyembuhan luka paling baik adalah perlakuan meniran ditambah bawang putih. Perlakuan meniran+bawang putih memiliki persentase penyembuhan sebesar 10.55±7.56%/hari. Akan tetapi persentase penyembuhan luka tidak berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup ikan lele dumbo.

Pengamatan organ dalam dilakukan pada hari ke-10 pasca infeksi. Perlakuan daun pepaya memiliki warna organ dalam yang berbeda dengan perlakuan kontrol negatif. Pada perlakuan kontrol negatif hati berwarna merah kecoklatan, empedu berwarna kuning kehijauan, ginjal berwarna merah tua kecoklatan, dan limpa berwarna merah kehitaman. Begitu pula halnya pada perlakuan kontrol positif. Sedangkan pada perlakuan daun pepaya, ginjal berwarna merah tua, hati berwarna merah gelap, empedu berwarna biru gelap dan limpa berwarna merah gelap. Hal ini diduga oleh kandungan dari daun pepaya, serta pigmen warna dari daun pepaya yang menyebabkan organ dalam berwarna gelap. Pada Setiaji (2009), hasil terhadap pengamatan organ dalam yaitu, ginjal berwarna merah tua, hati berwarna merah gelap, empedu berwarna hijau kebiruan, dan limpa berwarna merah gelap.

Penambahan fitofarmaka ke dalam pakan sebagai upaya untuk pencegahan penyakit MAS lebih aplikatif dalam penggunaannya jika dibandingkan dengan metode penyuntikan, perendaman, maupun ekstrak yang disemprotkan ke dalam pakan. Hal ini dikarenakan dalam satu kali pembuatan dapat digunakan pada sejumlah ikan, untuk jangka waktu tertentu dan dapat disimpan dalam waktu relatif lama.

Campuran meniran dan bawang putih, begitu juga halnya paci-paci di dalam pakan terbukti efektif untuk mencegah penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila. Fitofarmaka memiliki prospek yang cerah terhadap pencegahan penyakit MAS. Fitofarmaka memiliki ketersediaan yang cukup banyak di alam, bersifat ramah lingkungan,

Dokumen terkait