• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGAMBILAN DATA LAPANGAN

(pada 8 stasiun pengolahan CPO dan dengan 3 ulangan) Kondisi

Ambient Kerja

Heart Rate

Operator Jam/Durasi Kerja Output Kerja

Karakteristik Operator -Kebisingan (dB) -Suhu (C) -Kelembaban (%) Shift Kerja

Siang ShiftMalam Kerja Kalibrasi

Step Test Aktual Kerja

TEC per stasiun (kkal min-1) TEC per unit produksi (kkal ton TBS-1)

- TEC (kkal min-1) - TEC’ (kal kgmin-1)

- IRHR work - WEC (kkal min-1)

- IRHR step test

- WEC step test (kkal min-1) - Korelasi IRHRST & WECST

Durasi Kerja Efektif (ton jam-1)

Stasiun

2. Pabrik mengolah TBS yang berasal dari kebun inti, plasma dan pihak ketiga,

3. Jam kerja pabrik adalah 24 jam yang terbagi menjadi 2 shift kerja, dengan pola jam kerja adalah 11 jam untuk siang hari dan 13 jam untuk malam hari.

4. Pembagian kerja dibagi dalam 2 kelompok kerja yaitu kelompok kerja PMS I dan kelompok kerja PMS II yang akan bekerja pada shift kerja siang dan malam.

5. Setiap pekan diadakan pertukaran shift kerja untuk masing-masing kelompok kerja antara PMS I dan PMS II.

6. Penelitian pengukuran beban kerja dilakukan pada stasiun yang memiliki keterkaitan langsung dengan proses produksi CPO, yaitu loading ramp, sterilizer, thresher, screw press, klarifikasi, pabrik biji, ketel uap dan ruang mesin dengan melibatkan sebanyak 18 orang operator.

Pengambilan Data Pengukuran Beban Kerja

Pengukuran beban kerja diawali dengan mengukur dimensi tubuh subyek operator meliputi tinggi badan (cm) dan berat badan (kg). Karakteristik subyek operator lainnya yang diamati adalah jenis kelamin, lama kerja dan umur. Berdasarkan data dimensi tubuh tersebut maka dapat diketahui luas permukaan tubuh dan energi basal (basal metabolic energy) masing-masing subyek operator. Selanjutnya dilakukan pengukuran beban kerja dengan mengukur denyut jantung operator menggunakan Heart Rate Monitor (HRM). Alat ini diprogram secara otomatis sehingga mampu merekam denyut jantung subyek operator setiap 5 detik untuk mengetahui tingkat beban kerja yang dialami operator (Gambar 5).

Work Energi Cost (WEC) adalah nilai energi atau usaha yang harus dikeluarkan melalui proses metabolisme oleh seseorang untuk merespon suatu beban kerja yang diterima. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai WEC adalah dengan mengetahui tingkat perubahan (peningkatan) denyut jantung, karena korelasi antara peningkatan laju denyut jantung terhadap peningkatan beban kerja adalah linear (Syuaib 2003).

Gambar 5 Pemasangan alat ukur denyut jantung (a) heart ratesensor dan (b) receiver heart rate

Pengukuran kapasitas umum (general capacity) tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap pekerjaan berat dan pulihnya tubuh kembali dari tugas tersebut dilakukan dengan metode tes langkah dari brouha atau harvard step test (Brouha 1943). Metode step test adalah salah satu metode yang lazim digunakan untuk menghasilkan atau

(a)

mengetahui korelasi antara Increase Ratio of Heart Rate (IRHR) terhadap perubahan WEC untuk masing-masing subyek operator (Herodian 1995 dan Syuaib et al. 2007). Kalibrasi step test dilakukan sebelum pengukuran denyut jantung saat bekerja terhadap masing-masing subyek operator. Metode kalibrasi step test dilakukan dengan cara melangkah naik turun bangku step test setinggi 30 cm dengan irama kecepatan langkah diatur dengan alat digital metronome (Gambar 6).

