• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

2.3 Tahapan Pelaksanaan

2.3.3 Pengambilan Data Lapangan

Berdasarkan pengecekan lapangan didapat beberapa kelompok umur untuk karet maupun kelapa sawit. Umur tanaman dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Kelompok umur muda

Untuk tegakan dengan umur 1 tahun sampai 5 tahun, pengambilan data dilakukan dalam plot lingkaran seluas 0.02 ha (jari-jari plot 7.98 m).

b. Kelompok umur sedang

Untuk tegakan dengan umur 6 tahun sampai 15 tahun, pengambilan data dilakukan dalam plot lingkaran seluas 0.04 ha (jari-jari plot 11.28 m). c. Kelompok umur tua

Untuk tegakan umur 16 tahun up, pengambilan data dilakukan dalam plot lingkaran seluas 0.1 ha (jari-jari plot 17.8 m).

Gambar plot contoh disajikan pada Gambar 7.

7.98 m

11.28 m

a. Plot contoh lingkaran luas 0.02 ha.

b. Plot contoh lingkaran luas 0.04 ha.

17.8 m

c. Plot contoh lingkaran luas 0.1 ha. Gambar 7 Plot contoh lingkaran.

 

Plot contoh yang diambil tersebar pada kelompok umur 1 tahun sampai 20 tahun, dengan jumlah keseluruhan plot adalah 98 plot. Terdiri dari 46 plot pada tanaman karet dan 52 plot pada tanaman kelapa sawit. Jumlah plot diambil berdasarkan keterwakilan kelompok umur dan akses yang memungkinkan dalam melakukan pengukuran. Penyebaran plot contoh disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Peta sebaran plot contoh pada citra PALSAR. 2.3.4 Pengolahan Data Lapangan

Pendugaan data lapangan dilakukan untuk mengetahui besarnya biomasa atas permukaan pada plot-plot ukur yang telah ditentukan. Pendugaan biomasa dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik yang di dapat dari penelitian Yulyana (2005), dan Yulianti (2009).

Adapun persamaan alometrik yang digunakan dalam menduga biomasa pada penelitian ini adalah :

1) Untuk tanaman karet (Hevea brasiliiensis), digunakan persamaan alometrik sebagai berikut :

 

W = 0.0124*(D2)0.2444 ( Yulyana 2005) Keterangan :

W = Biomasa atas permukaan (ton/ha) D = Diameter setinggi dada (cm)

2) Untuk kelapa sawit (Elaeis guineensis), digunakan persamaan alometrik sebagai berikut :

W = 2.14 exp-5 (D1.51*H1.33) (Yulianti 2009) Keterangan :

W = Biomasa atas permukaan (ton/ha)

D = Diameter setinggi dada dengan pelepah (cm) H = Tinggi total kelapa sawit (cm)

Pembangunan model alometrik oleh Yulianti (2009) dilakukan pada kelapa sawit dengan varietas Marihat yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara. Persamaan alometrik dipilih dengan mempertimbangkan kesamaan varietas, dan cara pengelolaan kelapa sawit yang dikaji di lokasi penelitian. Pada penelitian ini, kelapa sawit yang ditemukan termasuk varietas Marihat, yang pengelolaannya dilakukan oleh PT. Perkebunan Nusantara. Menurut Yulianti (2009), kisaran total biomasa kelapa sawit pada umur 1 sampai 18 tahun adalah 1.28 ton/ha sampai 29.87 ton/ha. Total biomasa tanaman karet pada umur 5, 10, dan 15 tahun berturut-turut adalah 0.741 ton/ha, 3.749 ton/ha, dan 7.807 ton/ha (Yulyana 2005). Persamaan alometrik milik Yulianti (2009) dan Yulyana (2005) dipilih karena kondisi topografi lapangan dan varietas tanaman yang paling mendekati dengan kondisi penelitian.

