• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.8 Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk

Pengambilan keputusan kriteria majemuk pada prinsipnya menurut Ramdhani adalah sebagai berikut :

“Model pengambilan keputusan untuk penentuan prioritas alternatife dengan menggunakan dua atau lebih kriteria atau atribut, yang satu sama lain terkadang memiliki konflik dan kriteria yang tidak sepadan untuk beberapa kepentingan kelompok”.

Lebih lanjut lagi, menurut Ramdhani menyatakan penggunaan model untuk pengambilan keputusan kriteria majemuk untuk suatu keputusan tertentu tergantung pada saat pemilihan kriteria yang digunakan sebagai kriteria satuan analisis. Pada saat pembuatan kriteria, pengambilan keputusan harus mencoba untuk menggambarkan dalam bentuk kuantifikasi jika hal ini memungkinkan, karena akan selalu adsa factor yang tidak dapat dikuantifikasikan yang juga tidak dapat diabaikan. Bila diabaikan maka hal ini dapat mengakibatkan semakin sulitnya membuat perbandingan kenyataan bahwa kriteria yang baik tidak bisa dikuantifikasikan itu sukar untuk diperkirakan dan diperbandingkan hendaknya tidak dapat menyebabkan pengambilan keputusan untuk tidak menggunakan

kriteria tersebut, karena kriteria ini dapat saja relevan dengan masalah utama di dalam setiap analisis. Beberapa kriteria yang kemungkinan sangat penting, tetapi sulit dikuantifikasikan adalah seperti faktor – faktor social ( seperti gangguan lingkungan), estetika, keadilan, faktor – faktor politis, serta kelayakan pelaksanaan, akan tetapi jika suatu kriteria dapat dikuantifikasikan tanpa merubah pengertiannya, maka hal ini dapat dilakukan.

2.8.1 Penentuan Kriteria

Sifat – sifat yang harus diperhatikan dalam memilih kriteria pada setiap persoalan pengambilan keputusan adalah sebagai berikut menurut Ramdhani: 1. Lengkap

Kriteria yang dipilih harus dapat mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan tersebut. Suatu set kriteria disebut lengkap apabila set ini dapat menunjukkan seberapa jauh seluruh tujuan dapat dicapai.

2. Operasional

Kriteria yang baik harus dapat digunakan dalam analisis. Sifat operasional ini mencakup beberapa pengertian, antara lain bahwa set kriteria ini harus mempunyai arti bagi pengambilan keputusan, sehingga ia dapat benar – benar menghayati implikasinya terhadap alternatif yang ada. Selain itu, jika tujuan pengambilan keputusan ini harus dapat digunakan sebagai sarana untuk meyakinkan pihak lain, maka set kriteria ini harus dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan penjelasan atau untuk berkomunikasi. Operasional

ini juga mencakup sifat dapat diukur, tujuannya adalah untuk memperolah distribusi kemungkinan dari tingkat pancapaian kriteria yang mungkin diperoleh (untuk keputusan dalam ketidakpastian) dan mengungkapkan perferensi pengambilan keputusan atas pencapaian kriteria.

3. Tidak Berlebihan

Kriteria yang dipilih tidak berlebihan untuk menghindari perhitungan yang berulang. Proses menentukan set kriteria diusahakan menghindari kriteria yang mengandung pengertian yang sama.

4. Minimum

Jumlah kriteria harus minimum dengan tujuan agar lebih mengkonprehensifkan persoalan. Semakin banyak kriteria yang dilibatkan maka semakin sukar pula untuk dapat menghayati permasalahan dengan baik, lebih jauh lagi, jumlah perhitungan yang diperlukan dalam analisis akan semakin banyak.

2.8.2 Jenis Metode Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk

Menurut Saaty [2] ada beberapa metode standar yang umum digunakan untuk pengambilan keputusan Kriteria majemuk adalah Multi Attribute Utility Theory (MAUT) (Edward, W, 1997), Simple Multi Attribute Rating Tecnique (SMART) (Edward, W dan Barron, FH, 1994 ) dan Analytic Hierarchy Process (AHP) (Saaty, TL, 1980). Perkembangan ilmu pengambilan keputusan kriteria majemuk juga telah meluas dengan diperkenalkan metode yang lebih kompleks seperti Analytic Network Process (ANP).

Penelitian ini mengambil basis metode AHP sebagai metode untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam mengajukan pinjaman dana.