(a) (b) (c) (d) (e)

Gambar 6 Tahapan gerakan langkah kaki saat melakukan step test

Sebelum tes dimulai kepada subyek operator dijelaskan tujuan tes dan cara pelaksanaannya serta diikuti dengan contoh melakukan tes. Subyek operator lain yang menunggu giliran untuk dites dapat duduk disekitar lokasi pengukuran dan memperhatikan rekannya saat melakukan tes. Untuk tes diperlukan pengawas dengan tugas agar subyek operator mengikuti irama yang telah ditentukan dan tiap kali berdiri di atas bangku kedua tungkai harus lurus. Ritme kecepatan langkah yang diukur yaitu 15 siklus menit-1 (60 bpm), 20 siklus menit-1 (80 bpm), 25 siklus menit-1 (100 bpm) dan 30 siklus menit-1 (120 bpm). Setiap tingkatan ritme dilakukan dengan durasi 5 menit yang kemudian diselingi istirahat selama 5 menit. Bila ada yang tidak dapat mempertahankan ritme, maka dapat berhenti dan duduk. Pengawas mencatat waktunya dan memperhatikan denyut jantung di HRM.

Tes dilakukan seperti berikut, setelah HRM terpasang dan berfungsi dengan baik pada subyek operator maka diberikan waktu istirahat selama 10 menit dengan cara duduk di bangku step test, bila waktu istirahat awal telah cukup maka subyek operator berdiri tegak menghadap bangku setinggi 30 cm (Gambar 5a) dan pada aba-aba “siap, ya” tes dimulai. Naikkan salah satu kaki ke atas bangku (Gambar 5b), dan tempatkan kaki yang lain di samping kaki pertama (Gambar 5c). Luruskan kedua tungkai dan punggung, melangkah turun ke tempat semula dimulai dengan kaki pertama (Gambar 5d) kemudian diikuti oleh kaki yang lain (Gambar 5e). Cara naik turun bangku ini diteruskan dengan mengikuti ritme metronome atau petugas dapat memberi ritme hitungan dengan suara keras dengan meneriakkan “Hop, 2, 3, 4 atau Hop, wa, ga, pat”. Dibenarkan untuk ganti kaki langkah pertama bila kaki yang diganti menjadi lelah, tetapi pergantian hanya diizinkan 3 kali saja. Tes berlangsung selama 5 menit dengan diberikan tanda berhenti. Sekiranya tidak mampu lagi melakukan tes maka subyek operator boleh berhenti, kemudian duduk dan pengawas memperhatikan denyut jantung di HRM. Setelah aba-aba “henti atau stop” diberikan, segera duduk diatas bangku untuk istirahat selama 5 menit dan persiapan melakukan step test selanjutnya. Rata-rata hasil pengukuran denyut jantung dan energi yang digunakan saat step test diplotkan dalam bentuk grafik dan dicari persamaan hubungan antara denyut jantung dan tenaga.

Pengambilan data operator meliputi data step test dan data pengukuran denyut jantung saat operator bekerja. Jenis pekerjaan yang dilakukan operator adalah aktivitas kerja yang berkaitan langsung dengan proses pengolahan CPO dan target pengolahan di masing-masing stasiun. Pengukuran waktu efektif pengolahan TBS dan kapasitas pengolahan dilakukan pada masing-masing stasiun.

Untuk menghindari subjektivitas nilai denyut jantung (HR) yang umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor personal, psikologis dan lingkungan, maka perhitungan nilai HR harus dinormalisasikan agar diperoleh nilai HR yang objektif (Syuaib 2003). Normalisasi nilai denyut jantung dilakukan dengan cara perbandingan HR relatif saat kerja terhadap HR saat istirahat. Nilai perbandingan HR tersebut dinamakan IRHR (Increase Ratio of Heart Rate). Perbandingan tersebut dirumuskan sebagai berikut:

IRHR = HR work / HR rest ... (1) di mana: HR work = denyut jantung saat melakukan pekerjaan (bpm)

HR rest = denyut jantung saat istirahat (bpm)

Nilai IRHR selanjutnya dapat digunakan sebagai nilai indeks tingkat kelelahan (kejerihan) kualitatif, di mana semakin tinggi nilai IRHR maka akan mengindikasikan tingkat kejerihan yang semakin tinggi dirasakan oleh seseorang (Syuaib et al. 2002).

