• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Kadar Vitamin C (Asam Askorbat)

Selama proses penyimpanan pada berbagai suhu, vitamin yang terkandung dalam produk pangan dapat mengalami kerusakan. Vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak akibat pemanasan apabila dibandingkan dengan vitamin lain yang difortifikasikan pada minuman fungsional ini, yaitu vitamin E. oleh karena itu vitamin yang diamati penurunan kadarnya adalah vitamin C.

Menurut Hariyadi (2004), baik vitamin C maupun vitamin E bersifat tidak stabil terhadap panas, cahaya dan udara. Akan tetapi, maksimal kerusakan vitamin C dapat mencapai 100%, sedangkan vitamin E dapat mencapai 55%.

Tokoferol dan tokotrienol stabil terhadap asam, panas, dan alkali, tetapi dapat rusak oleh oksigen (oksidasi) dan proses oksidasi ini dapat dipercepat jika terkena cahaya, panas, alkali, dan adanya logam seperti Cu2+ dan Fe3+ (Koswara dan Andarwulan, 1992).

Dalam penelitian ini diamati penurunan kadar vitamin C (asam askorbat) selama 24 hari setiap empat hari dengan tiga tingkat suhu yang berbeda. Hasil lengkap pengukuran kadar asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada hari ke-0 kadar asam askorbat rata-rata ulangan adalah 150.86 mg/100 g. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 0 10 20 30 Hari ke- A sa m a sko rb a t, m g /1 00 m g pr o d u k suhu 35°C suhu 45°C suhu 55°C

Gambar 4. Kadar asam askorbat minuman fungsional selama penyimpanan di berbagai suhu

Penyimpanan pada suhu 35oC sampai hari ke-24 kadar asam askorbat produk menurun sampai 59.08 mg/100 g produk. Sedangkan kadar asam askorbat produk yang disimpan pada suhu 45oC menurun sampai 48.45mg/100 g. Penurunan kadar asam askorbat terbesar selama penyimpanan 24 hari terjadi pada produk yang disimpan pada suhu 55oC, yaitu 44.03mg/ 100 g produk. Kadar asam askorbat secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Vitamin C merupakan zat gizi esensial dan merupakan salah satu anggota kelompok komponen fungsional yang paling mudah mengalami kerusakan. Sehingga penurunan kadarnya dalam bahan pangan perlu untuk diketahui. Pengukuran penurunan kadar atau destruksi vitamin C selama penyimpanan dimaksudkan untuk mengetahui waktu paruh vitamin C, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh vitamin C untuk berkurang separuhnya dari konsentrasi awal. Reaksi

kerusakan vitamin C selama penyimpanan umumnya mengikuti reaksi orde satu (Koswara dan Andarwulan, 1992). Waktu paruh rata-rata ulangan vitamin C pada suhu 35oC, 45oC dan 55oC masing-masing adalah 19.50, 17.82, dan 16.37 hari. Perhitungan waktu paruh dapat dilihat pada Lampiran 27. Apabila diasumsikan suhu penyimpanan adalah 20°C maka waktu paruhnya adalah 22.41 hari.

Berdasarkan Lampiran 27 dapat dilihat bahwa nilai k (konstanta laju reaksi penurunan kadar vitamin C) semakin besar berbanding lurus dengan semakin tingginya suhu. Reaksi yang mungkin terjadi pada produk ini adalah oksidasi vitamin C oleh oksigen yang semakin dipercepat oleh semakin tingginya suhu penyimpanan. Menurut Hariyadi (2004), pada dasarnya diketahui bahwa laju suatu reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu. Umumnya semakin tinggi suhu, maka akan semakin tinggi pula laju reaksi.

Vitamin C atau asam askorbat teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Prinsip analisis vitamin C yang dilakukan pada penelitian ini adalah 2,6 diklorofenol indofenol yang terdapat pada larutan dye yang digunakan untuk menitrasi, direduksi oleh asam askorbat membentuk asam dehidroaskorbat dan indofenol tereduksi. Jumlah indofenol yang tereduksi sebanding dengan jumlah asam askorbat pada sampel, sehingga yang terdeteksi pada sampel hanya merupakan asam askorbat, sedangkan asam dehidroaskorbat tidak.

