• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C Dan E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C Dan E"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN PENDUGAAN

UMUR SIMPAN MINUMAN FUNGSIONAL SUSU SKIM YANG

DISUPLEMENTASI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON

SERTA DIFORTIFIKASI VITAMIN C DAN E

TINA NURKHOERIYATI

F24102010

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SKRIPSI

PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN PENDUGAAN

UMUR SIMPAN MINUMAN FUNGSIONAL SUSU SKIM YANG

DISUPLEMENTASI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON

SERTA DIFORTIFIKASI VITAMIN C DAN E

Oleh:

Tina Nurkhoeriyati

F24102010

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Tina Nurkhoeriyati. F24102010. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C dan E. Di bawah Bimbingan : Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. 2007.

RINGKASAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat fisikokimia minuman fungsional susu skim yang disuplementasi tepung kedelai kaya isoflavon serta difortifikasi vitamin C dan E selama penyimpanan juga melakukan pendugaan umur simpannya dengan menggunakan metode Arrhenius.

Minuman fungsional ini memiliki kompisisi susu skim bubuk, maltodekstrin, gula tepung, carboxy methyl cellulose (CMC), cokelat bubuk, tepung kedelai kaya isoflavon, vitamin C dan vitamin E. Minuman fungsional ini dibuat dengan cara dry mixing.

Pengujian umur simpan dilakukan dengan menggunakan metode Arrhenius dengan menggunakan parameter uji organoleptik. Produk minuman fungsional disimpan dalam inkubator dengan tiga tingkat suhu yaitu 35°C, 45°C, dan 55°C. Waktu penyimpanan selama 24 hari dengan pengamatan empat hari sekali. Pengamatan dilakukan terhadap warna dengan menggunakan Chromameter, dan pengukuran kadar vitamin C dengan metode oksidimetri serta uji organoleptik dengan parameter warna, aroma sebelum diseduh, aroma sesudah diseduh, rasa, dan penampakan fisik yang dilakukan oleh sepuluh panelis terlatih.

Data proksimat minuman fungsional ini memenuhi syarat mutu proksimat susu cokelat bubuk SNI 01-3752-1995 dengan kadar air 2.70 %, kadar abu 5.01%, kadar lemak 0.40%, kadar protein 20.66 %, serta kadar karbohidrat (by difference) 70.80%. Produk ini memiliki nilai aw yang rendah karena produk merupakan produk kering, yaitu 0.318 pada suhu 30°C. Rendahnya nilai aw tersebut, menyebabkan minuman fungsional ini mengandung total mikroba yang relatif rendah, yaitu <2.5x102 koloni/ml di bawah syarat SNI, yaitu 5x105 koloni/ml, meskipun minuman ini setelah diseduh memiliki nilai pH mendekati pH netral yaitu 6.32.

Kadar isoflavon pada minuman ini berada dalam bentuk aglikonnya, yaitu sebanyak 24.75 mg per takaran saji (25 g) yang memenuhi 49.5% anjuran konsumsi per hari. Produk ini mengandung 1.12 mg vitamin E per takaran saji atau memenuhi 7.47 % anjuran konsumsi per hari. Sedangkan untuk vitamin C produk ini memenuhi 41.69 sampai 50.03% AKG dengan kandungan vitamin C sebesar 37.52 mg per takaran saji.

Nilai L (kecerahan) pada minuman fungsional cenderung mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa kecerahan produk semakin menurun. Semakin menurunnya kecerahan minuman fungsional dikarenakan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatik Maillard yang menghasilkan produk-produk berwarna cokelat.

(4)

diasumsikan suhu penyimpanan adalah 20°C maka waktu paruhnya adalah 22.41 hari.

Pendugaan umur simpan produk dihitung menggunakan metode Arrhenius dengan menggunakan parameter uji organoleptik dengan uji skoring. Apabila diasumsikan suhu distribusi adalah 20°C, maka umur simpan berdasarkan warna adalah 141.5 hari atau 4.7 bulan .Umur produk berdasarkan parameter aroma sebelum diseduh adalah 98.4 hari atau 3.3 bulan. Sedangkan berdasarkan aroma sesudah diseduh umur simpannya adalah 135.6 hari atau 4.5bulan.

Berdasarkan parameter rasa, produk ini memiliki umur simpan 142 hari atau 4.7 bulan. Rasa pahit yang timbul pada produk ini selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh produk hasil oksidasi asam-asam lemak tidak jenuh yang berasal dari kedelai atau peptida yang tidak terhirolisis sempurna selama hidrolisis enzimatik protein. Suhu dan waktu penyimpanan sampel berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap keempat parameter di atas.

Umur simpan produk berdasarkan parameter penampakan fisik adalah 66.2 hari atau 2.2 bulan. Interaksi kedua perlakuan, yaitu suhu dan waktu penyimpanan sampel berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penampakan fisik produk. Penampakan fisik produk yang menggumpal disebabkan oleh terdenaturasiya protein dalam produk oleh panas atau pengikatan uap air oleh produk.

(5)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya

Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C dan E ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan Penulis di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang senantiasa

memberikan bimbingan dan nasehat sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Ir. Sutrisno Koswara, MSi atas bimbingan dan bantuannya kepada Penulis serta atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

3. Nur Wulandari, STP, Msi atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

4. Orang tua beserta keluarga besar Penulis yang telah memberikan kasih sayang, dukungan baik moril maupun materiil yang tiada henti-hentinya. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. 5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang

telah membagi ilmunya kepada Penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.

6. Teman-teman Golongan A, ITP 2002, terutama kelompok A2 (Annisya, Inda, Fajar, dan Christina). Terimakasih atas kebersamaannya selama menjalani praktikum selama empat tahun ini.

7. Fatimah atas persahabatannya dan keluarga yang telah banyak membantu Penulis selama ini.

(6)

Fahmi, Samsul, dan Risna yang selalu mendukung dan menyemangati Penulis selama kuliah dan penelitian di Departemen ITP ini.

9. Keluarga besar ITP angkatan 2002 atas kebersamaannya selama ini.

10.Para Teknisi Laboratorium Departemen ITP yang banyak membantu selama penelitian Penulis.

11.Dewi Fausia, atas bantuan dan kemurahan hatinya membantu penulis selama penulisan skripsi ini.

12.Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Garut.

13.Yogi Agusanto, atas waktu dan dukungannya selama ini.

14.Serta semua pihak yang telah membantu Penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa Penulis tuliskan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis terbuka atas saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2006

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. PANGAN FUNGSIONAL... 4

B. SUSU SKIM... 5

C. ISOFLAVON KEDELAI... 5

D. TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON... 8

E. VITAMIN C... 9

F. VITAMIN E... 12

G. DETERIORASI PRODUK SELAMA PENYIMPANAN... 13

H. UMUR SIMPAN... 15

1. Metode Pendugaan Umur simpan ... 16

a. Metode Konvensional ... 16

b. Metode Akselerasi... 16

c. Metode Numerik ... 17

2. Ordo Reaksi... 18

a. Reaksi Ordo Nol... 18

b. Reaksi Ordo Satu ... 19

I. KEMASAN... 21

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 23

A. BAHAN DAN ALAT... 23

B. METODE PENELITIAN... 23

1. Pengamatan Perubahan Sifat Fisikokimia... 24

(8)