Work Energy Cost Step Test (WECST) manusia dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:

WEC ST = 2 f wgh / 4.2  103 ... (2) di mana : WEC ST = Work Energy Cost saat step test (kkal menit-1)

f = frekuensi step test (menit -1) w = berat badan (kg)

g = percepatan gravitasi (9.8 m detik-1) h = tinggi bangku step test (meter)

4.2 = faktor kalibrasi satuan dari Joule menjadi kalori

Selanjutnya korelasi antara WECST dengan IRHR diplotkan dalam grafik sehingga diperoleh persamaan dengan bentuk umum untuk seorang operator sebagai berikut:

Y = aX + b ... (3) di mana: Y = IRHR

X = WECST (kkal menit-1)

Basal Metabolic Energy (BME) adalah energi basal yang dikeluarkan manusia setiap menitnya untuk melakukan aktivitas fungsi organ tubuhnya. Nilai BME itu ekuivalen dengan nilai VO2 (ml min-1). Untuk memperoleh nilai VO2 dapat digunakan tabel konversi yang tersedia pada Tabel 3. Nilai VO2 dipengaruhi oleh luas permukaan tubuh (A) setiap manusia dan jenis kelamin. Persamaan Du’Bois digunakan untuk menghitung luas permukaan tubuh, yaitu:

A = h0.725 w0.425 0.007246 ... (4) di mana: A = luas permukaan tubuh (m2)

h = tinggi tubuh (cm) w = berat tubuh (kg)

Tabel 3. Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO2 (ml min-1) berdasarkan luas permukaan tubuh (Syuaib 2003)

1/100 m2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1.1 136 137 138 140 141 142 143 145 146 147 1.2 148 150 151 152 153 155 156 157 158 159 1.3 161 162 162 164 166 167 168 169 171 172 1.4 173 174 176 177 178 179 181 182 183 184 1.5 186 187 188 189 190 192 193 194 195 197 1.6 198 199 200 202 203 204 205 207 208 209 1.7 210 212 213 215 215 217 218 219 220 221 1.8 223 224 225 228 228 229 230 231 233 234 1.9 235 236 238 240 240 241 243 244 245 246

catatan : untuk perempuan nilai VO2 harus dikalikan 0.95

Menurut Sanders dan McCormick (1993), secara umum konsumsi 1 liter oksigen ekuivalen dengan konsumsi tenaga sebesar 5 kkal. Sehingga BME dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini:

BME = VO2  e k / 103 ... (5) di mana: BME = Basal Metabolic Energy (kkal menit-1)

VO2 = konversi nilai VO2 dari luas permukaan tubuh(ml min-1) e = konsumsi 1 liter O2 ekuivalen dengan energi sebesar 5 kkal k = jenis kelamin (pria dikalikan 1 dan wanita dikalikan 0.95) Masing-masing subyek operator akan memiliki bentuk persamaan (3). Persamaan (3) digunakan untuk menghitung nilai work energy cost (WEC) saat bekerja. Untuk mendapatkan IRHR saat aktivitas kerja maka dilakukan pengukuran denyut jantung saat subyek operator melakukan aktivitas kerja dan denyut jantung saat istirahat. Nilai IRHR yang didapatkan dimasukkan ke dalam persamaan (4) sebagai nilai

Y, sehingga akan dapat diketahui nilai X yang merupakan nilai konsumsi energi (WEC) saat melakukan aktivitas kerja.

Total Energy Cost (TEC) merupakan konsumsi energi keseluruhan (total) yang dibutuhkan subyek operator saat melakukan aktivitas kerja. TEC didapatkan dengan menggunakan persamaan berikut ini:

TEC = BME + WEC ... (6) di mana: TEC = Total Energy Cost (kkal menit-1)

BME = Basal Metabolic Energy (kkal menit-1) WEC = Work Energy Cost (kkal menit-1)

Karena berat badan seseorang pada dasarnya juga menjadi beban kerja maka untuk menormalisir nilai beban kerja aktual yang berlaku umum untuk semua subyek operator maka faktor pengaruh berat badan harus dieliminasi. Untuk itu, maka nilai TEC dinormalisasikan menjadi TEC’ dengan persamaan dibawah ini:

TEC’ = TEC / w ... (7) di mana: TEC’ = Total Energy Cost per Weight (kal kgmenit-1)

TEC = Total Energy Cost (kkal menit-1) w = berat badan (kg)

Nilai IRHR menggambarkan tingkat beban kerja kualitatif dari aktivitas kerja. Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR (Syuaib 2003)

Kategori Ringan Sedang Berat Sangat Berat Luar Biasa Berat

Nilai IRHR 1.00 <IRHR< 1.50 1.50 <IRHR< 2.00 2.00 <IRHR< 2.50 2.50 <IRHR< 3.00 3.00 <IRHR

Pengukuran Kondisi Ambient di Stasiun Pengolahan

Pengukuran kondisi ambient lingkungan kerja dilakukan saat operator sedang melakukan pekerjaan di stasiun kerjanya. Kondisi ambient yang dimaksud adalah kebisingan, suhu dan kelembaban.