Secara umum, volume biomasa pada hutan tanaman relatif lebih besar dibandingkan dengan kelapa sawit. Sebagaimana kajian Hardjana (2008), bahwa potensi biomasa pada hutan tanaman Acacia mangium mencapai 159.75 ton/ha. 2.3.5 Pembangunan Model

a. Model-model Alternatif

Analisis hubungan antara biomasa dengan karakteristik citra dilakukan dengan menyusun model hubungan biomasa terhadap nilai backscatter atau NDVI pada citra. Model-model yang digunakan adalah model linear, model polinomial, model eksponensial dan model regresi linear berganda. Model-model ini dipilih karena dapat menunjukkan hubungan antara peubah-peubah yang digunakan

 

terhadap nilai biomasa. Seperti halnya model linear yang mampu menggambarkan hubungan positif maupun negatif antara peubah dan biomasa. Model polinomial/kuadratik yang membentuk model parabola dan memiliki titik maksimum dan minimum. Serta model eksponensial yang banyak digunakan untuk menggambarkan angka pertumbuhan mahluk hidup (pertambahan atau penurunan). Sedangkan model logaritmik dan power tidak dipilih karena peubah yang akan digunakan (backscatter HH dan HV) tidak memungkinkan dalam penggunaan model-model tersebut. Hal ini karena nilai backscatter HH dan HV adalah negatif (Nawari 2010). Bentuk model-model yang dipilih disajikan dalam Tabel 2.

 

Tabel 2 Bentuk model-model yang diuji-cobakan dalam melakukan estimasi biomasa pada citra PALSAR dan citra Landsat

Jenis citra Model Bentuk persamaan yang digunakan PALSAR Linear B = a + b*HH B = a + b*HV B = a + b*(HH/HV) B = a + b*(HH-HV/HH+HV) Polinomial B = a*HH2 + b*HH + c B = a*HV2 + b*HV + c B = a*(HH/HV)2 + b*(HH/HV) + c B = a*(HH-HV/HH+HV)2 + b*(HH- HV/HH+HV) + c Eksponensial B = a*e(b*HH) B = a*e(b*HV) B = a*e(b*HH/HV) B = a*e(b*(HH-HV/HH+HV)) Linear Berganda B = a + b*HH + c*HV Landsat Linear B = a + b*MIR

B = a + b*NIR B = a + b*NDVI B = a + b*(MIR/NIR) Polinomial B = a*MIR2 + b*MIR + c

B = a*NIR2 + b*NIR + c B = a*NDVI2 + b*NDVI + c

B = a*(MIR/NIR)2 + b*(MIR/NIR) + c Eksponensial B = a*e(b*MIR)

B = a*e(b*NIR) B = a*e(b*NDVI) B = a*e(b*MIR/NIR)

Linear Berganda B = a + b*MIR + c*NIR B = a + b*NDVI + c*MIR B = a + b*NDVI + c*NIR B = a + b*NDVI + c*(MIR/NIR) Keterangan : a,b,c = Nilai estimasi parameter ; B = Biomasa (ton/ha)

 

b. Uji Korelasi

Penyusunan model hubungan biomasa dengan nilai backscatter atau NDVI masing-masing menggunakan metode persamaan regresi terbaik. Namun sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu perhitungan koefisien korelasi menggunakan pendekatan korelasi product moment (r) untuk mengetahui bagaimana hubungan antar peubah yang akan digunakan dalam pendugaan biomasa. Proses menganalisis hubungan antar nilai backscatter dan NDVI serta hubungannya terhadap biomassa dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007.