C. PROSEDUR ANALISIS... 26

1. Kadar Air (Apriyantono et al., 1989)... 26

2. Kadar Protein (Apriyantono, et al., 1989) ... 26

3. Kadar Abu (Apriyantono, et al., 1989) ... 27

4. Kadar Lemak Kasar (SNI 01-2891-1992)... 27

5. Kadar Karbohidrat (by difference) ... 28

6. Pengukuran Aktivitas Air... 28

7. Pengukuran Warna metode Hunter ... 28

8. Pengukuran pH... 29

9. Pengukuran Kadar Isoflavon... 29

10.Penentuan Kadar Vitamin C (Apriyantono, 1989)... 30

11.Penentuan Kadar Vitamin E (Roche, 1991)... 30

12.Penentuan Total Mikroba (Fardiaz, 1991) ... 31

13.Uji Organoleptik dengan Uji Skoring ... 31

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

A. MINUMAN FUNGSIONAL... 33

B. PENGAMATAN SIFAT FISIKOKIMIA SELAMA PENYIMPANAN... 35

1. Kadar Vitamin C (Asam askorbat)... 35

2. Warna Produk Sebelum Diseduh Secara Objektif ... 38

C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN... 40

1. Uji Organoleptik Warna Sebelum Diseduh ... 40

2. Uji Organoleptik Aroma Sebelum Diseduh ... 43

3. Uji Organoleptik Aroma Sesudah Diseduh... 45

4. Uji Organoleptik Rasa Sesudah Diseduh ... 47

5. Uji Organoleptik Penampakan Fisik Sebelum Diseduh... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 54

A. KESIMPULAN... 54

B. SARAN... 55

DAFTAR PUSTAKA... 57

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur dasar isoflavon... 7

Gambar 2. Struktur vitamin C ... 11

Gambar 3. Struktur vitamin E ... 12

Gambar 4. Kadar asam askorbat selama penyimpanan di berbagai suhu pada produk... 36

Gambar 5. Grafik hubungan ln k uji organoleptik warna dengan

suhu (1/T) ... 41

Gambar 6. Produk minuman fungsional sesudah diseduh... 43

Gambar 7. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma sebelum diseduh

dengan suhu (1/T) ... 44

Gambar 8. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma sesudah diseduh dengan suhu (1/T) ... 46

Gambar 9. Grafik hubungan ln k uji organoleptik rasa dengan

suhu (1/T) ... 48

Gambar 10. Grafik hubungan ln k uji organoleptik penampakan fisik

dengan suhu (1/T) ... 51

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan isoflavon pada berbagai produk olahan kedelai... 8

Tabel 2. Angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia ... 11

Tabel 3. Parameter warna berdasarkan nilai hº (Hue)... 29

Tabel 4. Mutu minuman fungsional ... 33

Tabel 5. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik warna ... 41

Tabel 6. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik aroma sebelum diseduh ... 43

Tabel 7. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik aroma sesudah diseduh... 45

Tabel 8. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik rasa ... 48

Tabel 9. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik penampakan fisik ... 50

Tabel 10. Umur simpan minuman fungsional pada berbagai suhu ... 52

Tabel 11. Kadar vitamin C minuman fungsional ... 61

Tabel 12. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 35°C... 62

Tabel 13. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 45°C... 63

Tabel 14. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 55°C... 64

Tabel 15. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter warna ... 65

Tabel 16. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter aroma sebelum diseduh ... 66

Tabel 17. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter aroma sesudah diseduh... 67

Tabel 18. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter rasa ... 68

Tabel 19. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter penampakan fisik ... 69

(11)

SKRIPSI

PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN PENDUGAAN

UMUR SIMPAN MINUMAN FUNGSIONAL SUSU SKIM YANG

DISUPLEMENTASI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON

SERTA DIFORTIFIKASI VITAMIN C DAN E

TINA NURKHOERIYATI

F24102010

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

SKRIPSI

PERUBAHAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN PENDUGAAN

UMUR SIMPAN MINUMAN FUNGSIONAL SUSU SKIM YANG

DISUPLEMENTASI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON

SERTA DIFORTIFIKASI VITAMIN C DAN E

Oleh:

Tina Nurkhoeriyati

F24102010

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Tina Nurkhoeriyati. F24102010. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C dan E. Di bawah Bimbingan : Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. 2007.

RINGKASAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat fisikokimia minuman fungsional susu skim yang disuplementasi tepung kedelai kaya isoflavon serta difortifikasi vitamin C dan E selama penyimpanan juga melakukan pendugaan umur simpannya dengan menggunakan metode Arrhenius.

Minuman fungsional ini memiliki kompisisi susu skim bubuk, maltodekstrin, gula tepung, carboxy methyl cellulose (CMC), cokelat bubuk, tepung kedelai kaya isoflavon, vitamin C dan vitamin E. Minuman fungsional ini dibuat dengan cara dry mixing.

Pengujian umur simpan dilakukan dengan menggunakan metode Arrhenius dengan menggunakan parameter uji organoleptik. Produk minuman fungsional disimpan dalam inkubator dengan tiga tingkat suhu yaitu 35°C, 45°C, dan 55°C. Waktu penyimpanan selama 24 hari dengan pengamatan empat hari sekali. Pengamatan dilakukan terhadap warna dengan menggunakan Chromameter, dan pengukuran kadar vitamin C dengan metode oksidimetri serta uji organoleptik dengan parameter warna, aroma sebelum diseduh, aroma sesudah diseduh, rasa, dan penampakan fisik yang dilakukan oleh sepuluh panelis terlatih.

Data proksimat minuman fungsional ini memenuhi syarat mutu proksimat susu cokelat bubuk SNI 01-3752-1995 dengan kadar air 2.70 %, kadar abu 5.01%, kadar lemak 0.40%, kadar protein 20.66 %, serta kadar karbohidrat (by difference) 70.80%. Produk ini memiliki nilai aw yang rendah karena produk merupakan produk kering, yaitu 0.318 pada suhu 30°C. Rendahnya nilai aw tersebut, menyebabkan minuman fungsional ini mengandung total mikroba yang relatif rendah, yaitu <2.5x102 koloni/ml di bawah syarat SNI, yaitu 5x105 koloni/ml, meskipun minuman ini setelah diseduh memiliki nilai pH mendekati pH netral yaitu 6.32.

Kadar isoflavon pada minuman ini berada dalam bentuk aglikonnya, yaitu sebanyak 24.75 mg per takaran saji (25 g) yang memenuhi 49.5% anjuran konsumsi per hari. Produk ini mengandung 1.12 mg vitamin E per takaran saji atau memenuhi 7.47 % anjuran konsumsi per hari. Sedangkan untuk vitamin C produk ini memenuhi 41.69 sampai 50.03% AKG dengan kandungan vitamin C sebesar 37.52 mg per takaran saji.

Nilai L (kecerahan) pada minuman fungsional cenderung mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa kecerahan produk semakin menurun. Semakin menurunnya kecerahan minuman fungsional dikarenakan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatik Maillard yang menghasilkan produk-produk berwarna cokelat.

(14)

diasumsikan suhu penyimpanan adalah 20°C maka waktu paruhnya adalah 22.41 hari.

Pendugaan umur simpan produk dihitung menggunakan metode Arrhenius dengan menggunakan parameter uji organoleptik dengan uji skoring. Apabila diasumsikan suhu distribusi adalah 20°C, maka umur simpan berdasarkan warna adalah 141.5 hari atau 4.7 bulan .Umur produk berdasarkan parameter aroma sebelum diseduh adalah 98.4 hari atau 3.3 bulan. Sedangkan berdasarkan aroma sesudah diseduh umur simpannya adalah 135.6 hari atau 4.5bulan.

Berdasarkan parameter rasa, produk ini memiliki umur simpan 142 hari atau 4.7 bulan. Rasa pahit yang timbul pada produk ini selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh produk hasil oksidasi asam-asam lemak tidak jenuh yang berasal dari kedelai atau peptida yang tidak terhirolisis sempurna selama hidrolisis enzimatik protein. Suhu dan waktu penyimpanan sampel berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap keempat parameter di atas.

