• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Volume buah per tandan ...27 4 . Rerata volume buah, jumlah anak , bobot anak , jumlah biji dan bobot biji. ...31

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

I. Layout Penelitian ...45

II. Perhitungan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2, 4 D ...47

III. Dokumentasi Kegiatan ...48

xii

ABSTRACT

A research Males flowers substitution concentration study with 2, 4 D plant growth regulator application and appropriate time on the pondoh sallaca (Salacca edulis Reinw). This research aimes to study and obtained the auxin concentation and appropriate time to pondoh sallaca. This research conducted on April until July 2016 in Laboratory of Kultur in vitro and Pambregan village, Turi, Sleman, Yogyakarta.

The research used experimental method the single factor that organized Randomized Complete Block Design (RCBD) of 3 replications. The examined factors were auxin concentration consist of Three levels are 50 ppm, 100 ppm and 150 ppm when the sheath bunches opened about 25%, 50% and 75%. There were obtained nine combination of treatments with a conventional pollination as comparing. Variables observed in this research were amount per cluster, weight per cluster, volume per cluster, volume per fruit, amount per fruit, weigh per fruit, seed amount per fruit and seed weigh per fruit.

The resulted of this research revealed that 2, 4 D could substitute males flowers on pondoh sallaca and the best concentation around of 2, 4 D is 150 ppm and appropriate time to pondoh pollination is 75%.

Keywords: pondoh Sallaca, Substitution, auxin, concentration, time of application

1

A. Latar Belakang

Salak (Salacca zallaca) merupakan tanaman buah asli dari Indonesia. Buah ini termasuk dalam keluarga Palmae yang diduga dari Pulau Jawa (Widyastuti, 1996). Di Indonesia banyak sekali varietas salak yang berkembang, salak pondoh yang paling banyak diminati masyarakat karena memiliki beberapa keunggulan seperti yang dikatakan Santoso (1990) bahwa terdapat banyak varietas salak yang berkembang di Indonesia, akan tetapi salak pondoh (Salacca edulis Reinw) yang paling banyak diminati karena memiliki keunggulan seperti memiliki rasa manis, empuk dan tidak sepat pada saat dipetik pada umur belum panen. Selain itu, salak pondoh memiliki kandungan air yang cukup dan memiliki harga jual relatif lebih tinggi (Purnomo, 2001). Buah ini juga memiliki kandungan gizi yang baik karena memiliki 77 Kalori, 0,4 gram Protein, 20,9 gram Karbohidrat, 28 mg Kalsium, 18 mg Fosfor, 4,20 mg zat besi, 0,04 mg Vitamin B, 0,04 mg Vitamin C, 2 mg Air (Rukmana,1999).

Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki salak pondoh seperti rasanya yang manis, empuk tidak sepat pada saat dipetik pada umur belum panen serta kandungan gizinya, maka buah ini banyak diminati dan diproduksi dan dikembangkan di Indonesia. Departemen Pertanian menginformasikan bahwa total produksi salak pondoh Indonesia sebesar 508.703 ton dengan jumlah produksi tersebut produksi belum memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar nasional dan internasional. Persentase pemenuhan untuk pasar lokal sekitar 30%. Tercatat mulai dari tahun 2007 sampai 2012 produksi salak berturut-turut yaitu

805.879, 862.465, 829.014, 749.876, 1.082.125, dan 1.035.407 ton (Badan Pusat Statistik, 2014). Menurut Ardyan (2012), untuk kegiatan ekspor salak, Badan Pusat Statistik mencatat selama 2007 hingga September tahun 2012, ekspor salak mencapai 949,5 ton, atau senilai USD 1,04 juta. Pencapaian tersebut meningkat 37,7% dibandingkan periode tahun sebelumnya. Begitu juga dengan salak pondoh yang pada tahun 2012, Pemerintah Sleman mengekspor salak pondoh sebanyak 320,79 ton dan pada tahun 2013 Sleman kembali mengekspor salak sebesar 199,96 ton (Slemankab, 2015). Permintaan salak pondoh tersebut terus meningkat seiring dengan terkenalnya salak pondoh dan pertumbuhan penduduk.