Menurut Labuza (1982), pengemasan produk susu kering harus mampu melindungi produk dari udara, cahaya, dan penetrasi air atau uap air. Sehingga, laminasi kertas, foil dan plastik merupakan kemasan yang paling cocok bagi produk ini. Selain itu, kebanyakan produk susu dikemas dibawah kondisi vakum dan dimasukan gas inert. Perlakuan ini dapat meningkatkan umur simpan produk. Sedangkan kemasan produk ini merupakan jenis plastik yang dilaminasi secara ekstruksi dengan LDPE dengan PET sebagai printing film juga tidak dilakukan penambahan gas inert, sehingga proses oksidasi oleh oksigen masih mungkin terjadi.

Berdasarkan uji ANOVA interaksi perlakuan penyimpanan yang diberikan, yaitu suhu dan waktu penyimpanan contoh, berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar vitamin C selama penyimpanan. Hal ini diperkuat oleh uji lanjut Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 17. berdasarkan lampiran tersebut, dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan waktu pengambilan pada H-24 dan suhu 55°C, waktu pengambilan pada H-20 dan suhu 55°C, serta waktu pengambilan pada H-24 suhu 45°C berlanjut dengan interaksi perlakuan yang lain.

2. Warna Produk Sebelum Diseduh Secara Objektif

Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen. Sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna dapat menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima (Arpah, 2001). Oleh karena itu, perubahan warna yang signifikan dapat digunakan untuk memperkirakan lama penyimpanan dan keadaan mutu produk.

Warna minuman fungsional ini diukur secara objektif dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-200. Parameter warna yang digunakan adalah L (kecerahan), a (warna kromatik campuran merah- hijau), b (warna kromatik campuran biru-kuning), dan h° (parameter kisaran warna).

Pada minuman fungsional ini, nilai awal L yang terukur adalah 58.68 untuk ulangan 1 dan 58.53 untuk ulangan 2. Minuman fungsional ini cenderung memiliki warna merah dibanding hijau, hal ini diketahui dari nilai a yang positif. Nilai a mula-mula adalah 5.01 untuk ulangan 1 dan 5.02 untuk ulangan 2.

Produk ini cenderung berwarna kuning dibanding biru, hal tersebut dapat dilihat dari nilai b yang positif. Nilai b awal produk adalah 2.82 untuk ulangan 1 dan 2.38 untuk ulangan 2. Berdasarkan parameter h°, produk ini memiliki warna merah. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai h° yang berkisar antara 18-54, dengan nilai mula- mula 29.3 untuk ulangan 1 dan 28.3 untuk ulangan 2. Nilai Warna minuman fungsional dapat dilihat pada Lampiran 2-4.

Berdasarkan Lampiran 2-4, nilai L (kecerahan) pada minuman fungsional cenderung mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa kecerahan produk semakin menurun. Semakin menurunnya kecerahan minuman fungsional dikarenakan terjadinya reaksi pencokelatan non enzimatik Maillard yang menghasilkan produk-produk berwarna cokelat.

Hal tersebut mengingat bahwa Minuman fungsional ini memiliki komposisi susu skim bubuk yang banyak mengandung gula susu atau laktosa dan protein. Menurut American Dairy Product Institute (1994), susu skim dapat mengandung laktosa sekitar 51 %.

Laktosa merupakan gula pereduksi dikarenakan laktosa mempunyai gugus OH bebas yang reaktif pada atom nomor 1 pada gugus glukosanya. Winarno (2002) menyebutkan bahwa reaksi Maillard adalah reaksi antara gula pereduksi dan gugus amina primer. Menurut Syarief dan Halid (1993), akibat yang ditimbulkan reaksi Maillard adalah terbentuknya warna cokelat yang tidak larut dalam air.

Selain itu, menurut Syarief dan Halid (1993) pencokelatan akibat vitamin C sebenarnya merupakan tahap awal dari berlangsungnya reaksi Maillard, karena vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat berfungsi sebagai prekursor pembentuk warna cokelat non enzimatik. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat, dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard (Winarno, 2002). Hal ini

dapat terjadi pada bahan pangan berkadar vitamin C yang cukup tinggi serta mengandung gula pereduksi dan protein.

Berdasarkan uji ANOVA interaksi perlakuan suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter warna yang diukur, yaitu nilai L, nilai a, nilai b dan nilai h°. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 18-21.

Dokumen terkait