2.9Analytic Hierarchy Process (AHP)

Menurut Saaty [2] metode AHP atau Proses Hirarki Analitik merupakan salah satu metode pengambilan keputusan dimana factor – factor logika, intuisi, pengalaman, pengetahuan, emosi, dan rasa dicoba untuk dioptimasikan dalam suatu proses yang sistematis. Metode AHP ini mulai dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika University Of Pittsburgh di Amerika Serikat, pada awal tahun 1970 – an.

AHP yang dikembangkan oleh Saaty ini memecahkan yang kompleks dimana aspek atau kriteria yang diambil cukup banyak kompleksitas ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedia data statistic yang akurat atau bahkan tidak ada sama sekali. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak dapat dicatat secara numeric (kuantitatif), namun secara kualitatif, yaitu berdasarkan persepsi pengalaman dan intuisi. Namun, tidak menutup kemungkinan, bahwa model – model lainnya ikut dipertimbangkan pada saat proses pengambilan keputusan dengan pendeketan AHP, khususnya dalam memahami para kepututsan individual pada saat proses penerapan pendekatan ini.

2.9.1 Kelebihan dan Kelemahan AHP

Metode AHP telah banyak penggunaannya dalam berbagai skala bidang kehidupan. Kelebihan metode AHP ini dibandingkan dengan pengambilan keputusan kriteria majemuk lainnya adalah :

1. Struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub – sub kriteria yang palling dalam.

2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkosistensi berbagai kriteria dan alternative yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas

pengambilan keputusan.

4. Metode AHP memiliki keunggulan dari segi proses pengambilan keputusan dan akomodasi untuk atribu – atribut baik kuantitatif maupun kualitatif.

5. Metode AHP juga mampu menghasilkan hasil yang lebih konsisten dibandingkan dengan metode – metode lainnya.

6. Metode pengambilan keputusan AHP memiliki system yang mudah dipahami dan digunakan.

Kelemahan – kelemahan penggunaan metode AHP yaitu :

1. Responden yang dilibatkan harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam (expert) mengenai permasalahan dan tentang AHP itu sendiri.

2. AHP tidak dapat diterapkan pada suatu perbedaan sudut pandang yang sangat tajam atau ekstrim dikalangan responden.

Secara naluriah manusia dapat mengestimasi besaran sederhana melalui inderanya. Proses paling mudah adalah membandingkan dua hal dengan keakuratan perbandingan yang dapat dipertanggungjawabkan, untuk itu Saaty menetapkan skala kuantitatif 1 sampai 9 untuk menilai secara perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen dengan elemen lain ( Lihat tabel 2.1 ).

Tabel 2.1 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas

Kepentingan

Keterangan Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain.

Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.

5 Elemen yang satu sedikit lebih cukup dari pada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan atas elemen lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting

dari pada elemen lainnya

Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 Nilai – nilai antara dua nilai perbandingan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan. Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan

aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

2.9.2 Langkah-langkah Perhitungan AHP

Untuk mendukung sistem pengambilan keputusan yang akan dibangun ini, maka digunakan model perhitungan bobot dengan metode AHP. Adapun tahap – tahap dalam proses perhitungan bobot antara lain :

a. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum. Dilanjutkan dengan kriteria – kriteria pada tingkat yang paling bawah.

b. Perhitungan bobot kriteria dengan cara :

1. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang bersumber pada tabel 2.2 yang menggambarkan kontibusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing – masing kriteria dengan kriteria lainnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan diskusi dan pendapat dari narasumber yang bergerak dibidang yang berhubungan bagian peminjaman dengan menilai tingkat kepentingan suatu kriteria dibandingkan kriteria lainnya.

2. Menghitung Total Prioritas Value untuk mendapatkan bobot kriteria dengan cara seperti yang terlihat pada tabel 2.2 dan tabel 2.3 berikut

Tabel 2.2 Penjumlahan Kolom

K1 K2 … Kn K1 Nilai perbandingan K11 +… … +… K2 Nilai perbandingan K12 +… … +… K3 Nilai perbandingan K13 +… … +… : : : : : Kn Nilai perbandingan K1n +… … +… ΣKolom

Tabel 2.3 Penjumlahan Baris K1 K2 … Kn TPV K1 Nilai perbandingan K11 / Σkolom +… … +… Σbaris1 n/n K2 Nilai perbandingan K12 / Σkolom +… … +… Σbaris2 n/n K3 Nilai perbandingan K13 / Σkolom +… … +… Σbaris3 n/n : : : : : : Kn Nilai perbandingan K1n / Σkolom +… … +… Σbarisn n/n Keterangan : K = Kriteria n = Banyaknya kriteria TPV = Total Priority Value

3. Nilai TPV yang didapat merupakan nilai bobot untuk setiap kriteria.

c. Memeriksa konsistensi matriks perbandingan suatu kriteria.