Umur simpan produk berdasarkan parameter penampakan fisik adalah 66.2 hari atau 2.2 bulan. Interaksi kedua perlakuan, yaitu suhu dan waktu penyimpanan sampel berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap penampakan fisik produk. Penampakan fisik produk yang menggumpal disebabkan oleh terdenaturasiya protein dalam produk oleh panas atau pengikatan uap air oleh produk.

(15)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya

Isoflavon Serta Difortifikasi Vitamin C dan E ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan Penulis di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang senantiasa

memberikan bimbingan dan nasehat sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Ir. Sutrisno Koswara, MSi atas bimbingan dan bantuannya kepada Penulis serta atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

3. Nur Wulandari, STP, Msi atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

4. Orang tua beserta keluarga besar Penulis yang telah memberikan kasih sayang, dukungan baik moril maupun materiil yang tiada henti-hentinya. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. 5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang

telah membagi ilmunya kepada Penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.

6. Teman-teman Golongan A, ITP 2002, terutama kelompok A2 (Annisya, Inda, Fajar, dan Christina). Terimakasih atas kebersamaannya selama menjalani praktikum selama empat tahun ini.

7. Fatimah atas persahabatannya dan keluarga yang telah banyak membantu Penulis selama ini.

(16)

Fahmi, Samsul, dan Risna yang selalu mendukung dan menyemangati Penulis selama kuliah dan penelitian di Departemen ITP ini.

9. Keluarga besar ITP angkatan 2002 atas kebersamaannya selama ini.

10.Para Teknisi Laboratorium Departemen ITP yang banyak membantu selama penelitian Penulis.

11.Dewi Fausia, atas bantuan dan kemurahan hatinya membantu penulis selama penulisan skripsi ini.

12.Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Garut.

13.Yogi Agusanto, atas waktu dan dukungannya selama ini.

14.Serta semua pihak yang telah membantu Penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa Penulis tuliskan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis terbuka atas saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2006

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. PANGAN FUNGSIONAL... 4

B. SUSU SKIM... 5

C. ISOFLAVON KEDELAI... 5

D. TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON... 8

E. VITAMIN C... 9

F. VITAMIN E... 12

G. DETERIORASI PRODUK SELAMA PENYIMPANAN... 13

H. UMUR SIMPAN... 15

1. Metode Pendugaan Umur simpan ... 16

a. Metode Konvensional ... 16

b. Metode Akselerasi... 16

c. Metode Numerik ... 17

2. Ordo Reaksi... 18

a. Reaksi Ordo Nol... 18

b. Reaksi Ordo Satu ... 19

I. KEMASAN... 21

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 23

A. BAHAN DAN ALAT... 23

B. METODE PENELITIAN... 23

1. Pengamatan Perubahan Sifat Fisikokimia... 24

(18)

C. PROSEDUR ANALISIS... 26

1. Kadar Air (Apriyantono et al., 1989)... 26

2. Kadar Protein (Apriyantono, et al., 1989) ... 26

3. Kadar Abu (Apriyantono, et al., 1989) ... 27

4. Kadar Lemak Kasar (SNI 01-2891-1992)... 27

5. Kadar Karbohidrat (by difference) ... 28

6. Pengukuran Aktivitas Air... 28

7. Pengukuran Warna metode Hunter ... 28

8. Pengukuran pH... 29

9. Pengukuran Kadar Isoflavon... 29

10.Penentuan Kadar Vitamin C (Apriyantono, 1989)... 30

11.Penentuan Kadar Vitamin E (Roche, 1991)... 30

12.Penentuan Total Mikroba (Fardiaz, 1991) ... 31

13.Uji Organoleptik dengan Uji Skoring ... 31

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

A. MINUMAN FUNGSIONAL... 33

B. PENGAMATAN SIFAT FISIKOKIMIA SELAMA PENYIMPANAN... 35

1. Kadar Vitamin C (Asam askorbat)... 35

2. Warna Produk Sebelum Diseduh Secara Objektif ... 38

C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN... 40

1. Uji Organoleptik Warna Sebelum Diseduh ... 40

2. Uji Organoleptik Aroma Sebelum Diseduh ... 43

3. Uji Organoleptik Aroma Sesudah Diseduh... 45

4. Uji Organoleptik Rasa Sesudah Diseduh ... 47

5. Uji Organoleptik Penampakan Fisik Sebelum Diseduh... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 54

A. KESIMPULAN... 54

B. SARAN... 55

DAFTAR PUSTAKA... 57

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur dasar isoflavon... 7

Gambar 2. Struktur vitamin C ... 11

Gambar 3. Struktur vitamin E ... 12

Gambar 4. Kadar asam askorbat selama penyimpanan di berbagai suhu pada produk... 36

Gambar 5. Grafik hubungan ln k uji organoleptik warna dengan

suhu (1/T) ... 41

Gambar 6. Produk minuman fungsional sesudah diseduh... 43

Gambar 7. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma sebelum diseduh

dengan suhu (1/T) ... 44

Gambar 8. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma sesudah diseduh dengan suhu (1/T) ... 46

Gambar 9. Grafik hubungan ln k uji organoleptik rasa dengan

suhu (1/T) ... 48

Gambar 10. Grafik hubungan ln k uji organoleptik penampakan fisik

dengan suhu (1/T) ... 51

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan isoflavon pada berbagai produk olahan kedelai... 8

Tabel 2. Angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia ... 11

Tabel 3. Parameter warna berdasarkan nilai hº (Hue)... 29

Tabel 4. Mutu minuman fungsional ... 33

Tabel 5. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik warna ... 41

Tabel 6. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik aroma sebelum diseduh ... 43

Tabel 7. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik aroma sesudah diseduh... 45

Tabel 8. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik rasa ... 48

Tabel 9. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan uji organoleptik penampakan fisik ... 50

Tabel 10. Umur simpan minuman fungsional pada berbagai suhu ... 52

Tabel 11. Kadar vitamin C minuman fungsional ... 61

Tabel 12. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 35°C... 62

Tabel 13. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 45°C... 63

Tabel 14. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 55°C... 64

Tabel 15. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter warna ... 65

Tabel 16. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter aroma sebelum diseduh ... 66

Tabel 17. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter aroma sesudah diseduh... 67

Tabel 18. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter rasa ... 68

Tabel 19. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter penampakan fisik ... 69

(21)

Tabel 21. Nilai uji organoleptik parameter aroma sebelum diseduh... 71

Tabel 22. Nilai uji organoleptik parameter aroma sesudah diseduh ... 72

Tabel 23. Nilai uji organoleptik parameter rasa... 73

Tabel 24. Nilai uji organoleptik parameter penampakan fisik ... 74

Tabel 25. Syarat mutu susu cokelat SNI 01-3752-1995 ... 75

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabel kadar vitamin C minuman fungsional... 61

Lampiran 2. Tabel nilai warna minuman fungsional pada suhu 35°C ... 62

Lampiran 3. Tabel nilai warna minuman fungsional pada suhu 45°C ... 63

Lampiran 4. Tabel nilai warna minuman fungsional pada suhu 55°C ... 64

Lampiran 5. Tabel pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan uji organoleptik warna sebelum diseduh ... 65

Lampiran 6. Tabel pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter aroma sebelum diseduh... 66

Lampiran 7. Tabel pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter aroma sesudah diseduh ... 67

Lampiran 8. Tabel pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter rasa sesudah diseduh... 68

Lampiran 9. Tabel pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter penampakan fisik sebelum diseduh . 69

Lampiran 10. Tabel nilai organoleptik parameter warna... 70

Lampiran 11. Tabel nilai organoleptik parameter aroma sebelum

diseduh ... 71

Lampiran 12. Tabel nilai organoleptik parameter aroma sesudah

diseduh ... 72

Lampiran 13. Tabel nilai organoleptik parameter rasa... 73

Lampiran 14. Tabel nilai organoleptik parameter penampakan fisik ... 74

Lampiran 15. Tabel syarat mutu susu cokelat SNI 01-3752-1995 ... 75

Lampiran 16. Formulir uji skoring ... 76

Lampiran 17. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk kadar vitamin C minuman fungsional selama penyimpanan ... 78