1. Kebisingan (ambient noise), pengukuran kebisingan dilakukan dengan cara mengukur tingkat kebisingan pada stasiun-stasiun pengolahan. Tingkat kebisingan diukur dengan menggunakan sound level meter dengan tinggi alat pada saat pengukuran ± 160 cm dari lantai atau setara dengan rata-rata tinggi telinga orang Indonesia. Selanjutnya dihitung potensi bahaya kebisingan di tempat kerja (Daily Noise Dose), menurut National Institute for Occupational Safety (NIOSH) kriteria dosis aman dan tidak berbahaya bagi pekerja adalah apabila nilainya di bawah 1. Sebaliknya dosis berbahaya bagi pekerja adalah bila nilainya di atas 1, hal ini menunjukkan kebisingan yang diterima pekerja telah melewati batas dosis maksimum yang diizinkan. Rumusnya adalah sebagai berikut:

D = C1 T1+ C2 T2+ …+ Cn Tn ∙100% ... (8) di mana: D = dosis harian (dalam %)

C = waktu aktual pada tingkat dan suara tertentu (jam)

T = waktu kontak acuan maksimum yang menunjukkan mulai berbahayanya sebuah tingkat kebisingan (jam)

Lama waktu pemajanannya dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

T1 = 8 / 2 (L-85) /3 ... (9) di mana : T1 = lama pemaparan maksimum per hari yang diperkenankan (jam)

L = tingkat kebisingan (dBA) 8 = jumlah jam kerja per hari 85 = nilai ambang batas (dBA)

3 = exchange rate (angka yang menunjukkan hubungan antara intensitas kebisingan dengan tingkat kebisingan)

2. Suhu (room temperature), pengukuran suhu dilakukan pada 8 stasiun pengolahan CPO menggunakan alat thermohygrometer. Pengukuran dilakukan dibeberapa titik pada masing-masing stasiun sehingga kondisi suhu di dalam masing-masing stasiun pengolahan dapat diketahui.

3. Kelembaban (relative humidity), pengukuran kelembaban dilakukan pada seluruh stasiun pengolahan minyak sawit. Alat ukur yang digunakan thermohygrometer. Pengukuran dilakukan pada beberapa titik di stasiun pengolahan sehingga kelembaban relatif pada masing-masing stasiun pengolahan dapat diketahui.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem dan Pola Kerja di Lokasi Penelitian Rantai Proses Pengolahan Minyak Sawit

Proses pengolahan CPO di PMS Semuntai PTPN XIII memiliki beberapa lokasi kerja yang terdiri dari 6 stasiun pengolahan yaitu loading ramp, stasiun sterilizer, stasiun thresher, stasiun screw press, stasiun klarifikasi dan pabrik biji serta 2 stasiun penyuplai energi yaitu stasiun ketel uap dan ruang mesin uap (Gambar 7).

Gambar 7 Skema proses produksi minyak sawit berdasarkan stasiun kerja

Pengolahan kelapa sawit memerlukan energi untuk mengekstraksi minyak sawit dan inti sawit. Energi tersebut berbentuk uap panas (steam) yang berperan dalam proses kimia, fisika dan mekanika. Steam diperlukan terutama dalam proses sterilisasi buah, pelumatan buah, pengempaan, klarifikasi dan pemeraman biji, pengeringan inti dan pemanasan pada tangki timbun. Steam yang dihasilkan dari ketel uap dengan tekanan sebesar 18 sampai 20 kg cm-2 akan dikonversi menjadi tenaga listrik melalui mesin/turbin uap selanjutnya sisa steam dari turbin uap yang memilik tekanan 3 sampai 3.5 kg cm-2 ditampung dalan Back Pressure Vessel (BPV) untuk digunakan pada proses pengolahan lainnya di pabrik.