Rumus untuk menghitung koefisien korelasi adalah sebagai berikut :

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan :

= Koefisien korelasi = Jumlah pengamatan

∑ = Jumlah dari pengamatan nilai X

∑ = Jumlah dari pengamatan nilai Y

∑ = Jumlah dari pengamatan nilai X kuadrat ∑ = Jumlah dari pengamatan nilai Y kuadrat

∑ = Jumlah dari pengamatan nilai X dikuadratkan ∑ = Jumlah dari pengamatan nilai Y dikuadratkan ∑ = Jumlah dari hasil perkalian nilai X dan Y

Besarnya koefisien korelasi akan berkisar antara -1 sampai dengan 1. Nilai positif menyatakan hubungan antara peubah yang diuji memiliki korelasi positif, yaitu jika terjadi peningkatan pada peubah yang satu, maka akan diikuti dengan terjadinya peningkatan pada peubah lainnya. Nilai negatif menunjukkan hubungan antara peubah yang diuji adalah korelasi negatif, yaitu jika terjadi perubahan pada peubah yang satu, maka akan diikuti dengan terjadinya perubahan pada peubah lain dengan arah yang berlawanan. Untuk hasil perhitungan yang menunjukkan nilai 0, dapat diartikan tidak adanya korelasi antar peubah yang diuji.

Untuk menguji apakah nilai koefisien korelasi dari model yang dibuat memiliki nilai yang signifikan (nilai r lebih dari 0.7071 dalam hubungannya terhadap biomasa), perlu dilakukan perhitungan Uji-Z pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05).

 

Hipotesa yang digunakan dalam pengujian keeratan koefisien korelasi adalah sebagai berikut :

Ho : ρ 0.7071 H1 : ρ 0.7071

Rumus yang digunakan dalam Uji-Z adalah sebagai berikut :

Dengan nilai , , dan dirumuskan sebagai berikut : ln

ln √ Keterangan :

Z = Sebaran normal Z

σ = Pendekatan simpangan baku tranformasi Z

ρ = Nilai koefisien korelasi yang diharapkan pada populasi r = Nilai koefisien korelasi

n = Jumlah data

Jika hasil Z-hitung ≤ 1.96, maka Ho diterima, yang berarti bahwa hubungan antara peubah bebas dengan biomasa cukup erat dengan r ≥ 0.7071. Sedangkan jika Z-hitung > 1.96, maka H1 diterima, yang berarti bahwa hubungan antara peubah bebas dalam model dengan biomasa adalah kurang erat.

Setelah diketahui hubungan antar peubah dalam menduga biomasa, barulah dilakukan perhitungan statistik untuk mengetahui pengaruh peubah peubah tersebut terhadap nilai biomasa. Perhitungan ini menggunakan pendekatan koefisien determinasi (R2). Besarnya nilai R2 menyatakan seberapa baik kamampuan suatu peubah bebas dalam model untuk menjelaskan peubah tidak bebasnya, dalam hal ini adalah nilai biomasa. Secara umum, nilai R2 yang dianggap baik jika lebih dari 50%.

 

c. Uji Koefisien Regresi

Untuk mengetahui apakah koefisien regresi yang dihasilkan dalam pembuatan model berpengaruh secara signifikan terhadap biomasa, perlu dilakukan pengujian menurut kaidah statistik. Pada umumnya Uji-F dilakukan untuk mengidentifikasi apakah kemampuan persamaan regresi yang dibangun dapat menjadi penduga bagi biomasa secara serentak. Sedangkan untuk mengidentifikasi kemampuan koefisien regresi dari masing-masing peubah bebas menjelaskan peubah tidak bebas secara signifikan, dapat diketahui dengan melakukan Uji-t. Hasil Uji-F akan memberi hasil yang sama dengan pengujian peubah menggunakan Uji-t. Karena nilai statistik Uji-t bila dikuadratkan akan identik dengan nilai Uji-F. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengujian ini akan dipengaruhi oleh selang kepercayaan yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Hipotesa yang digunakan dalam Uji-F adalah sebagai berikut : Ho : βi = 0, i = 1, 2, 3, ... k.

