II. TINJAUAN PUSTAKA
3.3 Tahapan Penelitian
3.3.3 Pengambilan Darah Responden Setelah Intervensi
Pengambilan darah dilakukan di Puskesmas desa Dramaga oleh seorang perawat. Darah diambil dari 33 responden yang sama dengan yang diambil darahnya sebelum intervensi MSMn. Darah diambil secara aseptis dengan venojek sekali pakai. Sampel darah selanjutnya diperlakukan sama dengan yang dilakukan terhadap sampel darah sebelum intervensi MSMn sebagaimana telah disebutkan di atas.
3.3.4 Analisis Plasma darah 3.3.4.1 Analisis Profil Lipid
Lipid darah meliputi kadar trigliserida (TG), kadar total kolesterol (TK), kadar HDL dan kadar LDL. Kadar TG, TK dan HDL pada plasma/serum dapat diukur dengan menggunakan kit reagen komersial. Kit komersial berisi sejumLah enzim-enzim spesifik yang mengubah substrat menjadi kromofor, sehingga kadarnya dapat diukur dengan spektrofotometri.
a. Analisis Kadar Total Kolesterol (TK)
Kadar kolesterol total diukur dengan metode Cholesterol Oxidase Phenol Aminoantipyrin (CHOD-PAP) dan menggunakan pereaksi kit (AMS). Kolesterol diukur setelah dihidrolisis dan dioksidasi secara enzimatis.
Kolesterol ester + H2O kolesterol esterase kolesterol + asam lemak
Kolesterol + O2 kolesterol oksidase kolesten-3-one + H2O2
2 H2O2 + fenol+ 4-aminoantipyrine peroksidase quinoneimine + 4 H2O
Prosedur analisis yaitu sampel atau standar diambil sebanyak 100 µL dan dicampurkan dengan 1000 µL pereaksi kit (mengandung kolesterol esterase, kolesterol oksidase, fenol, 4-aminoantipyrine, peroksidase dan bufer) kemudian dimasukkan ke dalam tabung lalu dicampurkan sampai homogen. Campuran diinkubasi pada suhu 370C selama 5 menit, dan kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. Perhitungan kadar kolesterol total dilakukan dengan menggunakan rumus :
/ /
b. Analisis Kadar HDL
Pengukuran HDL dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan presipitasi terhadap lipoprotein densitas rendah (LDL dan VLDL) dan kilomikron. Presipitasi dilakukan dengan penambahan asam fosfotungstat dan kehadiran ion magnesium (MgCl2). Setelah disentrifugasi, HDL dalam supernatan diukur menggunakan pereaksi kit yang sama dengan pengukuran total kolesterol (CHOD-PAP).
Prosedur presipitasi adalah: sebanyak 200 µL plasma darah dicampurkan dengan 500 µL pereaksi presipitasi yang telah diencerkan dengan akuabides (rasio 4+1), kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Setelah sentrifugasi pada 1074g (4000 rpm) selama 10 menit, dihasilkan supernatan yang siap untuk dianalisis sama seperti analisis total kolesterol di atas.
/ /
c. Analisis Kadar Trigliserida (TG)
Sampel atau standar diambil sebanyak 10 µL dan dicampurkan dengan 1000 µL pereaksi kit, kemudian dimasukkan ke dalam tabung lalu dicampurkan
sampai homogen. Campuran diinkubasi pada suhu 370C selama 5 menit, dan kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm.
Trigliserida ditentukan setelah hidrolisis enzimatis dengan lipase.
