• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan Keputusan PUS dalam Memilih Alat Kontrasepsi sebelum dan sesudah Intervensi

Dari hasil analisis Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 30 pertanyaan yang disiapkan untuk mengukur pengambilan keputusan sebelum KIE dengan metode ceramah dilakukan, ada 7 pertanyaan yang jawaban tepat/sesuai di atas 60 % (skor ≥ 8), sedangkan 23 pertanyaan lainnya yang mendapat nilai rendah (skor < 8 ). Dengan memperhatikan total skor dari 14 responden yang diukur sebelum dilakukan KIE dengan metode ceramah adalah 175. Total skor maksimal yang semua responden menjawab dengan tepat adalah 420. Maka pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi sebelum diberikan KIE dengan metode ceramah tergolong cukup, yaitu (175/420) x 100 % = 41,66 %.

Pengukuran terhadap pengambilan keputusan kembali setelah dilakukan KIE dengan metode ceramah maka hasil analisis Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa dari 30 pertanyaan yang disiapkan untuk mengukur pengambilan keputusan PUS sesudah KIE dengan metode ceramah dilakukan, ada 15 pertanyaan yang jawaban tepat/sesuai di atas 60 % (skor ≥ 8), sedangkan 15 pertanyaan lainnya yang mendapat nilai rendah (skor < 8 ). Dengan demikian total skor dari 14 responden yang diukur setelah dilakukan KIE dengan metode ceramah adalah 236. Total skor maksimal yang semua responden menjawab dengan tepat adalah 420. Maka pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi tergolong cukup, yaitu (236/420) x 100 % = 56,19%.

Perubahan tingkat pengambilan keputusan berdasarkan rasio jawaban yang tepat sebelum diberikan KIE dengan metode ceramah tergolong cukup, atau sebesar 41,66 % dan setelah diberikan KIE dengan metode ceramah cukup, atau sebesar 56,19 % dan mengalami peningkatan sebesar 14,53 %.

Bila dilihat dari Tabel 4.6 diketahui bahwa dari 30 pertanyaan yang disiapkan untuk mengukur pengambilan keputusan sebelum KIE dengan media leaflet dilakukan, ada 5 pertanyaan yang jawaban tepat/sesuai di atas 60 % (skor ≥ 8), sedangkan 25 pertanyaan lainnya yang mendapat nilai rendah (skor < 8 ). Dengan memperhatikan total skor dari 14 responden yang diukur sebelum dilakukan KIE dengan media leaflet adalah 149. Total skor maksimal yang semua responden menjawab dengan tepat adalah 420. Maka pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi sebelum diberikan KIE dengan media leaflet tergolong ragu-ragu, yaitu (149/420) x 100 % = 35,47 %.

Pengukuran terhadap pengambilan keputusan kembali setelah dilakukan KIE dengan media leaflet maka hasil analisis Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa dari 30 pertanyaan yang disiapkan untuk mengukur pengambilan keputusan PUS sesudah KIE dengan media leaflet dilakukan, ada 21 pertanyaan yang jawaban tepat/sesuai di atas 60 % (skor ≥ 8), sedangkan 9 pertanyaan lainnya yang mendapat nilai rendah (skor < 8 ). Dengan demikian total skor dari 14 responden yang diukur setelah dilakukan KIE dengan media leaflet adalah 283. Total skor maksimal yang semua responden menjawab dengan tepat adalah 420. Maka pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi tergolong baik, yaitu (283/420) x 100 % = 67,38%.

Perubahan tingkat pengambilan keputusan berdasarkan rasio jawaban yang tepat sebelum diberikan KIE dengan media leaflet tergolong ragu-ragu, atau sebesar 35,47 % dan setelah diberikan KIE dengan media leaflet tergolong baik, atau sebesar 67,38 % dan mengalami peningkatan sebesar 31,91 %.

Hal ini disebabkan karena responden belum memahami secara benar tentang alat kontrasepsi yang ada. Sebagian responden mengatakan alasannya belum memilih alat kontrasepsi karena takut terjadi kenaikan berat badan jika menggunakan kontrasepsi hormon dan sebagian juga mengatakan jika menggunakan kontrasepsi jangka panjang seperti implant atau AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) masih ada perasaan takut dan tabu karena berhubungan dengan genetalia.