H1 : sekurang-kurangnya ada satu βi≠ 0, i = 1, 2, 3, ... k. Ketentuan perhitungan F-hitung ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Tabel analisis ragam

Sumber keragaman db JK KT F-hitung Regresi Dbr = k Sisa Dbs = nk Total Dbt = n - 1 ∑ Keterangan : ∑ ∑ ∑ ∑ ∑

 

, , = Parameter dugaan ∑ = Jumlah biomasa aktual

∑ = Jumlah dari hasil kali antara biomasa dengan peubah pertama ∑ = Jumlah dari hasil kali antara biomasa dengan peubah kedua KTR = Kuadrat Tengah Regresi

KTS = Kuadrat Tengah Sisa JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKS = Jumlah Kuadrat Sisa Dbr = Derajat Bebas Regresi Dbs = Derajat Bebas Sisa

= Nilai biomasa aktual = Nilai biomasa dugaan

k = Jumlah parameter dalam model n = Banyaknya plot contoh

Jika hasil F-hitung ≤ F-tabel, maka Ho diterima, yang berarti bahwa tidak terdapat peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap biomasa. Sedangkan jika F-hitung > F-tabel, maka H1 diterima, yang berarti bahwa terdapat minimal satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap biomasa.

Jika H1 diterima melalui Uji-F, maka selanjutnya dilakukan uji signifikansi koefisien masing-masing peubah bebas, dengan mengikuti hipotesa sebagai berikut :

Ho : βi≠ 0 H1 : βi = 0

Rumus yang dapat digunakan dalam perhitungan Uji-t adalah :

Dalam analisis regresi berganda, perhitungan mengikuti ketentuan :

Keterangan :

= Nilai dugaan untuk koefisien regresi ke-i β = Nilai hipotesis dari koefisien regresi

= Varian dari contoh dugaan

cjj = Elemen invers matriks dari koefisien regresi KTS = Kuadrat Tengah Sisa

 

Jika hasil t-hitung ≤ t-tabel, maka Ho diterima, yang berarti bahwa koefisien regresi dari peubah bebas dapat menjelaskan biomasa secara signifikan. Sedangkan jika t-hitung > t-tabel, maka H1 diterima, yang berarti bahwa koefisien regresi dari peubah tidak bebas tidak mampu menjelaskan biomasa secara signifikan.

Dalam penelitian ini, kesimpulan dari uji koefisien regresi ditunjukkan oleh nilai P-value. Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% (α = 0.05). Jika nilai P-value dari peubah dalam model regresi kurang dari α, maka model tersebut secara statistik adalah signifikan dapat menjelaskan biomasa.

d. Uji Verifikasi

Setelah model terbangun dan secara statistik dapat diterima, maka perlu dilakukan verifikasi terhadap hasil dari model tersebut dengan menggunakan perhitungan Uji-χ², ℮ (Bias), SA (Simpangan Agregat), SR (Simpangan Rata- Rata) dan RMSE (Root Mean Square Error). Dalam penelitian ini, perhitungan Uji-χ2 menunjukkan besarnya kecocokan antara hasil perhitungan menggunakan model (nilai harapan) dengan perhitungan data lapangan (nilai observasi/nilai aktual). Jika nilai χ²-hitung lebih kecil dari nilai χ²-tabel, maka dapat dinyatakan bahwa hasil dugaan menggunakan model terbangun tidak berbeda dengan perhitungan data lapangan (nilai aktual).

Perhitungan χ² dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :

χ = Nilai Chi-square = Nilai ekspetasi/ dugaan = Nilai observasi/ aktual

Nilai RMSE merupakan akar dari rata-rata jumlah kuadrat sisa antara selisih biomasa dugaan dengan biomasa aktual. RMSE digunakan untuk mengetahui seberapa besar error yang terjadi pada hasil perhitungan model jika dibandingkan dengan nilai aktual. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin kecil pula kesalahan yang terjadi pada penggunaan model.