Berdasarkan data permintaan dan produksi salak pondoh maka buah ini banyak dibudidayakan dan dikembangkan di Indonesia sebagai salah satu komoditas buah yang permintaannya tinggi. Dalam budidaya salak pondoh sering ditemukan beberapa kendala diantaranya yaitu ketersediaan bunga jantan pada waktu tertentu terbatas sehingga penyerbukan bunga betina pun terbatas yang mengakibatkan produksi salak menjadi rendah. Nur (1991) menyatakan pada Bulan Februari hingga Maret ketersediaan bunga jantan terbatas, 1 bunga jantan hanya dapat menyerbuki 10 bunga betina tidak seperti pada umumnya 1 bunga jantan dapat menyerbuki 20 bunga betina.

Salak Pondoh termasuk tanaman yang berumah dua yaitu bunga jantan dan betina berada pada pohon yang berbeda, sehingga dalam perkembangbiakannya untuk penyerbukan memerlukan bantuan angin, serangga atau manusia. Akan tetapi hal tersebut tidak menjamin produksi salak meningkat jika ketersediaan bunga jantan kurang atau rendah maka perlu adanya solusi atau

teknologi lain yang dapat menggantikan ketersediaan bunga jantan tersebut guna membantu meningkatkan produksi salak pondoh, salah satunya dengan mensubstisusi atau mengganti peran bunga jantan dengan auksin.

Auksin merupakan salah satu jenis zat pengatur tumbuh yang dapat mempengaruhi proses fisiologis suatu tanaman yang dapat merangsang pembungaan (Nuryanah dalam Nurnasari dan Djumali, 2012). Golongan ZPT seperti auksin juga berperan dalam pembelahan sel, peningkatan plastisitas dan elastisitas dinding sel, mengatur pembungaan dan terjadinya buah (Erlen dkk., 2013) sehingga ZPT ini dapat menstimulir atau menggantikan peran bunga jantan salak pondoh.

Salah satu faktor keberhasilan aplikasi auksin terhadap penyerbukan yaitu penggunaan konsentrasi. Gardner et al., (2008) menjelaskan bahwa respon tanaman terhadap auksin tergantung konsentrasinya. Pemberian konsentrasi berlebih akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, pembelahan dan perkembangan sel (Erlen, 2013). Sebaliknya pemberian auksin yang rendah juga tidak selalu berpengaruh positif karena hal ini berhungan dengan keseimbangan hormonal (sintesis protein dan pengaturan enzim) yang mempengaruhi perkembangan tanaman. Faktor lain yang menentukan keberhasilan aplikasi auksin yaitu tingkat kematangan atau kesiapan bunga betina menerima bunga jantan untuk dibuahi (anthesis). Penelitian Gatot (2006) menunjukan bahwa saat aplikasi auksin ketika seludang bunga membuka maksimal 25% memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan ketika seludang membuka penuh (100%). Hal tersebut diakibatkan karena semakin seludang membuka sempurna semakin

banyak konsentrasi auksin yang dibutuhkan atau mundurnya saat aplikasi maka konsentrasi auksin yang dibutuhkan semakin tinggi.

Pada saat pemberian auksin tidak semua memberikan respon positif karena keberhasilan aplikasi auksin untuk penyerbukan ditentukan oleh dua faktor yaitu konsentrasi dan saat pemberian auksin maka perlu adanya kajian mengenai konsentrasi dan waktu aplikasi auksin yang tepat untuk meningkatkan dan mendorong terjadinya pembuahan melalui penyerbukan.

B. Rumusan Masalah

1. Dapatkah auksin menggantikan peran bunga jantan salak pondoh?

2. Kapan dan berapa waktu aplikasi auksin yang tepat dalam mensubstitusi bunga jantan salak pondoh?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji substitusi bunga salak jantan salak pondoh dengan auksin.