Adapun langkah – langkah dalam memeriksa konsistensi adalah sebagai berikut :

1. Pertama bobot yang didapat dari nilai TPV dikalikan dengan nilai – nilai elemen matriks perbandingan yang telah diubah menjadi bentuk desimal, dan dilanjutkan dengan menjumlahkan entri – entri pada setiap baris, dapat dilihat pada tabel 2.4 dibawah ini :

Tabel 2.4 Perkalian TPV dengan elemen matriks

K TPV K1 TPV K2 TPV Kn

K1 Nilai perbandingan K11 * TPV K1 … Nilai perbandingan K1n * TPV Kn

K2 … … …

K3 … … …

: : : :

Kn Nilai perbandingan Kn1 * TPV Kn … Nilai perbandingan Knn * TPV Knn

2. Kemudian jumlah setiap barisnya, dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut : Tabel 2.5 Penjumlahan Baris Setelah Perkalian

K TPV K1 TPV K2 … TPV Kn Σbaris K1 Nilai perbandingan K11 * TPV K1 +… … +… Σbarisk1

K2 … +… … +… …

K3 … +… … +… …

: : : : : :

Kn Nilai perbandingan Kn1 * TPV Kn +… … +… Σbariskn

3. Kemudian mencari λmaks, pertama – tama mencari nilai rata – rata setiap kriteria atau subkriteria yaitu jumlah hasil pada langkah no.2 diatas yaitu

Σbaris dibagi dengan TPV dari setiap kriteria.

Σbaris K1 TPV K1 λmaks K1

… ÷ … = …

Kemudian akan diperoleh λmaks dengan cara sebagai berikut :

λmaks = λmaks K1 + … + … + λmaks Kn ÷ n Keterangan :

λmaks = nilai rata – rata dari keseluruhan kriteria n = jumlah matriks perbandingan suatu kriteria

4. Setelah mendapatkan λmaks, kemudian mencari Consistency Index ( CI ), yaitu dengan persamaan :

CI = λmax – n n – 1

5. Kemudian mencari Consistency Ratio ( CR ) dengan mengacu pada Nilai Indeks Random atau Random Index ( RI ) yang dapat di ambil dengan ketentuan sesuai dengan jumlah kriteria yang di ambil,dapat di lihat pada tabel 2.6, yaitu dengan persamaan :

Tabel 2.6 Ketentuan Random Index (RI)

Orde Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 Orde Matriks 10 11 12 13 14 15 RI 1.49 1.51 1.48 1.56 1.57 1.59 CR = CI RI

6. Matriks perbandingan dapat diterima jika Nilai Rasio Konsistensi ≤ 0.1, jika nilai CR > 0.1 maka pertimbangan yang dibuat perlu diperbaiki. 7. Perhitungan nilai alternatif subkriteria

Melakukan perhitungan nilai keseluruhan dari alternatif pilihan suatu subkriteria, yaitu dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), seperti pada tabel 2.7 perhitungan Vi, yang mengacu pada persamaan di bawah ini:

Vi = ∑wj * xij Dimana:

Vi = Nilai keseluruhan dari alternatif pilihan suatu subkriteria.

Wj = TPV (bobot prioritas)subkriteria yang di dapat dengan menggunakan metode (AHP).

Xij = Nilai alternatif pilihan sukriteria. i = Alternatif pilihan

j = Subkriteria.

Tabel 2.7 Perhitungan Vi

No Subkriteria wj Alternatif Pilihan xij Wj * xij 1 J1 Wj1 I1 Xij1 Wj1 * xij1

... .... .... .... ... ... N Jn Wjn in xijn Wjn * xijn

Vi= ∑wj * xij j

2.10 Perhitungan Matematis AHP

Untuk mendukung sistem pengambilan keputusan yang akan dibangun ini, maka digunakan model perhitungan matematis dengan metode AHP.