 

Perhitungan RMSE dilakukan sesuai dengan rumus :

RMSE

%

Keterangan :

RMSE = Root Mean Square Error = Nilai dugaan

= Nilai aktual

n = Jumlah pengamatan

Bias (℮) adalah kesalahan sistematis yang dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, baik kesalahan teknis pengukuran maupun kesalahan karena alat ukur. Nilai ℮ yang dapat diterima adalah jika nilainya mendekati nol.

Perhitungan ℮ dapat dirumuskan sebagai berikut :

℮ ∑ % Keterangan : ℮ = Bias = Nilai dugaan = Nilai aktual n = Jumlah pengamatan

Simpangan Agregat (SA) adalah perbedaan antara jumlah nilai aktual dan jumlah nilai dugaan (Spur 1952 dalam Nurhayati 2010). Nilai SA diharapkan berkisar antara -1 sampai +1.

Nilai SA dapat dihitung dengan rumus :

∑ ∑ ∑

Keterangan : SA = Simpangan Agregat = Nilai dugaan = Nilai aktual

Sedangkan SR dinyatakan sebagai rata-rata perbedaan antara nilai aktual dan nilai dugaan. Nilai SR menunjukkan suatu model dapat dikatakan baik jika nilainya tidak lebih dari 10%.

 

Perhitungan SR dilakukan sesuai rumus :

%

Keterangan : SR = Simpangan Rata-rata = Nilai dugaan = Nilai aktual n = Jumlah pengamatan

Proses verifikasi dalam penelitian ini menggunakan data yang sama dengan data penyusunan model, hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan data yang dimiliki.

Untuk mendapatkan model penduga biomasa yang akurat dan valid, perlu dilakukan penyusunan peringkat terhadap model dengan acuan kriteria-kriteria uji yang telah dilakukan. Namun sebelum penyusunan peringkat, dipilih terlebih dahulu model-model yang dinyatakan signifikan melalui Uji- χ². Penyusunan peringkat dilakukan dengan memberikan skor pada model-model yang diperoleh. Pemberian skor dilakukan berdasarkan nilai SA, SR, RMSE, dan ℮, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI

3.1Letak Geografis

Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara mempunyai luasan sekitar 438,660 ha (6.12% dari luas wilayah Sumatera Utara), terletak antara 98.320 – 99.350 BT dan 2.360 – 3.180 LU. Kabupaten Simalungun memiliki 31 kecamatan, termasuk 9 kecamatan yang merupakan pemekaran dengan 17 kelurahan dan 294 desa. Kabupaten Simalungun berbatasan dengan wilayah:

• Sebelah Utara : Kabupaten Serdang Bedagei • Sebelah Timur : Kabupaten Asahan

• Sebelah Selatan : Kabupaten Samosir • Sebelah Barat : Kabupaten Karo. 3.2Topografi

Kabupaten Simalungun memiliki topografi yang bervariasi, dimana dataran tinggi terletak di bagian Barat Daya, Barat dan Barat Laut, sedangkan dataran rendah terletak pada bagian Utara, Timur dan Tenggara. Secara umum, Kabupaten Simalungun mempunyai kemiringan lereng antara 0 dan 40% dengan ketinggian antara 20 dan 1400 meter di atas permukaan laut.

3.3Iklim

Kabupaten Simalungun bertemperatur sedang, dengan rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah 26.90oC dan terendah 25.80oC. Kelembaban udara rata- rata perbulan 83.7% dengan penguapan rata-rata 3.46 mm/hari. Dalam satu tahun rata-rata terdapat 14 hari hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada bulan November sebanyak 22 hari hujan, kemudian bulan Oktober sebanyak 20 hari hujan. Curah hujan terbanyak terdapat pada bulan Agustus sebesar 461 mm.