2. Menentukan konsentrasi dan waktu aplikasi auksin yang tepat dalam substitusi bunga jantan salak pondoh.

5

A. Salak Pondoh (Salacca zalacca)

Salak pondoh (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan dibeberapa tempat di Jawa yang tumbuh subur di daerah tropika basah pada tanah berpasir. Nama “pondoh” semula diberikan kepada salak hitam yang berkembang di Dusun Soka, Desa Merdikerto, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman dan di Dusun Candi, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta (Anonim, 1997). Tanaman ini dan dideskripsikan pada tahun 1825 dengan nama ilmiah Salacca edulis Reinw. Nama tersebut kemudian dikoreksi dengan nama Salacca zalacca (Gardner) Voss (Schuiling dan Mogea, 1992).

Tanaman salak pondoh memerlukan curah hujan rata-rata 200-400 mm per bulan. Tanaman ini tidak menyukai penyinaran penuh, intensitas sinar yang dibutuhkan berkisar 50-70%, sehingga perlu tumbuhan penaung. Salak tumbuh dengan baik pada tempat beriklim basah dengan pH sekitar 6,5, berupa tanahpasir atau lempung yang kaya bahan organik, dapat menyimpan air dan tidak tergenang, karena sistem perakarannya dangkal (Santoso, 1990). Temperatur optimal 20-30 oC, apabila kurang dari 20 oC perbungaan akan lambat, bila terlalu tinggi akan menyebabkan buah dan biji membusuk. Salak tumbuh baik dari dataran rendah sampai ketinggian sekitar 700 m dpl dan dapat berbuah sepanjang tahun, khususnya pada Bulan Oktober dan Januari (Sastroprodjo, 1980).

Gambar 1. Habitus Tanaman Salak Pondoh (Anonim, 2014)

Berikut merupakan klasifikasi tanaman salak pondoh menurut Tjitrosoepomo (1988):

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Principes

Familia : Palmae

Genus : Salacca Spesies : Salacca zalacca (Gaert.) Voss. Sinonim : Salacca edulis Reinw.

Salak pondoh memiliki buah sejati tunggal bertipe buah batu berbentuk bulat sampai telur terbalik, berukuran panjang 4,5-7 cm dengan diameter 4-6 cm, tiap dompol terdapat 10-40 butir salak. Kulit salak terdiri atas sisik yang tersusun seperti genting menyatu, warna kuning-coklat sampai hitam. Setiap sisik berujung sebuah onak yang mudah putus setelah buah masak.

Biji salak pondoh umumnya berjumlah tiga butir per buah yang memiliki selubung biji (arilus) sempurna yang disebut anak buah. Anak buah ini berwarna putih kapur sampai krem, berisi tiga dengan dua sisi datar tebal 1-3 mm dan satu

sisi melengkung tebal 2-4 mm dan bagian tepi samping yang menyudut dengan tebal 7-12 mm. Inti biji (isi) berwarna coklat sampai hitam.

Berdasarkan bentuk, ukuran, warna kulit dan tempat budidayanya dikenal beberapa jenis salak pondoh seperti salak pondoh hitam, salak pondoh cokelat kemerahan, salak pondoh hitam kemerahan salak nglumut, salak Lawu, salak Lumajang dan salak Tasik super (Harsoyo, 2006).

Tanaman salak tumbuh secara berumpun dengan tinggi tanamannya dapat mencapai 7 m, akan tetapi rata-rata hanya sekitar 4,5 m. Tanaman ini termasuk tanaman berumah dua yaitu antara bunga jantan (stamen) dan betina (allogamie) terpisah atau dalam satu tanaman hanya tedapat salah satu bunga saja, memiliki batang berduri yang hampir tidak terlihat karena tertutupi oleh pelepah daun yang tumbuh rapat. Daun tersusun berbentuk roset dengan panjang antara 2,5 – 7 m.