Trigliserida + H2O lipase gliserol + asam lemak
Gliserol + ATP gliserol kinase gliserol-3-fosfat + ADP
Gliserol-3-fosfat + O2 gliserol-3-fosfat oksidase dihidroksiaseton fosfat + H2O2
2 H2O2 + 4-aminofenazon + 4 klorofenol peroksidase quinoneimine + HCl + 4 H2O
Perhitungan kadar trigliserida dilakukan dengan menggunakan rumus :
/ /
d. Perhitungan Kadar LDL
Teknik yang paling banyak digunakan oleh lab klinik untuk mengukur kadar LDL pasien yaitu dengan menggunakan formula Friedewald sebagai berikut: Kadar LDL = Total kolesterol – HDL – TG/5
3.3.4.2 Analisa C-Reactive Protein (CRP)
Pengukuran kadar C-RP (C-Reactive Protein) secara kuantitatif diukur dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) indirect, dimana pengujian setiap sampel diulang sebanyak 3 kali. Prinsip kerja dari metode ini adalah antigen (C-RP plasma) dilekatkan pada lubang mikroplat ELISA dan dapat berikatan secara spesifik dengan antibodi primer (monoclonal mouse anti-human C-reactive protein), komplek antigen antibodi ini dapat dideteksi dengan menambahkan antibodi sekunder berlabel enzim HRP (HRP Conjugated Goat anti-maouse IgG). JumLah komplek antigen antibodi terlihat dari intensitas warna yang timbul setelah ditambahkan substrat ABTS (2,2’-azino-bis-(3-ethyl-benzo-thiazoline-6-sulphonic acid)). Reaksi substrat ABTS dengan enzim HRP menghasikan produk yang berwarna hijau (gambar 3). Intensitas warna yang terbentuk dibaca menggunakan alat ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
Gambar 3 Prinsip kerja Elisa Indirect
Warna yang terbentuk merupakan hasil reaksi antara substrat ABTS (0,3 g/L mengandung peroksida, H2O2, 0,01%) dengan enzim HRP yang terkonjugasi dengan antibodi sekunder.
Hidrogen peroksida digunakan oleh enzim HRP untuk mengoksidasi ABTS menjadi ABTS teroksidasi (ABTS+) yang berwarna hijau dan bersifat larut (Gambar 4).
Gambar 4 Reaksi antara substrat ABTS dengan Antibodi yang terkonjugasi dengan enzim HRP
Prosedur analisa (Zakaria 2006): 100 µL plasma dimasukkan ke dalam mikroplat ELISA, inkubasi pada suhu 370C selama 1 jam, dibuang isinya kemudian dicuci 2 kali dengan PBST (PBS yang mengandung 0,05% tween-20) sebanyak 200 μL/sumur, didiamkan 1 menit, dibuang kembali isi mikroplat
ELISA. Selanjutnya ditambahkan 100 µL kasein 3%, diinkubasi pada suhu 370C selama 2 jam setelah dilakukan pencucian mikroplat sebanyak 2 kali dengan Tween 80 0.5%, kemudian ditambahkan 100 µL antibodi primer yang telah diencerkan (konsentrasi 10 µl/mL). Mikroplat diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam, lalu dicuci dengan PBST. Mikroplat selanjutnya ditambahkankan 100 µL antibodi sekunder yang telah diencerkan (1:1000), diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam, kemudian dicuci dengan PBST. Terakhir, mikroplat ditambahkan 50 µL ABTS, inkubasi 15 menit pada suhu ruang. Optical density (OD) diukur dengan mikroplat reader pada panjang gelombang 450 nm.
3.3.5 Analisis Penerimaan Produk MSMn
Analisis penerimaan responden direkapitulasi dari hasil wawancara melalui kuesioner. Pengujian penerimaan produk diuji pada produk pangan yang diolah menggunakan MSMn, bukan uji organoleptik pada produk MSMn.
3.3.6. Analisis Data
Untuk menguji signifikan perbaikan profil lipid dan penurunan kadar C-RP sebelum dan sesudah intervensi dengan MSMn selama 2 bulan diuji dengan Uji t berpasangan pada α=0,05.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Pada penelitian ini dianalisis penerimaan responden terhadap produk Minyak Sawit Mentah (MSMn) pada 9 cluster dengan jumlah responden 508 orang yang terbagi dalam 151 kepala keluarga.
4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah responden yang dievaluasi dan dimonitor konsumsi minyak sawit mentah adalah sebanyak 508 responden yang terdiri dari 271 perempuan (53%) dan 237 laki-laki (47 %) (Gambar 5).
Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin (n=508)
Dari data di atas diketahui bahwa responden perempuan persentasennya lebih besar dibanding laki-laki, ini menguntungkan bagi sosialisasi produk MSMn karena perempuan (ibu) merupakan keeper dalam keluarga. Nutritional gate-keeper menggambarkan seseorang di dalam rumah tangga sebagai pembuat keputusan membeli hingga menyiapkan makanan untuk keluarga, bisa orangtua, nenek atau pembantu. Sebagaimana hasil penelitian Birch (2006) yang menunjukkan bahwa para ibu adalah gate-keepers bagi lingkungan makan anak-anaknya. Di Indonesia kebanyakan ibu berlaku sebagai gate-keeper bagi keluarganya, walaupun sebagian dari mereka adalah perempuan bekerja (Waysima 2011). Dengan demikian cara introduksi produk pangan baru ke tingkat rumah tangga yang lebih tepat adalah melalui ibu.