 

3.4Penduduk

Berdasarkan hasil registrasi penduduk oleh BPS Pemerintah Kabupaten Simalungun tahun 2008, penduduk Kabupaten Simalungun berjumlah sekitar 846,329 jiwa yang tersebar di 31 kecamatan, dengan perbandingan penduduk laki- laki dan penduduk perempuan (sex ratio) sebesar 100.28. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Bandar yaitu sebesar 66,739 jiwa dan terkecil berada di Kecamatan Haranggaol Horisan yaitu 5,789 jiwa. Kecamatan yang memiliki luas wilayah terbesar terdapat di Kecamatan Raya dengan luas 335.60 km2 dan wilayah terkecil di Kecamatan Haranggaol Horisan (34.50 km2). Wilayah yang paling padat penduduknya terdapat di Kecamatan Siantar (781.70 jiwa/km), disusul Kecamatan Bandar (611.27 jiwa/km) dan Gunung Maligas (433.29 jiwa/km).

3.5Potensi Ekonomi

Potensi ekonomi Kabupaten Simalungun sebagian besar terletak pada produksi pertaniannya. Produksi lainnya termasuk tanaman pangan, perkebunan, industri pengolahan, serta jasa. Produksi padi di Kabupaten Simalungun merupakan produksi terbesar kedua di Sumatera Utara pada tahun 2003 sesudah Kabupaten Deli Serdang. Produksi kelapa sawit dari perkebunan yang ada di kabupaten ini menjadi komoditas utama, kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kabupaten Labuhanbatu (2001). Selain memproduksi kelapa sawit, perkebunan rakyat di Simalungun juga menghasilkan karet dan coklat, serta teh (di Kecamatan Raya dan Sidamanik) yang jumlah produksinya semakin menurun.

Kabupaten Simalungun merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki tingkat produksi kelapa sawit dan karet paling besar di Sumatera Utara, baik yang dikelola oleh perusahaan negara, swasta, maupun perkebunan rakyat. Kabupaten Simalungun menampilkan berbagai potensi dibidang perkebunan. Daerah ini memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar dan masih dikembangkan untuk sektor tanaman pangan, perkebunan, pertanian, industri pengolahan, serta jasa.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Pengolahan Data Lapangan

Hasil perhitungan biomasa pada tanaman karet diperoleh kisaran antara 0.31012 ton/ha sampai dengan 16.52999 ton/ha. Sedangkan hasil perhitungan biomasa pada tanaman kelapa sawit berkisar antara 0.23147 ton/ha dan 56.90538 ton/ha (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil perhitungan biomasa tanaman karet dan kelapa sawit

Vegetasi Biomasa (ton/ha)

Minimum Maksimum Standar Deviasi

Karet 0.31012 16.52999 4.35638

Kelapa Sawit 0.23147 56.90538 14.80742

Hasil perhitungan biomasa tanaman karet dan kelapa sawit memiliki korelasi terhadap umur tanaman. Dengan bertambahnya umur tanaman, volume biomasa juga semakin meningkat. Pada Gambar 9 dan 10 disajikan pola hubungan antara umur tanaman karet dan kelapa sawit dengan biomasanya.

Gambar 9 Grafik sebaran hubungan antara kelompok umur terhadap biomasa tanaman karet.

Pola hubungan yang terjadi antara umur tanaman dan biomasa membentuk fungsi pangkat (power). Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar 91.4% pada tanaman karet (Gambar 9) dan 79.9% pada kelapa sawit (Gambar 10).

y = 0.737x0.992 R² = 0.914 0 5 10 15 20 0 10 20 30 Biomasa (ton/ha) Umur (tahun)

 

Hal ini menunjukkan bahwa variasi umur tanaman karet dan kelapa sawit mampu menjelaskan variasi biomasanya.

Gambar 10 Grafik sebaran hubungan antara kelompok umur terhadap biomasa kelapa sawit.

Besarnya biomasa per satuan luas merupakan fungsi dari diameter, tinggi dan jumlah pohon. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 sampai 20 m dengan diameter batang antara 15 sampai 20 cm. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas.