Bunga tanaman salak tersusun dalam tandan rapat dan bersisik dengan tandan bunga jantan dan tandan bunga betina terletak pada pohon yang berlainan, sebagian tandan bunga terbungkus oleh seludang atau tongkol yang berbentuk seperti perahu yang terletak diketiak pelepah daun (Sulastri, 1986). Bunga salak berbentuk majemuk, bertangkai dan tertutup oleh 5 seludang. Panjang seludang bunga jantan hingga 50-100 cm sedangkan bunga betina 20-30 cm (Ashari, 1995). Purnomo (2001) menyebutkan bahwa bunga jantan pada tanaman salak pondoh berwarna coklat kemerahan, sekelompok bunga jantan terdiri dari 4-12 malai, satu malai terdiri dari ribuan serbuk sari dengan panjang bunga jantan setiap malai sekitar 4-15 cm. Bunga jantan mekar selama 1-3 hari. Bunga betina berwarna hijau kekuningan, berbintik merah dan mempunyai 3 petal. Panjang satu malai

7-10 cm dan bunga mekar selama 1-3 hari. Bunga salak siap diserbuki yaitu pada hari ke -2 mekar dengan ciri mengeluarkan aroma harum.

Tanaman salak berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Pada umur 2 tahun salak pondoh berbunga untuk bibit dari tunas anakan dan 3 tahun untuk bibit dari biji. Masa pembungaan yang paling baik adalah pada Bulan Agustus sampai Oktober dan akan mengasilkan buah pada Bulan Januari sampai April. Buah yang dihasilkan ini dipengaruhi oleh jumlah bunga, masa reseptif, dan persarian yang tepat (Allard Bradshaw, 1964) selain itu Akihima dan Omura (1986) menyatakan bahwa pembentukan buah juga dipengaruhi dua faktor yaitu faktor dalam (genetis) dan luar seperti lingkungan, hara, dan air, termasuk proses persarian.

Seleksi tanaman jantan dan betina dapat dilakukan saat tanaman berumur 4-5 tahun jika bibit diperoleh dari biji. Jika bibitnya diperoleh dari anakan (tunas), maka tidak perlu seleksi karena secara otomatis anakan yang dihasilkan sesuai dengan pohon asal. Bibit salak yang berasal dari biji biasanya hanya 40% betina dari yang ditanam, tanaman jantan akan menghasilkan bunga jantan, sedangkan tanaman betina akan menghasilkan bunga betina. Tanaman salak yang ditanam dari biji akan berbunga setelah berumur 4 tahun, dan sebaliknya, tanaman salak akan berbunga 2–3 tahun jika ditanam dari tunasnya (Kaputra dan Harahap, 2004).

B. Penyerbukan pada Salak Pondoh

Penyerbukan merupakan peristiwa jatuhnya serbuk sari (pollen) di atas kepala putik (stigma). Penyerbukan dapat terjadi ketika bunga jantan dan betina

terpenuhi. Dalam hal ini akan terjadi peleburan gamet jantan dan betina yang nantinya akan terbentuk biji sebagai bakal buah dan individu baru. Pola variasi genetik di alam sangat ditentukan oleh mekanisme penyerbukan pada tanaman (Bawa dan Hadley, 1990 dan Griffin dan Sedgley, 1989). Terdapat dua macam penyerbukan alami yaitu penyerbukan tertutup (Kleistogami) dan penyerbukan terbuka (kasmogami). Kleistogami terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama yang dapat disebabkan oleh Putik dan serbuk sari masak sebelum terjadinya anthesis (bunga mekar) dan konstruksi bunga menghalangi terjadinya penyerbukan silang (dari luar). Sedangkan kasmogami Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda yang terjadi jika putik dan serbuk sari masak setelah terjadinya anthesis (bunga mekar). Penyerbukan buatan dilakukan pada tanaman berkelamin satu (unisexualis) atau berumah dua (dioecious) tanaman bersifat dikogami atau herkogami. Teknik penyerbukan ini dilakukan pada umumnya melalui beberapa tahap yaitu persiapan, isolasi kuncup terpilih, krasasi, pengumpulan serbuk sari dan melakukan penyerbukan.