2.10.1 Contoh Perhitungan AHP

Masalah pemilihan sekolah dilakukan oleh Prof.T.L Saaty untuk membantu anakanya dalam menentukan perguruan tinggi apa yang akan dimasukinya setelah lulus dari sekolah. Anaknya menemui kesukaran dalam memilih satu dari tiga perguruan tinggi yang menerimanya sebagai mahasiswa. Prof. Saaty memutuskan untuk membuat suatu hirarki yang dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut :

Memilih Sekolah

PBM LP KS PK KUA KM

Sekolah A Sekolah B Sekolah C

Gambar 2.5 Struktur Hirarki Dalam Pemilihan Sekolah Keterangan :

PBM = Proses Belajar Mengajar LP = Lingkungan Pergaulan

KS = Kehidupan Sekolah PK = Pendidikan Kejurusan

KUA = Kualifikasi yang diminta sekolah KM = Mutu Pendidikan musik

Setelah penyusunan hirarki selesai maka langkah selanjutnya adalah melakukan perbandingan antara elemen – elemen dengan memperhatikan pengaruh elemen pada level diatasnya. Perbandingan dilakukan dengan skala 1 sampai 9. Matriks perbandingan dari level dua dapat dilihat pada table 2.5.

Table 2.8 Perbandingan Kepentingan Level 2

PBM LP KS PK KUA KM PBM 1 4 3 1 3 4 LP 1 / 4 1 7 3 1 / 5 1 KS 1 / 3 1 / 7 1 1 / 5 1 / 5 1 / 6 PK 1 1 / 3 5 1 1 1 / 3 KUA 1 / 3 5 5 1 1 3 KM 1 / 4 1 6 3 1 / 3 1

Nilai pada table 2.5 dapat disintesiskan dengan jalan menjumlahkan angka – angka yang terdapat pada setiap kolom, setelah itu angka dalam setiap sel dibagi dengan jumlah pada kolom yang bersangkutan. Proses ini akan menghasilkan matriks yang telah normal ( Lihat pada table 2.4 ).

Table 2.9 Matriks yang dinormalkan

PBM LP KS PK KUA KM Rata – rata

PBM 6 / 19 23 / 66 1 / 9 5 / 46 45 / 86 8 / 19 0.30 LP 3 / 38 2 / 23 7 / 27 15 / 46 3 / 86 2 / 19 0.15 KS 2 / 19 1 / 80 1 / 27 1 / 46 3 / 86 1 / 57 0.04 PK 6 / 19 2 / 69 5 / 27 5 / 46 15 / 86 2 / 57 0.14 KUA 2 / 19 17 / 39 5 / 27 5 / 46 15 / 86 6 / 19 0.22 KM 3 / 38 2 / 23 2 / 9 15 / 46 5 / 86 2 / 19 0.15

Nilai rata – rata dari setiap baris menunjukkan bahwa tingkat kepentingan factor untuk masing – masing kriteria adalah : 30%, 15%, 4%, 14%, 22%, dan 15%. Setelah matriks level 2 selesai diisi dan dihitung bobot prioritasnya, langkah selanjutnya adalah membuat matriks perbandingan antar elemen level 3 dengan memperhatikan keterkaitannya dengan level 2. Proses ini memiliki langkah yang sama seperti proses yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.10.2 Perhitungan Konsistensi AHP

Langkah pertama untuk menghitung konsistensi adalah dengan melakukan perkalian matriks antara matriks perbandingan pada table 2.3 dan vector prioritas yang didapat pada table 2.4. Hasil perhitungan ini adalah sebagai berikut :

1 4 3 1 3 4 0.30 2.40 1/4 1 7 3 1/5 1 0.15 1.11 1/3 1/7 1 1/5 1/5 1/1 x 0.04 = 0.26 1 1/3 5 1 1 1/3 0.14 0.96 1/3 5 5 1 1 3 0.22 1.84 1/4 1 6 3 1/3 1 0.15 1.10

Selanjutnya nilai masing – masing sel pada vector hasil perkalian tersebut dibagi dengan nilai masing – masing sel pada vector prioritas sehingga diperoleh hasil sebagai berikut :

2.40 0.30 7.88 1.11 0.15 7.45 0.26 ÷ 0.04 = 6.75 0.96 0.14 6.76 1.84 0.22 8.31 1.10 0.15 7.50