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman palma yang mampu tumbuh hingga mencapai tinggi 25 m. Batang tanaman diselimuti pelepah hingga umur 12 tahun, yang nantinya akan mengering dan terlepas. Pelepah kelapa sawit diikut sertakan dalam pengukuran diameter pada penelitian ini.

Jumlah pohon pada masing-masing plot dipengaruhi faktor jarak tanam antar pohon dan luasan plot yang digunakan dalam pengambilan sampel. Jarak tanam antar pohon pada perkebunan baik karet maupun kelapa sawit biasanya ditentukan dalam perencanaan pengelolaan yang diatur melalui kegiatan penjarangan. Plot-plot tertentu dapat memiliki biomasa yang lebih tinggi daripada plot yang lain, hal ini disebabkan karena wilayah pengambilan plot contoh tersebut masih belum dilakukan proses penjarangan. Sehingga kerapatan pohon- pohonnya masih tinggi dan jumlah pohon di dalam plot contoh lebih banyak dibandingkan plot contoh lain yang telah mengalami penjarangan.

y = 0.759x1.444 R² = 0.799 0 10 20 30 40 50 60 0 10 20 30 Biomasa (ton/ha) Umur (tahun)

 

Gambar 11 Tanaman karet pada plot contoh yang telah mengalami penjarangan.

Gambar 12 Tanaman karet pada plot contoh yang belum mengalami penjarangan. Dengan model pendugaan biomasa lapang diketahui bahwa biomasa kelapa sawit memiliki nilai yang lebih besar dibanding dengan biomasa karet. Secara umum tanaman karet memiliki diameter dan tinggi yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan kelapa sawit. Biomasa kelapa sawit pada penelitian ini mengikut sertakan pelapah dari kelapa sawit.

4.2Model-model Penduga Biomasa

Dalam pembuatan model penduga biomasa menggunakan citra PALSAR diketahui bahwa ada korelasi yang erat antar polarisasi HH dan HV. Hasil perhitungan koefisien korelasi antara HH dan HV disajikan pada Tabel 5.

 

Tabel 5 Hasil perhitungan matriks korelasi antar peubah pada citra PALSAR

HH HV HH/HV (HH-HV/HH+HV)

HH 1 0.58393 -0.75890 -0.75647

HV 0.58393 1 0.08198 0.08566

HH/HV -0.75890 0.08198 1 0.99931

(HH-HV/HH+HV) -0.75647 0.08566 0.99931 1

Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa backscatter HH memiliki nilai korelasi yang positif terhadap HV, hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan terhadap backscatter HH, maka akan terjadi peningkatan juga pada backscatter HV. Sebaliknya pada hubungan antara backscatter HH terhadap HH/HV dan (HH-HV/HH+HV) menunjukkan nilai yang negatif. Apabila terjadi perubahan pada backscatter HH, maka akan terjadi perubahan yang berlawanan pada HH/HV dan (HH-HV/HH+HV). Hubungan antara HH dan HV menunjukkan nilai koefisien korelasi yang relatif rendah, yaitu 0.584. Hal ini menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas dalam hubungan antara HH dan HV pada persamaan regresi berganda.

a. Model Penduga Biomasa Karet

(a) (b)

Gambar 13 Grafik hubungan antara (a) biomasa karet terhadap backscatter HV dan (b) biomasa karet terhadap backscatter HH citra PALSAR, ukuran sampel 1x1 pixel.

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13a dan 13b, pola hubungan antara backscatter HH dan HV terhadap biomasa karet adalah berbentuk eksponensial. Terjadi saturasi volume biomasa pada nilai backscatter HV -10. Demikian pula pada polarisasi HH, terjadi saturasi volume biomasa pada nilai -5.

y = 193.1e0.277x R² = 0.7174 0 5 10 15 20 -25 -20 -15 -10 -5 0 Biomasa (ton/ha) Backscatter HV y = 74.79e0.388x R² = 0.573 0 5 10 15 20 -20 -15 -10 -5 0 5 Biomasa (ton/ha) Backscatter HH

 

Pada Gambar 13a dapat dilihat bahwa hubungan antara biomasa karet dan backscatter HV cukup tinggi dengan nilai R2 sebesar 71.74%. Demikian pula hubungan antara biomasa karet dan backscatter HH memiliki nilai R2 yang relatif tinggi, yaitu 57.3% (Gambar 13b). Dari kajian ini diketahui bahwa pada ukuran sampel 1x1 pixel, variasi backscatter HV mampu menjelaskan variasi biomasa yang relatif lebih baik dibandingkan dengan backscatter HH.