Penyerbukan dengan bantuan manusia dapat dilakukan ketika bunga betina telah pecah atau terbukanya seludang pembungkus bunga yang ditandai bunga berwarna merah muda dan mengeluarkan bau wangi (Tim Penulis PS, 1992). Seludang bunga dibersihkan dengan memotongnya, hingga tampak tongkol bunganya. Satu tongkol bunga jantan dapat menyerbuki hingga 10 tongkol bunga betina. Penelitian Erlen dkk (2013) menunjukan bahwa pemberian auksin saat berbunga, dapat meningkatkan jumlah cabai terbentuk dan dapat meningkatkan

jumlah buah terbentuk. Selain itu pemberian auksin pada saat fase berbunga dapat meningkatkan fruit set cabai sebesar 33,20%.

C. Auksin

Dalam penyerbukan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan adalah hormone. Menurut Heddy (1991) hormon berasal dari bahasa Yunani yang artinya menggiatkan. Hormon merupakan zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologis (Zainal, 1985). Selain itu zat organik ini juga diyakini dapat mengatur proses-proses fisiologis tanaman karena dapat mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim. Adanya peningkatan sintesis protein sebagai bahan baku penyusun enzim dalam metabolism dapat meningkatkan pertumbuhan dan akan meningkatkan biosintesis metabolit sekunder yang akan mempengaruhi perkembangan tanaman (Salisbury dan Ross, 1995). Suatu hormon, dapat mengubah ekspresi gen, dengan mempengaruhi aktivitas enzim yang ada, atau dengan mengubah sifat membran. Beberapa peranan ini, dapat mengalihkan metabolisme dan pekembangan sel yang tanggap terhadap sejumlah kecil molekul hormon. Lintasan transduksi sinyal, memperjelas sinyal hormonal dan meneruskannya ke respon sel spesifik (Intan, 2008). Salah satu hormon tumbuh yang tidak lepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah auksin. Thimann (1973) dalam Kusumo (1984) berpendapat bahwa hubungan antara pertumbuhan dan kadar auksin adalah sama pada akar, batang dan tunas yaitu auksin merangsang pertumbuhan pada kadar rendah, sebaliknya menghambat pertumbuhan pada kadar tinggi. Didalam ilmu fisiologi auksin

termasuk kedalam salah satu kelompok zat pengatur tumbuh atau yang lebih dikenal sebagai ZPT.

Zat pengatur tumbuh dapat diartikan sebagai senyawa yang mempengaruhi proses fisiologis tanaman yang dapat mendorong dan menghambat proses fisiologis tanaman, seperti pengguguan daun, absisik daun dan buah, pembungaan, pertumbuhan bagian bunga dan dapat meningkatkan bunga betina pada tanaman

Dioecious melalui etilen (Nuryanah dalam Nurnasari dan Djumali, 2012). Selain itu auksin juga mempengaruhi fototropisme dan geotropism (Intan, 2008).

Istilah auksin (Gambar 2) diberikan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang. Beberapa auksin dihasikan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA (indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa lainnya seperti NAA (napthalene acetic acid), 2,4-D (2,4 dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-methyl-4 chlorophenoxyacetic acid) .

Gambar 2. Cincin Indole-3acetid acid (IAA) (Volker dan Biserka, 1999).

Berdasarkan zat kimianya yang 2, 4 D (Gambar 3) tergolong kedalam kelompok auksin yang paling banyak digunakan (96%) dalam berbagai penelitian sebagai alternatif zat komersial yang termasuk ke dalam golongan auksin. 2, 4 D merupakan salah satu auksin sintetis yang paling aktif dari golongan asam clhorophenoxy dan termasuk kedalam golongan herbisida. 2, 4 D ini diketahui paling lama dibandingkan dengan golongan auksin sintetis jenis lain serta paling selektif dan efektif dalam mempengaruhi suatu spesies.