46.7 53.3 20 30 40 50 60 laki-laki perempuan % Responden
4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:
Tabel 12 Karakteristik responden berdasarkan usia
Usia (tahun) Jumlah Persentase (%)
0 – 5 69 13,6 6 – 15 42 8,3 16 – 25 71 14,0 26 – 55 299 58,9 > 55 27 5,3 Jumlah 508 100,0
Sebagian besar responden (72,9 %) berusia antara 16–55 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden masih dalam usia produktif, usia individu masih mampu mencari pengetahuan dan memungkinkan untuk diberi pengetahuan baru sehingga penyerapan terhadap informasi baru masih tinggi.
4. 1. 3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 13. Tingkat pendidikan sebagian besar responden adalah sekolah dasar (32,9%).
Tabel 13 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase(%)
Belum sekolah 86 16,9 Tidak sekolah 32 6,3 SD 167 32,9 SMP 85 16,7 SMA 134 26,4 PT 4 0,8 Total 508 100,0
Tingkat pendidikan menentukan tingkat penerimaan seseorang terhadap informasi baru. Semakin tinggi pendidikan maka tingkat penerimaan terhadap informasi baru semakin mudah. Tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan keluarga seperti yang dikemukakan
Schaffner et al.(1998) dan Madaniyah (2003), tingginya tingkat pendidikan orang tua memberi peluang lebih besar memperoleh pengetahuan tentang gizi dan tentang makanan sehat bagi keluarga, dimana atribut gizi suatu produk pangan menjadi penting bagi mereka.
4.1. 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan responden memperlihatkan produktifitasnya sehari-hari dan menentukan jumlah penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Pada penelitian ini, sebagian besar responden mengelompok pada jenis pekerjaan IRT (Ibu Rumah Tangga) dan tidak bekerja.
Tabel 14 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase(%)
Buruh 70 13,8 Guru 7 1,4 Wiraswasta 36 7,1 Pelajar 66 13,0 Karyawan 53 10,4 IRT 145 28,5 Supir 6 1,2
Tidak Bekerja 125 (Balita=86 orang) 24,6
Total 508 100,0
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pekerjaan IRT memiliki persentase yang paling banyak yaitu 28,5%. Ini sejalan dengan pemilihan responden yang diutamakan adalah Ibu, terkait dengan pemilihan menu untuk makanan sehari-hari dalam keluarga adalah ibu sebagai “gate keeper”.
4. 1. 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Perkeluarga Perbulan
Pendapatan keluarga merupakan penentu penting pada pola makan keluarga. Harga pangan sangat berpengaruh dalam penentuan pilihan pangan, mempengaruhi sebagian kelompok masyarakat lebih daripada hal-hal lain. Pendapatan keluarga berhubungan secara nyata dan positif dengan perilaku konsumsi pangan anggota keluarga (Soedikarijati 2001).
Gambar 6 Karakteristik responden (KK) berdasarkan penghasilan (n=151 KK)
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pendapatan per keluarga perbulan kebanyakan keluarga responden adalah antara Rp. 100.000 sampai Rp. 250.000. Pendapatan tersebut termasuk kedalam kelompok pendapatan yang rendah, ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden adalah keluarga prasejahtera sesuai dengan alasan pemilihan responden diprioritaskan pada keluarga prasejahtera yang mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan/pengobatan. Pendapatan perkeluarga perbulan keluarga responden yang mengelompok pada pendapatan antara Rp 100.000,- sd Rp 250.000,- (49,7%) menunjukkan nilai pendapatan tersebut tergolong rendah dibandingkan dengan Upah Minimal Regional (UMR) Kabupaten Bogor yaitu sebesar Rp 800.000,-. Nilai pendapatan tersebut juga memperlihatkan daya beli yang relatif rendah terhadap suatu produk termasuk produk pangan sebagai pilihan pangan untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan terhadap akses kesehatan.