Hal ini menunjukkan sebelum dilakukan intervensi kedua kelompok responden mempunyai karakteristik yang sama dalam mengambil keputusan untuk memilih alat kontrasepsi. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2003) yang mengemukakan bahwa salah satu persyaratan penelitian eksperimen adalah mengusahakan ketiga kelompok responden dalam kondisi yang sama sehingga paparan tentang hasil akhir dapat betul-betul merupakan hasil ada dan tidaknya perlakuan.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengambilan keputusan dalam memilih alat kontrasepsi setelah mendapatkan intervensi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan metode ceramah sebesar 56,19% dan leaflet yaitu sebesar 67,38

%. Keadaan ini menggambarkan bahwa dalam promosi kesehatan yang juga merupakan proses pendidikan yang tidak terlepas dari proses belajar, maka untuk tercapainya tujuan promosi kesehatan yaitu perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah faktor metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan (Nototamodjo, 2007).

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Mulyana (2005), bahwa tingkat keberhasilan penyampaian makna dari suatu pesan sangat dipengaruhi oleh metode yang tepat dalam penyampaian pesan tersebut. Sedangkan menurut Setiana (2005), faktor metode adalah salah satu faktor terpenting dalam penyampaian pesan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara optimal.

Menurut Notoatmodjo (2005), bahwa dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sikap yang positif merupakan stimulus yang baik untuk mengikuti proses belajar selanjutnya. Dengan sikap yang baik maka seseorang akan berniat untuk melakukan sesuatu dan terjadi perubahan perilaku. Sedangkan menurut Suryabrata (1998) bahwa sikap, tingkah laku terbentuk karena proses belajar. Seseorang dikatakan belajar bila dalam dirinya terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang belum dimengerti menjadi dimengerti.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Tarigan (2007) yang mengemukakan bahwa metode ceramah, diskusi berpengaruh terhadap peningkatan sikap tokoh masyarakat dalam pencegahan malaria di Kabupaten Karo. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Harahap (2010) yang mengemukakan bahwa metode diskusi dan ceramah berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis padat di puskesmas Kota Medan.

Peningkatan pengambilan keputusan juga disebabkan karena semua responden tertarik dan menunjukkan minat serta perhatian ketika mengikuti intervensi metode ceramah dan media leaflet dengan alasan materi intervensi yang dipelajari sesuai kebutuhan dengan harapan dapat bermanfaat bagi diri responden untuk menambah pengetahuan tentang metode kontrasepsi yang ada. Menurut Mardikanto (1999) dalam Setiana (2005), seseorang dapat mengikuti proses belajar dengan lebih baik apabila kegiatan belajar tersebut sesuai dengan kebutuhan sasaran dan akan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi sasaran tersebut. Hal tersebut diatas menyebabkan responden lebih termotivasi untuk belajar sehingga lebih meningkatkan pengetahuan dan cenderung untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya.

Bila dilihat dari perbedaan rerata pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi sebelum dan sesudah intervensi dengan metode ceramah dan media leaflet, maka didapati bahwa ada perbedaan

pengambilan keputusan dalam memilih alat kontrasepsi sebelum dan sesudah intervensi yaitu berupa peningkatan hasil post test yang signifikan (p=0,001).

Seperti diketahui metode ceramah merupakan cara yang paling umum digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan secara berkelompok yang jumlah sasarannya lebih dari 15 orang dengan sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan menurut Lunandi (1993), dengan metode ceramah lebih dapat dipastikan tersampaikannya informasi yang telah disusun dan disiapkan, mudah mengulang kembali jika ada materi yang kurang jelas ditangkap peserta. Ceramah akan berhasil apabila penceramah menguasai materi apa yang akan diceramahkan, dan mampu memelihara minat peserta 35-40 menit. Lebih baik lagi jika ceramah dibantu alat-alat pengajaran seperti media cetak dan elektronik (Maulana, 1990).

Pada penelitian ini penceramah direkrut dari tenaga kesehatan yang bertugas di poli KIA-KB Puskesmas Langsa Lama, sehingga responden tidak merasa asing lagi dengan sipenceramah dan bebas bertanya. Penceramah menguasai topik intervensi dan dapat menjelaskan topik bahasan dengan baik, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh responden, sehingga responden mudah memahami topik yang diberikan. Selain itu penceramah dapat memelihara minat responden untuk tetap mendengarkan topik yang disampaikan selama ceramah berlangsung.