Pada konsentrasi yang sama untuk pada konsentrasi IAA 2, 4 D paling aktif pada bioassay auksin dan paling banyak digunakan sebagai pengganti IAA. Bioassay merupakan analisis atau pengukuran dari suatu zat untuk menentukan keberadaan dan dampaknya (Suanryono, 2003). Hal ini dikarenakan 2, 4 D tidak cepat hilang yang diakibatkan oleh sistem oksidasi. 2, 4 D berpoteni tinngi menjadi herbisisda keika dalam konsentrasi yang memadai (konsentrasi tinggi).

Dalam perkembangannya banyak penelitian-penelitian menggunakan 2, 4 D diantaranya adalah pembentukan salak tanpa biji menggunakan zat pengatur tumbuh yang dilakukan oleh Gatot (2006). Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pemakaian auksin 2, 4 D dengan konsentrasi 200 ppm dapat membentuk 13,667 jumlah buah per tandan dan jumlah buah per tandan dapat mencapai 19 hingga 30 buah yang diaplikasikan ketika tandan terbuka penuh (100%) dan ketika tadan terbuka 25%. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti pemberian ZPT dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada sel-sel target yang berbeda. Selain itu penelitian

tersebut menunjukan pemberian 2, 4 D pada konsentrasi 100, 200 dan 300 ppm menghasilkan persentase pembentukan buah salak yang sama yakni sebesar 75%. Penelitian Sutana et al., (2006) menunjukan bahwa pemberian auksin 100 ppm dapat meningkatkan jumlah cabang per tanaman, panjang buah dan lebar buah pada tanaman cabai. Erlen dkk (2013) menunjukan bahwa pemberian NAA pada konsentrasi 150 ppm dan 200 ppm dapat meningkatkan jumlah buah terbentuk, pemberian IAA 200 ppm dapat meningkatkan 7, 84% diameter buah cabai. Sedangkan Sridhar et al., (2009) dalam penelitiaanya menunjukan bahwa pemberian NAA 100 ppm yang diberikan pada 45 dan 65 hari setelah transpalanting dapat meningkatkan hasil tanaman cabai 134, 26 gram per tanaman dan 3.324 kg/ha. Hal tersebut diakibatkan oleh karena auksin ini dapat merangsang dan mendorong beberapa proses fisiologi dalam tanaman seperti perkembangan buah dan biji. Krisnamoorthy (1981) menginformasikan perkembangan bakal buah distimulasi oleh suatu substantsi pertumbuhan yang dikenal dengan auksin yang merupakan hasil penyerbukan. Weaver (1972) aplikasi auksin sintetik dapat merangsang perkembangan buah tanpa penyerbukan buah tanpa biji.

Hasil penelitian Gatot (2006) menunjukan bahwa buah salak sempurna dapat dibentuk dengan pemberian auksin (IAA dan 2, 4 D) pada bunga salak non hemaprodit. Hal tersebut diduga karena beang sari yan semula tidak berkembang menjadi berkembang sehingga mampu membuaihi putik yang berada dalam satu rumah akibat adanya perubahan sex ratio yang diakibatkan oleh penggunaan

auksin. Hal ini didukung oleh pernyataan Krinamoorthy (1982) yang menyatakan bahwa aplikasi auksin dapat merubah sex ratio pada tanaman.

D. Hipotesis

Pemberian 2, 4 D dengan konsentrasi 100 ppm pada saat seludang tandan membuka 50% dapat menggantikan peran bunga jantan salak pondoh (Salacca edulis Reinw).