4.1.6 Pengetahuan Sumber dan Penggunaan Vitamin A dan Minyak Sawit Mentah
Pengetahuan Sumber dan Penggunaan Vitamin A dan Minyak Sawit Mentah dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner, yang menggambarkan pengetahuan awal responden tentang pengenalan sumber dan penggunaan vitamin A dan minyak sawit mentah.
13.9 49.7 27.2 9.3 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 < 100 100-250 250-500 >500 Jum lah KK (%) Penghasilan (Rp)x1000
a. Pengenalan Sumber dan Penggunaan Vitamin A sebelum Intervensi Pengetahuan mengenai sumber dan penggunaan vitamin A perlu diketahui untuk dapat memperlihatkan bagaimana konsumsi responden terhadap sumber vitamin A. Berikut disajikan tentang pengenalan sumber dan penggunaan vitamin A pada pengenalan awal (pada saat belum dilakukan sosialisasi).
Tabel 15 Pengenalan sumber dan penggunaan vitamin A Pengenalan dan Konsumsi
sumber Vitamin A
Jumlah (orang)
Persentase (%) Telah mengetahui sumber Vit.A 220 43,30
Mengonsumsi sumber Vit. A 306 60,23
Mempunyai pengalaman buruk Mengonsumsi Vit A 5 0,98
Tabel 15 memperlihatkan 43,30% responden mengetahui sumber vitamin A. Artinya kurang dari 50% responden belum memiliki pengetahuan mengenai sumber vitamin A. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa responden masih dapat menerima informasi/pengetahuan baru. Dari tabel juga diketahui bahwa sebanyak 60,23% responden Mengonsumsi sumber vitamin A. Adapun jenis sumber vitamin A yang diketahui oleh responden dan yang sering dikonsumsi yaitu sayur-sayuran (wortel, bayam, kangkung, buncis), buah-buahan (tomat, pepaya, apel, pisang, mangga) dan kapsul vitamin A yang berasal dari posyandu. Kurang dari 1% responden yang mempunyai pengalaman buruk pada saat Mengonsumsi vitamin A. Bentuk gangguan yang dikeluhkan akibat konsumsi kapsul vitamin A dosis tinggi seperti sakit perut, pusing, mencret, keluar kotoran dari mata, masuk angin dan kulit kasar. Walaupun demikian, belum dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan mengalami sakit/gangguan hanya karena Mengonsumsi sumber vitamin A tersebut.
b. Pengenalan Sawit dan Produknya Sebelum Intervensi
Pengenalan minyak sawit dan minyak sawit merah perlu dilakukan agar responden lebih mengetahui produk dan minyak sawit merah yang kaya akan vitamin A. Berikut merupakan data pengenalan minyak sawit dan minyak sawit merah pada awal program agar dapat diketahui pengetahuan awal responden terhadap minyak sawit dan minyak sawit merah yang dapat memperlihatkan karakteristiknya. Berdasarkan hasil survei, tidak banyak responden yang memiliki
pengetahuan tentang minyak sawit dan minyak sawit merah. Gambar 5 memperlihatkan persentase pengetahuan dan pengenalan terhadap sawit dan produknya.
Gambar 7 Pengenalan sawit dan produknya
Berdasarkan Gambar 7 dari seluruh responden hanya 1,77% yang mengetahui minyak sawit merah dan manfaatnya, bahkan kurang dari 1% responden pernah mencoba MSM. Dari Gambar 5 juga dapat dilihat sudah cukup banyak (42,25%) responden yang mengenal pohon sawit dan yang sudah kenal produk minyak sawit (19,05%). Beberapa jawaban mereka yang melihat dan mengetahui pohon sawit pada awal program mendefinisikan bahwa pohon sawit adalah yang memiliki buah kecil berkelompok, warnanya oranye kemerahan, lebih pendek daripada pohon kelapa, seperti buah salak, berduri, pohon seperti pohon palem tidak terlalu tinggi, bisa dilihat di layar TV, perkebunan di daerah Banten, Cigudeg, IPB, Lampung, Jasinga dan Leuwiliang.
Produk Minyak Sawit yang dikenal yaitu minyak goreng (minyak goreng curah, Bimoli, Sania, Simas, Filma), margarine (Simas, Filma). MSM yang baru diketahui adalah minyak sawit perasan yang dilihat di TV. Pengetahuan mengenai manfaat MSM juga masih umum yaitu hanya sebatas menjadi lebih sehat.