Pada penelitian ini ceramah dilakukan dengan teknik ceramah dimodifikasi dengan tanya jawab sesudah penyampaian materi sehingga peserta dapat bertanya tentang hal-hal yang belum dipahaminya.

Penelitian ini juga mengguankan materi singkat, LCD dan sound

system untuk mempermudah penyampaian materi ceramah sehingga

responden dapat memahami dan mengingat topik bahasan dengan mudah. Mengenai kelekatan pada ingatan dari bahan yang disampaikan, Socony di Amerika dalam Lunandi (1993) mengadakan penelitian yang hasilnya yaitu dengan penyampaian sekaligus menceritakan dan mempertunjukkan lebih lekat dalam ingatan selama 3 jam kemudian (85%) dibandingkan dengan penyampaian hanya menceritan (70%) atau hanya mempertunjukkan (27%). Berarti dalam suatu ceramah diharapkan pemberi informasi tidak hanya berbicara saja tetapi juga dapat menunjukkan sesuatu yang dapat dilihat oleh penerima informasi. Pada penelitian ini penceramah selain berbicara juga menunjukkan gambar – gambar tentang alat/metode kontrasepsi melalui LCD serta membagikan bahan cetakan berupa materi singkat.

Dari penjelasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi dengan metode ceramah. Keadaan ini menggambarakan bahwa penyuluhan kesehatan merupakan suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku

responden meliputi perubahan niat untuk mengambil keputusan dalam memilih alat kontrasepsi. Dengan diberikannya intervensi maka responden mendapat pembelajaran yang menghasilkan suatu perubahan dari yang semula belum diketahui menjadi diketahui, yang dahulu belum dimengerti sekarang dimengerti, dari hasil pembelajaran tersebut maka akan timbul niat sehingga terjadilah perubahan perilaku dan diharapakan terjadilah pengambilan keputusan untuk menjadi akseptor KB.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perubahan nilai pengambilan keputusan pretest dan postest dengan media leaflet yaitu dari 35,47% tergolong ragu-ragu menjadi 67,38 % sesudah diberi perlakuan dengan media leaflet menjadi baik. Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p=0,001, artinya secara statistik menunjukkan terdapat pengaruh pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi pada pretest dan postest dengan media leaflet. Pemberian informasi dalam bentuk leaflet ternyata mampu merubah pengambilan keputusan PUS. Hal ini sesuai dengan penelitian Supardi yang dikutip oleh Sri (2009) yang membuktikan bahwa ada pengaruh pemberian leaflet terhadap pengetahuan ibu tentang pengobatan sendiri. Hal ini juga seajalan dengan penelitian Jayanti (2010) yang membuktikan bahwa ada pengaruh penyuluhan dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap ibu balita gizi buruk di kecamatan Medan Denai.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada pengaruh pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi setelah dilakukan intervensi media leaflet, hal ini disebabkan karena sebelum intervensi responden berkeyakinan bahwa

penggunaan KB dilarang oleh agama dan jika menggunakan metode KB secara hormonal tidak cocok karena ada rasa mual dan muntah. Setelah diberikan intervensi media leaflet responden paham bahwa masih ada alternatif metode kontrasepsi yang lain. Faktor lain adalah karena belum memiliki anak laki-laki, karena anak laki-laki penerus keturunan dan tempat untuk membantu mencari nafkah orang tua.

Media leaflet berisi informasi tentang alat kontrasepsi yang dikemas dengan rancangan tulisan, gambar, dan warna yang menarik. Penentuan pesan dan kesan dalam rancangan media harus diperkuat dengan melihat kebiasaan dan kesukaan masyarakat Langsa Lama. Media leaflet mempunyai keunggulan yaitu orang yang membaca dapat belajar mandiri, melihat isinya lebih santai, informasi dapat dibagikan dengan keluarga dan tetangga, dapat memberikan detail dengan menggunakan gambar untuk penguatan pesan. Disamping memiliki keunggulan.