III. TATA CARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, objek penelitian tanaman salak pondoh yang diamati berada di Dusun Pambregan, Kecamatan Turi Sleman, Yogyakarta pada waktu pengamatan mulai dari Bulan April hingga Bulan Juli 2016. Persiapan alat dan bahan untuk penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan terdiri dari serbuk 2,4-D, aquades, KOH 1 M dan bunga salak pondoh yang berasal dari tanaman berumur 5-10 tahun. Alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada lampiran III.1 terdiri dari 3 botol mineral 150 ml, kain kelambu, platik, steples, spidol, label, saringan, pisau, cawan, sendok, sorong, penyaring, pengaduk, beakerglass, erlemeyer, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 250 ml, timbangan analitik, dan speyer.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode eksperimental dengan rancangan perlakuan faktor tunggal yang disusun dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga blok sebagai ulangan. Faktor yang diuji, yaitu konsentrasi 2,4 D yang terdiri dari tiga aras yaitu 50 ppm, 100 ppm dan 150 ppm yang diberikan ketika seludang tandan membuka 25%, 50% dan 75% sehingga diperoleh sembilan perlakuan dan ditambah satu penyerbukan

menggunakan bunga jantan sebagai pembanding. Setiap ulangan terdiri atas tiga sampel, sehingga total unit percobaan yang diuji sebanyak 90 unit.

D. Cara Penelitian

1. Persiapan Alat Dan Bahan (Lampiran III.1)

Persiapan alat dan bahan meliputi penyediaan komponen-komponen yang dibutuhkan seperti sintetis 2,4-D, aquades, KOH 1 M dan bunga salak pondoh, botol mineral 150 ml, kain kelambu, platik, steples, spidol, label, saringan, pisau, cawan, sendok, sorong, penyaring, pengaduk, beakerglass, erlenmeyer, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 250 ml, timbangan analitik, dan sprayer.

2. Pemilihan Bunga Betina Salak Pondoh

Bunga salak pondoh yang digunakan berasal dari tanaman yang sehat (lampiran III.2), varietas yang sama, pemeliharaan yang sama dan berumur 5-10 tahun.

3. Pembungkusan Bunga sebelum Penyemprotan

Pembungkusan bunga sebelum penyemprotan dilakukan menggunakan kain kelambu dengan menangkupkan pada bunga betina agar tidak diserbuki oleh poliator lain kemudian ditutup dengan setengah botol mineral.

4. Pembuatan Larutan 2, 4 D (Lampiran III.4)

Pembuatan larutan ini dilakukan dengan melakukan penimbangan serbuk 2, 4 D sesuai yang dibutuhkan untuk masing-masing konsentrasi (Lampiran 2) kemudian ditetesi KOH 1 M hingga larutan bening dan ditambahkan 1 liter kemudian dimasukan ke dalam erlemeyer.

5. Aplikasi 2, 4 D

Apikasi 2, 4 D dilakukan pada bunga betina yang telah mekar (Lampiran III.5) sesuai perlakuan (25%, 50% dan 75%) dan waktu aplikasi auksin kecuali kontrol yang diserbuki dengan bunga salak jantan dengan cara ditaburkan dan diolesi.

6. Pembungkusan Bunga Betina

Setelah aplikasi, bunga betina dibungkus menggunakan kain kelambu dan setengah botol mineral (Lampiran III. 3 dan III.6) agar tidak diserbuki oleh bunga salak jantan.

E. Variabel Pengamatan

1. Pengamatan per Tandan a. Jumlah Buah

Pengamatan jumlah buah per tandan dilakukan dengan menghitung jumlah buah secara keseluruhan dari satu tandan (Lampiran III.7) yang dilakukan secara manual dengan satuan buah. Pengamatan ini dilakukan pada akhir penelitian yaitu pada Bulan Juli 2016.

b. Bobot Buah

Pengamatan bobot buah per tandan dilakukan dengan menimbang satu tandan buah menggunakan timbangan analitik (Lampiran III.9) dengan satuan gram. Pengamatan ini dilakukan pada akhir pengamatan yaitu pada

Dokumen terkait