Lampiran 18. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk parameter

nilai L (kecerahan) minuman fungsional ... 79

Lampiran 19. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk parameter

nilai a minuman fungsional... 80

(23)

nilai b minuman fungsional... 81

Lampiran 21. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk parameter

nilai h° minuman fungsional ... 82

Lampiran 22. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk uji organoleptik

warna minuman fungsional ... 83

Lampiran 23. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk uji organoleptik

aroma sebelum diseduh minuman fungsional ... 84

Lampiran 24. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk uji organoleptik

aroma sesudah diseduh minuman fungsional... 85

Lampiran 25. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk uji organoleptik

rasa minuman fungsional ... 86

Lampiran 26. Uji ANOVA dan uji lanjut untuk uji organoleptik

penampakan fisik minuman fungsional ... 87

(24)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini, masyarakat dalam mengkonsumsi pangan cenderung tidak hanya menilai dari segi citarasa atau nilai gizi saja, tetapi juga mempertimbangkan segi pengaruh pangan tersebut terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Hal tersebut menjadi latar belakang utama munculnya pangan fungsional, yaitu pangan yang selain memiliki fungsi citarasa dan nilai gizi, juga memiliki efek menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Minat masyarakat terhadap pangan fungsional terlihat dari pemasaran produk pangan fungsional yang memiliki kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20% per tahun (Hilliam, 2000).

Menurut Departemen Kesehatan Jepang pangan fungsional didefinisikan sebagai Foods for Specified Health Use atau FOSHU, yaitu pangan yang diharapkan memiliki efek khusus terhadap kesehatan dikarenakan adanya suatu komponen pada pangan, pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan dimana efek penghilangan atau penambahan tersebut dan klaim mengenai efek menguntungkan pangan tersebut telah terbukti secara ilmiah, serta tidak memiliki risiko kesehatan dan kebersihan.

Isoflavon adalah senyawa flavonoid (salah satu anggota senyawa polifenol) yang banyak terdapat pada tanaman, khususnya dari golongan Leguminoceae. Meskipun isoflavon terdapat dalam berbagai tanaman atau bahan pangan, namun demikian sumber utama isoflavon dalam makanan adalah kedelai (Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM, 2004).

(25)

Komponen-komponen yang telah terbukti bermanfaat bagi kesehatan adalah vitamin C, vitamin E, dan isoflavon. Vitamin C mempunyai sifat umum yang penting yaitu sebagai antioksidan. Menurut Nabet (1996), vitamin C merupakan antioksidan larut air utama dan menjadi bagian dari pertahanan pertama terhadap oksigen radikal dalam plasma dan juga berperan dalam sel. Vitamin C mempunyai peranan penting dalam regenerasi vitamin E. Vitamin C dibutuhkan dalam sintesis kolagen dan reaksi enzimatik lainnya yang membutuhkan pereduksi sejenis (Olson et al., 1991).

Vitamin E terkadang disebut vitamin pembersih radikal bebas dengan cara mencegah oksidasi peroksidasi lipid dari asam-asam lemak tidak jenuh dalam sel. Vitamin ini kemungkinan berfungsi mencegah agregasi platelet (Olson et al., 1991).

Vitamin C dan E di dalam tubuh dapat membantu menstabilkan isoflavon radikal di pembuluh darah. Minuman fungsional yang disuplementasi tepung kedelai kaya isoflavon dan difortifikasi vitamin C dan E merupakan produk yang bertujuan untuk memberikan manfaat komponen-komponen tersebut bagi konsumen.

Sebagaimana pangan pada umumnya, pangan fungsional juga dapat mengalami penurunan mutu selama penyimpanan, sehingga produk sudah tidak dapat memberikan daya guna seperti yang diharapkan atau dijanjikan lagi atau dengan kata lain sudah mencapai masa kadaluarsa. Umur simpan merupakan faktor penting yang harus tercantum dalam kemasan produk. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Pangan Tahun 1996 pasal 30 tentang label dan iklan. Jadi, penentuan umur simpan ini perlu untuk dilakukan.

(26)

Produk minuman fungsional dalam penelitian ini memiliki kemasan dengan permeabilitas terhadap uap air yang kecil, sehingga diduga kerusakan produk tidak diakibatkan oleh penyerapan uap air, melainkan oleh reaksi kimia lain, sehingga metode pendugaan umur simpan yang digunakan adalah metode Arrhenius. Metode ini memiliki prinsip bahwa laju reaksi sangat dipengaruhi suhu. Pada umumnya, semakin tinggi suhu, maka semakin tinggi pula laju reaksi.

Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu pangan masih layak dikonsumsi atau tidak, sulit ditentukan secara kuantitatif karena melibatkan faktor non teknis seperti sosial dan ekonomi (Winarno, 2002). Berbagai analisis laboratorium baik secara kimia, fisik maupun mikrobiologis dapat dilaksanakan untuk menilai mutu dari suatu jenis makanan tetapi sering sulit diinterpretasikan tanpa melibatkan analisis organoleptik atau uji sensori. Uji ini dianggap uji yang paling peka dan sering digunakan untuk menilai mutu makanan dan selanjutnya dapat mengukur umur simpannya.

Oleh karena itu, parameter uji organoleptik perlu diamati dalam pendugaan umur simpan karena pada akhirnya penerimaan konsumen merupakan tujuan akhir dari pembuatan suatu produk pangan, sehingga konsumen dapat dijadikan panelis yang menilai mutu makanan tersebut. Meskipun demikian, parameter lainnya perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, perlu juga diamati perubahan fisikokimia dari minuman fungsional.

B. TUJUAN

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PANGAN FUNGSIONAL

Departemen Kesehatan Jepang mendefinisikan pangan fungsional sebagai Foods for Specified Health Use atau FOSHU, yaitu pangan yang diharapkan memiliki efek khusus terhadap kesehatan dikarenakan adanya suatu komponen pada pangan, pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan dimana efek penghilangan atau penambahan tersebut dan klaim mengenai efek menguntungkan pangan tersebut telah terbukti secara ilmiah, serta tidak memiliki risiko kesehatan dan kebersihan.

Minuman fungsional, dapat menguntungkan kesehatan di samping adanya zat-zat nutrisi, dan secara tidak langsung berfungsi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit (Goldberg, 1994; Marriot, 2000). Departemen Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi minimal terdapat 12 komponen yang dipertimbangkan dapat meningkatkan kesehatan, yaitu serat kasar makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam amino, peptida dan protein, glikosida, alkohol, isoprenoid, vitamin, kolin, bakteri asam laktat, mineral, PUFA, (Poly Unsaturated Fatty Acid), fitokimia dan antioksidan (Goldberg, 1994).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM, 2004), komponen yang dapat dijadikan pangan fungsional adalah vitamin, mineral, gula alkohol, asam lemak tidak jenuh, peptida dan protein tertentu, asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, kolin, lesitin, inositol, karnitin dan skualen, isoflavon, fitosterol dan fitostanol, polifenol, dan komponen fungsional lain yang akan ditentukan kemudian.

(28)

tubuh). Fungsi fisiologis tersebut meliputi pencegahan timbulnya penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, pengatur kondisi ritme fisik tubuh, perlambatan proses penuaan, dan penyembuhan (Goldberg, 1994).

Menurut Hilliam (2000), pemasaran produk pangan fungsional memiliki kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20% per tahun. Hal tersebut didukung oleh semakin banyaknya masyarakat yang tertarik akan pangan fungsional. Menurut Milner (2000) hal tersebut dikarenakan biaya kesehatan makin mahal, banyaknya penemuan-penemuan oleh ilmuwan di bidang pangan dan kesehatan yang menarik, serta adanya perundang-undangan yang melindungi dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat.