Nilai λmax dapat dicari dengan perhitungan sebagai berikut :

λmax = 7.88 + 7.45 + 6.75 + 6.76 + 8.31 + 7.50 6

Nilai Consistency Index ( CI ) didapat dengan perhitungan :

CI = λmax – n = 7,44 – 6 = 0,29 n – 1 6 – 1

Berdasarkan table 2.2 nilai Random Index ( RI ) untuk jumlah elemen 6 adalah 1,24 maka nilai Consistency Ratio ( CR ) adalah

CR = CI = 0.29 = 0,23 RI 1.24

Nilai 0,23 ini menyatakan bahwa rasio konsistensi dari hasil penelitian perbandingan diatas mempunyai rasio sebesar 23%. Nilai ini menyebabkan penilaian tersebut tidak dapat diterima dan harus diulangi kembali karena lebih besar dari 10% seperti yang telah dikemukakan oleh Saaty.

2.10.3 Perhitungan Multi Responden

Penilaian yang dilakukan oleh banyak responden akan menghasilkan pendapat yang berbeda satu sama lain. AHP hanya membutuhkan satu jawaban untuk satu matriks perbandingan. Jadi semua jawaban dari responden harus dirata – ratakan. Untuk itu Saaty memberikan metode perataan dengan Geometric Mean.

Geometric Mean Theory menyatakan bahwa jika terdapat n responden melakukan perbandingan berpasangan, maka terdapat n jawaban atau nilai numeric untuk setiap pasangan. Untuk mendapat suatu nilai tertentu dari semua nilai tersebut, masing – masing nilai harus dikalikan satu sama lain kemudian hasil perkalian dipangkatkan dengan 1/n. Secara matematis dapat dituliskan dalam persamaan berikut :

Aij = ( z1, z2, …, zn )

aij adalah nilai rata – rata perbandingan antar kriteria Ai da Aj untuk n responden. Zi adalah nilai perbandingan antara kriteria Ai denagn Aj untuk responden ke – i dengan i = 1, 2, …, n dan n adalah jumlah responden.

2.11 Perangkat Lunak Pendukung

Borland Delphi atau biasa yang disebut Delphi saja, merupakan sarana pemrograman aplikasi visual. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah bahasa pemrograman Pascal atau kemudian juga yang disebut bahasa pemrograman Delphi. Delphi merupakan generasi penerus dari Turbo Pascal. Turbo Pascal yang diluncurkan pada tahun 1983 dirancang untuk dijalankan pada system operasi DOS (yang merupakan system operasi yang paling banyak digunakan pada saat itu). Sedangkan Delphi yang diluncurkan pertama kali tahun 1995 dirancang untuk beroperasi dibawah system operasi windows.

Delphi adalah compiler (penterjemah) bahasa Delphi (awalnya dari pascal) yang merupakan bahasa tingkat tinggi sekelas dengan basic, C. Bahasa pemrograman di Delphi disebut bahasa procedural yaitu bahasa atau sintaknya mengikuti urutan tertentu. Delphi disebut juga Visual Programming artinya komponen – komponen yang ada tidak hanya berupa teks tetapi muncul berupa gambar – gambar.

Delphi memiliki sarana untuk pembuatan aplikasi, mulai dari sarana untuk pembuatan form, menu, toolbar, hingga kemampuan untuk menangani pengelolaan basis data yang besar. Kelebihan – kelebihan yang dimiliki Delphi

antara lain karena pada Delphi, form dan komponen – komponennya dapat dipakai ulang dan dikembangkan, tersedia template aplikasi dan template form, memiliki lingkungan pengembangan visual yang dapat diatur sesuai kebutuhan, menghasilkan file terkompilasi yang berjalan lebih cepat, serta kemampuan mengakses data dari bermacam – macam format.

Delphi menggunakan bahasa objek pascal didalam lingkungan pemrograman visual. Kombinasi ini menghasilkan sebuah lingkungan pengembangan aplikasi yang berorientasi objek (Object Oriented Programming). Dengan konsep seperti ini, maka pembuatan aplikasi menggunakan Delphi dapat dilakukan dengan cepat dan menghasilkan aplikasi yang tangguh. Form dan komponen yang ada didalamnya, dapat disimpan dalam suatu paket komponen yang dapat digunakan kembali, atau dimodifikasi seperlunya saja.