(a) (b)

Gambar 14 Grafik hubungan antara (a) biomasa karet terhadap backscatter HV dan (b) biomasa karet terhadap backscatter HH citra PALSAR, ukuran sampel 2x2 pixel.

Dengan ukuran sampel 2x2 pixel, pola hubungan antara biomasa terhadap backscatter baik HH maupun HV relatif sama dengan ukuran sampel 1x1 pixel. Pada Gambar 14a dan 14b, hubungan antara biomasa karet terhadap backscatter HV dan backscatter HH memiliki nilai R2 yang relatif tinggi, yaitu secara berturut-turut 71.16% dan 57.5%.

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15a, bahwa pada ukuran sampel 3x3 pixel, hubungan antara biomasa karet dan backscatter HV relatif tinggi dengan nilai R2 sebesar 71.15%. Demikian pula ditunjukkan pada Gambar 15b, hubungan antara biomasa karet terhadap backscatter HH memiliki nilai R2 yang cukup tinggi yaitu 58.5%.

Dari temuan sebagaimana diperoleh sebelumnya, ukuran sampel 1x1 pixel memberikan hasil korelasi yang lebih baik dibandingkan dengan ukuran sampel 2x2 dan 3x3 pixel. Pola hubungan antara backscatter HV terhadap biomasa adalah eksponensial. y = 211.5e0.283x R² = 0.7116 0 5 10 15 20 -30 -20 -10 0 Biomasa (ton/ha) Backscatter HV y = 89.68e0.414x R² = 0.575 0 5 10 15 20 -20 -15 -10 -5 0 5 Biomasa (ton/ha) Backscatter HH

 

(a) (b)

Gambar 15 Grafik hubungan antara (a) biomasa karet terhadap backscatter HV dan (b) biomasa karet terhadap backscatter HH citra PALSAR, ukuran sampel 3x3 pixel.

Berdasarkan Gambar 16, dapat dilihat pola hubungan antara peubah- peubah citra Landsat terhadap biomasa karet. Pendugaan biomasa terbaik (R2= 59.2%) dihasilkan menggunakan peubah MIR/NIR (Gambar 16e). Hal ini menunjukkan bahwa nilai MIR/NIR mampu menjelaskan biomasa dengan pola hubungan berbentuk polinomial, dengan nilai R2 yang sedikit lebih kecil dibanding menggunakan citra PALSAR.

y = 222.0e0.288x R² = 0.7115 0 5 10 15 20 -30 -20 -10 0 Biomasa (ton/ha) Backscatter HV y = 90.46e0.417x R² = 0.585 0 5 10 15 20 -20Biomasa (ton/ha) -15 -10 -5 0 5 Backscatter HH

 

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 16 Grafik hubungan antara biomasa karet terhadap nilai (a) MIR, (b) NIR, (c) RED, (d) NDVI, dan (e) MIR/NIR pada citra Landsat. b. Model Penduga Biomasa Kelapa Sawit

Dari hasil analisis sebagaimana disajikan pada Tabel 6, pola hubungan antara biomasa kelapa sawit dengan peubah pada citra PALSAR memiliki nilai R2 yang relatif tinggi, yaitu mencapai 76.8%. Hal ini menunjukkan bahwa peubah polarisasi HH, HH/HV, atau HH dan HV citra PALSAR mampu menduga

Dokumen terkait