B. SUSU SKIM

Susu terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu krim susu dan skim susu. Pemisahan krim dan skim susu dapat dilakukan dengan cara mekanik dan gravitasi. Krim adalah bagian susu yang muncul ke permukaan sewaktu susu didiamkan pada suhu tertentu atau dengan pemisahan secara mekanik. Krim dapat diolah lebih lanjut menjadi mentega atau es krim.

Susu skim diproses dengan cara menghilangkan kebanyakan atau semua lemak susu dari susu utuh. Persentase semua komponen, dengan pengecualian lemak susu dan vitamin larut lemak, secara proporsional lebih besar dibandingkan komponen susu utuh yang menjadi bahan bakunya. Standar susu skim bervariasi dengan rentang jumlah lemak susu maksimum 0.1 sampai 0.5% (Hargrove dan Alford, 1983).

C. ISOFLAVON KEDELAI

(29)

Isoflavon sering disebut sebagai fitoestrogen (estrogen tanaman). Hal ini kurang tepat, karena isoflavon merupakan salah satu anggota (kelas) fitoestrogen, disamping lignan dan kumestran (Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM, 2004). Pada umumnya isoflavon terdapat pada tanaman leguminoceae subfamili Papilionoideae (Chang, 2002). Isoflavon termasuk salah satu jenis polifenol dan flavonoid. Molekul ini juga bersifat sebagai fitoestrogen karena kemampuannya berinteraksi dengan reseptor estrogen pada sel (Chang, 2002).

Meskipun isoflavon terdapat pada berbagai macam tanaman Leguminoceae, tetapi konsentrasi isoflavon pada tanaman-tanaman tersebut, kecuali chickpea (Cicer arietinum), memiliki konsentrasi yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kedelai (Chang, 2002). Penelitian mengenai isoflavon banyak dilakukan pada kedelai dikarenakan penggunaan kedelai yang telah meluas baik sebagai makanan tradisional maupun modern (Chang, 2002).

Isoflavon kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu : 1) glikosida, yaitu daidzin, genistin, dan glisitin; 2) asetil glikosida: 0 asetildaidzin dan 6-0 asetilglisitin; 3) malonil glikosida : 6-6-0 malonildaidzin, 6-6-0 malonilgenistin, dan 6-0 malonilglisitin; 4) aglikon: daidzein, genistein, dan glisitein (Kudou et al., 1991).

Sebanyak 99% isoflavon pada kedelai dalam bentuk glikosida, yang terdiri dari 64% genistin, 23% daidzin, dan 13% glisitin (Naim et al., 1974). Genistein dan daidzein serta konjugat glukosidanya berada dalam konsentrasi di atas tiga mg per gram kedelai (Walter, 1941).

(30)

Gambar 1. Struktur dasar isoflavon

Enzim glukosidase pada usus kecil menyerang ikatan glikosida pada glikon isoflavon yang berasal dari kedelai dan menghasilkan molekul aglikon dan satu molekul glukosa. Aglikon lebih mudah diserap oleh usus kecil sebagai bagian misel yang dibentuk oleh empedu. Molekul aglikon ini, beberapa produk metabolit lanjutannya yang dibuat di perut, dan sejumlah kecil glikon yang tidak dicerna secara lengkap, diserap melalui jalur limpatik sebagai bagian dari kilomikron. Sirkulasi isoflavon dalam darah bersifat kompleks, karena sebagian larut lemak dan sebagian berikatan dengan protein dengan kekuatan yang lemah. Isoflavon kemungkinan didistribusikan melalui darah ke hati, atau didaur ulang sebagai bagian dari empedu dan sirkulasi enterohepatik. Ekskresi akhir molekul-molekul ini terjadi pada feses dan urin (Schmidl dan Labuza, 2000).

Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa konsumsi tahu dan makanan berbahan kedelai lain kemungkinan berhubungan dengan rendahnya insiden kanker payudara pada wanita Jepang (Aldercreutz et al., 1991; Aldercreutz, 1998). Selain memiliki potensi efek mencegah kanker payudara (Peterson dan Barnes, 1998) isoflavon juga telah diketahui memiliki manfaat kesehatan lain, termasuk pencegahan penyakit jantung (Anthony, et al., 1998), peningkatan densitas masa tulang untuk mencegah osteoporosis (Anderson dan Carner, 1997) dan pengurangan sindrom-sindrom wanita postmenopause (Knight et al., 1996).

(31)

Kebanyakan dampak positif dan negatif dari isoflavon yang telah disebutkan di atas berhubungan dengan aktivitas estrogenik isoflavon di dalam tubuh (Molteni et al., 1995). Genistein, daidzein, biochanin A, formononetin, dan equol yang merupakan metabolit didzein pada hewan dan manusia, memiliki aktivitas estrogenik yang lemah, dengan equol yang memiliki aktivitas paling tinggi.

D. TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON

Tepung kedelai merupakan salah satu bentuk produk olahan kedelai yang banyak digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan atau sebagai komponen bahan makanan karena memiliki nilai gizi yang tinggi. Tepung kedelai kaya isoflavon adalah 100% produk kedelai alami yang mengandung tingkat isoflavon lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai utuh ataupun produk olahan kedelai lainnya.

Tepung kedelai kaya isoflavon dapat diproduksi dengan mengekstrak tepung kedelai bebas lemak menggunakan etanol 70%, sehingga dapat dipisahkan bagian kedelai yang larut dalam etanol dan residunya. Setelah melewati proses pemurnian dan fraksinasi, selanjutnya bagian yang larut ini dipekatkan menjadi konsentrat isoflavon.

Tabel 1. Kandungan isoflavon pada berbagai produk olahan kedelai*

Produk Isoflavon (mg/g)

Tahu 0.3 Miso 0.3 Tempe 0.5

Susu kedelai 0.1

Tepung kedelai (full fat) 1.8

Tepung kedelai (defatted) 2.0

Konsentrat protein kedelai (aquaous washed) 1.5 Konsentrat protein kedelai (alcohol washed) 0.2

Isolat protein kedelai 1.0

Kedelai (raw) 1.4

(32)

Isoflavon yang dihasilkan dari biji kedelai tanpa proses kimia atau penambahan bahan tambahan pangan, dan mempunyai rasa dan flavor yang disukai. Tepung kedelai kaya isoflavon dapat digunakan sebagai komposisi dalam berbagai macam produk, mulai dari kapsul dan tablet, sampai produk pangan seperti roti, biskuit, makanan sarapan, dan minuman.

E. VITAMIN C (ASAM ASKORBAT)

Vitamin C dengan rumus empiris C6H8O6 memiliki sifat umum, yaitu dalam bentuk murninya berupa kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada kisaran suhu 190-192oC, mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat vitamin C tersebut terutama dipengaruhi oleh adanya struktur enadiol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Vitamin C terutama berada dalam bentuk L-asam askorbat. D-asam askorbat hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan sebagai antioksidan (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Vitamin C bersifat mudah rusak jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti Cu dan Fe serta cahaya. Sifat vitamin C yang paling utama adalah kemampuan mereduksinya yang kuat dan mudah teroksidasi yang dikatalisis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, katalisator, dan logam.

(33)

Muchtadi et al., (1993), keterangan mengenai ketersediaan asam askorbat secara biologis dalam bahan pangan masih kurang. Akan tetapi berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, 80 – 90 % asam askorbat dalam bahan pangan dapat diserap.

Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat, yang tidak dapat kembali ke bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehidroaskorbat menghasilkan asam 2,3-diketo-L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa, dan asam xilonat) dan mengalami oksidasi menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali dari bentuk dehidroaskorbat dengan bantuan enzim dehidroaskorbat reduktase. Enzim ini menggunakan glutation tereduksi sebagai sumber reducing equivalent. Kerja enzim ini juga menggunakan NADPH sebagai donor hidrogen (Combs, 1992).

Vitamin C tidak bersifat racun di dalam tubuh jika berada dalam jumlah yang berlebihan, akan tetapi dapat terjadinya kelebihan besi di dalam tubuh. Walaupun masalah ini jarang terjadi, akan tetapi akibat yang dapat timbul sangat berbahaya, yaitu dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati, pankreas, jantung, dan kemungkinan organ lain (Linder, 1992). Angka kecukupan gizi vitamin C dapat dilihat pada Tabel 2.

(34)

Gambar 2. Struktur vitamin C

Tabel 2. Angka kecukupan gizi vitamin C dan E bagi orang Indonesia

No Kelompok

Sumber : Anonim (2004)

(35)

dalam plasma dan juga berperan dalam sel. Asam askorbat menangkap secara efektif O2 dan 1O2 sekaligus. Asam askorbat dapat memutuskan reaksi radikal yang dihasilkan melalui peroksidasi lipid. Pada konsentrasi rendah, asam ini bereaksi secara langsung pada fase cair dengan radikal peroksil LOO., lalu berubah menjadi askorbil sedikit reaktif. Pada konsentrasi tinggi, asam ini tidak bereaksi.

F. VITAMIN E

Vitamin E merupakan istilah umum untuk sejumlah senyawa tokol dan trienol, dimana senyawa yang paling aktif adalah α-tokoferol. Akan tetapi α -tokoferol tidak disintesis oleh mamalia, sehingga menjadi bagian jaringan mamalia melalui pencernaan, penyerapan dan penyimpanan dalam jaringan dari vitamin E alami dalam bahan pangan. Vitamin E sebagian besar berasal dari jaringan tanaman dan sedikit pada jaringan hewan serta umumnya terdapat dalam bentuk tidak teresterifikasi (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Vitamin memiliki beberapa sifat umum, diantaranya adalah larut dalam alkohol, lemak, dan pelarut lemak dan tidak larut air. Untuk menghindari ketengikan oksidatif, α dan λ-tokoferol biasanya digunakan sebagai antioksidan dalam bahan pangan (Andarwulan dan Koswara, 1992). Struktur kimia vitamin E dapat dilihat pada Gambar 3.

Tokoferol

Tokotrienol

Gambar 3. Struktur vitamin E

(36)

membran lipid, khususnya pada membran sel darah merah (Guthrie, 1986). angka kecukupan gizi vitamin E dapat dilihat pada Tabel 2.

Combs (1992) menerangkan bahwa vitamin E diserap usus oleh suatu difusi pasif dengan bantuan garam empedu dan lemak. Tokoferol berinteraksi dengan asam lemak tidak jenuh di dalam usus, dengan distimulasi oleh trigliserida dan dihambat oleh asam linoleat. Penyerapan vitamin E, seperti senyawa hidrofobik lainnya, masuk ke dalam sistem limfatik dalam kesatuan dengan kilomikron. Menurut Linder (1992), setelah vitamin E menjadi bagian kilomikron, vitamin ini didistribusikan ke intra dan ekstraselular di seluruh tubuh. Oleh karena penyerapan vitamin E tergantung pada penyerapan lemak, maka gejala kesulitan penyerapan lemak dapat mengakibatkan defisiensi vitamin E. Secara normal, vitamin E tertinggi konsentrasinya di dalam plasma, hati dan jaringan lemak.

Dalam proses metabolisme, vitamin E dapat dioksidasi menjadi tokoferilkuinon, yang merupakan hasil oksidasi tokoferoksil radikal. Hal yang penting diperhatikan adalah reaksi monovalen dari oksidasi tokoferol menjadi tokoferoksil radikal merupakan reaksi reversibel, sementara reaksi pembentukkan tokoferilkuinon dari oksidasi tokoferil radikal merupakan reaksi irreversibel.

G. DETERIORASI PRODUK SELAMA PENYIMPANAN

Deteriorasi merupakan penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi.

(37)

Hal-hal di atas dapat menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi : perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis.

Perubahan pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa pengempukan, retrogradasi, staling, perubahan kekentalan, pengendapan, perubahan stabilitas dan pecahnya emulsi, serta pemasiran, dll. Perubahan tekstur banyak dipengaruhi oleh kadar air, terutama makanan kering yang dapat menyerap uap air.

Perubahan flavor merupakan hal yang sensitif dalam produk pangan, hal ini disebabkan oleh karena daya deteksi oleh sel-sel pembau di dalam hidung yang mampu mencium bau yang terbentuk meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Terbentuknya beberapa molekul off flavor pada produk akan segera merusak flavor secara keseluruhan. Salah satu yang paling umum adalah terjadinya ketengikan baik akibat hirolisis maupun oksidasi.

Reaksi deteriorasi yang banyak menyebabkan penurunan mutu produk pangan setelah produksi adalah reaksi oksidasi lemak yang menyebabkan terbentukya komponen volatil yang bertanggung jawab terhadap timbulnya off flavor. Penyebab reaksi oksidasi adalah oksigen yang terdapat pada udara, peroksida, logam dan oksidator lainnya.

Pada aw rendah (di bawah nilai aw monolayer) laju oksidasi menurun dengan meningkatnya aw (Arpah, 2001). Laju reaksi ini mendekati minimum sekitar nilai aw monolayer, kemudian laju oksidasi kembali meningkat dengan meningkatnya aw. Laju konsumsi oksigen dapat menunjukkan laju oksidasi, meningkat dengan meningkatnya aw pada suatu campuran emulsi yang mengandung asam linoleat dan maltosa, akan tetapi hanya meningkat setelah aw mencapai 0.93 apabila campuran adalah maltodekstrin.

(38)

Tingkat penerimaan produk pangan dapat juga dipengaruhi oleh perubahan warna. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna akan menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima. Pada susu bubuk meningkatnya warna pencokelatan dapat menunjukkan banyaknya senyawa-senyawa yang terbentuk. Perubahan warna susu bubuk dari warna putih krim ke warna kecoklatan disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatik atau reaksi Maillard.

H. UMUR SIMPAN

Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan tidak dapat balik selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi ini disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan tersebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Sedangkan National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001).

(39)

kepastian/jaminan kepada konsumen bahwa hanya produk-produk dengan kualitas (mutu) yang tertentu saja yang dijual ke pasar, yaitu produk yang masih memiliki daya guna seperti yang diharapkan atau dijanjikan. Jadi, penentuan kadaluarsa ini berkaitan dengan tingkat keyakinan industri terhadap tingkah laku mutu yang diproduksinya (Hariyadi, 2004).

Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin (misalnya susu pasteurisasi) parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud bubuk, cair atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja, yaitu yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

1. Metode Pendugaan Umur Simpan

Pendugaan umur simpan makanan dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya :

a. Metode Konvensional

(40)

dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluarsa (Arpah, 2001).

b. Metode Akselerasi

Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut, maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan.