42.25 0.79 19.05 1.77 1.35 0.51 57.75 99.21 80.95 98.23 98.65 99.49 0 50 100
Melihat&mengetahui pohon sawit Mengenal MSMn Mengenal produk minyak sawit Mengetahui minyak sawit merah Mengetahui manfaat MSM Pernah mencoba MSM
% Responden
Pengenalan Minyak Sawit
4.2Respon Responden Terhadap Produk MSMn 4.2.1 Respon Awal
Memilih makanan menjadi salah satu bentuk perilaku yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu oleh makanan itu sendiri, individu yang membuat pilihan, lingkungan ekonomi dan sosial dimana pilihan itu dibuat (Meiselman & MacFie 1996). Sebagai produk pangan baru yang diperkenalkan kepada responden, perlu diketahui respon awal responden terhadap produk supaya dapat diketahui seberapa besar tingkat penerimaan responden terhadap produk baru. Respon awal (2-4 hari) terhadap konsumsi produk dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner.
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa respon awal (2-4 hari) setelah Mengonsumsi, menunjukkan bahwa responden dapat menerima produk baru dengan baik. Lebih dari 95 % responden menyatakan tidak terganggu dan biasa saja. Hal ini ditunjukkan dari tidak terganggunya responden oleh warna, rasa dan aroma. Pengujian penerimaan produk diuji pada produk pangan yang diolah menggunakan MSMn, bukan uji organoleptik pada produk MSMn.
Gambar 8 Respon awal responden (2-4 hari) terhadap rasa, aroma dan warna MSMn (n=508) 98.62 95.87 97.64 1.38 4.13 2.36 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Rasa Aroma Warna
% Responde n Atribut Produk Tidak terganggu Terganggu
4.2.2 Bentuk Gangguan Terhadap Atribut Produk MSMn
Sebagai produk baru, tidak dipungkiri bahwa pada evaluasi 2-4 hari setelah konsumsi ada responden yang menyatakan terganggu dengan produk yang diberikan. Beberapa gangguan terhadap atribut produk yang dirasakan hanya kurang dari 5 % responden. Dari data yang didapatkan, gangguan pada atribut produk yang sangat mengganggu adalah pada atribut aroma. Beberapa responden mengalami gangguan berupa bau menyengat, bau aneh dan ada aroma lain serta bau asam. Hal ini dapat dirasakan karena produk yang diberikan berupa MSMn yang merupakan hasil perasan minyak sawit merah yang memiliki aroma alami minyak sawit merah itu sendiri. Adapun gangguan pada rasa meliputi rasa getir, tidak enak dan agak lengket. Sedangkan gangguan pada warna dirasakan responden karena tidak suka warnanya yang terlalu merah.
4.2.3 Frekuensi Konsumsi Produk MSMn
Pemberian produk yang diberikan diharapkan digunakan setiap hari oleh responden dalam mengolah makanannya, akan tetapi pada faktanya ada saja responden yang tidak mengonsumsi setiap hari baik itu pernah tidak mengonsumsi atau bahkan kadang-kadang tidak menggunakan produk (Tabel 16). Umumnya responden yang pernah tidak mengonsumsi karena makan di luar rumah, tidak memasak atau ada di luar kota. Frekuensi mengonsumsi produk yang diberikan dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner.
Tabel 16 Frekuensi konsumsi produk MSMn
Frekuensi konsumsi Jumlah (orang) Persentase (%) Setiap hari 395 77,28
Pernah tidak mengonsumsi 96 18,93
Kadang-kadang tidak 17 3,79
Total 508 100
4.3Penerimaan Responden Terhadap Produk MSMn
Menurut Pilgrim (1956), penerimaan pangan (food acceptability) menunjukkan perilaku makan yang disertai dengan kesenangan. Batasan tersebut menekankan adanya komponen perilaku dan komponen sikap, dimana kesenangan termasuk di dalamnya. Namun berbeda dengan food preference yang merupakan
penilaian afektif pada pangan yang belum atau sudah dimakan, penerimaan pangan digambarkan untuk penilaian afektif pada pangan yang secara aktual telah dimakan (Cardello & Schuutz 2000).