Proses pengolahan TBS menjadi CPO dilakukan pada pabrik ekstraksi minyak sawit. TBS merupakan hasil panen yang diterima pabrik berupa tandan buah segar yang akan selesai diolah dalam jangka waktu 24 jam. Penerimaan panen terdiri atas penimbangan, penimbunan atau penyimpanan dan pemuatan ke dalam lori rebusan, kegiatan ini dilakukan pada stasiun loading ramp, sehingga tandan telah siap untuk diolah. Kegiatan pengolahan pertama dilakukan pada stasiun sterilizer yaitu proses perebusan TBS menggunakan steam. Selanjutnya pemipilan buah dari tandannya dilakukan di stasiun thresher. Tandan buah kosong dibawa keluar pabrik untuk dibuang, dibakar atau dirajang untuk bahan bakar. Sedangkan buah hasil rebusan dibawa ke stasiun screw press. Buah hasil rebusan diremas dalam bejana peremas (digester) untuk melepaskan daging buah dari biji dan juga untuk melumatkannya sehingga sel-sel minyak pecah, agar minyaknya dapat dipisahkan dengan dengan serabut dan biji maka dilakukan pengempaan menggunakan screw press. Selanjutnya akan terpisah bagian cair dari bagian padat. Bagian cair akan diproses lebih lanjut pada stasiun klarifikasi, setelah melalui saringan getar kemudian minyak dipompa ke tangki pengendap

Pabrik Biji Limbah

Cair

Tangki Timbun

Ketel Uap Mesin Uap

Loading

Ramp Sterilizer Thresher

Screw

bersinambung (continuous settling tank) untuk memisahkan minyak dari air dan kotoran. Bagian air dan kotoran ini masih diolah lagi dalam alat sentrifus pemisah untuk mengutip sebanyak mungkin sisa minyak yang masih ada. Minyak kemudian dimurnikan dengan alat sentrifus pemurni dan alat pengering vakum minyak. Minyak yang telah dimurnikan akan di simpan pada tangki timbun sebelum didistribusikan kepada konsumen.

Proses pengolahan di pabrik biji merupakan proses pengolahan lanjutan dari ampas screw press yaitu berupa biji berserabut (noten). Noten disalurkan melalui pemecah ampas untuk dibawa ke alat pemisah serabut. Serabut yang telah dipisah dari biji dihembuskan melewati siklon serabut ke pelataran bahan bakar ketel uap. Biji dikeringkan lebih dahulu secukupnya agar mudah dipecah dalam alat pemecah sentrifugal, kecuali untuk pemecah jenis ripple mill biji tidak perlu dikeringkan lebih dahulu. Selanjutnya inti dipisah dari cangkang dalam hidrosiklon. Sebelumnya sebagian besar inti sawit dapat pula dipisah secara kering oleh hembusan angin dalam kolom pemisah vertikal. Cangkang dibawa ke luar pabrik, sebagian digunakan untuk bahan bakar dan sisanya dipakai sebagai pelapis jalan di lapangan. Inti sawit (kernel) setelah melewati proses pencucian dan penirisan dengan saringan getar kemudian dikeringkan dalam silo hingga mencapai kadar air yang setimbang dengan kelembaban udara.

Pola Shift Kerja di Pabrik Minyak Sawit

Pengolahan CPO di PMS Semuntai dilakukan selama 24 jam dengan 2 shift kerja dengan 2 kelompok kerja yakni kelompok kerja PMS I dan kelompok kerja PMS II. Shift kerja pagi dilaksanakan mulai pukul 07.00 hingga 18.00 (11 jam kerja) dan shift kerja malam dimulai pada pukul 18.00 hingga pukul 07.00 (13 jam kerja). Pergantian shift antara kelompok kerja di shift siang menjadi malam dan sebaliknya, dilakukan pada hari minggu. Di mana pada hari tersebut shift kerja dibagi 3 masing-masing 8 jam jadi kelompok kerja shift pagi (PMS I) akan berkerja dari pukul 07.00 sampai 15.00, selanjutnya digantikan oleh kelompok kerja shift malam (PMS II) bekerja pada pukul 15.00 sampai 23.00, kemudian akan digantikan oleh kelompok kerja PMS I dari pukul 23.00 sampai 07.00. Skema pertukaran shift dapat dilihat pada Gambar 8.

Senin – Sabtu Minggu Senin-Sabtu

PMS I

Dokumen terkait