Umur simpan suatu produk yang dikemas dapat ditetapkan dengan metode ASLT. Salah satu metode ASLT adalah metode Arrhenius. Metode ini dilakukan dengan menyimpan bahan atau produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius. Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing bahan atau produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan.

c. Metode Numerik

Metode numerik ini biasanya disebut dengan model sorpsi isotermis. Umumnya mekanisme perpindahan uap air pada makanan terkemas merupakan suatu penyerapan uap air. Perpindahan uap air melalui kemasan film berhubungan dengan aktifitas di dalam kemasan (Labuza, 1982). Persamaan dasar untuk laju perpindahan uap air berdasar hukum Fidck dan Henry (Labuza, 1982):

(41)

dM/dt = laju peningkatan kadar air produk (g H2O/g padatan.Hari) k.H2O = permeabilitas uap air kemasan (g.mm/m2.atm.hari) x = tebal kemasan (mm)

A = luas permukaan bahan kemasan (m2) Ws = berat bahan kemasan (g)

Po = tekanan uap air jenuh (atm) Awo = aw di luar kemasan

Aw1 = aw di dalam kemasan

2. Ordo Reaksi

Menurut Labuza (1982) reaksi kehilangan mutu pada makanan dapat dijelaskan oleh ordo nol dan satu, dan hanya sedikit yang dijelaskan oleh ordo lain.

a. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatik, pencoklatan enzimatik dan reaksi oksidasi. Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan, kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan.

(42)

Selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (K-1) dan sumbu y menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan yang digunakan (35°C, 45°C, 55°C atau 308 K, 318 K, dan 328 K). Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan. Dari regresi linier yang diperoleh pada kurva Arrhenius ini dapat diprediksi umur simpan produk dengan menggunakan rumus :

k = ko.e -Ea/RT

Dengan mengubah persamaan di atas menjadi : ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T

ko merupakan konstanta penurunan mutu produk yang tidak tergantung pada suhu, sedangkan k merupakan konstanta penurunan mutu dari salah satu kondisi suhu yang digunakan (20°, 27°, 30° atau 40° C) dan Ea/R merupakan gradien yang diperoleh dari plot Arrhenius. Dengan perhitungan menggunakan rumus ini, akan diperoleh nilai ko. Umur simpan diperoleh dengan rumus :

t =

At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t ko = konstanta

(43)

b. Reaksi Ordo Satu

Tipe-tipe kerusakan yang mengikuti reaksi ordo satu adalah : (1) ketengikan, (2) pertumbuhan mikroba, (3) produksi off flavor oleh mikroba pada daging, ikan dan unggas, (4) kerusakan vitamin dan (5) penurunan mutu protein. Penurunan mutu bahan pangan banyak yang mengikuti ordo reaksi satu daripada ordo lain.

Perhitungan umur simpan dengan metode Arrhenius yang berdasarkan parameter organoleptik dilakukan dengan cara mencari nilai ln skor yang diberikan panelis pada setiap pengamatan secara organoleptik untuk setiap parameter pada setiap suhu penyimpanan. Hasil yang diperoleh kemudian diplotkan dalam grafik hubungan antara nilai ln skor sebagai sumbu y dan waktu penyimpanan sebagai sumbu x pada masing-masing suhu penyimpanan. Kemudian dicari nilai k-nya atau nilai konstanta penurunan mutu per hari yang diperoleh dari kemiringan persamaan regresi grafik tersebut. Setelah nilai k diperoleh, kemudian dicari nilai ln k untuk masing-masing suhu penyimpanan.

Selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (K-1) dan sumbu y menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan yang digunakan (35°C, 45°C, 55°C atau 308 K, 318 K, dan 328 K). Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan. Dari regresi linier yang diperoleh pada kurva Arrhenius ini dapat diprediksi umur simpan produk dengan menggunakan rumus Arrhenius :

k = ko.e -Ea/RT

(44)

t =

At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t ko = konstanta

Dari rumus di atas dapat diprediksi umur simpan dalam hari atau bulan.

I. KEMASAN

Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai : (1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi;(2) memberi perlindungan terhadap produk dari kontaminasi luar dan kerusakan;(3) menambah daya tarik produk.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987).

(45)

Plastik merupakan bahan kemasan yang penting dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain (kertas, alumunium foil). Kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik seperti kertas, alumunium foil dan selulosa, dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari enam mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi maupun laminasi adesif disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1993). Minimal ada dua jenis kemasan yang dikombinasikan dalam kemasan laminasi dimana salah satunya harus bersifat termoplastik. Kombinasi dari berbagai ragam plastik ini dapat menghasilkan ratusan jenis kemasan.

Seperti telah disebutkan bahwa metode laminasi ada dua macam, yaitu laminasi ekstrusi dan laminasi adesif. Masing-masing metode memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Menurut Syarief et al.(1989) laminasi ekstrusi mempunyai kekuatan yang relatif rendah dan kadang-kadang timbul bau plastik. Sedangkan metode laminasi adesif mempunyai kekuatan kemasan yang lebih baik, akan tetapi relatif lebih mahal.

Jenis kemasan produk minuman fungsional ini adalah jenis plastik yang dilaminasi secara ekstruksi dengan Low Density Polyethylene (LDPE) dengan polietilen tereftalat (PET) sebagai printing film. Polietilen (PE) banyak digunakan dalam laminasi terutama untuk bagian luar karena dapat meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan sebagai kantung-kantung makanan yang memerlukan perlindungan (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat yang paling penting dari LDPE, adalah memiliki perlindungan yang baik terhadap air dan uap air, tetapi bukan pelindung yang baik terhadap gas (Robertson, 1993). Selain itu PE juga bersifat termoplastik sehingga mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik. Sedangkan PET memiliki permeabilitas terhadap air dan gas yang sangat rendah.

(46)

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari produk minuman fungsional susu skim yang disuplementasi tepung kedelai kaya isoflavon serta difortifikasi vitamin C dan E. Bahan-bahan untuk pembuatan minuman fungsional, yaitu susu skim bubuk, maltodekstrin, dan carboxy methyl cellulose (CMC) yang diperoleh dari PT Alam Subur Tirta Kencana, gula tepung yang diperoleh dari supermarket Hero, alkalised cocoa powder dari ADM Cocoa Pte Ltd Singapore, tepung kedelai kaya isoflavon dari Solgen Israel, asam askorbat dari PT Ekacitta Dian Persada, dl-α-tocopheryl acetate powder 50% dari Zhejiang Medicine Xinchang Pharma.

Bahan-bahan untuk analisis kimia meliputi K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator methylen blue, HCl, pelarut, n-heksana. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi meliputi Plate Count Agar dan larutan fisiologis NaCl 0.85 %.

Selain itu digunakan pula bahan-bahan berupa metanol absolut, akuades, asam askorbat 10%, natrium sulfida 12%, gliserol, KOH 5%, akuabides, diisopropil eter, natrium anhidrat, natrium askorbat, BHT, dan

dl-α-tokoferol. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk pendugaan umur simpan adalah larutan dye, larutan standar asam askorbat, larutan HPO3 3%.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi labu kjeldahl, labu lemak, tanur, ekstraktor soxhlet, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, mikroburet, labu lemak, cawan petri, botol semprot, Chromameter Minolta CR-200, pH meter Orion model 210A, Shibaura aw meter WA-360, inkubator, buret, oven vakum, dough mixer, mikropipet, gelas ukur, neraca analitik, sudip, freezer, HPLC dan inkubator.

B. METODE PENELITIAN

(47)

yang berjumlah kecil, sedikit demi sedikit hingga homogen. Produk minuman fungsional dikemas dalam kemasan yang terbuat dari jenis plastik yang dilaminasi secara ekstruksi dengan Low Density Polyethylene (LDPE) dengan polietilen tereftalat (PET) sebagai printing film. dengan bobot 5 g akan ditentukan umur simpannya.

Produk kemudian dianalisis proksimat, isoflavon, vitamin C, vitamin E, nilai aktivitas air, dan pH. Selain itu, total mikroba produk ini pun diamati. Produk disimpan dalam ruang kering dan tertutup (inkubator) pada suhu 35, 45, dan 55oC selama 24 hari dan penyimpanan produk sebagai kontrol pada suhu -18 oC. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, 20, dan 24. Sampel yang diambil adalah yang masih dikemas rapat (tidak melanjutkan sampel yang sudah dianalisis sebelumnya).