Penerimaan terhadap makanan baru tidak terjadi begitu saja, diperlukan pengulangan berkali-kali untuk mengonsumsi makanan tersebut, barulah terjadi peningkatan kesukaan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan diperlukan serangkaian pengulangan 15 kali makan makanan baru bagi bayi untuk meningkatkan konsumsi lebih dari 2 kali (Sulivan & Birch 1994), 10 kali lebih mengonsumsi makanan tertentu baru menghasilkan peningkatan konsumsi anak usia 2 tahun (Birch & Marlin 1982) dan 8-15 kali pengulangan makan pada anak usia 4-5 tahun untuk meningkatkan penerimaan pangan anak (Sullivan & Birch 1990).
Penemuan tersebut menekankan pentingnya pengalaman awal dan penerimaan anak terhadap pangan serta jenis pangan yang telah dikenalnya akan membentuk preferensinya terhadap pangan tersebut. Hasil penelitian Birch et al. (1987) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan perubahan positif dalam preferensi, anak harus mendapatkan pengalaman langsung, yaitu merasakan makanan tersebut yang tidak menimbulkan resiko sakit perut. Menurut Birch (1998), sebagai hasil dari berbagai peristiwa makan dimana pangan dihubungkan dengan konteks sosial dan dampak fisiologis penyerapan pangan yang bisa positif atau negatif, anak akan menyukai dan mau menerima beberapa makanan serta menolak yang lain, selanjutnya akan terbentuk konsumsi pangan. Dengan demikian masuknya produk baru kepada responden dan anak dilakukan dengan cara diikutsertakan pada makanan yang sudah dikenal.
Evaluasi penerimaan responden dilakukan setelah responden Mengonsumsi produk selama dua minggu, satu bulan, dan dua bulan. Masing-masing evaluasi tersebut dianalisis berdasarkan wawancara menggunakan kuesioner.
4.3.1 Penerimaan Responden Setelah 2 minggu Mengonsumsi Produk MSMn
Produk yang diberikan pada bulan pertama program berjalan adalah MSMn dengan satu jenis variasi yaitu tumis. Penerimaan responden setelah mengonsumsi produk selama dua minggu dinilai sangat baik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17, bahwa lebih dari 96% menyatakan menerima terhadap rasa dan warna, dan aroma.
Tabel 17 Penerimaan responden terhadap atribut produk setelah 2 minggu konsumsi produk MSMn
Penerimaan
2 minggu konsumsi
rasa aroma Warna
n % n % n % Menerima 495 97,44 490 96,46 496 97,64 Agak menerima 12 2,36 16 3,15 11 2,17 Agak menolak 1 0,20 2 0,39 1 0,20 Menolak 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Jumlah 508 100,00 508 100,00 508 100,00
4.3.2 Penerimaan Responden Setelah 1 bulan Mengonsumsi Produk MSMn
Pada Tabel 18 juga dapat dilihat penerimaan responden setelah mengonsumsi produk selama satu bulan yaitu bahwa lebih dari 97% responden menerima atribut rasa, warna dan aroma. Dari peningkatan jumlah responden yang menjawab mau, memperlihatkan adanya peningkatan terhadap penerimaan yang lebih baik kepada atribut produk baik dari rasa, aroma maupun warna.
Tabel18 Penerimaan responden terhadap atribut produk setelah 1 bulan konsumsi produk MSMn
Penerimaan
1 bulan konsumsi
rasa aroma Warna
n % n % n % Menerima 496 97,64 494 97,24 500 98,43 Agak menerima 11 2,17 13 2,56 8 1,57 Agak menolak 1 0,20 1 0,20 0 0,00 Menolak 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Jumlah 508 100,00 508 100,00 508 100,00
4.3.3 Penerimaan Responden Setelah 2 Bulan Mengonsumsi MSMn Tabel 19 Penerimaan responden setelah 2 bulan konsumsi MSMn
Penerimaan
2 bulan konsumsi
rasa aroma Warna
n % n % n % Menerima 500 98,43 496 97,64 504 99,21 Agak menerima 8 1,57 12 2,36 4 0,79 Agak menolak 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Menolak 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Jumlah 508 100,00 508 100,00 508 100,00
Setelah mengonsumsi produk MSMn selama dua bulan tingkat penerimaan produk semakin baik, ini memperlihatkan adanya peningkatan terhadap penerimaan yang lebih baik kepada atribut produk baik dari rasa, aroma maupun warna. Terjadinya peningkatan penerimaan setalah 2 intervensi disebabkan oleh adanya sosialisasi aspek manfaat dari MSMn selama intervensi. Selama intervensi responden diberi pengetahuan tentang manfaat dan cara penggunaan MSM.