Khususnya untuk pemrograman database, Delphi menyediakan object yang sangat kuat, canggih dan lengkap, sehingga memudahkan pemrograman dalam merancang, membuat dan menyelesaikan aplikasi database yang diinginkan. Selain itu, Delphi juga dapat menangani data dalam berbagai format database, misalnya format MS.Access, Oracle, Foxro, Informix dan lain – lain. Format database yang dianggap asli dari Delphi adalah Paradox dan dBase. Keunggulan yang dimiliki oleh Borland Delphi yaitu :

1. Memiliki banyak fitur

2. Dapat merancang dan membuat tampilan aplikasi yang bagus 3. Mudah dalam penulisan coding

2.12 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keprihatinan banyak pihak, hal ini disebabkan oleh timbulnya bencana yang dirasakan seperti bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Rusaknya wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai daerah tangkapan air diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah.

Pada era otonomi daerah, sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DAS sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PPHTA) melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi, kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan dari upaya- upaya tersebut pada dasarnya adalah untuk mewujudkan perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat sosial ekonomi yang nyata bagi masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan perlunya pengelolaan DAS secara terpadu yang harus melibatkan pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya alam yang terdiri dari unsur–unsur masyarakat, dunia usaha dan pemerintah, dengan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan dan berkomitmen untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan. Dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS terpadu tersebut diperlukan perencanaan yang komprehensif yang mengakomodasikan berbagai kepentingan dari stakeholders dalam suatu DAS.

Untuk itu perlu adanya pedoman penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang dapat dijadikan acuan bagi stakeholders (para pemangku kepentingan). Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu berdasarkan SK Dirjen RLPS No. 034/Kpts/IV/2000 Tanggal 23 Maret 2000 dipandang kurang sesuai dengan kondisi saat ini karena telah terjadi perubahan paradigma pemerintahan, pembangunan ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga pedoman tersebut perlu disempurnakan dengan mempertimbangan perkembangan yang terjadi saat ini.

Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu ini dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi stakeholders dalam Menyusun Rencana Pengelolaan DAS Terpadu dalam satuan wilayah perencanaan Daerah Aliran Sungai, Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS, Daerah Tangkapan Air (DTA) danau/waduk, dan wilayah pulau-pulau kecil yang mempunyai luasan kurang dari 2000 km2.

Tujuan disusunnya pedoman ini adalah tersusunnya Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Rencana tersebut diharapkan dapat menjadi panduan, masukan atau pertimbangan bagi para pemangku kepentingan dalam menyusun rencana teknis yang lebih detail. Dengan tersusunnya rencana pengelolaan DAS diharapkan pengelolaan sumberdaya alam di DAS dapat berjalan lebih baik.

2.12.1 Dasar Hukum

Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS merupakan bagian dari penyelenggaraan pengelolaan DAS yang antara lain didasarkan pada :

1. Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 33 ayat 3;

2. Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

3. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

5. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air;

5. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

6. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;

10. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.

2.13 Monitoring dan Evaluasi Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) Kegiatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah pengelolaan berbagai komponen yang mempunyai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS. Agar kelestarian suatu DAS terjaga, maka pelaksanaan pengelolaan DAS harus mengikuti prinsip-prinsip hidrologi, dimana input utamanya dalah hujan dan outputnya adalah debit air sungai dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemaran.

Tujuan utama dilaksanakan kegiatan pengelolaan DAS karena dirasakan adanya permasalahan yang berhubungan dengan penurunan kualitas lingkungan pada DAS tersebut, dengan demikian maka semua kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi harus disesuaikan dengan penyelesaian permasalahan tersebut.

Perubahan penggunaan lahan terbukti dapat menyebabkan perubahan tingkat erosi dan distribusi air, oleh karena itu perubahan tingkat laju erosi dan fluktuasi debit air yang terjadi dapat dijadikan suatu indicator adanya perubahan penggunaan lahan.

Upaya-upaya pemerintah untuk melestarikan sumberdaya alam telah dilaksanakan dengan berbagai cara, baik melalui proyek (inpres) maupun paket- paket khusus yang dilaksanakan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan dalam rangka memacu masyarakat dalam bentuk unit-unit percontohan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah maupun melalui penyuluhan-penyuluhan RLKT yang dilaksanakan secara teratur, terarah dan berkelanjutan. Dengan

Dokumen terkait