1. Pengamatan Perubahan Sifat Fisikokimia

Pengamatan yang dilakukan meliputi perubahan sifat fisikokimia yang meliputi warna dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-200 dan penurunan kadar Vitamin C (asam askorbat) dengan metode oksidimetri.

2. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius

Uji parameter mutu yang dilakukan untuk pendugaan umur simpan adalah uji organoleptik, dengan uji skoring. Batas umur simpan atau penolakan produk ditetapkan skor = 3.

(48)

kemiringan persamaan regresi grafik masing-masing suhu penyimpanan tersebut. Setelah nilai k diperoleh, kemudian dicari nilai ln k untuk masing-masing suhu penyimpanan.

Selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (K-1) dan sumbu y menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan yang digunakan (35°C, 45°C, 55°C atau 308 K, 318 K, dan 328 K). Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan. Dari regresi linier yang diperoleh pada kurva Arrhenius ini dapat diprediksi umur simpan produk dengan menggunakan rumus :

k = ko.e -Ea/RT Keterangan :

k = konstanta penurunan mutu

ko = konstanta (tidak tergantung pada suhu) Ea = energi aktivasi

T = suhu mutlak (oK)

R = konstanta gas (1.986 kal/molK)

Dengan mengubah persamaan di atas menjadi : ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T

ko merupakan konstanta penurunan mutu produk yang tidak tergantung pada suhu, sedangkan k merupakan konstanta penurunan mutu dari salah satu kondisi suhu yang digunakan (20°, 27°, 30° atau 40° C) dan Ea/R merupakan gradien yang diperoleh dari plot Arrhenius. Dengan perhitungan menggunakan rumus ini, akan diperoleh nilai ko. Umur simpan menurut ordo reaksi satu diperoleh dengan rumus :

t =

(49)

Dari rumus di atas dapat diprediksi umur simpan dalam hari atau bulan. Sedangkan apabila mengikuti ordo reaksi nol umur simpan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :

t = ko

At Ao

C. PROSEDUR ANALISIS

1. Kadar Air (Apriyantono et al., 1989)

Timbang sampel sebanyak 5 g pada cawan bertutup. Masukkan ke dalam oven vakum pada suhu 100oC. Keringkan sampai berat konstan (± 5 jam) di bawah tekanan ≤100 mmHg. Selama pengeringan, perlambat laju aliran udara pada oven. Keringkan dengan melewatkan H2SO4 atau silika gel. Hentikan pompa vakum dan secara hati-hati masukkan udara kering ke dalam oven. Tutup cawan, keluarkan dari oven, dinginkan, dan timbang. Kalkulasikan % kehilangan berat sebagai kadar air.

Kadar air =(berat cawan akhir)–(berat cawan awal) x 100 % berat sampel

2. Kadar Protein (Apriyantono et al., 1989)

Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 2.0 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan sedikit air suling dan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 pekat sampai warna coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator merah metil serta metil biru, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N hingga titik akhir.

(50)

berat sampel (mg) % Protein = %N x 6.38

3. Kadar Abu (Apriyantono et al., 1989)

Sampel ditimbang 2.0 - 3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4 - 5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang.

% kadar abu = berat abu x 100 % berat sampel

4. Kadar Lemak Kasar (SNI 01-2891-1992)

Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang. 1-2 g sampel ditimbang ke dalam gelas piala, tambahkan 30 ml HCl 25% dan 20 ml air serta beberapa batu didih. Tutup gelas piala dengan gelas arloji dan didihkan selama 15 menit. Saring dalam keadaan panas dan cuci dengan air panas hingga tidak bereaksi asam lagi.

Kertas saring dikeringkan berikut isinya pada suhu 100-105oC. Masukkan ke dalam kertas pembungkus dan ekstrak dengan heksana selama 2-3 jam pada suhu kurang lebih 80oC. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 100-105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang.

% lemak = (berat lemak+labu) – bobot labu x 100 % berat sampel

(51)

Kadar karbohidrat (%) = 100-( kadar protein+lemak+air+abu)(%)

6. Pengukuran Aktivitas Air

Aktivitas air diukur dengan Shibaura aw meter WA-360. Sebelum digunakan alat dikalibrasi terlebih dahulu sebelum penggunaan dengan menggunakan aw garam standar. Standar aw NaCl adalah 0.7509 dan K2SO4 adalah 0.97 (30oC). Setelah kalibrasi selesai, bahan dengan berat 5 gram dimasukkan ke dalam aw meter selama kurang lebih 30 menit. Selanjutnya dibaca skala pada aw meter.

7. Pengukuran Warna metode Hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda,

2003)

Pengukuran untuk warna produk dilakukan dengan menggunakan alat chromameter “Minolta CR-200”. Warna minuman fungsional dibaca dengan detektor digital lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Parameter yang diukur adalah nilai L, a, b, dan hº (Hue). Dimana:

L = nilai yang menunjukkan kecerahan, berkisar antara 0-100 a = merupakan warna campuran merah-hijau

a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah a negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna hijau b = merupakan warna campuran biru-kuning

b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning b negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna biru hº (Hue) = parameter untuk kisaran warna

Tabel 3. Parameter warna berdasarkan nilai hº (Hue)

(52)

Red purple 342 – 18

Red 18 – 54

Yellow red 54 – 90

Yellow 90 – 126

Yellow green 126 – 162

Green 162 – 198

Blue green 198 – 234

Blue 234 – 270

Blue purple 270 – 306

Purple 306 – 342

8. Pengukuran pH

Sampel sebanyak 2.5 gram diseduh dengan 15 ml aquades kemudian diukur pH-nya. Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter Orion model 210A yang terlebih dahulu dikalibrasi oleh buffer 4 dan 7. Kalibrasi dilakukan setiap awal pengukuran.

9. Pengukuran Kadar Isoflavon (Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pasca Panen)

Sampel ditimbang sebanyak 2 g. dikeringkan pada suhu 40 oC selama 1 jam. Selanjutnya diektrak dengan methanol absolut (3x50 ml) dan disimpan pada suhu 0 oC selama 1 malam. Larutan kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer sampai kering. Ekstrak yang telah kering dilarutkan dalam methanol absolut (HPLC grade) sampai volume mencapai 10 ml. Disentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 20 menit untuk memisahkan endapan yang ada. Filtrat yang bening siap untuk dianalisis dengan menggunakan HPLC.

Gambar

Gambar 1. Struktur dasar isoflavon
Gambar 2. Struktur vitamin C
Gambar 3. Struktur vitamin E
Tabel 4. Mutu minuman fungsional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa lingkungan dapat dibagi menjadi tiga bagian, pertama lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah sebagai penyedia sarana dan prasarana yang memadai bagi anak

Pelatihan analisis tes menggunakan software ITEMAN bagi guru Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dalam lingkup Cabang Muhammadiyah Karanglewas Banyumas berjalan dengan

Opinions or findings of others are quoted and cited with respect to

(h) Data tabel 8 ditemukan satu peristiwa campur kode, yaitu “Globalwarning.” Campur kode globalwarning masuk dalam jenis campur kode ke luar karena diambil dari

Instrumen tes hasil belajar untuk melihat penerapan pendekatan pembelajaran Sains Teknologi dan Masyarakat pada kelas eksperimen dan pendekatan pembelajaran saintifik

Dengan pendekatan visual yang diarahkan bentuk ilustrasi kartun untuk lembar bermain dan bentuk ilustrasi lebih komplit untuk lembar informasi cara melipat, dan

Di kabupaten Kudus terutama di daerah kecamatan mejobo terdapat paket C yang rentang usianya 40 tahun ke atas, sehingga warga belajar banyak yang tidak hadir dalam

Untuk mengetahui pengaruh manajemen modal kerja terhadap tingkat likuiditas perusahaan pada industri semen yang terdaftar Di Bursa Efek Indonesia..