Pengetahauan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian, yaitu semakin banyak pengetahuan yang dimiliki konsumen maka akan semakin baik pula dalam mengambil keputusan. Selain itu pengetahuan konsumen menyebabkan konsumen akan lebih efesien dan lebih tepat dalam mengolah informasi serta mampu mengingat informasi dengan baik (Sumarwan 2003). Menurut Engel, Blackwell & Miniard (1995) pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan konsumen untuk mengerti suatu pesan, membantu konsumen mengamati logika yang salah dan dapat menghindari penafsiran yang tidak benar.
4.3.4 Jumlah produk MSMn yang Dikonsumsi selama Intervensi
Jumlah produk MSMn yang terdistribusi dan dikonsumsi oleh 508 orang responden selama 2 bulan konsumsi pada 9 cluster responden penelitian adalah sebanyak 836 botol, sehingga setiap orang Mengonsumsi sebanyak 1,6 botol atau 230 ml selama 2 bulan atau sebanyak 3,8 ml per hari/orang. Konsumsi 3,8 ml/hari setara dengan 2523 mikrogram/hari, karena produk MSMn yang digunakan mengandung 664 ppm beta karoten (Anggraeni 2012).
4.3.5 Kelanjutan Konsumsi Produk MSMn
Kelanjutan mengonsumsi produk dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner memperlihatkan bahwa sebanyak 473 responden (93,11%) responden menyatakan bersedia melanjutkan konsumsi produk yang diberikan, sedangkan responden yang menyatakan ragu-ragu yaitu 35 responden (6,89%). Hal ini menunjukkan bahwa responden menerima dengan baik produk tersebut sehingga mereka juga mau melanjutkan konsumsinya. Gambar 9 memperlihatkan persentase kelanjutan konsumsi oleh responden.
Gambar 9 Kelanjutan konsumsi MSMn (n=508)
Adapun bila untuk mengonsumsi produk MSMn, responden harus membeli, ternyata lebih dari 99,21% (n=508) responden menyatakan tetap mau melanjutkan baik yang tidak memperhatikan harga, maupun yang mau melanjutkan asalkan harga produk terjangkau. Kemauan responden untuk melanjutkan konsumsinya terhadap produk semakin menunjukkan bahwa produk sudah diterima responden dengan baik. Kategori kelanjutan konsumsi produk apabila harus membeli disajikan pada Gambar 10. Alasan responden mau melanjutkan konsumsi disajikan pada Gambar 11.
93.11% 6.89%
Bersedia
Gambar 10 Kemauan responden melanjutkan konsumsi produk jika harus membeli (n=473)
Gambar 11 Alasan mau melanjutkan Mengonsumsi (n=473)
Sosialisasi produk MSMn dengan mengedepankan manfaat kesehatan diperkirakan dapat berjalan dengan bagus. Hal ini terlihat dari alasan responden yang mau melanjutkan konsumsi karena sudah merasakan manfaatnya dan agar dapat merasakan manfaatnya sebanyak 94,49% (n=473).
Beberapa responden yang menyatakan tidak mau, menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan vitamin A, akan menggantinya dengan mengonsumsi buah dan sayur dan menggantinya dengan mengonsumsi vitamin A sintetik. Sementara alasan responden yang tidak mau melanjutkan mengonsumsi
99.21 0.79 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Mau asal harga terjangkau
Ragu
% Responden
Kelanjutan Komsumsi Produk MSMn
58.86 36.61 4.53 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 terasa manfaatnya agar terasa manfaatnya percaya pada fasilitator % Responden
produk adalah belum merasakan manfaatnya, belum dapat menerima produk dan alasan lain seperti tidak mempunyai uang untuk membeli produk.
4.4Perbaikan Pengetahuan
4.4.1 Pengetahuan Tentang Sumber dan Penggunaan Vitamin A setelah Intervensi
Gambar 12 Pengetahuan sumber dan konsumsi vitamin A (n=508)
Setelah intervesi selama 2 bulan terjadi penigkatan pengetahuan tentang sumber vitamin A dan konsumsi sumber vitamin A (Gambar 12). Sebelum intervensi hanya sekitar 43,31 % yang mengetahui sumber vitamin A, setelah interensi menjadi 90,16 %. Konsumsi sumber vitamin A meningkat dari 60,24 %