Leaflet memiliki kelemahan tidak tahan lama dan mudah hilang sehingga peneliti

memberikan batasan waktu 3 hari untuk penyerapan informasi agar media masih ada dan utuh, materi dirancang untuk sasaran yang umum, sehingga efek untuk setiap orang tidak sama dan sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya jawaban yang bervariasi. Bentuk kelemahan yang lain adalah untuk dicetak membutuhkan biaya yang lebih mahal.

Kebanyakan materi, khususnya poster, leaflet dan materi audiovisual sudah dalam bentuk jadi, tetapi dalam penelitian ini penelti merancang sendiri leaflet dengan beberapa pertimbangan yaitu membuat kata-kata yang singkat dan lugas, melakukan penekanan pada hal-hal penting dengan mengubah besar huruf, style atau

warnanya, dan meletakkan tepat ditengah atas display yang mempunyai dampak visual maksimum, menggunakan bahasa yang dimengerti PUS, cukup besar kata-kata dan gambarnya, dan menggunakan warna karena dapat menciptakan kesinambungan, misalnya pengulangan warna latar dapat mengikat sebuah seri leaflet. Berdasarkan pendapat Liliweri (2006) warna dapat dipakai untuk mengidentifikasi bagian diagram atau menonjolkan informasi penting. Pilihan warna akan mempengaruhi respon emosional. Warna berperan dalam hal kepribadian, faktor psikologis dan lain-lain.

Salah satu strategi perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2010), bahwa perubahan perilaku kesehatan dapat terjadi melalui cara pendidikan atau promosi kesehatan ini diawali dengan cara pemberian informasi-informasi kesehatan. Dengan memberikan informasi tentang defenisi, indikasi, efek samping, kontra indikasi, dan cara pemakaian akan meningkatkan pengetahuan. Selanjutnya dengan peningkatan pengetahuan tersebut akan menimbulkan kesadaran, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (bukan karena paksaan).

Media promosi kesehatan yang baik adalah media yang mampu memberikan informasi kesehatan yang sesuai dengan tingkat penerimaan sasaran sehingga sasaran mau dan mampu mengubah perilaku sesuai dengan pesan leaflet. Sumber media

leaflet dapat bertujuan untuk mengubah sikap melalui penyebaran informasi dan

Menurut De Porter (2000) yang mengungkapkan bahwa manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 80% dari yang diucapkan dan 90% dari yang diucapkan dan dilakukan.

Dalam penelitian ini kader juga berperan sebagai promotor kesehatan yang membantu dalam pengumpulan data instrumen dan pemberian media menjadi aspek yang berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan responden. Kepercayaan datang dari apa yang telah dilihat dan diketahui. Pengalaman pribadi, apa yang diceritakan oleh orang lain dan kebutuhan emosional merupakan determinan utama membentuk kepercayaan yang berkembang.

Hal ini digambarkan dengan kesediaan responden untuk menjawab dan menerima media dari kader yang telah dirancang serta membantu kelancaran penelitian agar sesuai dengan waktu yang direncanakan. Kader memiliki peranan penting terhadap perubahan niat PUS berdasarkan media yang telah dirancang.

Hal ini sejalan dengan teori difusi inovasi (Rogers, 1983) yang menyatakan bahwa sebuah ide baru dapat diterima masyarakat bila melibatkan berbagai sumber komunikasi yang berbeda.

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar pertimbangan untuk memilih suatu media sangatlah sederhana, yaitu dapat memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Media promosi kesehatan yang baik memberikan informasi kesehatan yang sesuai dengan tingkat penerimaan sasaran sehingga sasaran mau dan mampu mengubah perilaku sesuai

dengan pesan leaflet. Menurut Connel yang dikutip oleh Sardiman (2006), mengatakan bahwa jika media itu sesuai pakailah “ If the medium fits, Use it”. Menurut Roger (1973), sumber media leaflet dapat bertujuan untuk mengubah sikap melalui, niat melalui penyebaran informasi dan upaya untuk memengaruhi motivasi, sikap dan pengetahuan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Mulyana (2005) bahwa tingkat keberhasilan penyampaian makna dari suatu pesan sangat dipengaruhi oleh metode yang tepat dan kemasan yang menarik dalam penyampaian pesan tersebut.

5.2 Pengambilan Keputusan PUS dalam Memilih Alat Kontrasepsi Pretest dan